Friday 15 February 2013

Berita

Akhir-akhir ini saya jadi sering numpang baca koran di halte, walaupun cuma skimming doang sih, gara-gara transjogja nya suka lama.

Trus pernah kepikiran kalau Koran tuh keren banget ya. Terbit hampir tiap hari dengan kolom berita yang sebanyak itu, dan dengan harga yang bisa dibilang sangat murah untuk ukuran itu, bahkan ada koran yang terbit sehari dua kali. Saya yang pernah bercita-cita menjadi seorang wartawan kemudian bertanya-tanya, bagaimana caranya seorang wartawan mendapatkan berita ter update setiap hari, lalu apabila sebegitu dikejar deadline nya, lantas seorang pekerja Koran nggak akan pernah punya waktu untuk melakukan hal lainnya dong. Trus kalau memang karena wartawan sebuah koran itu banyak sekali, lantas gaji yang diterima tiap orang seberapa minim dengan harga Koran yang juga hanya segitu. Tapi kemudian karena sempat mengatakan rasa penasaran saya itu ke beberapa orang, ada yang pernah bilang bahwa mereka tidak mencari keuntungan dari penjualan Koran, akan tetapi dari biaya pasang iklan di Koran. Cukup menjelaskan mengapa pasang iklan di Koran itu sebegitu mahal dan dihitung perbaris.

Beberapa saat yang lalu, ada berita yang cukup menarik perhatian saya. Tentang masih tersimpannya 13 mayat tak di kenal di RS Dr. Sardjito. Ya, rumah sakit umum pusat yang letaknya persis di samping kampus saya tercinta, yang setiap hari saya lewati itu.
Berbicara tentang Rs Sardjito tersebut, saya pernah memikirkan kemungkinan-kemungkinan terkait penataan kawasan tersebut. Bagi yang sering melewati rumah sakit ini pasti paham ketidaknyamanan melewati jalan ini, macet. Kesalahan pertama karena –ehem, jadi keinget makul studio semester kemaren –ketidaksesuaian hierarki jalan dengan penempatan fasilitas sosial tersebut. Jalan tersebut kan sebenarnya termasuk kategori jalan lokal, sedangkan sardjito adalah rumah sakit dengan tingkat pelayanan regional. Segala galanya dirujuklah ke sana. Memang awalnya rumah sakit itu diletakkan di sekitar kampus, khususnya berdekatan dengan Fakultas Kedokteran sebagai media belajar.

Karena merupakan rumah sakit tingkat regional, yang menjadi pusat rujukan bagi daerah-daerah sekitar, otomatis pasiennya banyak sekali dan penanganannya jadi kurang maksimal. Sekitar setahun yang lalu, salah seorang teman saya masuk ke UGD RS ini, dan penanganannya lama sekali sampai teman saya yang lain mengancam seorang pekerja rumah sakit ini, akan memindahkan ke rumah sakit lain apabila tidak segera ditangani. Waduh, jadi ngelantur.

Kesalahan berikutnya adalah banyaknya PKL dan parkir liar di sepanjang jalan tersebut. Jadi apakah sebaiknya status jalannya yang ditingkatkan menjadi jalan arteri dengan pelebaran jalan dan lain sebagainya, atau justru sebaiknya memindahkan rumah sakit tersebut ke jalan arteri. Sebagai contoh peletakan rumah sakit yang udah oke tuh, Jogja International Hospital yang terletak di ringroad utara. Trus juga kepikiran mungkin bisa juga kali ya, menurunkan tingkat pelayanan sardjito. Tapi saya masih nggak terlalu ngerti tentang yang terakhir ini bisa dilakukan apa enggak.

Ketiganya memang terbilang nyaris nggak mungkin dilakukan, tapi tetep masih mungkin kok. Menurut salah satu teman saya, mendingan mindahin rumah sakitnya, karena yang bermasalah di jalan itu kan hanya rumah sakitnya, intinya hampir semua ketidaknyaman itu hanya berasal dar letak rumah sakit tersebut. Misalnya dengan adanya PKL di sepanjang jalan tersebut –walaupun sudah pernah disediakan lokasi di samping rumah sakit untuk lokalisasi PKL tapi toh balik lagi jualan di emperan jalan –itu tidak bisa dipungkiri memang efek aglomerasi yang ditimbulkan dari keberadaan si rumah sakit. Trus juga parkir liar mobil-mobil di sepanjang jalan itu. Daripada meningkatkan status jalannya, dinilai lebih efisien dengan memindahkan lokasi rumah sakit tersebut kan..

Loh kok malah ngomongin sardjito, mari kembali pada topik berita di Koran tersebut. Jadi dari ketiga belas mayat tersebut ada yang bahkan sudah berusia 7 bulan. Mayat-mayat tersebut sebagian merupakan titipan dari kepolisian, lantaran kasus tersebut belum selesai. Dan pihak dinas terkait, kalau nggak salah dinas sosial, juga belum bisa mencairkan dana hibah atau apapun yang biasanya dipakai untuk menguburkan mayat tak dikenal, lantaran prosedur yang mengatur tentang hal ini juga kurang jelas. Untuk itu, mereka menunggu keputusan dari gubernur DIY yang katanya lagi naik haji. Well, memang di awetkan di lemari pendingin sih, tapi kan kalau nggak salah dalam aturan agama ada yang menyebutkan bahwa sebaiknya mayat segera dikuburkan setelah meninggal. Dan mengurus jenazah itu kan fardlu kifayah, hukumnya wajib bagi semua orang tapi kewajiban itu gugur apabila sudah ada yang melakukannya. Nah loh, lantas kalau sampai begitu siapa pihak yang bisa dipersalahkan?

Tadinya saya sempat kepikiran, yaudah sih dikuburin aja, tapi ternyata saya baru tahu bahwa biaya pemakaman untuk satu orang saja minimal mencapai Rp 500 000. Wow, trus kepikiran gimana nasib orang-orang yang kurang beruntung yang makan aja susah, mau mati aja lebih mahal bayarnya. Trus selintas saya kepikir mau nabung dari sekarang aja, siapa tau harga pemakaman semakin mahal karena –kata dosen makul permukiman, jumlah tanah yang ada tetap akan tetapi permintaan tanah terus meningkat, jadi itu menjelaskan kenapa harga rumah hampir selalu tak terjangkau terutama bagi para pasangan muda yang baru menikah.

Nah teori ini bisa juga dipakai dalam hal tanah kuburan kan, rumah masa depan berukuran 2x1 meter. Jumlah orang yang meninggal selalu bertambah, tapi jumlah tanah di atas bumi ini kan tetap. Apa mau, menjadikan planet lain sebagai kuburan kalau bumi kita ini sudah terlalu sesak dengan kuburan?

Oh iya, tadi kan niatnya saya mau ngomongin berita. Nah kali ini saya ingin menyoroti tentang kode etik dalam menulis berita. Jadi saya pernah dengar, bahwa berita itu tidak boleh bersifat meresahkan masyarakat. Nah, dalam sebuah kasus bencana alam seperti gempa bumi, saya merasa tidak setuju apabila tingkat goncangan gempanya diturunkan, misalnya sebenarnya gempa tersebut berkekuatan 10 SR tetapi agar tidak meresahkan masyarakat maka disebut bahwa gempanya berkekuatan 7 SR. Itu kan pembodohan massal. 

Tapi mungkin memang benar bahwa bohong tak selalu salah.



Thursday 14 February 2013

Konyol

Mungkin apabila di search, akan ada sekian daftar hal konyol dalam hidup saya, entah hanya berupa ide, pemikiran, atau sudah berupa kejadian.

Terutama konyol karena random. Kayak misalnya waktu mau ambil nasi malah buka kulkas bukannya buka magic jar, atau waktu nyariin sendok sampe teriak-teriak bete, “ada yang liat sendok nggak sih?!” padahal lagi dipegang di tangan sendiri. Trus waktu mandi niatnya mau nuangin sabun eh malah nuangin sampo ke tangan, eh jadi kepaksa keramas deh.

Konyol yang lain adalah ketika kemarin teman saya baru saja bercerita bahwa dengar ada suara cewek nangis padahal nggak ada siapa-siapa, trus jadi ketakutan sendiri. Nah ceritanya malam itu saya sedang merasa tertekan dan butuh menangis. Karena saya termasuk orang yang paling nggak bisa menangis di depan orang lain jadilah saya mengunci diri di kamar dan niatnya menangis diam-diam. Dan seperti yang bisa ditebak, saya ketakutan mendengar suara tangisan saya sendiri. Aaaaah pengen nangis. Jadilah saya menangis dalam diam, tanpa suara.

Konyol di masa lalu adalah ketika kami sekeluarga masak bedak, dan baru sadar setelah masakan itu habis. Berawal dari keisengan kakak saya memasukkan bedak bayi yang warna putih itu ke dalam plastik bening dan sengaja diletakkan di dapur. Waktu itu ibu saya sedang memasak jenang sumsum, dan menambahkan isi plastik tersebut ke dalam kuali. Jadilah kami makan bedak, tapi nggak ada yang keracunan kok :)

Dan tiba-tiba teringat kenangan masa lalu saya bersama kakak saya ketika masih kecil.
Kami sering sekali bermain peran, yang selalu di awali dengan, “pura-puranya aku jadi ini ya..” sampai om saya menjuluki kami mbak purak puraknya. Lalu dalam sebuah permainan kami, karena kami hanya berdua, maka kami pun berperan ganda. Waktu itu ceritanya saya yang sebagai kakak dan mau menjemput adeknya, yaitu kakak saya yang berperan sebagai adek. Lalu kakak saya ceritanya lapar dan minta dibelikan makanan. Saya membeli makan pada kakak saya yang sekarang merangkap menjadi penjual makanan. Meniru omongan yang sering saya dengar waktu ikut orang tua ke warung, “mbak, tumbas sekol.” –dalam bahasa Indonesia berarti “mbak, beli nasi.”

“sekol nopo?”

Saya yang waktu itu masih Tk bingung harus menjawab apa, “mbak trus jawabannya apa?” Dan kakak saya malah bilang ya terserah kamu, kan kamu ceritanya yang mau beli.
Saya pun mulai menemukan kata-kata yang juga sering saya dengar, “Nggih wontene sekol nopo?”

Kakak saya malah menjawab, “Sekolah enten”

Zzzzzzzzzzz, kakak saya memang suka ngeselin dulu waktu kami main bareng tapi di kesempatan yang lain saya selalu berhasil membodohi kakak saya kok.haha :p

Lalu pemahaman yang ditanamkan pada kami sewaktu masih kecil waktu kami minta dibelikan permen karet. Kata orang tua saya, permen karet itu makanannya orang dewasa soalnya nggak boleh sampai ketelan. Nanti kalau ketelan nempel di usus trus kalau pas buang air besar ntar ususnya bisa kontal. Dan cara ini sangat ampuh diterapkan pada saya dan kakak saya, karena sampai sekarang saat saya mau makan permen karet, saya masih teringat kata-kata itu.hahaha

Lalu berbagai pertanyaan konyol, yang sempat terlintas.

Kadang saya berharap untuk tak perlu tumbuh menjadi orang dewasa. Karena dengan menjadi anak kecil, tak perlu malu mempertanyakan hal-hal yang tak penting. Ada begitu banyak pertanyaan yang sedikit-banyak mengusik benak saya.

“Kenapa  istilah yang sering digunakan menyeduh teh tapi nggak ada istilah menyeduh susu atau menyeduh sirup?”

Menurut ibu saya: Kalau kamu mau pake istilah menyeduh susu juga boleh kok. (What????)
Menurut irham: Soalnya sesuatu yang diseduh itu sesuatu yang perlu didiamkan beberapa saat dan kemudian tarrraaaaa.. jadilah air teh. Kalau sirup sama susu kan perlu diaduk biar menyatu.

Lalu saya mencari istilah tersebut dalam KBBI.

Dan pertanyaan lain setelah belajar biologi dan juga bercandaan yang dulu sering ditujukan pada teman saya yang satu-satunya begolongan darah A di kelompok bermain kami, “eh golongan darahmu itu golongan darah favoritnya nyamuk loh, rasanya strawberry. Tuh buktinya ada nyamuk nempel di tanganmu tapi kita nggak ada yang digigit nyamuk..” hahaha

Nah pertanyaan saya adalah,  “Nyamuk kalau menghisap darah orang sembaranagan kan ya? Nggak pilih-pilih golongan darah, tapi kenapa nyamuknya tidak mengalami aglutinasi/penggumpalan darah dalam tubuhnya trus mati?”

Seingat saya dalam pelajaran biologi disebutkan bahwa apabila tranfusi darah berbeda golongan darah akan terjadi penggumpalan.Nah ternyata, saya baru tau belakangan bahwa yang mengandung aglutinin kan plasma darah, trus yang mengandung aglutinogen kan eritrositnya. Sedangkan yang berperan sebagai penggumpal itu salah satu dari itu, saya lupa yang mana. Mungkin aja si nyamuk cuma menghisap salah satunya, kalau nggak eritrositnya ya plasma darahnya jadinya nggak terjadi agliutinasi.

Saya penasaran juga mengenai sistem kerajaan serangga, terutama semut dan apapun itu yang berkoloni. Jadi apabila hanya ada satu ratu lebah dalam suatu koloni, dan si lebah itu beranak (lebah itu bertelur kan ya?) menghasilkan para lebah prajurit, darimana lahirnya ratu lebah yang baru. Kan nggak mungkin lah ya, lebah melakukan pemilu atau bermusyawarah untuk mengangkat ratu lebah baru. Atau berarti hidup menjadi lebah itu untung-untungan dalam takdir dilahirkan sebagai pekerja atau sebagai ratu. Ya, hampir kayak takdir manusia ditakdirkan lahir menjadi seorang perempuan atau seorang laki-laki. Dan apakah lebah melakukan pembuahan, kalau nggak salah teman saya pernah bilang kalo nggak ada yang namanya lebah jantan. Tentang kerajaan serangga ini saya belum sempat mencari tau. Nantilah, saya publish kalau sudah menemukan jawabannya. Yang punya jawaban boleh juga kok, meninggalkan comment..

Lalu ketika saya membaca salah satu bukunya Sujiwo Tejo, Republik Jancukers, yang memang dibawakan dengan lumayan humoris.  Saya jadi teringat akan sebuah obrolan dengan salah satu keluarga saya. Jadi waktu itu saya sedang berada di ruang makan dan memang ada tisu gulung di sana. Kemudian om saya bilang, “Din, ini kan tisu toilet, kok ditaruh di sini? Hiii..”

Saya pun membela diri, “Tapi belum pernah dipake di kamar mandi kok om, itu tisu baru beli jadi ya nggak papa di taruh di sini.”

“Yaudah kalo gitu, kamu beli gayung baru aja trus dijadikan wadah sayur di taruh di meja makanmu. Gimana? kan juga belum pernah dipake.”
Hmmmmm -_-

Dan berbagai kekonyolan lainnya..

Thursday 7 February 2013

(No Tittle)

Terkadang saya merasa bersalah karena menulis hampir segala apapun itu yang terlintas di benak saya di blog ini, yang pasti random banget nget nget. Kesannya nyampah banget. Sering deng bukan cuma kadang-kadang. 

Lalu mengapa saya masih saja menulis? 

Paling nggak untuk mencegah saya dari merasa gila, yang mana terlalu sering saya rasakan. Perlu digarisbawahi, hanya merasa gila ya. Trus jadi keinget lelucon yang dilontarkan teman-teman saya, "Kamu tau nggak, kenapa dinosaurus punah?"

"kenapa emang?"

"Soalnya dia nggak cerita cerita, makanya kalo ada masalah cerita biar nggak punah kayak dinosaurus"

Ngakak, cara menasehati yang kocak tapi tetep kena. Saya memang nggak pernah terlalu nyaman untuk menjadikan seseorang sebagai ambulance pribadi saya -yang selalu bisa saya hubunginya di saat saya galau (dan itu sangat sering terjadi), atau parahnya menjadikan seseorang sebagai 'tong sampah'.

Dengan kata lain,menulis ini membantu saya fokus. Disamping terapi saya yang lain, yang saya temukan sendiri.

Ah sudah cukup berbicara tentang diri sendirinya..


Wednesday 6 February 2013

Mainstream Vs Anti-mainstream

Ternyata saya sangat mainstream.
Saya baru menyadari bahwa saya sosok yang mainstream ketika saya ternyata menyukai seorang yang telah diakui sebagai cokiber –cowok kita bersama, karena begitu banyaknya perempuan yang tergila-gila padanya. Hey, saya bukan salah satu dari mereka ya, saya hanya kagum dan sedikit menyukai kok.

Kemudian saya teringat sebuah obrolan di atas lincak yang bermula dari keisengan saya membuka Koran lama yang kebetulan tergeletak di sana. 

“Mas, menurutmu dia cantik enggak?” tanya saya kepada salah satu teman saya sambil menunjuk salah satu mantan putri Indonesia yang sedang diberitakan di Koran tersebut.

“Cantik.”

Sebenarnya waktu itu saya hanya iseng menilai teman saya itu mainstream atau tidak dalam menilai kecantikan. Lalu kemudian senior saya yang lain justru ikut menimpali dan bertanya kepada saya “Kamu ngerasa kamu cantik nggak, not?”

Saya pun langsung menjawab, “Enggak, biasa aja.”

“Trus kamu ngerasa banyak yang suka sama kamu nggak?”

“Enggak juga.”

“Kamu ngerasa nggak cantik dan nggak ada yang suka sama kamu not?”

“Hey, aku ngerasa nggak cantik bukan berarti merasa jelek, tapi ya biasa-biasa aja. Trus kalo aku biasa-biasa aja bukan berarti nggak ada yang suka sama aku kok. Kan ada juga orang yang suka sama orang yang biasa-biasa aja, nggak liat fisik doang.”

Dan kemudian saya balik menanyakan kepada beberapa teman yang lain yang belum sempat menyimak obrolan kami sebelumnya. Tiga teman yang lain merasa diri mereka cantik dan sudah pasti banyak yang suka. Sedangkan saya dan dua orang lainnya merasa diri kami biasa-biasa saja. Dan kami pun terbagi menjadi dua kubu untuk memulai perdebatan tak penting ini mengenai penting tidaknya merasa cantik. Tapi kemudian ada yang mengajak nongkrong di kalimilk, dan topik ini pun terinterupsi begitu saja.

Mainstream, mengikuti arus. Dan sebuah komentar menohok dari seorang teman saya, “Kamu itu biasa aja not, nggak menarik.”

Lantas haruskah saya menjadi orang lain supaya saya menjadi menarik?

Tapi nggak ada salahnya kok, menjadi mainstream. Saya belum menemukan sisi menariknya menjadi seorang mainstream, tapi saya tetap yakin bahwa menjadi MAINSTREAM itu NGGAK SALAH. Mungkin suatu saat nanti saya akan mengedit postingan ini saat telah menemukannya.

Anti-mainstream, melawan arus. Mungkin karena dari dulu saya sudah sering dipandang dengan stigma anti-mainstream, sang pelawan arus, dan aneh. Sehingga cenderung membuat saya terbiasa dan menganggap nggak masalah menjadi seorang anti-mainstream. 

Keunggulan seorang anti-mainstream adalah menarik karena berbeda. Sedangkan kelemahannya sering dianggap aneh, kurang dihargai pendapatnya, dsb. Kesulitan lainnya adalah saat mencari barang yang diinginkan tapi berbeda dengan selera kebanyakan orang, katakanlah sebuah model tas yang saat itu tidak sedang trend sehingga sangat sulit menemukannya di antara sekian barang sejenis yang beredar di pasaran.

Jadi, siapapun kamu: mainstream atau anti-mainstream, silahkan menjadi diri kamu sendiri. Ini kan hanya masalah sudut pandang, nggak ada yang salah kok disini :)

Tuesday 5 February 2013

Tentang (Pola) Pergaulan

Semua orang tahu, bahwa pergaulan dapat menentukan masa depan seseorang. Tapi sayangnya tak semua orang menyadarinya..

Saat saya masih kanak-kanak, saya merasa kerap sekali ditanamkan nilai-nilai untuk tidak pilih-pilih dalam berteman, akan tetapi semakin kesini saya justru merasa nilai-nilai itu bergeser dan kita diminta berteman dengan orang-orang tertentu saja untuk menghindari yang orang katakan sebagai salah pergaulan.

Melihat berita akhir-akhir ini, mengenai artis dan anak pejabat yang mengkonsumsi salah satu obat-obatan yang digolongkan sebagai narkotika. Juga mengenai anak pejabat yang terlibat kecelakaan karena kabarnya menyetir saat masih dalam pengaruh minuman beralkohol. Juga mengenai sex bebas yang dilakukan beberapa artis.

Saya kembali bertanya-tanya, sebenarnya mengapa minuman beralkohol dilegalkan penggunaannya di Indonesia sementara penggunaan cannabis sativa tidaklah legal, walaupun penggunaan minuman beralkohol juga terbatas pada tempat-tempat tertentu. Kesannya pihak yang berwenang mengambil keputusan secara setengah-setengah, nanggung. Maaf saya hanya menyoroti hal ini secara sepihak dari satu sisi, saya paham pasti ada banyak pertimbangan dalam memutuskan hal ini. Seperti masalah politik –mungkin saja Aceh akan merdeka apabila cannabis sativa dilegalkan di Indonesia, dan tak lupa kaitannya dari segi kesehatan dan juga agama. Selalu controversial.

Mungkin karena saya pernah memiliki teman yang cukup dekat yang pernah mengkonsumsi kedua hal tersebut , sehingga membuat saya sedikit terbiasa dan lupa bahwa dalam budaya masyarakat kita, masyarakat timur, hal ini masih tergolong amoral dan dianggap tabu.

Lantas, apakah sekarang saya termasuk salah pergaulan? Toh saya tidak ikut terjerumus menggunakan barang-barang tersebut. Dan mengingat prinsip yang sering ditekankan saat saya menerima penyuluhan mengenai HIV dan AIDS, “Jangan jauhi orangnya, jauhi virusnya”

Slogan ini membuat saya mau tak mau berpikir bahwa tidak sepantasnya saya justru menjauhi seseorang  karena dia adalah pemakai. Yang harus saya jauhi kan barang-barang haramnya, bukan konsumennya. Saya tidak sedang berbicara hal ini dari segi agama, dimana tak ada celah untuk menghindar. Toh saya juga selalu berusaha menarik keluar teman saya dari jerat itu.

Nah, pada intinya saya hanya ingin menyampaikan bahwa semuanya kembali kepada diri kita sendiri. Menurut saya tak ada yang namanya salah pergaulan, yang ada hanyalah  ketidakmampuan memproteksi diri. Tak masalah berkawan dengan siapa saja asalkan kita bisa menjaga diri –menyerap yang baik, menyaring yang kurang baik, dan siapa tahu justru kita dapat memperbaiki orang lain :)


Monday 4 February 2013

Kurikulum 2013, Perlukah Ada?

Saya termasuk dari sekian orang yang pernah menjadi korban dari perubahan kurikulum pendidikan, yang kesannya labil banget ini.

Awal saya masuk SD, kurikulum yang masih berlaku adalah kurikulum GBHN 1994, kemudian sekitar kelas 4SD kami dihadapkan pada sebuah kurikulum baru, yaitu KBK –Kurikulum Berbasis Kompetensi. Berdasar kurikulum ini, guru selalu menuntut kami, murid-muridnya, untuk selalu aktif di kelas –aktif dalam menjawab pertanyaan, aktif maju ke depan kelas, dan kesemuanya itu dengan iming-iming nilai tambahan. Tak hanya mengusung konsep ini, materi-materi dalam suatu pelajaran juga di susun ulang. Sehingga terasa aneh seingat saya, saya mempelajari bab yang sama, di kelas 4 dan mengulanginya lagi di kelas 6.

Kemudian, baru berjalan beberapa tahun, kami kembali dihadapkan pada kurikulum yang baru lagi, KTSP –Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Sampai sekarang saya masih tidak memahami apa maksud dari nama kurikulum ini. Padahal dengan kurikulum sebelumnya saja, kami belum cukup bercengkarama untuk bisa dikatakan akrab. Kami sudah harus berusaha mengenal si kurikulum baru lagi, yang kali ini sering diplesetkan menjadi Kurikulum Tak Siap Pakai. Mau tak mau buku pegangan yang kami pakai pun harus menyesuaikan dengan kuikulum yang baru ini. Yang biasanya saya memakai buku lungsuran dari kakak saya yang sangat masih bisa digunakan kembali, kini saya harus membeli buku-buku baru, dan tentunya hal ini menjadi pemborosan yang sebenarnya tidak perlu.

Kemudian saya terpikir pada kurikulum perkuliahan yang diperbaharui secara rutin setiap 5 tahun sekali, well khususnya di kampus saya, UGM tercinta. Menurut saya ini tidak menjadi masalah karena sistemnya jelas, dan memang diharapkan kita segera lulus untuk tidak sempat terkena pergantian kurikulum ini. Sekalipun sempat merasakan, untuk jurusan saya akan ada remediasi khusus untuk mata kuliah yang dihapuskan pada kurikulum yang baru, dan bentuk penyesuaian yang lain. Untuk jurusan lain, angkatan atas yang melewati masa pergantian kurikulum ini tidak terpengaruh pada kurikulum baru, jadi mereka tetap mengikuti kurikulum yang lama dan kurikulum baru akan diterapkan pada mahasiswa yang baru masuk. Yeaah, kebijakan yang bagus..

Kembali pada kurikulum 2013, perlukah ada? Kadang ada selentingan yang berpendapat bahwa pergantian kurikulum hanyalah bentuk eksistensi seorang mentri pendidikan. Mereka ingin dikenal, ingin diingat, sehingga mereka berlomba-lomba untuk membuat kurikulum baru saat naik tahta.

Saya sendiri belum sempat mencari tahu substansi apa yang mendasari kurikulum ini. Saya hanya ingin menyoroti sebaiknya dalam memutuskan pergantian kurikulum ini juga mempertimbangkan para pelajar yang menjadi objek dan merasakan dampaknya. Well, hanya mengingatkan, tidak pernah menyenangkan menjadi seorang kelinci percobaan.

Mungkin saya akan melanjutkan tulisan ini di kesempatan yang lain saat saya sudah sedikit lebih paham mengenai substansi kurikulum ini..

Sunday 3 February 2013

Service Excellence

Saya baru saja mendapatkan materi ini dari sebuah briefing siang ini di Graha ECC UGM.

Outline dari Service excellence adalah sebagai berikut:

1. Attitude, atau tingkah laku kita

2. Passion

3. Enthusianism –antusiasme kita

4. Willingness to make difference, kemauan menjadi berbeda dari yang lain

5. Willingness to learn, kemauan untuk belajar

Tingkat pelayanan juga harus terus ditingkatkan, dari Poor, buruk –Standard, biasa saja –Expected, sesuai apa yang diharapkan oleh klien –dan kemudian Surprised.

Parameter excellence dapat dilihat dari produk yang dihasilkan, delivery system nya, service mindset –menarik konsumen dari pola pikir pelayanan yang baik, dan juga relationship.

Kunci dalam menyajikan Service Excellence adalah sebagai berikut:

1. Memahami konsumen

2. Menjadi pendengar yang baik

3. Mengidentifikasikan kebutuhan

4. Membuat konsumen merasa penting dan dihargai

5. Memberi lebih dari apa yang diminta

6. Mendapatkan umpan balik/feedback

Etos kerja Profesional


1. Kerja adalah rahmat

2. Kerja adalah amanah, lebih bertindak manusiawi ketimbang jadi mesin

3. Kerja adalah panggilan, sehingga kita cenderung melaksanakannya dengan tuntas dan penuh integritas

4. Kerja adalah aktualisasi diri

5. Kerja adalah ibadah

6. Kerja adalah seni, sehingga kita melaksanakannya dengan penuh kreativitas

7. Kerja adalah kehormatan

8. Kerja adalah pelayanan

Dengan menyajikan sebuah service excellence dan didukung pandangan etos kerja professional, justru kita yang akan dicari untuk sebuah pekerjaan. Selamat mencoba, semoga bermanfaat :) 



Friday 1 February 2013

Soup

Kalo lagi bosan dan mati gaya di rumah, inilah yang biasa saya lakukan, memasak menu rumahan.


Soup


Bahan:
Sebenarnya bervariasi tergantung mau bikin soup apa dulu. Tapi kali ini saya pilih yang paling sederhana saja.
1. Wortel
2. Makaroni
3. Kol/kubis
4. Loncang-sledri

Bumbu:
1. Bawang putih
2. Bawang merah
3. Merica
4. Garam
5. Gula pasir
6. Penyedap

Cara:
1. Siapkan semua sayuran tersebut dalam keadaan terpotong-potong kecil.
2. Didihkan air bersama dengan wortel dan makaroni, beri sedikit garam agar wortel cepat lunak.
3. Bawang putih, merica, dan garam ditumbuk tidak halus, kemudian di goreng. Sedangkan bawang merah diiris tipis-tipis untuk di goreng, dan pada akhirnya ditaburkan setelah matang.
4. Setelah air mendidih dan wortel telah lunak, masukkan bumbu yang telah digoreng tadi dan sayuran yang telah dipotong kecil-kecil.
5. Aduk dan tambahkan sedikit gula pasir, garam, dan boleh juga penyedap sesuai selera.
6. Soup siap disajikan :)

Hmm, nyam nyam nyam..