Monday 17 April 2017

Mengapa Tak Kau Hampiri Saja Aku?

Ada sesak yang menggebu memenuhi ruang
Berkabut, berisik, penuh hingar bingar
Kau masih disana, menanti di sudut ruang
Mengapa tak kau hampiri saja aku disini?

Aku muak dengan segala
Ingin ku ke laut saja
Tapi laut menolakku
Ingin kupergi ke langit
Tapi ku tak punya sayap
Mengapa tak kau hampiri saja aku?

Aku terdiam di depan cermin
Lelah menari mengusir jenuh
Lelah tertawa mengusir sendu
Lelah menangis mengusir rindu
Mengapa kau tak datang jua?

Ada badai menikam langit senja
Kau masih tetap disana

Tuesday 11 April 2017

Bila Sampai Waktumu

Tak ada gunanya menangisi kematian. Toh hidup dan mati itu di tangan Tuhan. Tapi ketika kematian yang pernah kau bayangkan benar-benar hadir di depan mata, ternyata rasanya tetap hancur.

Air mata itu tak hanya jatuh atas kehilangan sosok menyenangkan yang pernah hadir di antara kita. Tapi merembet pada berbagai elemen kehidupan lain.

Bukan kah ini doamu, meminta yang terbaik pada Nya baik kesembuhan atau hilangnya rasa sakit dari tubuhnya. Bukankah baru saja kau kirimkan doa untuknya tengah malam tadi, supaya diberikan skenario terbaik untuknya.

Lalu kekhawatiran datang, bila satu persatu kematian mendatangi mereka yang pernah kau bayangkan lantaran kentalnya kerentanan akan hal itu. Tapi kau malah bertingkah egois dengan menutup mata.

Aku tau ini sungguh tak berhubungan, tapi air mata ini tak mau berhenti mengalir.



10 Maret 2017,
you surely feel so much better up there, right?

Wednesday 5 April 2017

Sedang Apa?

Apa?
Apa yang sedang kulakukan?


Aku sedang berusaha menyelesaikan revisi skripsiku. Mungkin itulah jawaban yang akan kulontarkan bila bukan kamu yang bertanya. Tapi jawaban untukmu berbeda. Aku sedang mencari ketenangan, jiwa dan raga. Maka disinilah sekarang aku duduk, sendiri saja di depan laptop di hadapan jendela besar. Dan tentunya di tempat yang tidak pernah kita datangi bersama, sehingga tak akan ada memori apapun yang terbangkitkan di ruangan ini.

Aku rasa tempat ini cukup nyaman dengan wifi, AC, musik relaksasi ala gramedia, dan colokan listrik. Dan terutama gratis. Oh bukan, terutama tidak ada gangguan samping sehingga kuharapkan aku bisa fokus menulis. Aku bertanya-tanya, dengan luasan sebegini besar kira-kira seberapa mahal ya biaya operasional tempat ini.

Tapi rupanya tidak, buktinya alih-alih fokus menulis revisi, aku justru menulis ini. Well, kuakui ada yang kurang dari tempat ini dan memang bukan kapasitas mereka untuk menyediakannya: teman.

Aneh bukan, aku jauh-jauh datang kesini untuk mencari ketenangan tapi justru merasa kesepian setelah berhasil mendapatkannya.

Lalu di tengah rasa sepi yang begitu menghujam, tanganku justru membuka lembaran tulisanmu yang sudah begitu lama tak kubuka. Ada beberapa artikel baru yang kau publish, dan salah satunya berhasil membuatku mendambamu lagi. Lagi? Ya, memang lagi, karena aku sudah pernah melepasmu dari harapku semenjak kutahu kau sudah bersama seseorang. Kata Mbak Raisa yang cantik, bukan aku mudah menyerah tapi bijaksana mengerti kapan harus berhenti.


Tapi aku bisa apa? Aku hanya bisa berusaha memantaskan diri dan berharap suatu hari nanti kita berjodoh. Tapi sebelum itu, kuharap kita bisa duduk bersama lalu mengobrol tentang apapun. Mungkin kita bisa mengobrol tentang topik yang kau tulis di salah satu artikelmu yang kau publish suatu hari di bulan November, hampir dua tahun yang lalu.

Tapi jauh sebelum itu, izinkan aku untuk menyelesaikan revisi skripsi ini.