Monday 19 December 2016

Resolusi

Udah basi kali ya, ngomongin resolusi hidup menjelang tahun baru. Tapi gapapa lah ya, hidup saya juga basi kok.

Entah sejak kapan, saya termasuk orang yang selalu bikin resolusi hidup. Ritual itu selalu saya lakukan menjelang tahun baru, menjelang tahun ajaran baru (semasa sekolah), dan menjelang ulang tahun. Soalnya semua 'yang baru' itu selalu bikin semangat, jadi pas aja dijadikan momentum buat merilis harapan, atau sekedar merefresh dan evaluasi.

Tapi sebenarnya saya udah berhenti melakukan ritual itu semenjak.. mungkin 2 tahun terakhir, atau mungkin lebih. Why? Gak tau, cara kerjanya udah ilang aja rasanya. It doesn't work anymore.

Gak ada satupun yang berhasil saya raih dalam checklist sesederhana apapun yg saya buat. Dulu saya pernah membuat daftar berjudul 100 target hidup (gak nyampe 100 juga sih padahal), dan satu persatu semuanya mulai menjadi nyata.

Ketika semua berantakan, saya enggan melakukan hal ini lagi.

Gak paham juga sebenernya gimana cara kerja yang benar, entah sugesti atau apa, yang jelas hampir semua obsesi yang saya tulis dalam daftar resolusi yang kemudian bisa saya bayangkan dengan jelas, bisa saya detailkan dalam beberapa langkah, bisa membuat saya merasa begitu bergairah layaknya ketika membaca buku Harry Potter, maka hal itu akan menjadi nyata. Karena saya memang membuat resolusi yang realistis.

Bahkan obsesi ringan yang gak sempat tertulis, yang muncul tiba2 tapi menimbulkan sensasi mendebarkan yang menyenangkan itu, bisa juga terwujud bahkan ketika kita sendiri sudah lupa pernah memiliki obsesi itu.

Harusnya ini cuma ada di diary pribadi saya, lalu kenapa akhirnya saya publish? Well, saya masih percaya bahwa semakin kita menyebarluaskan impian kita ke seluruh dunia, kita akan semakin dekat dengan impian itu. Cara kerjanya? Berharap aja yang baca tulisan ini ikut mengamini. Doa banyak orang, apalagi yang mendoakan diam2 tanpa sepengetahuan yang didoakan katanya ijabah loh. Selain itu, dengan mengabarkan kepada seluruh dunia mengenai apa yang kita inginkan dan harapkan, semoga aja seluruh alam semesta mau bekerja sama bahu membahu mendukung saya. Dengan cuaca yang bersahabat, misalnya. 

Dan ini bukan berarti saya penganut animisme dinamisme ya, saya masih percaya hanya pada Allah semata kok. Tapi saya percaya (menurut penelitian yg saya baca), kalau benda mati itu juga punya intelejensi. Misalnya air, dimaki-maki dan dibacakan ayat suci, molekulnya bisa jadi berubah bentuk. Juga tanaman, ketika dirusak oleh manusia, dia bisa mengenali manusia yang merusaknya. Ini terlihat dengan mesin poligraf, seperti eksperimennya Luther Burbank. Dan sesederhana cerita dosen, yang suka ngajak ngobrol mobil tuanya. Suatu hari ketika parkir, pak dosen bilang pada si mobil untuk beristirahat disini aja, dan ternyata pas itu ada maling mobil, tapi gak berhasil soalnya mobilnya gak mau gerak. Benda-benda di sekitar kita tau kok kalau mereka disayang.

So, sebenernya garis besar keinginan saya itu apa sih? Sederhananya, hidup bahagia dunia akherat. Well siapa sih yang gak pengen itu. Oke, spesifiknya saya pengen memiliki kehidupan yang seimbang. Saya bahkan membuat diagram dalam buku diary saya: Sustainable of Me.

Sustainable of Me menggabungkan empat aspek: religi, financial, social+family, dan aktualisasi diri. Pada masa itu saya baru mempelajari mengenai pembangunan yang berkelanjutan dari segi ekonomi, ekologi, dan sosial. Kemudian saya tercetus mengadaptasi untuk membuat konsep kehidupan saya yang berkelanjutan. Maksudnya imbang dunia-akherat.

Saya sangat paham bahwasanya sebagaimana konsep ideal pada umumnya, hanyalah utopia belaka yang tidak aplicable. Sehingga demi membuat konsep tersebut tetap realistis, saya membuat list mengenai targetan setiap aspeknya. Membagi-bagi dalam beberapa tugas kecil, sehingga saya tidak merasa frustasi untuk mengamalkannya. 

Misalnya saya membagi aktualisasi diri menjadi fisik+psikologis, ability, dan hobby+leisure. Untuk fisik+psikologi, tergetan utama adalah sehat. Maka untuk mencapai sehat, diperlukan olahraga teratur, konsumsi buah dan sayur, dan pola hidup sehat lainnya. Olahraga teratur bisa dilakukan dengan jogging dan berenang minimal seminggu sekali. Dan seterusnya, dan seterusnya penjabaran setiap aspek hingga detail.

Wah tulisan ini mulai sangat membosankan bukan? Mari kita langsung menuju poin pentingnya saja.

Harapan terbesar saya saat ini adalah pengen cepet lulus biar bisa cepet punya pendapatan sendiri, biar gak ngerepotin orangtua lagi. Soalnya saya memasuki fase deadlock, yang mana satu-satunya jalan keluar agar hidup saya kembali mengalir adalah dengan menyelesaikan tugas akhir saya.

Pengen kerja dimana setelah lulus? Pengen jadi PNS? Pertanyaan itu kalo diajukan semasa saya masih sok idealis, saya akan bilang gak mau jadi PNS. Alasannya? Setahu saya banyak kinerja PNS yang kurang baik, walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa itu hanya oknum, dan bahwa saya tidak tahu banyak. Tapi kalau pertanyaan itu datang saat ini, mungkin akhirnya saya sadar bahwa sepertinya lulusan jurusan saya memang dicetak untuk mengabdi kepada negeri. Bisa saja mengelak, tapi hatimu pasti tau peranmu semestinya dimana. 

Maka saya ingin mencicipi bekerja untuk pemerintah di kementerian. Alasannya? Menurut saya, dengan berada di sistem yang lebih besar akan mempermudah kita melihat pemasalahan secara lebih menyeluruh, lensa zoom in-zoom out nya lebih terasah lah ya. Dan demi menghindar dari urusan politik, target terbesar saya di bidang karir adalah bekerja untuk NGO internasional yang fokus pada permasalahan global. Kok saya bisa bilang bekerja di NGO bisa menghindarkan diri saya dari politik? Karena setiap negara pasti berpolitik, maka setiap keputusan yang diambil harus mengikuti politic will dari pemegang kekuasaan. Ah, mungkin saya terlalu banyak membaca tulisan2 kiri. Sedangkan sebagai aparat pemerintah, kita harus tunduk pada keputusan pemimpin negara. Maka saya ingin menghindar dari urusan negara, biar orang lain saja lah yang mengurusi itu. Saya hanya ingin bekerja sebaik-baiknya untuk kesejahteraan semua umat manusia, tidak peduli warga negara, kebangsaan, warna kulit, agama, apalagi politik. Semoga saja di dunia ini memang ada NGO yang benar2 independent dan murni berniat membangun untuk kebaikan semua umat. Bayangan saya sih ya, bisa berupa NGO yang fokus pada ruang terbuka publik yang humanis gitu. Bisa apa aja sih fokus NGO nya, asalkan masih sesuai sama bidang dan hati nurani saya.

Wuih, ini sih curhat sekaligus pencitraan kali ya. Bodo amat, wong blog pribadi saya, salah sendiri kepo!

Segitu dulu aja deh, makasih loh yang masih betah kepo sampe sini. See you on top ya!

Tuesday 22 November 2016

Menjadi Galak

Akhir-akhir ini saya merasa bertemperamen buruk. Sering marah-marah, gampang bete, sensitif, apatis, judes, dsb. Dan tidak hanya saya, orang-orang di sekitar saya juga saya rasa demikian. Entah ini karena saya yg udah terlanjur sensitif sehingga menilai mereka demikian, atau memang begitulah faktanya.

Padahal faktor pemicunya sering kali hanya hal-hal sepele. Sesederhana melihat barisan semut di dinding kamar, sesederhana digangguin para kucing pas lagi makan, sesederhana scroling timeline sosmed yg bikin baper, sesederhana liat kondisi rumah yg berantakan, sesederhana melihat cermin dan merasa gendut, sesederhana merasa warna kulit menggelap, sesederhana itu.

Padahal ya, semua tadi seharusnya bukan apa-apa.

Pada intinya jika ditelaah lebih jauh, semua faktor sederhana itu dapat diidentifikasi sbg sesuatu yg tidak beres, tidak pada tempatnya yang mengganggu saya dan membuat saya kesal. Sesuatu di luar keinginan saya, sesuatu yg tidak sesuai ekspektasi saya. Sehingga semua selalu berawal dengan, 'ih kok begini siiih?!' 

Walaupun semuanya tetep dikerjakan, walaupun akhirnya tetap saya yg membereskan rumah, tetap saya yg mengusir para semut di dinding kamar, saya juga tetap melakukan itu dengan mencak-mencak. Jadi apa bedanya jika saya melakukan itu dengan tidak perlu marah-marah, bukan?

Mungkin saja ini hanya faktor hormonal, mungkin saya hanya sedang PMS. Di sisi lain, PMS hampir tidak pernah mendorong saya menjadi seorang yg superjudes. Justru berbagai tekanan yg melanda jiwa dan batinlah yg sanggup mengubah saya menjadi seorang yg begitu menyebalkan.

Tapi capek kan, temperamen begini..

Lantas bagaimana caranya menjadi tetap ramah dan perhatian pada sesama, diantara sejuta tekanan? Mungkin saya perlu melakukan tension release. Melepas ketegangan. Tapi rasanya saya sudah terlalu banyak bersenang-senang tapi ketegangan tak jua berkurang. Yang ada justru saya merasa perlu menghukum diri saya sendiri setelah bersenang-senang, diantara deadline. Saya tidak layak bersenang-senang, lebih tepatnya belum layak. Teringat sumpah Gadjah Mada, tidak akan memakan buah palapa sampai menyatukan nusantara. Dulu saya merasa sumpah itu, apa banget, sok-sokan banget menurut saya. Tapi sekarang mungkin saya mengerti perasaan Mahapatih Gadjah Mada kala itu, ada perasaan bersalah ketika mencoba bersenang-senang sebelum kewajiban lunas terbayar.

Come on, semua orang pasti punya tekanan hidup masing-masing. Nyatanya tidak semua orang menjadi judes dan menyebalkan. Mereka saja bisa tetap ramah dan menawan, mengapa saya tidak? Nantinya ketika saya sudah kembali baik-baik saja, toh saya akan menertawakan diri saya sendiri yg bisa segampang itu bete cuma gara-gara hal-hal nonsense. So, marilah menunggu datangnya waktu itu sembari mulai mengendalikan emosi yg tidak perlu.

Saturday 5 November 2016

Wanita

Laki-laki menuntut perempuan sempurna, jauh lebih daripada perempuan menuntut kesempurnaan dari seorang laki-laki.
Ukuran kewanitaan dari seorang perempuan memang jauh lebih banyak dari ukuran kepriaan seorang lelaki. Bahkan istilah kewanitaan sangat lazim terdengar, sementara istilah 'kepriaan' rasanya tak pernah ada. Mungkin lebih akrab ditelinga dengan istilah kejantanan pria, kali ya. Tapi rasanya kata jantan lebih berasosiasi dengan dunia seks, ketimbang asosiasi peran pria sebagai laki-laki dewasa. Rasanya kebanyakan orang sepakat bahwa wanita idaman adalah wanita yang cantik parasnya, anggun lakunya, halus perkataannya, bisa memasak, bisa menjahit, bisa mengurus rumah tangga, cerdas mendidik anak, dan manja sekaligus mandiri. Sementara itu sebagian perempuan menyatakan bahwa lelaki idaman hanyalah lelaki yang mapan secara ekonomi, serta dapat dijadikan imam ditunjukkan dengan akhlak dan ibadahnya yang baik. Nah, kan!

Akhir-akhir ini topik tentang wanita sering muncul ke permukaan seputar saya berada.

Beberapa waktu yang lalu saya menghadiri acara pembacaan puisi bertemakan wanita yang diselenggarakan teater lilin di Indiecology Cafe. Ada sebuah puisi yang begitu menarik perhatian saya, berjudul Nyanyian Angsa karya W.S. Rendra. Puisi ini bercerita tentang wanita pekerja seks yang terkena penyakit menular seksual. Dia diusir dari rumah pelacuran. Dia miskin dan tidak bisa membayar pengobatan. Dia harus menanggung semua penderitaannya sendiri akibat keputusannya melacur. Padahal bukankah tidak ada wanita manapun yang bersedia menjadi pelacur jika tidak terhimpit tuntutan ekonomi?
Kutipan puisi tersebut bisa dibaca 
di sini.

Lalu beberapa hari yang lalu saya juga tak sengaja mampir ke Bentara Budaya dan melihat pameran fotografi yang mengambil tema serupa, karya anak-anak Kolase Debrito.

Wanita itu makhluk yang istimewa. Bahkan Tuhan menurunkan sebuah surat khusus dalam kitab suci Alquran, Surah An Nisa yang artinya perempuan.

Berbicara tentang wanita tidak pernah terlepas dari topik emansipasi, kemudian berkembang menjadi tarik ulur peran wanita sebagai ibu (rumah tangga) dengan peran wanita sebagai tulang punggung keluarga. Sosok wanita sebagai tulang punggung keluarga bisa muncul sebagai wanita karier baik yang melakukan pekerjaan yang bersifat universal atau wanita melakukan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh laki-laki seperti menjadi supir bus, pembantu rumah tangga, Tenaga Kerja Wanita di luar negeri, bahkan pekerja seks komersial.


Berhubung saya tidak bisa menemukan sumber yang menjelaskan emansipasi menurut R.A. Kartini, saya mengambil sumber KBBI saja. Emansipasi (n) menurut KBBI: 1. pembebasan dari perbudakan; 2. Persamaan hak di berbagai aspek kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria).

Dulu seorang istri dikenal dengan sebutan 'konco wingking' atau artinya 'teman belakang' yang hanya bertugas masak di dapur dan tidak pernah dilibatkan diskusi topik-topik penting di ruang tamu. Perempuan dulu tidak boleh bersekolah, kecuali mereka yang ningrat. Bahkan peran wanita didiskreditkan dengan singkatan 3 M (Masak, Macak, Manak).

Saat ini wanita sudah diperbolehkan bersekolah, bekerja, dan menduduki jabatan pemerintahan. Emansipasi wanita saat ini lebih diartikan bahwa wanita tak hanya bisa setara dengan pria dan memegang jabatan-jabatan penting di pemerintahan, tapi justru bisa mengungguli pria. Kemudian para wanita mulai meninggalkan peran pokoknya, maka tak jarang wanita modern yang menjelma kaum urban tak lagi bisa memasak, atau lihai menggendong anak mereka sendiri. Alih-alih menikah dan mengurus rumah tangga, mereka lebih suka bercengkerama dengan laptop di dalam gedung pencakar langit, mengejar karier setinggi gedung tempat mereka bekerja. Mereka bersekolah tinggi dan berkarier hebat mengatasnamakan emansipasi. Lalu melupakan peran alami mereka sebagai wanita. Tentu tak semua perempuan modern demikian.

Rasanya ini mirip-mirip kasus para buruh yang tertindas karena kapitalisme, kemudian ketika dibela mereka justru sering mengadakan demo menuntut kenaikan gaji yang tidak rasional besarnya. Kurang ajar sekali, yang tadinya tertindas sekarang jadi ngelunjak!

Saya bukan menolak emansipasi, toh saya termasuk penikmat emansipasi dimana saya bisa bersekolah tinggi dan saya juga memiliki keinginan bekerja. Hanya saja, menurut saya pembagian peran itu perlu. Seperti pembagian kerja yang dikenal dalam dunia kerja, spesialisasi akan lebih meningkatkan produksi baik dari segi kualitas maupun kuantitas, ketimbang semua pekerjaan dari sektor hulu ke hilir dilakukan oleh satu orang yang sama. Contohnya ketika kita akan memproduksi sebuah kursi, akan lebih mudah ketika ada yg khusus menebang pohon menjadi kayu di hutan, ada yg khusus menggergaji balok-balok kayu dan menghaluskannya, ada yg khusus menyusun balok kayu dan menambahkan paku agar terbentuk kursi, ada yg khusus mengecat, dst.


Jadi menurut teori ekonomi, akan lebih menguntungkan sebuah wilayah memproduksi satu komoditas unggulan mereka dan menjualnya ke luar daerah tsb untuk membeli komoditas lainnya ketimbang memproduksi semua komoditas untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Duh, lagi-lagi tulisan saya melantur kemana-mana. Intinya saya hanya ingin bilang bahwa perempuan memang seharusnya berperan demikian sesuai dengan kodratnya. Toh terpilihnya peran wanita tentunya sudah disesuaikan dengan karakter perempuan, makhluk ciptaan Tuhan.

Memang seharusnya perempuan lah yang mengurus anak, karena mereka yg melahirkan anak sehingga perempuan memiliki sisi keibuan jauh lebih besar dari laki-laki. Katanya, perempuan itu multi tasking makanya perempuan sejak jaman dahulu kala diberi peran yg sedemikian rupa banyaknya. Tapi kadang perempuan modern lupa bahwa pemilihan peran yg sudah ditentukan dari entah peradapan jaman kapan, memang sudah diatur sesuai kecocokan fisik, psikologi, dan lain-lain.

Bagaimana jika peran wanita ditukar menjadi peran laki-laki? Bisa saja, jika dilatih. Toh sekarang chef dan koki terkenal didominasi laki-laki. Ada juga pembantu rumah tangga laki-laki. Tapi tetap saja, ibarat berbakat melukis dipaksa belajar bermain musik.

Sebenarnya ini tulisan lama yang mengendap di folder Draft di laptop saya, dan saya kehilangan hasrat melanjutkan tulisan ini, maka saya publish saja seadanya. Mungkin akan saya lanjutkan ketika saya sudah berhasrat menulis lagi tentang topik ini, karena topik mengenai wanita itu sangat luas. Saya belum menyentuh isu feminisme yang hingga saat ini belum saya pahami. Saya belum membahas mengenai wanita yang sering dipersalahkan karena mengundang hasrat lelaki untuk melakukan pelecehan seksual. Tapi mungkin lain kali saja.

Surabaya

Pada suatu weekend yang telah lama berlalu, saya meet up sama kakak saya di Kota Surabaya. Saya berangkat dari Kota Jogja sementara kakak saya berangkat dari Kota Jember. Ceritanya kakak saya mau tes IELTS di kota ini, kota besar terdekat dari kota tempat kerjanya. Sebenarnya saya sudah pernah ke Surabaya sebelum ini, namun rasanya saya masih sama butanya dengan perjalanan sebelum ini. Kala itu saya ke Surabaya juga dengan alibi menjenguk kakak saya yang sedang PKPA di RSUD Soetomo.
Dengan alibi menemani kakak saya tes, berangkatlah saya dari Jogja hari sabtu pagi (21/05) dan sampai disana sekitar jam 3 sore pada hari yang sama. Perjalanan konyol ini rupanya sudah dimulai disini dengan kesalahan saya keluar dari stasiun. Seharusnya saya keluar di Stasiun Gubeng Lama, tapi saya malah keluar di Stasiun Gubeng Baru. Malam sebelumnya kakak saya menginap di My Studio Hotel, yang terletak 5 menit jalan kaki dari Stasiun Gubeng Lama, karena selain dekat dengan stasiun juga berdekatan dengan tempat tesnya, IALF.

Saya sebenarnya sudah agak sadar kalau keluar di pintu yang salah, tapi saya pikir tak apa toh cuma jalan kaki lebih jauh sedikit. Berhubung kakak saya dapat jadwal speaking sore, saya disarankan untuk main ke Grand City Mall saja sambil menunggu dia selesai tes. Dari Gubeng Baru, saya jalan ke arah utara setelah sempat mengecek di google maps. Menurut google maps, saya tinggal menyeberangi rel dan mengikuti jalan maka saya sudah sampai di Grand City. Saya sudah berjalan kaki cukup jauh menyusuri rel, namun tidak ada tanda-tanda ada jalan untuk menyeberangi rel selain jalan layang yang ada di atas rel (relnya dikasih pagar tinggi). Lalu saya membuka google maps lagi, dan ternyataaaa saya sudah semakin menjauhi lokasi. Akhirnya saya memutuskan kembali ke stasiun sambil memperhatikan apakah saya melewatkan suatu terobosan untuk menyeberang rel. Dan sepertinya saya tidak melewatkan apapun. Maka saya bertanya pada petugas parkir, jalan tercepat menuju Grand City yang bisa ditempuh degan jalan kaki. Ternyata saya hanya harus menaiki tangga dibawah jalan layang itu maka saya sudah berada di atas jalan layang dan tinggal lurus menuju Grand City.

Satu pelajaran berharga dari perjalanan ini, ketika ngebolang di kota orang, pastikan lebih memercayakan bertanya pada masyarakat lokal ketimbang gps gadget!

Baru sampai depan Grand City udah ditelpon, kakak saya rupanya sudah selesai tes. Jadi kami memutuskan untuk bertemu di My Studio Hotel. Rencananya kami memang berniat pindah hotel berhubung My Studio Hotel adalah tipikal hotel untuk bacpaker sehingga rasanya kurang nyaman dengan privasi yang minim. My Studio Hotel hanya menyediakan semacam kapsul, berupa tempat tidur bertingkat yang ditutup dengan tirai, yang hanya cukup untuk tidur. Sedangkan barang yang kita bawa bisa disimpan di loker yang disediakan. Harga menginap semalam di single room adalah 150k.

Kami memutuskan pindah ke hotel yang lebih low budget. Kata kakak saya ada hotel murah yang semalam hanya dikenai 50k, namanya Bhinneka 2. Hotel Bhinneka 2 letaknya rada ke selatan, lumayan dekat dengan Stasiun Wonokromo. Menurut google maps, sekitar 15 menit naik kendaraan bermotor dari lokasi sekarang kami berada. Kami naik taksi ke Bhinneka 2, dengan membayar 30k.

Ternyata setelah sampai di sana, kami mendapati sebuah fakta bahwa harganya sudah berbeda jauh. Kakak saya ternyata mendapat informasi itu hanya dari internet yang sumbernya tidak jelas. Kamar paling murah seharga 165k, dengan fasilitas bed, kamar mandi dalam, tv, dan fan. Sedangkan kamar yang AC harganya 200k. Berhubung Surabaya panasnya naudzubillah, kami memilih yang AC.  Rada horor gitu hotelnya, catnya sudah mengelupas di beberapa sisi kamar. Tapi udah terlanjur sampai sini sih, yaudahlah kami juga lelah.

Setelah itu kami leyeh-leyeh sembari menikmati AC kamar sampai maghrib, sholat, mandi, sholat isya, terus browsing sambil liat-liat google maps, cari tempat makan di sekitar situ yang bisa sekalian buat nongkrong cantik bertukar kabar dan cerita. Dan kami baru menyadari ternyata hotelnya itu rada terpencil, gak ada lokasi bagus yang bisa jalan kaki aja. Hasil menjelajahi google maps, kami menemukan sebuah tempat yang lumayan dengan interior menarik, 11 menit jalan kaki kata google maps. Kami makan malam sekalian nongkrong cantik di Libreria Eatery. Pulang jam setengah 11, mampir indomaret, sampai hotel jam 11. Lantas tidur.

Paginya kami bangun, sholat shubuh kemudian mendiskusikan untuk pindah hotel aja yang lebih deket sama pusat kota buat menghemat waktu dan ongkos transport. Tercetuslah buat mencoba nelpon Hotel Gubeng. Kenapa Hotel Gubeng? Soalnya deket banget sama stasiun, tinggal jalan kaki 5 menit juga sampai. Ada kamar kosong tinggal 1, kelas ekonomi. Harganya 140k, kamar mandi dalam, fan, tv. Check in bebas tp check out jam 12. Akhirnya kami ambil deh. Setelah check out jam setengah 8, kami langsung nyegat taksi ke gubeng, kena 22k, terus check in sama naruh barang di Hotel Gubeng. Begitu masuk kamar, kami langsung merindukan AC di kamar lama.

Berhubung sejak pertama kali saya ke Surabaya, saya udah pengen banget ke Museum Sampoerna, pagi itu kami memutuskan main kesana. Meskipun kakak saya rada ogah soalnya udah dua kali kesana. Kami order gojek ke Sampoerna, satu gojek kena 17k. Sampai sana jam 9 kurang, museumnya belum buka. Terus mau naik bus heritage tour tapi penuh, pas banget yang daftar sebelum kami itu dapet seat terakhir. Berarti memang bukan rejeki. Kamipun daftar buat tour selanjutnya jam 1 siang nanti. Terus nunggu bentar, masuk museum, keluar museum masih jam setengah 11.

Sambil menunggu jam 1 siang, kami mencari tempat asyik yang bisa 10 menit jalan kaki. Lagi-lagi kami menjelajahi google maps, dan menemukan Jembatan Merah Plaza. Lalu kami jalan kaki ke JMP, ngirain mall ternyata cuma pusat grosiran. Masih mending ternyata bukan cuma jembatan. HAHAHA
Kami memutuskan cari makan aja berhubung paginya cuma sarapan roti, tapi ternyata tidak ada foodcourt di sini. Ada sih di lantai paling atas tapi ternyata belum buka, masih dibangun gitu. Sebenarnya ada banyak yang jual makan di luar JMP, tapi kami nggak mau soalnya kumuh gitu. Akhirnya kami ngemper-ngemper gak jelas gitu di JMP.

Kami punya 2 opsi: langsung ke Tunjungan Plaza sambil nunggu acaranya IDP di Sheraton Hotel jam 2 nanti, atau ke Museum BI yang kata google maps ada di sekitar JMP terus cari makan sambil nunggu jam 1 dan balik ke Museum Sampoerna, naik bus heritage sampai jam 2 terus langsung cus ke Sheraton. Setelah diskusi bentar akhirnya terpilih langsung ke Tunjungan Plaza.

Kita memutuskan mencoba naik len (angkot) soalnya udah pernah taksi sama gojek. Di taman depan JMP banyak angkot ngetem tp katanya gak ada len yang ke TP. Adanya bus damri yang nunggunya di pojokan. Pojokannya gak jelas yang mana, kita jalan aja, nyebrang jalan yang sama sampai 3 kali terus browsing. Nunggu di samping Hotel Ibis, ternyata gak lewat. Nah terus jalan terus sampai tikungan. Akhirnya naik taksi. Kalau ujung-ujungnya naik taksi kenapa gak dari awal aja ya, heu. Lagi-lagi menurut google maps, sebenernya dekat cuma 3 km dan tinggal lurus-lurus aja tapi entah malah diputerin dan kena macet karena bubaran Parade Bunga yang finish nya di balai kota, deket Tunjungan. FYI, hari itu memang pas ada Parade Bunga dalam rangka peringatan hari jadi Kota Surabaya ke-723. Udah ngelewatin TP pas argo belum nyampe 20k, tapi mesti muterin jalan dulu dan pas turun depan TP 1 argonya udah 38k :(

Yeaaay, akhirnya masuk TP dan hal yang pertama kami cari adalah foodcourt di lt 5. Habis kenyang, kami baru mencari mushola yang ternyata ada di tempat parkir lantai atasnya foodcourt. Setelah itu kami langsung ke Sheraton yang pintunya nyambung gitu sama mall. Terus masuk sekitar jam 2, keluar jam 4. Sholat ashar di TP lagi. Nah ini mulai gak beres, masa kami udah lupa jalan menuju mushola.


Kami memutuskan mau mampir Gramedia yang ada di TP mumpung di Surabaya, soalnya di Jember toko bukunya gak terlalu besar. Udah muter-muter tapi kami gak kunjung menemukan Gramedia, padahal tadi pas awal masuk sebelum makan udah sempet liat tapi lupa dimana. Cuma inget di lt 4, di lantai sebelum foodcourt. Kita muter-muter di lantai 4 yang berujung nanya sama satpam dan dikasih tau bahwa Gramedia ada di lt 4 TP 1. Ternyata kita udah nyasar sampai TP 5. Sumpah, gede bet nih mall.

Akhirnya ketemu lah si Gramed yang ternyata berada persis di bawah foodcourt. Yang dekat kadang malah gak terlihat, kuman di ujung lautan malah tampak. Ceritanya kakak saya sedang mencari buku IELTS tapi gak menemukan yang bagus. Pas ada yang bagus tinggal 1 aja, dan CD interaktifnya udah gak ada. Gak terasa ternyata udah jam 6 aja. Kamipun sholat maghrib di mushola tadi. Sempet bingung dan muter-muter bentar akhirnya memutuskan naik ke lantai atas aja terus muter lewat foodcourt aja. Rada muter gapapa deh yang penting jalannya udah familiar daripada nyasar lagi. Kami lelah nyasar.

Sholat maghrib sekalian isya, terus makan di foodcourt lagi, terus memutuskan jalan ke Gramedia yang ada di luar TP yang lagi-lagi kata google maps cuma 10 menit jalan kaki. Padahal sebenernya rasanya udah mau pingsan saking capeknya. Dan harus tetep fokus soalnya udah gak punya tenaga buat nyasar, juga soalnya gak bisa minta rescue atau minta dijemput aja sama temen atau sodara. Untunglah kami tidak perlu melewati proses nyasar untuk sampai di Gramedia satu ini, gedungnya unik, suasananya menyenangkan, capeknya mendadak hilang. Langsung menuju lt 2. Eh nemu buku yang pengen dibeli dan gak ada di Gramedia TP: Little Prince sama buku IELTS. Seneng bangeeet. Terus sempet muter2 sejam lah, liat buku buat bikin buku digital juga. Ih keren abis nih teknologi, kreatif. Bikinan indonesia katanya. Kita pulang jam 9 lebih lah, langsung nyegat taksi depan gramed. Kena 15k sampai Hotel Gubeng. Mandi terus langsung tepar. What a so long day.

Paginya bangun jam setengah 4 soalnya keretanya kakak saya Probowangi berangkat jam 4.25. Saya menemani kakak saya jalan kaki 5 menit ke Stasiun Gubeng Lama. Karena kereta saya Logawa jam 09.15, saya balik lagi ke hotel buat sholat shubuh, nonton tv, mandi, dan tidur-tiduran sebelum akhirnya check out dan pulang ke Jogja. Dengan melajunya kereta api menuju Jogja, berakhirlah weekend hectic yang kami rayakan di Surabaya.

Saya dan satu-satunya kakak saya itu memang punya problem yang sama dalam hal spasial aka sering nyasar bahkan di kota kami sendiri, Jogja. Gak di gunung, gak di dalam mall, di kota sendiri maupun di kota tetangga saya tetap saja nyasar. Anw selamat merayakan weekend, semoga weekendmu menyenangkan! :)

Masih dalam Pencarian

Tak perlu mati-matian mencari hal yang tidak dibawa mati.” –Emha Ainun Najib
Beberapa hari yang lalu saya ikut kelasnya Akademi Berbagi yang diisi sama Rene Suhardono. Yang membuat saya tertarik mengikuti kelas ini bukan karena pengisinya yang baru belakangan saya tau kalau beliau itu orang keren, tapi karena judul kelasnya Urip Iku Kudu Urup! Skills to design your life. Pas sekali buat saya yang sedang merasa mati di tubuh yang hidup. Sebenarnya saya sudah lama tau bahwa Akademi Berbagi sering mengadakan kelas dengan pembicara hebat soalnya kakak saya volunteer akber di Jember, tapi baru kali ini saya memutuskan untuk mencoba hadir di kelas akber. Sebelum ini saya sama sekali tidak mengenal mas Rene, saya baru mencari tau siapa Rene pas memutuskan daftar kelas akber. Dan ternyata beliau itu penulis buku yang saya sempat tertarik beli tapi belum jadi beli karena bukunya mahal :v
Jadi saya sama sekali belum pernah baca bukunya, apalagi tau bentukannya mas Rene.hehe

Dua jam sesi seru bersama mas Rene terasa sangat singkat karena ternyata beliau orangnya kocak abis. Kenapa gak ikut stand up comedy aja mas? Hehe. Sebenarnya mas Rene hanya melontarkan beberapa isu meresahkan yang sudah sempat saya pikirkan, yang terkubur oleh banyak hal permasalahan saya yang lebih urgent. Diantaranya mengenai bisnis pendidikan. Beliau menyinggung biaya Perguruan Tinggi yang begitu mahal, hanya demi mendapatkan selembar kertas ijazah dengan lambang tertentu. Seolah kita memang membeli selembar kertas, karena sering kali lulusan perguruan tinggi tidak siap bekerja dan tidak bisa apa-apa. Buktinya banyak kok lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Sistem pendidikan konvensional akan seperti Blue Bird saat muncul Gojek. Ada beberapa perusahaan yang sudah mengeluarkan teaser bahwa tidak tertarik pada selembar ijazah dan tingginya IPK.

Intinya memprotes sistem pendidikan formal di negeri kita yang masih sangat konvensional. Seorang anak dituntut menghapal semua materi pelajaran, dituntut mengejar ranking satu, dituntut kuliah di universitas ternama, dituntut segera lulus dengan IPK tinggi, lebih bagus lagi sudah mendapat pekerjaan sebelum lulus, dituntut langsung bekerja setelah lulus, kemudian menikah. Well, sebagai seorang anak saya mengakui adanya tuntutan tersebut dari orang tua saya.

Tanpa sengaja hidup kita di desain oleh orang lain dan lingkungan sekitar. Sering kali yang terpikir justru menyalahkan orang lain atau parahnya menyalahkan Tuhan:  yang menciptakan kita siapa, yang membentuk diri kita siapa? Jadi kalau kita tidak bahagia dan hidup kita hancur, salahin siapa? Padahal designer hidup kita ya diri kita sendiri.

Kadang saya merasa sistem yang ada itu tidak humanis. Semua orang dituntut sama, padahal di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar sama, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Mas Rene menganalogikan sebuah kelas yang berisi berbagai jenis binatang, lalu seorang guru meminta seisi kelas untuk memanjat pohon. Tentunya yang paling bersemangat adalah Monyet, dia dengan senang hati memanjat seberapa banyak pohon dan seberapa tinggi pohon yang ada. Gajah cukup kebingungan, kalau saya robohin pohonnya aja gimana pak? Dan yang merasa paling bodoh adalah Si Ikan, karena yang dia tahu hanyalah berenang. So, kenali dirimu sendiri, kenali potensimu.

Oh iya tentang mengenali diri sendiri, saya jadi mau cerita kalau beberapa hari yang lalu saya jatuh dari motor lagi. Jatuhnya pas berhenti di tikungan dan karena motor saya terlalu tinggi atau lebih tepatnya kaki saya terlalu pendek. Di tikungan itu ada lubang drainase yang secara kontur lebih rendah dari jalanan di sekitarnya. Oleh sebab itu, saya biasa berhenti sebelum tikungan. Tapi karena disitu ada orang lain, saya merasa aneh kalau saya berhenti terlalu mundur sebelum tikungan. Maka sayapun maju sedikit dan jatuh. Saya sering ditanyain sama orang-orang lantaran suka aneh kalau bawa motor. Misalnya dulu pas saya suka sengaja pelan-pelan biar kedapetan lampu merah, atau dulu mesti nurunin kaki kalau belok, atau mau nyeberang ke kanan tapi malah minggir ke kiri dulu, atau mau mundurin motor aja mesti turun dulu dari motor, dsb. Tapi itu semua saya lakukan dengan alasan, karena yang paling mengenali diri kita ya diri kita sendiri. Toh itu kan proses, sekarang saya tidak perlu menuggu lampu merah karena udah bisa ganti gear tanpa berhenti. Yang paling tau proses kita sampai dimana kan diri kita sendiri. Jangan kayak saya, pengen keliatan kayak orang-orang lain eh malah jatuh.

Passion is nothing without action. Tidak perlu koar-koar ke seluruh dunia atau setidaknya ke orang tua masing-masing, INI LOOOH PASSION SAYA. Karena mereka tidak peduli, toh yang mereka lihat itu creation. Saya sepakat dengan itu, karena selama ini orang tua saya termasuk yang membebaskan pilihan anaknya asalkan bertanggungjawab. Mereka cuma butuh bukti, seluruh dunia cuma butuh bukti bahwa passionmu itu ada wujudnya dalam bentuk kreasi. Kamu suka menggambar, kamu suka main musik, kamu suka menulis, tunjukkan kalau itu memang bisa menghasilkan uang, kalau passionmu ada wujudnya, kalau passionmu itu bisa buat hidup.

Pesan terakhir mas Rene, cari arah bukan tujuan. Toh kita tidak tau kapan kita mati, toh kalau arahnya sudah benar kita akan terus menuju tujuan yang benar. Kita tersesat bukan karena tidak tau mau kemana, tapi justru tidak tau berada dimana. 

Foto bareng Rene
Sumber: nyolong dari twitternya @EDUHostelJogja



Wednesday 19 October 2016

Dongeng (bagian 1)

Diantara hujan badai keresahan yang melanda, aku mencoba masih mendengarkan dentingan Logika yang mengalun sayup-sayup di udara yang begitu pekat oleh kemunafikan ini. Aku hanya penasaran, sebenarnya apa yang tengah terjadi hingga Perasaan bisa mencengkram erat kaki-kaki mungil yang hendak melangkah. Mungkin Logika bisa menuturkan kisah itu melalui gendingnya.

Gending Logika selalu mengalun mengiringi drama Perasaan. Namun tak jarang orang hanya menikmati alur teatrikal yang diperankan sebegitu hebat oleh Perasaan, tanpa mengindahkan alunan Logika yang sebenarnya merupakan pelengkap dalam pentas ini.

Alkisah Logika dan Perasaan merupakan pasangan romantis yang bersemayam dalam satu tubuh. 

Perasaan memiliki banyak anak, yang terbagi menjadi dua kubu besar: kubu hitam dan kubu putih. Kubu hitam terdiri dari amarah, benci, iri, dengki, dendam, sedih, takut, cemas, dan teman-temannya. Sedangkan kubu putih terdiri dari cinta, rindu, sayang, senang, gembira, bahagia, simpati, haru, dan teman-teman yang lain. Sebagian dari mereka memang saling bertolak belakang, tapi masing-masing kubu tidak pernah bisa dikategorikan sebagai kubu yang jahat atau kubu yang baik. 

Karena ada Perspektif yang berperan sebagai hakim dalam setiap permainan kecil dan persaingan sengit di antara mereka. Perspektif memiliki banyak muka, itulah mengapa Perasaan tak pernah bisa murni benar atau salah. Selain itu, ada juga anak Perasaan yang berdiri diantara dua kubu, yaitu kosong dan hambar. Mereka jarang terlibat konflik, tapi biasanya muncul ketika perseteruan semakin kompleks dan nyaris seri.




Friday 7 October 2016

Teori Berkendara

Saya termasuk golongan manusia yang terlambat dalam belajar berkendara, baik belajar bersepeda, belajar mengendarai motor, bahkan mobil.

Sebenarnya secara teknis, saya sudah bisa mengendarai sepeda roda 2 semenjak entah kelas berapa SD. Tapi saya selalu bermasalah dengan rasa percaya diri dalam mempraktikkannya, padahal cuma muter-muter kampung bersama teman-teman sepantaran saya dalam neighborhood rumah tinggal saya. Saya selalu jadi pihak yang nebeng, dan teman-teman saya tak pernah berkeberatan memboncengkan saya mengingat berat badan saya yang tak seberapa, apalagi waktu saya SD.


Alhasil saya semakin tidak terlatih dalam bersepeda. Saya selalu berkelit bahwa dengan tidak mempunyai sepeda sendiri, wajar saja saya tidak terlalu mahir bersepeda karena tidak terbiasa. Ditambah tinggi badan saya yang tidak seberapa membuat saya cenderung enggan mencoba sepeda-sepeda ukuran besar yang kaki saya tidak sampai untuk menapak tanah. Sampai sekarang, saya masih merasa ngeri kalau diminta bersepeda di jalan raya yang ramai bersama kendaraan-kendaraan bermotor yang lain. Kalau di lingkungan perumahan, saya masih berani sih.

Berlanjut dalam belajar motor, ayah saya membekali teori-teori sederhana sebelum praktik. Ayah saya tipikal yang tidak mau mengajari anaknya dengan cara memboncengkan dalam satu motor, katanya nanti lama belajarnya, gak cepet bisa. Maka sedari awal kami selalu membawa motor sendiri-sendiri. Saya pegang motor sendiri, lalu ayah saya membuntuti saya dari belakang. Langkah awal belajar motor bersama ayah saya adalah dengan merasakan berat motor itu. Saya berada pada posisi siap mengemudi motor tapi mesin belum dinyalakan, lalu ayah saya memiringkan motor ke kanan dan ke kiri dan saya harus menahannya supaya motor tidak jatuh. Selanjutnya setelah saya sudah familiar dengan beban motor, kami berpindah ke jalan lurus yang panjang tapi sepi, contohnya adalah jalan masuk perumahan. Disini saya harus bolak balik untuk membiasakan diri dengan motor dan membiasakan belok kanan dan belok kiri.


Setelah dirasa cukup, barulah turun ke jalan raya. Turun ke jalan raya juga diawali jalan-jalan putar-putar kota pada jam sepi, misalnya pagi hari sebelum jam 6 pagi. Setelah melalui serangkaian latihan itu, baru saya berani bawa motor sendiri ke kampus. Awal mula bawa motor, saya selalu menghindari jam sibuk, sengaja pulang malam supaya jalanan lebih lega. Dan pada waktu itu saya masih belum bisa memindah persneling tanpa berhenti, jadi bahkan sering kali saya sengaja menunggu lampu hijau berganti merah supaya saya bisa istirahat sejenak. LOL. Metode yang dilatihkan ayah saya kepada saya itu cukup berhasil untuk saya, namun kelemahannya saya jadi kesulitan memboncengkan orang karena terbiasa sendiri.

Kemampuan berkendara saya meningkat semakin sering digunakan. Yeah, practice make perfect, right? Dulu kaki saya selalu gemetaran gak jelas setiap habis berkendara cukup jauh, misalnya dari rumah menuju kampus. Setelah sekian lama barulah saya sudah merasa nyaman berkendara pada jam berapapun, menuju tempat manapun. Well, kecuali jalan-jalan dengan kontur ekstrem. Tapi maksudnya, untuk berkendara dalam kota saya cukup oke lah. Saya sudah bisa berkendara dengan pikiran melayang kemana-mana tapi tetap dengan refleks yang baik.

Sampai sekarang saya tidak terbiasa berkendara dengan kaca helm tertutup, dengan masker dan sarung tangan, juga sambil mendengarkan musik melalui headset. Why? Dengan menutup kaca helm, pakai masker dan sarung tangan, juga pakai jaket tebal, saya merasa sedang berada dalam robot. Bayangan saya seperti saya sedang berada di dalam robot dan mengendalikan Megazord, robot raksasanya power ranger. Saya jadi kesulitan memperkirakan jarak di luar 'tubuh robot' dari dalam sini. Selain itu dengan menutup kaca helm atau menggunakan masker, ekspresi kita jadi tidak terlihat oleh pengguna jalan yang lain. Padahal menurut saya ekspresi atau gestur dalam berkendara itu cukup penting. Dan dalam berkendara, kita harus sebisa mungkin terbaca oleh pengguna jalan yang lain, attitude kita harus terduga.

Dalam salah satu lamunan saya di atas motor, saya pernah berpikir bahwa dalam berkendara kita bisa menjadi Alfa atau Beta. Hal ini terutama terlihat ketika kita akan menyeberang jalan. Sang Alfa bisa menunjukkan otoritasnya dengan menembakkan lampu jauh (untuk motor kopling dan mobil), atau bisa juga dengan membunyikan klakson, yang menandakan bahwa dia mau lewat duluan, silahkan yang lain beri jalan.

Saya sering mengamati ekspresi atau gestur pengguna jalan lain sebelum memutuskan akan menyeberang duluan atau justru mengalah. Saya harus tau dulu, disitu apakah saya Sang Alfa, Beta, atau bukan siapa-siapa.

Well, berhubung saya menulis ini sembari menunggu jam istirahat selesai, dan sholat jumat sudah selesai, maka saya cukupkan sekian saja. Anw, selamat Hari Jumat, semoga Jumatmu penuh berkah!



Monday 1 August 2016

Di Balik Awal yang Baik

Ini merupakan awal bulan sekaligus awal pekan yang menyenangkan. Setelah sekian lama tidak kembali ke Bantul, hari ini saya memutuskan kembali ke Dinas PU Bantul untuk meminjam dokumen RDTR. Siapa sangka ternyata saya justru mendapatkan shp file nya juga. Just for your information, instansi biasanya pelit urusan yang satu ini. Mahasiswa yang se-major sama saya pasti udah pengalaman banget lah ya, jadi korban ribetnya birokrasi di negeri ini. Dari mulai ditolak dinas dengan berbagai alasan, diputer-puterin dari satu dinas ke dinas yang lain, sampai di php in masalah data. Intinya mencari data sekunder di instansi pemerintah, kalau anda sedang tidak beruntung, ribetnya bisa luar biasa. Tapi tidak dengan hari ini, sepertinya saya sedang beruntung. Thanks God, for this nice first day on August.

Saya bahkan beranggapan untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan, terkadang kita perlu melakukan semacam 'merayu'. OMG, don't call me bitch because of this crazy opinion. Yang saya maksud merayu disini adalah dengan berdandan dengan tak cukup sekedar rapi tapi juga menarik. Menggunakan baju yang memang kita tampak bagus mengenakan itu, mengusahakan matching dari atas sampai bawah. Atau bila perlu menggunakan sedikit sentuhan make up seperti bedak, eyeliner, lipstik menurut saya sudah cukup. But, it's work. Mungkin kalau saya tidak berjilbab, sekalian aja buka satu atau dua kancing kemeja bagian atas. Ini bukan bermaksud nakal atau menggoda, hanya demi mendapatkan data dengan mulus dan cepat aja. Prinsip ini tidak hanya berlaku untuk lawan jenis saja, toh semua orang baik perempuan ataupun laki-laki menilai seseorang pertama kali dari tampilan fisiknya.

Penampilan itu segalanya, minimal first impression kita harus bagus. Peduli amat sama impression ke sekian yang terus bakal berkembang seiring semakin seringnya interaksi dilakukan.

Mungkin ini bisa dianalogikan seperti IPK. Ada yang bilang IPK tinggi itu bukan segalanya, yang penting softskill kita. Tapi sebenarnya IPK bagus itu kan tiketnya. Tanpa IPK bagus, meskipun softskill kita bagus tetap saja kita tidak bisa diterima di perusahaan x, misalnya. Menurut saya begitu juga dengan penampilan fisik, fisik menarik itu bukan segalanya, tapi itu tiket. Tak heran semua teman-teman saya mendadak jadi cantik, dan semakin banyak klinik perawatan kecantikan bertebaran disana sini. Mungkin tuntutan cantik di lingkungan dewasa ini semakin meningkat.

Bahkan seorang teman laki-laki pernah secara lugas mengatakan bahwa dia pasti akan menuntut kecantikan dari istrinya siapapun itu nanti.

Cantik? Itu kan relatif. Dan lagi, ada yang lebih penting dari kulit yaitu isinya. Percuma cantik kalau gak punya inner beauty, percuma cantik kalau kelakuan minus, percuma cantik kalau gak diimbangi sama kecerdasan. So, jangan cuma sibuk mempercantik fisik, jangan lupa percantik attitude juga. Satu kertas tempelan di cermin saya yang tiba-tiba terlintas ketika menulis ini, bahkan dalam islam arti dari doa ketika bercermin adalah: ya Allah, sebagaimana Engkau berikan aku rupa yang baik, maka jadikanlah padaku akhlak yang baik.

Di luar itu semua, di luar tuntutan tampil cantik, saya tidak berniat berusaha memikat siapapun. Bukan begitu seharusnya perempuan bersikap? Bukan begitu tujuan adanya hijab?

Demikian, saya berharap skripsi yang penuh drama dan air mata ini segera terselesaikan. Kapan-kapan saya kisahkan drama penuh air mata itu, tapi tidak sekarang. Selamat malam!

Saturday 30 July 2016

Anti Sosial

Menurut saya sebenarnya tidak ada manusia yang literraly anti sosial. Semua orang pada dasarnya menyukai interaksi dengan sesamanya. Oke, bukan menyukai tapi lebih tepatnya membutuhkan interaksi dengan orang lain. Seorang teman pernah bilang sembari main pijet-pijetan tangan, 'Bersentuhan dengan sesama manusia itu menyenangkan, mon.'

Well ya, manusia membutuhkan interaksi dengan manusia lain berkaitan dengan sifat alamiahnya sebagai makhluk sosial. Dan ada yang namanya pembagian peran. Pembagian peran dalam masyarakat ini penting untuk mencapai efisiensi. Akan lebih efisien jika seseorang memilih suatu bidang untuk ditekuni, kemudian saling bertukar dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan dari jaman entah berantah aja masyarakat sudah mengenal yang namanya barter, yang sekarang berkembang jadi jual beli menggunakan uang.

Seorang partner diskusi saya pernah beride, mungkin di kehidupan yang akan datang sudah tidak akan ada lagi uang berbentuk fisik, semuanya jadi uang digital/uang elektronik. Ide ini muncul ketika kami harus menunggu cukup lama untuk dicarikan uang kembalian lantaran kami sama-sama tidak memiliki uang kecil untuk membayar. Sungguh efisien kalau semua pembayaran apapun tinggal gesek atau tap, gak ada lagi perlu mendengar kalimat sejenis 'duh, nggak ada uang kecil mbak'. Tapi repot juga ya kalo tiba-tiba listrik dan internet mati total, semua transaksi bisa pending. 

Kembali pada interaksi sosial, akan sangat merepotkan kalau kita harus memenuhi kebutuhan dari ujung kaki sampai ujung rambut, dengan produksi sendiri. Mungkin ada yang gak sepakat ya, soalnya ada juga konsep masyarakat madani. Tapi kan itu masyarakat, yang bermakna kumpulan orang, bukan satu orang. Dalam masyarakat madani juga pasti dibutuhkan interaksi sosial. Selain itu setiap negara agraris pasti menginginkan menjadi negara swasembada pangan. Artinya minimal bisa memenuhi kebutuhan pangan domestik tanpa impor, ya dengan memproduksi sendiri. Dan lagi-lagi ini negara, yang jelas terdiri dari lebih dari satu orang.

Di atas saya baru membicarakan urusan fungsional, kebutuhan interaksi karena mayoritas kebutuhan fisik di luar sex. Saya bingung mengkategorikan sex termasuk kebutuhan fisik atau bukan. Apapun itu, ada banyak lainnya yang mengakomodasi kebutuhan lainnya, kebutuhan batin misalnya. Selain untuk memenuhi kebutuhan yang dari ujung kaki sampai ujung rambut itu, seorang perlu berinteraksi dengan sesamanya bahkan hanya untuk berbincang. Everyone needs to comfort others, begitu juga sebaliknya. Dan yang kali ini mendorong saya untuk menulis ini, kebutuhan akan eksistensi.

Istilah anti-sosial yang kerap digunakan saat ini lebih merujuk pada yang gak punya atau gak aktif sosmed, yang jarang mau ikutan kongkow, yang jarang mau diajakin ngegahol party-party gitu, yang anak rumahan banget lah.

Adapun orang yang dianggap anti sosial, biasanya karena mereka merasa tidak nyaman berinteraksi dengan sesamanya. Dan ketidaknyamanan ini pasti dipicu alasan tertentu dibaliknya. Dan kemungkinan besar dari lubuk hati yang terdalam, ada keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain. Hanya saja terkadang keinginan itu terkubur oleh ketidaknyamanan atau memang sengaja dikubur dalam-dalam.

Salah satu alasannya mungkin ketidakmampuan menyamai frekuensi pembicaraan ataupun gaya hidup lingkungan tersebut. Ketidakmampuan ini bisa disebabkan bermacam-macam, seperti finansial hingga intelektual. Intinya tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. 

Sudah bukan rahasia umum bahwa mereka yang berbeda, tidak mendapat tempat di masyarakat. Masyarakat menyukai homogenitas. Seperti data dalam penelitian deduktif kuantitatif, jika ada yg terlalu berbeda atau yang sering disebut sebagai outsider, maka alangkah baiknya data tsb dibuang dan tidak dimasukkan dalam penelitian karena akan merusak statistik. Untuk itu ada juga penelitian induktif kualitatif, untuk mengakomodasi para outsider yg tersisih ini. Padahal mungkin saja sebenarnya tidak ada orang yang benar-benar anti mainstream dan berbeda. Mereka mungkin belum ketemu aja sama yang sealiran, sehingga mereka selalu dianggap outsider.

Sebenarnya postingan ini bisa lebih panjang dengan membahas sebenarnya sosial itu apa, membahas perkembangan sosial di beberapa tempat yang berbeda, juga mungkin mengutip pendapat para ahli. Sosial dan humanity memang selalu menarik untuk diamati dan didiskusikan, karena laboratoriumnya sangat besar. Seluruh kota ini bisa kok, dijadikan laboratorium pengamatan. Tapi cukup, malam ini toh saya menulis hanya untuk meredakan serangan rutin confusion. Selamat malam minggu!

Wednesday 27 July 2016

Murdering Confusion From My Mind

Saya sedang butuh banyak racun sebagai penawar rasa. Misalnya playlist yang sama sekali asing ditelinga ketika sedang mengerjakan pekerjaan yang literally membosankan dan bikin baper. Udah membosankan, eh tiba-tiba terlintas dalam pikiran: akankah yang sedang saya lakukan saat ini bermanfaat? Setelah ini selesai apakah ini akan terpakai? Hal seperti itulah yang membuat pengerjaan yang harusnya mudah menjadi berjalan sangat lambat. Menyebalkan bukan? Makanya diperlukan pengalih perhatian sejenis sealbum penuh lagunya Pure Saturday, yang entah darimana saya dapatkan tiba-tiba ada di folder Leisure di laptop. Ternyata mendengarkan lagu-lagu ini cukup membuat saya adem dan minim emosi. Mungkin karena sebelumnya saya tidak pernah mendengarkan lagu-lagu ini sehingga tidak ada memori yang terbangkitkan ketika mendengar lagu-lagu ini. Mengapa mendengarkan lagu-lagu yang tidak sarat memori itu penting? Well karena saya orangnya baperan, sungguh mengganggu ketika mendadak baper di saat harus produktif.

Selama ini saya terbiasa hidup penuh racun. Saya membiarkan diri saya atau lebih tepatnya pikiran saya teracuni oleh segala hal yang bersentuhan dengan saya. Sesederhana apa yang saya lihat di sepanjang jalan menuju kampus, atau sesederhana berita di koran pagi itu. Dan ketika saya kehabisan stock racun pikiran karena semakin sedikit yang men-supply saya racun-racun pikiran ini, saya mulai sakaw. Tidak ada lagi kalimat-kalimat dari para dosen yang menjadi newsfeed otak saya untuk melakukan brainstorming, lantaran saya sudah hampir dua tahun vakum kegiatan perkuliahan.Tidak ada lagi diskusi atau seminar-seminar dengan topik yang saya minati yang bisa saya datangi begitu saja. Tidak ada lagi obrolan random di lincak mengenai isu hangat nasional bahkan internasional. Tidak ada lagi partner diskusi mengenai hal-hal abstrak. Tidak ada lagi orang yang rutin bertanya mengenai keseharian hidup saya dan bercerita tentang keseharian hidupnya. Tidak ada lagi, sungguh tidak ada lagi supply racun bagi pikiran dan curiousity saya.

Sejauh ini saya hanya berhasil meracuni diri saya dengan membuat beberapa mini project. Salah satunya adalah belajar merajut, mumpung ada teman yang dengan senang hati dan penuh kesabaran bersedia mengajari saya.

Masih banyak racun-racun yang sudah masuk list untuk segera dihirup dan dihayati. Diantaranya banyak belajar mengenai hal-hal baru seperti menyetir mobil dan berenang, atau belajar hal-hal (yang mereka sebut keahlian wajib perempuan) sejenis menjahit dan memasak. Menghabiskan setumpuk novel dan majalah NatGeo. Jalan-jalan dan mengunjungi event seni di kota ini. Project bikin Daily Journal yang hingga hari ini tidak kunjung jalan karena saya kehilangan kemampuan menulis. Project bikin totebag kanvas sebagai target pertama belajar mesin jahit. Project belajar bahasa prancis dan belajar bahasa inggris lagi. Project jogging at least tiap minggu pagi. Dan beberapa project untuk mendekatkan diri pada sang pencipta. Sungguh, berhubungan dengan sang pencipta merupakan penawar rasa tersendiri.

Saya masih sangat kesulitan dalam belajar menyetir mobil, dan saya masih sangat bisa baper dengan aktivitas belajar mobil ini. Jangan tanya kenapa. Jadi untuk sementara sampai saya bisa menguasai diri saya sendiri, saya memutuskan untuk berhenti belajar nyetir dulu.

Sebenarnya seberapa pahitnya rasa yang saya telan sih, sampai sudah sebanyak itu racun yang saya jejalkan pada diri saya tapi rasanya selalu kurang. Mungkin saya memang sedang kecanduan, jadi dosisnya memang selalu nagih buat ditambah. Well, saya mungkin kecanduan asmara. Padahal asmara toh termasuk racun yang saya coba untuk menawar rasa. Dan ternyata racun yang satu ini berdampak lebih mengerikan daripada rasa yang sedang berusaha saya tawar itu sendiri. Saya menyesal coba-coba.

It’s look like i’m so hopeless and helpless but why i still do every single that fuck things? Padahal seorang yang sedang merasa terpuruk cenderung tidak melakukan hal-hal yang berkaitan dengan masa depan. Untuk apa saya belajar ini itu bila katakanlah saya tidak ingin hidup di dunia ini? Saya juga tidak mengerti, nyatanya saya merasa perlu menyibukkan diri dan pikiran saya dengan hal-hal yang positif.


Satu lagi, saya akui saya belum bisa berdamai dengan diri saya sendiri. Saya masih selalu merasakan desiran ketika berhubungan dengan sesuatu yang tidak pernah saya miliki atau gagal saya dapatkan. Seperti ketika saya berinteraksi dengan para mahasiswa kedokteran karena saya tidak berhasil menjadi salah satu dari mereka. Atau ketika berinteraksi dengan perempuan yang mampu memenangkan hati seorang lelaki yang pernah saya dambakan. Atau ketika teman saya mencibir hal yang baru saya dapatkan saat ini lantaran dia sudah mendapatkannya dari dulu dan sudah bosan kemudian meninggalkannya. Prek! Rasanya seperti sedang memacari mantan pacarnya temen deket kita. Oke, secara sederhananya semua itu bisa digantikan oleh satu kata: cemburu. Tapi tenang saja, saya tidak akan pernah membiarkan rasa cemburu mengiris hati ini berkembang menjadi something like iri dengki membunuh jiwa. Caranya? Dengan sejuta racun, biarlah kuluruh rasa.


Wednesday 20 July 2016

Kita Masih Teman, Kan?

Beberapa waktu yang lalu saya berkumpul kembali bersama dua orang sahabat baik saya waktu SMA. Sudah sekitar setahun ini saya tak bersua dengan keduanya. Salah satunya baru pulang dari Eropa, dan satu yang lain sudah menjadi guru yang bergelar ustadzah di sekolah islami. Sejak menginjak bangku perkuliahan, kami memang sudah jarang bertemu karena kesibukan masing-masing di tiga kampus yang berbeda. Kami masing-masing memiliki lingkaran pertemanan baru yang mungkin hampir sepenuhnya berbeda.

Tapi ternyata ketika kami memutuskan untuk bertemu kembali, saya masih merasakan dorongan yang menyebabkan kami berteman. Ternyata persahabatan kita tidak kadaluarsa. Just for your information, kami bertiga tidak pernah satu kelas selama SMA, dan juga kami bukan teman TK-SD-SMP. Dari segi kepribadian jelas beda, lingkungan pergaulan beda, gaya hidup beda. Lalu apa yang menyatukan kami? Sayapun tak tau. Just because.

Teman saya yang lain pernah mengatakan bahwa landasan pertemanan dibangun dari kebutuhan akan sesuatu. Maka akan dikenal teman yang datang hanya ketika dia butuh saja, dan yang selalu ada saat senang dan susah.

Saya setuju dengan pernyataan teman saya, meskipun saya tetap akan mengucapkan kalimat tersebut dengan nada datar biasa, bukan nada nyinyir. Menurut saya, setiap pertemanan pasti selalu mengandung kepentingan, sekecil apapun maksud yang tersembunyi tersebut. Minimal sesederhana pentingnya memiliki teman ngobrol.

Tapi bukankah memang demikian, buat apa berteman dengan orang yang hanya akan merugikan kita? Meskipun begitu, saya percaya bahwa setiap manusia itu tidak pernah selalu murni jahat atau sepenuhnya murni baik hati. Memangnya tokoh sinetron! Berdasarkan keyakinan saya di atas, menurut saya tidak ada teman yang hanya akan merugikan kita, suatu hari entah kapan pasti pertemanan itu saling menguntungkan kok. Dan kepentingan-kepentingan yang terselip itu tidak bisa dikotak-kotakkan hanya menjadi hitam dan putih. Jahat atau baik itu kan persepsi, tergantung dari sudut mana menilainya.

Misalnya si A berteman dengan si juara kelas agar ikutan jadi pintar menghitung matematika, disamping itu si A juga berteman dengan si anak hits biar ketularan jadi anak gaul kekinian. Lantas apakah si A telah menjahati si juara kelas dan si anak hits?

Terkadang yang lebih bisa selalu merasa dimanfaatkan sama yang lebih nggak bisa. Padahal nggak semua yang lebih nggak bisa hanya mengambil keuntungan dengan berteman sama yang lebih bisa.

Biasanya perempuan selalu memiliki minimal seorang sahabat. Tapi sepertinya saya tidak termasuk salah satunya. Bukan saya, yang memutuskan hubungan pertemanan atau sengaja menjadi anti sosial, tapi itu terjadi begitu saja. Menurut saya sebuah pertemanan itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Pertemanan itu hubungan yang terjadi secara alami dan naluriah, dan tanpa perlu diawali oleh pertanyaan sejenis, 'mau nggak kamu jadi temenku?' selayaknya dua orang sejoli yang akan menjalin hubungan lebih dari pertemanan. Pertemanan bisa terjadi karena kesamaan hobi, kesamaan rutinitas, kesamaan selera dalam memilih makanan, pakaian, atau karena bisa ngobrol asyik aja. Dan walaupun memiliki berbagai kesamaan tidak lantas menjadikan dua pribadi otomatis berteman akrab. Saya sendiri tidak bisa menjabarkan bilamana seorang individu bisa cocok berteman dengan individu yang lain, dan tidak bisa cocok dengan individu yang lainnya. Pertemanan itu terjadi begitu saja.

Sejujurnya saya menulis topik random ini karena saya merindukan teman-teman lama saya yang entah kemana, atau justru saya yang entah dimana hingga tak bersama mereka. Dan ternyata saya juga merindukan teman-teman yang hampir setiap hari masih bisa saya temui tapi tetap saja saya rindukan karena walau dekat terasa jauh. Toh yang dirindukan itu kan momen, bukan person.



Monday 30 May 2016

Kecelakaan

Pagi ini aku melihat kecelakaan kendaraan bermotor di jakal bawah, sekitar jam 7 pagi. Aku tidak melihat pasti kejadiannya, yang jelas korbannya adalah dua motor. Satu bapak tergeletak ditengah jalan, lalu ada anak kecil berseragam sekolah yg menangis dipinggir jalan sambil memegangi kakinya yg terluka. Dan ada satu orang lainnya.

Kecelakaan di persimpangan tugu pal putih kemarin pagi saja belum selesai menerbitkan kengerian di benakku. Pagi ini aku sudah melihat langsung kecelakaan lainnya. Sebenarnya Tuhan hendak mengatakan apa padaku? Aku tidak melihat langsung kecelakaan di tugu kemarin pagi, tapi melihat foto dan deskrisinya di timeline sosial media saja sudah membuatku merinding. Sebuah mobil avanza setelah menabrak motor, membanting stirnya ke pembatas jalan dan menabrak loper koran hingga terjepit di bawah mobil. Itu saja, aku belum mencari tahu berita selengkapnya. Aku sudah merasa cukup ngilu. 

Tuhan memberitahuku banyak hal dengan cara tidak biasa. Sepertinya kali ini Tuhan ingin menyampaikan pesan padaku: hati-hati di jalan,  jangan ngebut-ngebut! Betapa romantisnya Dia padaku.

Menurutku, selain faktor x dari Tuhan, penyebab kecelakaan lalu lintas bisa dikategorikan menjadi 2: pertama kurangnya kapasitas pengendara, dan yang kedua ketergesaan atau kecerobohan. 

Dulu waktu awal-awal aku mengendarai motor di jalan raya, aku pernah jatuh hanya karena aku belum benar-benar bisa mengendalikan motor pada lalu lintas yang padat. Lalu saat aku sudah bisa mengendalikan motor dengan baik dan benar, aku pernah jatuh karena tergesa-gesa lantaran tidak ingin kehujanan di jalan. Bagiku berkendara di jalanan itu hanya masalah pengendalian diri.

Aku tidak akan menyalahkan pengendara yang melaju dengan kecepatan tinggi, asalkan tidak hilang kendali. Asalkan tidak merugikan orang lain, menurutku semua orang bebas melakukan apapun. Itu saja, selamat pagi!

Tuesday 19 April 2016

Attention, please!

Mengapa kita perlu mengungkapkan rasa sayang kita pada orang lain?

Karena tidak semua orang sadar bahwa dirinya disayangi.

Toh pada dasarnya semua orang butuh diperhatikan. Maka ketika seseorang atau sekelompok orang merasa tidak diperhatikan, mereka akan berusaha mencari perhatian. Apabila cara damai gagal menarik perhatian, mereka beralih menggunakan cara rusuh, dan bila keduanya juga tidak mempan, masih ada cara ke-3 yaitu aksi dramatis melankolis untuk menarik simpati seluruh dunia. Itu menurut saya.

Akhir-akhir ini #dipasungsemen ramai diperbincangkan masyarakat di dunia maya dan hadir pula dalam obrolan nyata di tempat-tempat nongkrong mahasiswa. Aksi 9 petani perempuan yang rela kedua kakinya dipasung semen, menyentuh sisi kemanusiaan manusia yang masih memilikinya. Bisa jadi aksi mereka tulus mencari perhatian seantero nusantara, hingga mereka didengar presiden dan dibela hak-haknya. Bisa jadi juga mereka dicekoki pihak LSM dan lembaga-lembaga berkepentingan yang memanfaatkan kepolosan para petani desa untuk mencapai kepentingan mereka. Saya tidak tahu mana yang benar, karena semua hal saat ini selalu ditumpangi kepentingan politik. Bahkan katanya, saat ini sudah susah dibedakan mana aktivis lingkungan yang memang peduli pada bumi dan ekologisnya dengan mana yang menggembor-gemborkan aksi anti global warming demi kepentingan sendiri.

Senior saya pernah bercerita mengenai konsep REDD+ dan carbon trading yang intinya Indonesia sebagai negara yang berada pada belahan bumi beriklim tropis tidak boleh mengurangi luasan hutan, bertanggungjawab mengimbangi emisi karbon dari negara-negara industri dengan hutan-hutan hujan tropisnya yang lebat. Terdapat kesepakatan bahwa setiap negara memiliki batasan maksimal emisi karbon, apabila negara tersebut mengeluarkan emisi karbon lebih dari batasan yang ditentukan maka negara tersebut harus membayar pada negara yang emisi karbonnya kurang dari ambang batas maksimal. Terkadang saya merasa ini bentuk baru dari penjajahan. Neo-imperialism. Mereka para negara maju terus mengembangkan industri mereka hingga makin maju, sedangkan negara berkembang dilarang mengembangkan industrinya dengan dalih menjaga keseimbangan alam. Meskipun negara maju membayar biaya kelebihan emisi pada negara berkembang, namun saya rasa seberapapun jumlah yang mereka bayar tetap tidak mengubah negara berkembang menjadi negara maju.

Hal ini seperti sebuah keluarga yang miskin dimana sang kakak menyuruh sang adik untuk berhemat agar mereka berdua bisa makan layak 3 kali dalam sehari, namun disisi lain ternyata sang kakak menyuruh sang adik berhemat demi kepentingannya sendiri supaya dia bisa membeli barang-barang branded.

Kembali pada kebutuhan manusia akan perhatian, manusia yang kelewat frustasi parah dan haus perhatian bahkan rela bunuh diri untuk mengundang simpati massa. Mereka yang demikian, biasanya sengaja bunuh diri di keramain seperti melompat dari lantai atas Mall. 

Hari ini saya membaca koran yang memberitakan Mohamed Bouazizi, seorang pemuda Tunisia yang bunuh diri dengan membakar dirinya di keramaian pasar karena putus asa terhadap hidupnya, akibat perlakuan semena-mena dari rezim diktator yang tengah berkuasa. Tapi kemudian aksi tersebut justru menyulut kemarahan masyarakat luas pada rezim yang saat itu sedang berkuasa dan mendorong pemberontakan revolusioner. Bahkan aksi bunuh diri Bouazizi justru menjadi simbol perlawanan terhadap rezim diktator, tak hanya di Tunisia tapi juga merembet di negara-negara sekitarnya.

Saya pernah membaca novel percintaan karangan Mira W. Ceritanya ada sepasang kekasih, kemudian si laki-laki ternyata jatuh cinta pada sahabat si perempuan. Dan ternyata cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, sang sahabat perempuan juga mencintai pacar sahabatnya. Perempuan yang dikhianati ini lalu melakukan bunuh diri, namun gagal. Dia terus mengancam pasangan yang sama-sama sedang jatuh cinta itu untuk berpisah bila tidak ingin dirinya bunuh diri lagi. Nah, disini kadang saya merasa itu merupakan perbuatan curang. Atas dasar humanisme, yang mana berada di atas kepentingan cinta dan kepentingan apapun, tentu saja segala keinginannya akan mudah terpenuhi. 

Seperti hal nya aksi demonstrasi yang sudah menyentuh sisi humanisme, aksi penyiksaan diri yang bisa berbuntut pada kematian, aksi mogok makan, dsb, mungkin akan lebih cepat terpenuhi tuntutannya, dengan terpaksa tapi.

Menurut saya agak kurang fair menuntut sesuatu dengan cara menekan sisi humanisme seseorang/publik. Masih ada banyak cara lain yang lebih berkelas, menurut saya, seperti berdialog atau melakukan kajian analisis untuk pengambilan keputusan yang melibatkan kepentingan banyak pihak. Namun ketika segalanya selalu diputuskan sepihak, dan kepentingan mereka yang lemah tidak lagi di dengar, mungkin mencari perhatian dengan drama melankolia menjadi satu-satunya alternatif yang bisa digunakan.

Sekali lagi, tidak semua orang sadar bahwa dirinya diperdulikan. Sebaiknya kita mulai mengungkapkan kepedulian kita pada orang-orang di sekitar kita sebelum mereka mencari perhatian dengan caranya masing-masing. Tidak perlulah kita menunggu datangnya drama melankolia yang lain. Ketika semua pihak sadar bahwa kepentingannya tidak diabaikan, mungkin tidak akan ada lagi drama. Hingga semua orang jenuh, muak dengan keseimbangan dan mulai merindukan drama kehidupan lagi.


Tuesday 12 April 2016

Childhood

Akhir-akhir ini beberapa teman sering mengeluarkan celetukan yang intinya menyindir mereka-mereka yang begitu membanggakan kebahagiaan masa kecilnya dengan berbagai permainan anak, artis anak yang menyanyikan lagu anak-anak, serta film kartun yang ngehits pada masanya. Seolah-olah anak kelahiran satu dekade setelah mereka tidak memiliki masa kecil yang bahagia karena saat ini permainan anak-anak sudah mulai kehilangan daya tarik, kalah saing dengan teknologi bernama gadget. 

Padahal toh setiap angkatan mempunyai romantismenya masing-masing.

Kemudian saya teringat masa-masa kecil saya bersama anak-anak sepantaran saya di sekitar rumah saya. Kami sering bermain petak umpet, kasti, gobak sodor, dan jekjekan di halaman masjid apabila tidak ada jadwal TPA. Kadang kami sepedaan mengitari kompleks, atau bermain petualangan-mesin-waktu, bermain peran-jadi-powerranger atau Tokyo Miu Miu, atau sekedar main barbie, main catur, main dakon, atau main bekel. Atau kadang di minggu pagi kami meminjam bola basket milik mas-mas yang ngekost di rumah teman saya terus sok-sokan main basket di lapangan basket milik universitas di dekat rumah kami.

Dan yang tiba-tiba membuat saya terkenang masa-masa itu adalah tetangga sepantaran saya baru saja melangsungkan pernikahan beberapa hari yang lalu. Dia seorang laki-laki yang dulu pada masa saya masih anak-anak, dan tentunya dia juga masih anak-anak, dia pendiam, rada judes sama anak perempuan, dan well ya menurut kami para anak perempuan, si anak laki-laki ini adalah sosok yang cool. Teman perempuan sepermainan saya kemudian jatuh hati dan memutuskan mengirimkan surat cinta. Tentu saja jatuh hati ala cinta monyetnya anak SD lah ya. Kala itu saya berbaik hati memberikan surat cinta teman saya pada si anak laki-laki, dengan mencegatnya sepulang sholat maghrib di masjid sekitar rumah kami. Teman-teman saya bersembunyi dan mengintip dari belakang tembok. Dan oleh si anak laki-laki itu suratnya langsung dibuang didepan mata kami sebelum dibuka sama sekali. Cowok so(k) cool memang kadang rada sadis men. Ketika saya menghadiri resepsi pernikahan si anak laki-laki yang tentu saja saat ini sudah dewasa, rasanya saya ingin tertawa mengingat masa itu.

Lalu ada teman seumuran saya yang semenjak kami SD sudah cantik, putih, kurus, tinggi, dan langsing.  Berhubung di sekitar rumah saya ada banyak kost cowok, ada mas-mas yang nembak teman saya itu karena mengiranya udah SMA. Oh My God! 

Lalu kami pernah juga iseng menjahili anak kost yang lain, dengan berpura-pura mengirim surat cinta dari Mbak Putri. Dan setiap ketemu si mas itu kita tidak lupa bilang, 'Mas, dapet salam dari Mbak Putri'. Padahal tidak pernah ada yang namanya Mbak Putri, dia hanya tokoh rekaaan kita aja yang pengen ngisengin mas-mas ganteng. Dan sepertinya si mas ganteng percaya, karena dia juga membalas surat cinta dari Mbak Putri.

Ah, masa kecil itu masa yang menyenangkan dimana kita belum dipisahkan tingginya pagar rumah dan kesibukan individual ala orang dewasa perkotaan. Juga dipisahkan perasaan tidak nyaman, ketika ingin menyapa atau bercakap bebas tentang apapun, karena satu dan lain hal. 

Thursday 31 March 2016

Perempuan yang Berdagang

Perempuan itu seperti penjual, dan laki-laki itu seperti pembeli.

Layaknya pedagang, sudah semestinya mampu melakukan branding dan menawarkan fasilitas yang menjanjikan. Seperti dunia properti, jualan perumahan, harga segitu dapat fasilitas apa aja sih. Misalnya akses yg dekat dari pusat kota, jaminan dari banjir tahunan, parkir mobil luas, ada kolam renang, free wifi, dsb. Maka developer melakukan branding dengan berbagai nama utopis sejenis Taman Surga City.

Ada banyak tipe penjual.
Ada yang jual mahal banget sampe gak laku-laku terus ujung-ujungnya banting harga sesaat sebelum kedaluwarsa.
Ada yang sengaja pasang harga relatif murah dengan harapan memiliki pelanggan setia.
Dan ada pedagang yang jujur, biasa-biasa saja: menjual barang dagangan dengan harga yang sebanding dengan kualitasnya, tak peduli bukan kualitas nomor 1 sekalipun.

Tipe pembeli juga beragam.
Ada yang udah tawar menawar lama banget terus ujung-ujungnya gak jadi beli.
Ada yang ngajakin ngobrol panjang lebar sambil nemenin nungguin dagangan terus lama kelamaan justru tertarik membeli dagangan kita.

Well, sebenarnya saya sedang menganalogikan pernikahan dengan perdagangan.

Terkadang memang jelas sekali demikian mengingat pihak laki-laki harus membayar mahar untuk meminang perempuan. Di daerah-daerah tertentu di Indonesia bahkan besarnya mahar bisa sangat mahal dan tampak tidak realistis, terutama yang di luar Pulau Jawa. Apalagi untuk meminang perempuan keturunan ningrat. 

Waktu saya di Flores, ada suatu daerah (kalau tidak salah di Larantuka, cmiiw) dimana mahar (belis) untuk bisa menikahi wanita daerah tersebut adalah gading gajah yang sangat panjang. Sepengetahuan saya bahkan di Flores tidak ada gajah! Dan benar saja, rupanya gading gajah yang memang hanya beberapa itu, terus berputar dari pernikahan satu pasangan ke pasangan berikutnya di daerah tersebut. Ada juga suatu daerah di Flores, dimana untuk bisa menikahi wanitanya, keluarga wanita harus dibayar dengan sejumlah hewan seperti sapi, kerbau, dan juga satu truk pisang. Bayangkan saja secara logika, buat apa kita butuh satu truk pisang? Belum lagi jika pernikahan tersebut melangkahi sang kakak dari pihak perempuan, mahar yang harus dibayar dari keluarga laki-laki bisa lebih besar lagi.

Ada juga cerita dari seorang kawan yang menikahi perempuan Aceh, dan memang harus membayar sejumlah mayam tertentu (saya lupa perhitungan konversi ke rupiahnya).

Jadi, akui saja pernikahan itu memang perdagangan.

Semakin compact sebuah dagangan, maka semakin menjual. Seorang teman laki-laki pernah berkata bahwa istri itu semacam paket lengkap: teman ngobrol, teman makan, teman jalan, partner diskusi, partner bercinta, juru masak, pembantu rumah tangga, bahkan perhiasan untuk dipamerkan kepada relasi. Semua itu cukup di satu orang yang sama.

Dalam sebuah obrolan yang lain, ada juga yang berpendapat bahwa pasar seorang perempuan ibarat pasar sebuah es teh. Es teh yg dijual di angkringan dan es teh yang dijual di kedai-kedai artisan bubble yang mulai menjamur toh sama-sama es teh, tapi harganya bisa sangat berbeda jauh. Karena mereka memiliki pangsa pasar yg berbeda. Yang satu menyasar golongan bawah, dan satunya menyasar golongan menengah ke atas.
Senada sama sebuah meme di bawah ini lah ya.


Begitu pula perempuan, mereka memiliki pangsa pasar yang berbeda-beda. Misalnya mereka yang mengejar pasar 'imam yg sholeh' akan berdagang dengan cara ta'aruf. Tentu berbeda dengan mereka yg mencari jodoh dengan cara menebar pesona sana sini, cari gebetan sana sini, dan melancarkan sejurus aksi pedekate ke sang gebetan, kemudian pacaran. Walaupun tujuan akhirnya sama, pernikahan.

Dan layaknya pembeli, mereka para lelaki bebas memilih. Apakah akan membeli kue yang dijajakan pedagang kaki lima di emperan jalan, atau membeli kue di bakery. Sama-sama kue, tentu berbeda kualitasnya. Untuk membeli kue di bakery tentunya modal yang dibutuhkan lebih dari sekedar jajan di pinggir jalan. Untuk membeli kue di bakery, sang pembeli biasanya memang berniat membeli, karena harus pergi ke bakery, masuk ke dalam toko terlebih dahulu, dan merogoh kocek lebih banyak. Sedangkan untuk membeli kue di emperan jalan bisa saja sebenarnya kita hendak pergi ke suatu tempat, yang mana melewati jalan tersebut, eh terus tetiba pengen mampir karena liat kuenya menggiurkan.

Apakah ini pembelaan untuk jomblowan jomblowati untuk mengubah (atau mempertahankan) pangsa pasar kalian, seberapapun seringnya mendapat teror pertanyaan sakral: kapan nikah. Itu sih terserah kalian saja. Yang jelas, saya belum sampai pada pertanyaan sakral diatas. Nanti saja, saya masih berkutat dengan pertanyaan sakral lainnya: kapan lulus. Heuheu

Toh hidup ini seperti permainan Who Wants To Be A Millionaire? Ada beberapa titik aman sebelum mendapat pertanyaan-pertanyaan lain yg harus dijawab. Setelah lulus sekolah akan ada pertanyaan menggalaukan, mau kuliah dimana. Setelah kuliah, akan ada pertanyaan kapan lulus. Setelah lulus, akan ada pertanyaan kerja dimana. Setelah bekerja, akan ada pertanyaan kapan nikah. Setelah nikah, akan ada pertanyaan kapan punya gendongan. Dan seterusnya, setelah sampai pada titik aman tetap akan ada pertanyaan lebih sulit yg menanti.

Tidak perlu terlalu mencemaskan pertanyaan-pertanyaan yg belum datang, yg tiada habisnya ini. Mari menjawab satu persatu pertanyaan yg sudah di depan mata. Toh sampai saat ini kita berhasil melalui beberapa titik aman.