Friday 18 September 2015

Sosok, siapa kamu?

Sampai saat ini saya masih belum bisa menjawab dengan mantap apabila ditanya siapakah tokoh idola atau seseorang yang menginspirasi buat saya. Sepertinya saya kehilangan kemampuan respect pada sosok manusia hanya berdasarkan status sosial, umur, atau karena faktor-faktor sejenis yang mengisyaratkan latar belakang mereka. Bagi saya semua manusia sama: tua-muda, eksis-gak eksis. Karena bagi saya yang bisa membedakan manusia hanyalah attitude dan pola pikirnya. Maka saya pun heran atas perilaku mereka yang bisa memuja sosok dengan sebegitunya, sebut saja para penggemar seleb korea.

Pasalnya menurut saya, di dunia ini tidak ada sosok manusia yang sempurna. Hebat di suatu bidang tertentu tidak lantas menjadikannya hebat dalam semua bidang bukan? Mungkin karena sebenarnya saya tidak terlalu mengenal tokoh tersebut, maka saya pun tidak mengerti alasan yang membuat mereka memuja. Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Pun dengan membaca tulisan biografi atau autobiografi seorang tokoh terkenal justru membuat saya merasa sudah jelas yang ditulis disana adalah hal yang baik-baik saja dari tokoh tersebut. Saya pernah mencoba membaca Baitun Nubuwah, kisah rumah tangga Rasulullah yang tebalnya mengalahkan Harry Potter seri ke-5. Dan akhirnya saya gagal menamatkan buku tersebut lantaran mungkin saja karena iman saya belum cukup kuat.

Mungkin sebenarnya saya sedang kecewa pada tokoh-tokoh yang sebelumnya saya idolakan. Sebut saja seseorang yang begitu menginspirasi saya dari dekat dan turut andil dalam membentuk passion atau sebatas minat saya: fotografi, travelling, dan kegiatan alam bebas. Berinteraksi dengannya selama bertahun-tahun membuat saya berpikir bahwa apa yang dia lakukan itu sangat menyenangkan dan keren. Lantas saya mulai memasuki dunia-dunia yang saya sebutkan di atas, dan saya memang menemukan keseruan dalam dunia itu. Namun dengan menjadi keren dan profesional di bidang tersebut bukan berarti lantas menjadikannya sebagai sosok ideal karena sesungguhnya kehidupan lain miliknya dapat dikatakan sedikit berantakan. Kemudian lama kelamaan saya merasa bahwa sosoknya tak lagi semenyenangkan dulu, terisi kesibukan ala orang dewasa.

Selanjutnya pada suatu masa, saya sempat mengagumi sesosok dosen yang dalam kuliah-kuliahnya begitu murni. Saya pikir beliau adalah sosok yang hebat, entah kenapa terasa wow. Saya kemudian menjadikannya sebagai dosen pembimbing Tugas Akhir. Namun kenyataannya entah karena saya terlalu mengagumi, saya menjadi tidak bisa berinteraksi dengan baik dengan beliau. Saya selalu merasa saya cuma apalah butiran debu dibandingkan profesor sepertinya. Dan belakangan saya sedikit kecewa pada beliau, rupanya saya dulu belum terlalu mengenal karakter beliau untuk bisa menerima segala yang melekat padanya.

Kemudian ketika saat ini saya sedang berada dalam sebuah naungan proyek yang sama dengan anak seorang dosen-yang-mana-saya-cukup-respect-pada-beliau, saya kembali merasakan perasaan seperti wow saya sedang bekerja sama dengan anaknya bapak x! Dan menurut pandangan sepintas saya, kurang ideal apa coba keluarga mereka: bapaknya dosen hebat di jurusan saya, istrinya dosen juga di jurusan sebelah, anaknya kembar yang satu masuk jurusan saya sedangkan satunya masuk jurusan tempat ibunya mengajar. Namun berdasar pengalaman, bahwa yang terlihat belum tentu seideal yang terjadi. Maka tidak sepantasnya kita begitu menggebu-gebu dalam mengagumi suatu sosok.

Penilaian di atas menjadikan saya lebih mengedepankan karya dan bukan sosok. Seperti contohnya saya banyak membaca tulisan Dewi Lestari dan Tere Liye karena saya menyukainya, namun tidak lantas saya mengidolakan mereka. Saya banyak mendengarkan lagu dari Banda Neira dan Maliq & D’Essentials, namun tidak lantas saya menghafal semua lirik lagu mereka atau mengenal semua personelnya. Siapa kamu, sekarang jawabannya lebih mengacu pada apa yang kamu buat. Padahal saya yakin, tidak seharusnya kita menilai manusia dari output yang meraka hasilkan. Pendekatan itu rasanya sangat tidak humanis.

Jadi siapakah sosok yang menginspirasi saya? Saya juga belum tahu, mungkin kamu.. 
 
 

Tuesday 15 September 2015

Random Thought

Sudah lama saya tidak menulis hal-hal random yang selalu muncul dalam benak saya. Karena akhir-akhir ini yang sering muncul hanyalah keresahan, sedangkan keresahan toh bukanlah topik yang menyenangkan untuk dibahas setiap hari.

Ada beberapa hal yang belakangan ini cukup mengganggu pikiran saya, yang memunculkan sebuah pertanyaan sederhana: ada apa sih sama semua orang?

Mendadak semua orang berbondong-bondong melakukan sesuatu. Mendadak wisata alam manapun begitu menarik untuk dikunjungi. Mendadak semua orang memiliki profesi sampingan dengan mencoba berwirausaha: handcraft, doodleart, reseller, sampai buka kafe. Mendadak semua orang suka banget nongkrong di kafe. Mendadak dimana-mana muncul berbagai kafe baru dengan berbagai konsep. Mendadak banyak orang tiba-tiba memutuskan berhijab. Mendadak semua orang jadi cantik dan bermake up. Dan mendadak sepertinya semua orang rasanya udah ngebet banget pengen cepet lulus! Well yaa, saya mengakui bahwa saya mungkin termasuk kategori ‘semua orang’ yang saya sebut di atas. Toh saya juga sudah tak seidealis dulu supaya bagaimanapun saya bisa segera lulus.

Hal ini mulai disadari ketika saya mau KKN di periode antar semester tahun lalu. Mendadak semua orang memilih mengambil KKN pada periode itu sehingga peserta KKN periode itupun membludak dari biasanya. Hal ini menurut beberapa orang disebabkan angkatan 2010 dan angkatan di atasnya pada telat KKN sedangkan angkatan 2011 pada kecepetan KKN. Walaupun sebenarnya tidak bisa dikatakan telat juga karena dulu umumnya mahasiswa memang mengambil KKN setelah semester 7, namun mahasiswa sekarang yang cenderung ingin segera lulus mencicil KKN diambil di semester 5 asalkan jumlah sks telah memenuhi syarat minimal untuk mengambil KKN.

Kemudian yang belum lama terjadi: wisuda periode Agustus 2015 lalu mendadak jumlah wisudawan yang lulus periode itu sangat banyak sehingga pihak UGM memutuskan membagi wisuda menjadi 2 hari, yaitu tanggal 19 dan 20 Agustus 2015. Kalau nggak salah sih ini baru pertama kejadian di UGM dimana wisuda dibuat dua hari saking banyaknya yang lulus periode itu.

Kemudian fenomena yang paling baru saya alami adalah penuhnya perpustakaan pusat UGM di hari biasa, bukan karena ada acara atau kegiatan yang memang berlokasi disana, tapi ya hari perkuliahan aktif biasa. Padahal perpustakaan pusat UGM setau saya biasanya tidak terlalu populer di kalangan mahasiswa. Mereka yang berkunjung bisa dipastikan mahasiswa tingkat akhir yang sedang mencari literatur, mahasiswa yang sedang ada tugas dan mencari buku spesifik tertentu, atau mahasiswa yang iseng pengen menjajal fasilitas UGM yang satu ini. Kala itu saya sangat kesulitan mencari tempat parkir motor di lingkungan perpustakaan UGM sehingga memutuskan untuk parkir di fakultas sebelah aja, fisipol. Awalnya saya menduga hal ini disebabkan sedang adanya renovasi perpustakaan dan masih dalam rangka transisi perpindahan lokasi parkir dari yang sebelumnya sehingga memang belum settled. Kemudian ketika saya menuju loker di bagian sirkulasi ternyata peminjaman loker telah penuh dan ada beberapa orang selain saya yang sudah mengantre duluan untuk meminjam loker karena untuk bisa masuk ke bagian sirkulasi pengunjung tidak diperbolehkan membawa tas. Yang saya tahu, di perpustakaan pusat UGM sebenarnya terdapat tiga lokasi penitipan tas/peminjaman loker, yaitu di bagian buku sirkulasi, bagian timur, dan bagian kalau ingin menggunakan fasilitas ETD di lantai 2. Dan ternyata ketiga tempat peminjaman loker tersebut sama penuhnya pada saat itu. Kenapa sih orang-orang?

Berbicara tentang mencari lokasi parkir motor, sebenarnya saya tidak terlalu heran dengan sulitnya mencari parkiran motor akhir-akhir ini. Pasalnya saya sering mengalami hal serupa di fakultas saya, baik di jurusan sendiri maupun di bagian lainnya. Mendadak parkiran motor jurusan menjadi penuh dan mesti digeser-geser sama petugas di jurusan biar muat lebih banyak motor lagi dan efeknya bagi saya adalah kesuliatan mengeluarkan motor pas mau pulang. Selain itu ada beberapa tempat yang entah kenapa begitu diminati parkir liar, antara lain di bawah: sepanjang halaman depan satubumi, sekre BEM sampai mushtek, dan juga di sekitaran KPFT. Semua mahasiswa yang sudah lama berada di lingkungan fakultas teknik pasti sudah paham risiko parkir sembarangan ini: digembosin ban nya. Metode ini terpaksa dilakukan untuk menimbulkan efek jera, dan ternyata cukup membawa hasil.

Lalu mengapa fenomena ini bisa terjadi? Mungkinkah ini merupakan dampak kebijakan kampus yang semakin mempersempit masa studi? Yang tadinya mahasiswa maksimal lulus 7 tahun, sekarang 5 tahun sudah terancam DO sehingga mendorong para mahasiswa untuk segera lulus. Atau apakah setiap tahunnya UGM menerima mahasiswa yang jumlahnya lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya, dengan kata lain arus yang masuk tidak sebanding dengan arus yang keluar? Jika memang demikian yang terjadi maka wajar saja apabila fasilitas UGM yang selama ini tersedia menjadi tidak muat lagi mengakomodasi jumlah mahasiswa yang ada. Namun bisa juga sebenarnya fenomena yang terjadi tidak disebabkan faktor tersebut, melainkan disebabkan faktor culture atau yang larinya ke arah trend yang tengah terjadi. Mengambil analogi peristiwa mudik lebaran dimana terjadi traffic yang begitu memuakkan di segala ruas jalan, bahkan jalan yang pada hari biasa tidak pernah mengalami macet di hari lebaran menjadi begitu padat oleh kendaraan. Sebenarnya kan bukan ruas jalannya yang kurang memadai namun ada faktor trend atau budaya masyarakat kita yang memang menjadikan kita harus pulang ke kampung halaman dan berkumpul bersama keluarga pada hari lebaran, akibatnya karena semua orang berpikiran hal yang sama dan melakukan hal yang sama jalanan pun penuh.

Lantas apa yang harus kita lakukan, haruskah kita menjadi anti mainstream untuk terlepas dari segala bentuk crowded yang memuakkan yang sedang terjadi di arus utama?

Sebenarnya hal ini tidak masalah selama sesuatu yang lagi ngehits tersebut masih memuat substansi nilai kebaikan. Toh malah bagus kalau tiba-tiba semua orang mau memperbaiki Indonesia dan memutuskan berperang melawan korupsi, atau malah bagus kalau tiba-tiba semua orang menjadi agamis dan ingin masuk surga sehingga kejahatan di muka bumi ini menjadi berkurang. Dengan kata lain, malah bagus kalau semua orang pengen cepet lulus selama masih dalam kewajaran dan tidak melakukan kecurangan untuk bisa cepat lulus. Namun apakah segala yang saat ini ngehits itu mengarah pada nilai kebaikan? Nyatanya banyak alam terbuka yang seharusnya hanya sebagai wisata alam terbatas menjadi rusak karena terlalu banyaknya wisatawan yang datang. Sebut saja Semeru yang mendadak ngehits setelah rilisnya film 5 cm. Kemudian hijab yang semakin lama semakin fashionable sehingga terkadang melupakan tujuan sebenarnya. Adalah sosial media yang turut berperan membentuk pola pikir, perilaku,  dan mengarahkan trend kekinian: budaya selfie dan check in lokasi.

Keresahan saya berikutnya muncul setelah saya mengikuti sebuah sesi kuliah Engineering Ethics yang diisi oleh seorang dosen muda dari Jurusan Arsitektur. Etika itu berada dalam wilayah abu-abu yang sering kali kompleks, dilematik. Dosen tersebut menceritakan beberapa pengalaman yang pernah dialaminya di dunia kerja yang berhubungan dengan etika, dan beliau tidak bisa mengatakan dengan pasti mengenai apa yang harus dilakukan bila kita berada di posisi tersebut. Tanyakan hatimu, hatimu pasti tau jawabannya.

Selain itu dosen tersebut berbicara tentang Asean Economic Community, yang hampir pasti menimbulkan keresahan tersendiri bagi seluruh angkatan kerja Indonesia yang sadar. Aih, tiba-tiba saya teringat sebuah frase ‘ora melu edan, ora komanan’, yang kurang lebih artinya apabila kita tidak mau mengikuti euforia yang sedang terjadi maka kita tidak akan kebagian apapun. Menghadapi keresahan akan terjadinya pasar bebas di Asean Economic Community yang katanya akan mulai berlaku di tahun 2015, mendadak semua orang berusaha mempersenjatai diri dengan kursus bahasa asing, memperbagus prestasi akademik, dan mempertebal CV. Lantas apabila kita tidak ikut-ikutan les bahasa inggris, tidak ikut-ikutan buru-buru lulus, apakah kita bisa ikut bersaing mendapatkan pekerjaan yang layak? Berangkat dari pemikiran dan logika tersebut akhirnya (mungkin) terjadi fenomena yang sebelumnya saya analogikan dengan seperti fenomena mudik lebaran.

Dosen tersebut juga menyebut-nyebut bahwa Indonesia merupakan pangsa pasar yang sangat baik: memiliki jumlah penduduk termasuk salah satu yang terbesar di dunia dengan karakter manusianya yang konsumtif. Sebut saja rokok dan junkfood, negara penghasil rokok di barat sana yang sudah mulai concern pada masalah kesehatan mulai  kehilangan pasar dagangnya sehingga mulai mencari pasar di belahan bumi yang lain.

Kemudian ketika mereka-mereka yang telah maju sudah beralih meneliti luar angkasa, ketika berhasil mendapatan lokasi planet lain yang memungkinkan untuk manusia tinggal, memungkinkan diesploitasi, pasti mereka-mereka duluan lah yang mengungsi dari bumi yang sudah tua, sudah rapuh, sudah mulai rusak. Meninggalkan kita masyarakat dunia ketiga bersama bumi yang mulai tak bersahabat dengan manusia setelah mereka eksploitasi besar-besaran.  Aih,ditinggalkan saja sudah cukup menyedihkan, apalagi ditinggalkan bersama kekacauan. Saya sedih hanya dengan memikirkan kemungkinan itu.


However don’t be insecured dear, suatu hari nanti kita akan mengerti dan berhenti resah.