Monday 13 August 2012

Pulau Moyo dan Pulau Satonda


Kami sempat menengok sebentar Pulau Moyo dan mengunjungi Pulau Satonda. Silahkan buka peta bagi yang ingin tahu dimana pulau-pulau kecil ini berada.hehe. Pulau Moyo berjarak sekitar 30menit, atau mungkin satu jam (maaf saya lupa) naik perahu sampan. Pak Kadus sempat bercerita bahwa di Pulau Moyo terdapat resort terbesar ke-sekian di Indonesia yang biaya hotel permalamnya sudah tentu sangat mahal. Maaf saya lupa tepatnya terbesar ke berapa, intinya termasuk yang terbesar di Indonesia.hehe. Sebelum Pangeran Hary menikah dengan Kate Middleton, keluarga besar kerajaan Inggris itu dikabarkan sempat melakukan liburan rahasia di pulau ini.
Pulau Moyo
Sedangkan Pulau Satonda berjarak sekitar 1 jam naik perahu sampan. Biaya masuk pulau yang masih dalam pengembangan untuk pariwisata ini juga tergolong masih sangat murah dibandingkan dengan keindahan pantainya yang undescribeabel. Di pantai ini, kami bisa snorkeling dan melihat keindahan terumbu karang yang begitu dekat dengan permukaan air laut. Untuk wisatawan lokal hanya dikenai biaya 3000 rupiah, dan untuk wisatawan manca negara hanya dikenai sekian ribu. Saya lupa, yang jelas termasuk sangat murah.Di pulau ini terdapat danau besar yang tak diketahui kedalamannya. Sayangnya di pulau ini tidak ada sumber air tawar, air tawar yang ada di sini di bawa dari pulau Sumbawa menggunakan kapal.


Satonda Island Resorts

Danau di Satonda





Keindahan Pantai Satonda

Yang unik dari pulau ini, terdapat kepercayaan untuk menggantungkan batu di sebuah pohon di pinggir danau yang telah saya ceritakan di atas. Dipercaya bahwa apabila kita menggantungkan batu di pohon tersebut, maka keinginan kita akan terwujud. Akan tetapi, apabila keinginan kita telah terwujud, kita harus kembali untuk sekadar mampir di pulau ini. Karena saya bukan termasuk orang yang percaya hal-hal seperti itu, maka saya hanya tersenyum melihat banyaknya batu yang di ikatkan di setiap ranting dan dahan pohon tersebut. Hmm.


Tradisi menggantung batu

Saya mungkin merasa harus kembali ke pulau ini tapi bukan karena terikat itu, tapi karena terpikat oleh keindahan pantai yang begitu menawan. Pantai terindahyang pernah saya lihat dan kunjungi  secara langsung. Subhanallah. 


And yeaaah, that's me :)




Swadaya VI #3


Pulau Sumbawa


Beberapa waktu yang lalu , saya berkempatan menginjakkan kaki di pulau Sumbawa yang kata orang cukup gersang itu.
Tentang Sumbawa, sebelum kapal berlabuh di pelabuhan Tano, Sumbawa, dari kejauhan pulau Sumbawa terlihat seperti gundukan2 pasir. Ternyata benar kata orang, Sumbawa memang gersang dan panas. Setelah keluar dari pelabuhan Tano, sepanjang jalan di kiri kanan hanya terdapat padang savanna luas dan tebing2, tanpa ada bangunan, berasa berada di luar negeri.. Bukan berarti saya pernah berada di luar negeri loh, hanya membandingkan berdasar apa yang saya lihat di film, televisi, majalah, dan media lainnya.
Di dusun Sigi, desa Calabai, kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu ini kami tinggal di rumah Bang Yudhis, di depan rumah Kadus Sigi. Rumah Bang Yudhis hanya berjarak sekian langkah dari pantai barat, so bisa tiap hari main ke pantai :)
Pantai Calabai

Beberapa rumah di sini masih berupa rumah panggung. Tentang rumah panggung, dapat dibaca disini.
Mengenai infrastruktur, alih alih ketersediaan lampu jalan, kondisi jalan raya di sini masih banyak yang belum di aspal. Yang sudah di aspalpun banyak yang sudah rusak parah. Jaringan listrik di sini hanya tersedia dari jam 6 sore sampai jam 6 pagi kecuali hari minggu, ada tambahan dari jam 10 pagi hingga jam 1 siang. Selain itu, masyarakat sini masih menggunakan kayu bakar dan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk memasak. Gas LPG rupanya belum masuk hingga ke sini. Menurut ibunya Bang Yudhis, karena hawa Sumbawa yang panas, pendistribusian LPG ke daerah ini mungkin saja beresiko tinggi mengingat gas LPG bertekanan tinggi.
Hampir sama seperti di Lombok, mungkin karena banyak juga orang sini yang asli Lombok, penduduk sini juga welcome banget—ramah. Satu hal yang berbeda, di sini kambing dan sapi dibiarkan berkeliaran bebas di jalan2 dan nggak dikandangin, udah kayak kucing di jogja. Jadi bersa aneh kalo liat kucing, kecil banget di banding hewan2 yang lain. Kadang2 juga agak kesulitan bedain kambing sama anjing kalo dari jauh.hihihi. Tapi anjing yang berkeliaran di sini nggak sebanyak di Lombok sama di Bali kok.
Ada cerita lucu tentang kambing2 di sini yang suka nggak tau tempat. Mereka suka menerobos pagar rumah warga dan memakan segala dedaunan, bahkan bunga juga dimakan, hmmm.. Dan kadang dengan innocent nya masuk rumah, udah kayak kucing aja. Jadi, waktu itu saya baru berbelanja sayuran di pasar dan saya letakkan di ruang tengah rumah Bang Yudhis, saya tinggal ke rumah pak kadus sebentar, eh 2 ikat kangkung nya udah ludes dimakan sama si kambing gila.. -_-


Pulau Lombok


Masih termasuk edisi Swadaya VI
Saya berkesempatan transit beberapa hari di pulau ini sebelum menginjakkan kaki di Pulau Sumbawa untuk menjalankan misi swadaya: mendaki Gunung Tambora dan sosialisasi biogas di Desa Jongkat.
Tentang Pulau Lombok, mayoritas penduduknya beragama islam, ramah, dan baik hati—dengan pengecualian orang-orang pelabuhan lembar yang memang berwatak keras. Kami sempat cekcok dengan sopir angkot yang ada di sana karena kami lebih memilih menggunakan angkot yang ada di luar pelabuhan yang memang jauh lebih murah.
Sepanjang jalan dari pelabuhan lembar ke Universitas Mataram, saya melihat banyak anak2 maupun orang tua yang berjalan kaki menuju sekolah. Saya juga sempat melihat sebuah bus yang isinya anak sekolahan semua.
Biaya hidup di kota ini rupanya masih tergolong terjangkau, yaah nggak jauh beda sama kota Jogja lah. Dengan berbekal Rp 3000 rupiah saja kita sudah bisa menyantap nasi bungkus yang berisi ikan tongkol. Nasi bungkus disini dinamakan nasi balap, dibungkus dengan bentuk kerucut. Entah, kenapa dinamakan demikian, sampai sekarang saya masih belum tahu alasannya.
Kota Mataram merupakan kota religius yang tercermin dari semboyan kota ini “Maju dan Religius”






Universitas Mataram

Kebetulan saya sempat mencicipi suasana Ramadhan di kota Mataram. Dan saya belajar tentang  toleransi yang besar di sini. Saya berteman dengan orang non muslim, dan mereka sama sekali tidak makan dan minum di sepanjang hari saya bersama mereka. Dan memang di sini tidak ada warung makan yang buka di siang hari. Mereka bercerita bahwa membeli makanan di siang hari di hari puasa terlihat seperti sedang bertransaksi narkoba, benar-benar diam-diam. Dan juga ada penggrebekan rumah makan apabila tetap nekat buka di siang hari. Jadi kalo sedang tidak berpuasa, satu-satunya cara untuk makan adalah tetap berada di rumah.
Kami sempat di ajak mengejar sunset di Pantai malimbu, sekadar menengok Pantai Senggigi, dan di antar berbelanja ke Pasar Cakra. Oh iya, salah satu hal yang paling menyenangkan di Mataram adalah jaraknya yang berdekatan dengan pantai. Cukup berkendara motor sekitar 15menit, kami sudah dapat melihat keindahan pantai barat Lombok.
Perjalanan menuju Pantai Malimbu, walaupun akhirnya sunset nya tak terkejar..

Suasana Pasar Cakra..

Suatu hari nanti saya harus berkunjung kembali ke tempat ini dan melihat keindahan pantai-pantai yang baru saya dengar ceritanya itu: Pantai Pink dan Pantai Kuta. Juga boleh sekadar mampir melihat gili trawangan dan 2 gili lainnya yang saya lupa namanya.
Saya benar-benar bersyukur sempat ‘berlibur’ di sini walaupun sama sekali tanpa rencana. Yuhuuu :)


Swadaya VI #2


Transportasi

Perjalanan bermula dari kota Yogyakarta, rencananya kami akan menggunakan jasa transportasi kereta api namun karena kehabisan tiket akhirnya mau tak mau kami harus naik bus. Dari terminal giwangan, kami menunggu bus AKAS yang akan mengantarkan kami sampai banyuwangi. Akhirnya bus AKAS yang kami tunggu datang juga, namun setelah kami duduk nyaman di dalam, kami terpaksa diminta turun kembali dengan alasan barang yang kami bawa terlalu banyak. Hmmm, kami diusir gara2 carrier. Padahal sebelumnya salah satu teman kami telah membooking tempat duduk pada agen bus AKAS tsb.
Akhirnya kami naik bus Mila, namun ditengah jalan tepatnya jember, kondektur mengoper kami ke sebuah bus lainnya yang rencananya langsung membawa kami ke terminal ubung. Dan ternyata ada perda baru bahwa bus tidak diperbolehkan mencapai terminal ubung, semua penumpang harus turun di terminal baru yang letaknya cukup jauh dari ubung. Kami sempat sedikit ngotot-ngototan dengan pihak bus tsb dan pada akhirnya tetap kami yang kalah. Bukan apa-apa, masalahnya budget yang kami siapkan sangat terbatas dan memang sudah di jatah sekian itu untuk sampai ke Ubung.
Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat dan mandi mandi di terminal baru tsb. Kemudian mulai menyusun plan B, yaitu menyewa sebuah angkot untuk mencapai pelabuhan Padang Bai.
Keesokan harinya tepatnya sekitar pukul 03.00pagi kami sudah berlabuh di pelabuhan lembar, Lombok barat. Dengan menyarter angkot, kami berangkat ke FE UNRAM. Well yeah, kami berencana menginap di sana selama transit di pulau ini.
Berikut, saya cantumkan rincian biaya perjalanannya. Selamat melakukan perjalanan, semoga dapat membantu :)

Transportasi Berangkat

Tujuan
Estimasi Waktu Perjalanan
Biaya
Keterangan
Fakultas Teknik UGM-Terminal Giwangan
+ 45 menit
Rp 3 000 perorang
Bus Kota jalur 12
Terminal Giwangan Jogja-Jember
+ 13 jam
Rp 87 500 perorang
Bus MILA
Jember-Terminal Baru Bali
+ 10,5  jam
Rp 60 000
Bus
Terminal Baru-Pelabuhan Padang Bai
+ 1, 5 jam
Rp 450 000 (untuk 12 orang)
Nyewa mobil L300
Pelabuhan Padang Bai-Pelabuhan Lembar
+ 5 jam
Rp 36 000 perorang
Kapal Feri
Pelabuhan Lembar- FE UNRAM
+ 45 menit
Rp 150 000 (untuk 12 orang
Nyarter Angkot
FE UNRAM- Terminal Mandalika
+ 50 menit

Nyarter Angkot
Terminal Mandalika- Calabai
+ 17 jam
Rp 100 000 perorang
Bus Sinar kadindi

Transportasi Pulang

Tujuan
Estimasi Waktu Perjalanan
Biaya
Keterangan
Calabai-Mataram (Terminal Mandalika, Bertais)                    
+ 18 jam
Rp 100 000
Bus Sinar Kedindi
Mataram-Pelabuhan Lembar
+ 1 jam
Rp 150 000/mobil
(Rp 12 500/perorang)
Nyarter angkot untuk 12 orang
Pelabuhan Lembar-Pelabuhan Padang Bai
+ 5 jam
Rp 36 000
Kapal Feri
Pelabuhan Padang Bai-Pelabuhan Gilimanuk
+ 3 jam
Rp 60 000
Bus Safari Dharma Raya *bertemu relasi
Pelabuhan Gilimanuk-Pelabuhan Ketapang (Menyeberangi daratan pulau Bali)
+ 45 menit
Rp 6000
Kapal Feri
Stasiun Banyuwangi-Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta
+ 14 jam
Rp 35 000
Kereta api Sri Tanjung






Swadaya VI #1

Ekspedisi Gunung Tambora dan Sosialisasi Biogas Sederhana di Dusun Jongkat 

Kegiatan apakah ini?

Dalam organisasi SatuBumi, untuk menjadi seorang Anggota Penuh, calon anggota harus melewati beberapa tahapan terlebih dahulu. Diksar, Dikjut sesuai dengan divisi yang dipilih, dan terakhir Swadaya. 

Swadaya, seperti namanya, swa yang berarti atas usaha sendiri, angkatan kami juga harus memikirkan segala konsep, tempat tujuan, biaya, dan hal teknis lainnya, semuanya dilakukan sendiri. Konsep tersebut diajukan ke pengurus inti dan kemudian proposalnya diteruskan kepada dekanat untuk pencairan dana. Swadaya memiliki syarat, yaitu menemukan/menghasilkan sesuatu yang baru, atau mengunjungi tempat-tempat yang belum pernah dijamah oleh senior kami. Swadaya terdiri atas 2 kegiatan, yaitu menemukan sesuatu yang baru di bidang kemapalaan dan melakukan kegiatan pengabdian terhadap masyarakat.



Tim Swadaya VI

Nah, targetan yang ingin kami capai dalam ekspedisi ini adalah membuat peta pendakian lintas gunung Tambora, yaitu naik dari jalur Doropeti dan turun melalui jalur Pancasila.

Berikut Peta yang berhasil kami buat.



Sedangkan untuk kegiatan sosmasnya kami lakukan di desa Jongkat, yaitu sosialisasi biogas sederhana mengingat di sini banyak sapi yang kotorannya belum termanfaatkan dengan maksimal.

Beginilah skema sederhananya (menyusul)


Dengan ini, kamipun resmi dilantik menjadi Anggota Penuh SatuBumi.





Yeaah, Bumi 12.155 :) 


Tambora


Pertama kalinya aku terjebak selama 7 hari di atas gunung—and I’m still enjoy,
Pertama kalinya aku naik gunung dari tepi pantai—39mdpl cuy..
Pertama kalinya aku sampai puncak dan begitu terharu atas usaha untuk mencapainya,
Pertama kalinya aku sahur dan berbuka puasa di gunung—and I’m the only one in our team,
Pertama kali aku sakit demam di atas gunung,
Juga pertama kali sepatu baruku menapakkan kaki di ketinggian 2800mdpl
Sangat berkesan..





Savana, di awal perjalanan

Dan hutanpun semakin rapat


yang kami sebut Pohon Cinta


Summit Attack, menunggu kabut menyingkir di bibir kaldera


Akhirnya sampai di puncak







Pendakian Lintas Gunung Tambora
Naik Jalur Doropeti, Turun Jalur Pancasila



Thursday 9 August 2012

Rumah Panggung Sumbawa


Indonesia memiliki keberagaman suku bangsa yang tersebar dari Sabang hingga ujung Merauke. Tak heran setiap daerah memiliki jenis rumah adat yang berbeda pula. Rumah adat di daerah Nusa Tenggara Barat bernama Dalam Loka Samawa, atau yang sering disebut Istana Dalam Loka. 

Rumah Panggung di Sumbawa 

Penduduk Sumbawa bersifat heterogen, ada suku Sasak dari Lombok, suku Bima, dan juga kaum pendatang dari Bali. Sehingga rumah-rumah yang ada di Sumbawa terkadang merupakan perpaduan diantaranya. Misalnya rumah yang banyak dijumpai di desa Calabai, kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat kebanyakan merupakan perpaduan antara rumah panggung suku Bima dengan rumah panggung milik suku Bugis. Perbedaannya rumah Bugis biasanya memiliki bentuk yang lebih rapi dan jumlah anak tangga yang lebih banyak. Konon, menurut cerita, suku Bima dan suku Bugis memilki nenek moyang yang sama. Kasultanan Gowa dengan kasultanan Bima pernah melakukan perkawinan silang dan sejak saat itu mereka menjalin hubungan kekerabatan.

Selain itu, bentuk perpaduan rumah adat juga dapat terlihat dari adanya saung yang digunakan untuk tempat santai dan berkumpul di hampir di setiap rumah panggung. Saung ini merupakan adaptasi dari rumah-rumah suku sasak Lombok yang memang biasanya memiliki saung beratapkan alang-alang. 

Sejarah Rumah Panggung 

Menurut cerita, pada awalnya rumah panggung tersebut dibangun karena masyarakat setempat umumnya hidup dan bertempat tinggal di sekitar pantai. Sehingga untuk menghindari gelombang air laut, dibutuhkan rumah tempat tinggal yang lantai dasarnya tidak langsung menempel ke tanah. 

Bentuk Rumah Panggung 

Rumah panggung disini berbentuk panggung, atau lantai dasar rumah yang tidak langsung menempel pada permukaan tanah, tapi dibatasi oleh batu pipih yang gunanya sebagai alas pondasi antara tanah dan kayu-kayu sebagai pondasi. Jumlah anak tangganya bervariasi, tetapi rata-rata berjumlah lima anak tangga. Sedangkan kolong rumah panggung ini digunakan sebagai tempat penyimpanan kelapa.

Rumah panggung ini terbuat dari kayu dua banga yang banyak terdapat di hutan-hutan di pulau sumbawa. Setiap rumah kurang lebih membutuhkan 3-4 kubik kayu, tetapi bervariasi sesuai ukuran rumah yang akan dibangun juga. Sedangkan harga perkubik kayu saat ini mencapai satu jutaan. Padahal sewaktu PT Vener Indonesia, yang bergerak dibidang penebangan kayu, masih berjaya, harga perkubiknya hanya sekitar 300-400 ribu rupiah.

Salah satu penyebab masyarakat beralih dari rumah panggung ke rumah biasa adalah semakin sulitnya mendapatkan kayu karena meningkatnya harga kayu. Rata-rata masyarakat yang memiliki rumah panggung adalah mantan pegawai PT Vener Indonesia. Saat ini PT Vener Indonesia telah ditutup seiring dengan pesatnya illegal logging dan merasa kalah bersaing mengingat masih rendahnya kepedulian pemerintah dalam menegakkan regulasi mengenai hal ini.


Kelebihan Rumah Panggung

1. Konstruksi rumah panggung lebih tahan gempa.

2. Karena dasar bangunan tidak langsung menempel ke permukaan tanah, maka dapat menjaga daerah resapan air dan mengurangi kerusakan akibat pondasi.

3. Karena rumah panggung terletak di atas, rumah ini cenderung lebih aman dari banjir.

4. Kolong rumah panggung dapat dijadikan sebagai tempat memelihara ternak dan gudang penyimpanan, misalnya menyimpan hasil panen kelapa.

5. Dapat memandikan jenazah di dalam rumah, karena airnya akan langsung turun ke tanah melalui celah-celah lantai kayu.


 

Rumah Panggung Pak Kadus Sigi