Friday 15 February 2013

Berita

Akhir-akhir ini saya jadi sering numpang baca koran di halte, walaupun cuma skimming doang sih, gara-gara transjogja nya suka lama.

Trus pernah kepikiran kalau Koran tuh keren banget ya. Terbit hampir tiap hari dengan kolom berita yang sebanyak itu, dan dengan harga yang bisa dibilang sangat murah untuk ukuran itu, bahkan ada koran yang terbit sehari dua kali. Saya yang pernah bercita-cita menjadi seorang wartawan kemudian bertanya-tanya, bagaimana caranya seorang wartawan mendapatkan berita ter update setiap hari, lalu apabila sebegitu dikejar deadline nya, lantas seorang pekerja Koran nggak akan pernah punya waktu untuk melakukan hal lainnya dong. Trus kalau memang karena wartawan sebuah koran itu banyak sekali, lantas gaji yang diterima tiap orang seberapa minim dengan harga Koran yang juga hanya segitu. Tapi kemudian karena sempat mengatakan rasa penasaran saya itu ke beberapa orang, ada yang pernah bilang bahwa mereka tidak mencari keuntungan dari penjualan Koran, akan tetapi dari biaya pasang iklan di Koran. Cukup menjelaskan mengapa pasang iklan di Koran itu sebegitu mahal dan dihitung perbaris.

Beberapa saat yang lalu, ada berita yang cukup menarik perhatian saya. Tentang masih tersimpannya 13 mayat tak di kenal di RS Dr. Sardjito. Ya, rumah sakit umum pusat yang letaknya persis di samping kampus saya tercinta, yang setiap hari saya lewati itu.
Berbicara tentang Rs Sardjito tersebut, saya pernah memikirkan kemungkinan-kemungkinan terkait penataan kawasan tersebut. Bagi yang sering melewati rumah sakit ini pasti paham ketidaknyamanan melewati jalan ini, macet. Kesalahan pertama karena –ehem, jadi keinget makul studio semester kemaren –ketidaksesuaian hierarki jalan dengan penempatan fasilitas sosial tersebut. Jalan tersebut kan sebenarnya termasuk kategori jalan lokal, sedangkan sardjito adalah rumah sakit dengan tingkat pelayanan regional. Segala galanya dirujuklah ke sana. Memang awalnya rumah sakit itu diletakkan di sekitar kampus, khususnya berdekatan dengan Fakultas Kedokteran sebagai media belajar.

Karena merupakan rumah sakit tingkat regional, yang menjadi pusat rujukan bagi daerah-daerah sekitar, otomatis pasiennya banyak sekali dan penanganannya jadi kurang maksimal. Sekitar setahun yang lalu, salah seorang teman saya masuk ke UGD RS ini, dan penanganannya lama sekali sampai teman saya yang lain mengancam seorang pekerja rumah sakit ini, akan memindahkan ke rumah sakit lain apabila tidak segera ditangani. Waduh, jadi ngelantur.

Kesalahan berikutnya adalah banyaknya PKL dan parkir liar di sepanjang jalan tersebut. Jadi apakah sebaiknya status jalannya yang ditingkatkan menjadi jalan arteri dengan pelebaran jalan dan lain sebagainya, atau justru sebaiknya memindahkan rumah sakit tersebut ke jalan arteri. Sebagai contoh peletakan rumah sakit yang udah oke tuh, Jogja International Hospital yang terletak di ringroad utara. Trus juga kepikiran mungkin bisa juga kali ya, menurunkan tingkat pelayanan sardjito. Tapi saya masih nggak terlalu ngerti tentang yang terakhir ini bisa dilakukan apa enggak.

Ketiganya memang terbilang nyaris nggak mungkin dilakukan, tapi tetep masih mungkin kok. Menurut salah satu teman saya, mendingan mindahin rumah sakitnya, karena yang bermasalah di jalan itu kan hanya rumah sakitnya, intinya hampir semua ketidaknyaman itu hanya berasal dar letak rumah sakit tersebut. Misalnya dengan adanya PKL di sepanjang jalan tersebut –walaupun sudah pernah disediakan lokasi di samping rumah sakit untuk lokalisasi PKL tapi toh balik lagi jualan di emperan jalan –itu tidak bisa dipungkiri memang efek aglomerasi yang ditimbulkan dari keberadaan si rumah sakit. Trus juga parkir liar mobil-mobil di sepanjang jalan itu. Daripada meningkatkan status jalannya, dinilai lebih efisien dengan memindahkan lokasi rumah sakit tersebut kan..

Loh kok malah ngomongin sardjito, mari kembali pada topik berita di Koran tersebut. Jadi dari ketiga belas mayat tersebut ada yang bahkan sudah berusia 7 bulan. Mayat-mayat tersebut sebagian merupakan titipan dari kepolisian, lantaran kasus tersebut belum selesai. Dan pihak dinas terkait, kalau nggak salah dinas sosial, juga belum bisa mencairkan dana hibah atau apapun yang biasanya dipakai untuk menguburkan mayat tak dikenal, lantaran prosedur yang mengatur tentang hal ini juga kurang jelas. Untuk itu, mereka menunggu keputusan dari gubernur DIY yang katanya lagi naik haji. Well, memang di awetkan di lemari pendingin sih, tapi kan kalau nggak salah dalam aturan agama ada yang menyebutkan bahwa sebaiknya mayat segera dikuburkan setelah meninggal. Dan mengurus jenazah itu kan fardlu kifayah, hukumnya wajib bagi semua orang tapi kewajiban itu gugur apabila sudah ada yang melakukannya. Nah loh, lantas kalau sampai begitu siapa pihak yang bisa dipersalahkan?

Tadinya saya sempat kepikiran, yaudah sih dikuburin aja, tapi ternyata saya baru tahu bahwa biaya pemakaman untuk satu orang saja minimal mencapai Rp 500 000. Wow, trus kepikiran gimana nasib orang-orang yang kurang beruntung yang makan aja susah, mau mati aja lebih mahal bayarnya. Trus selintas saya kepikir mau nabung dari sekarang aja, siapa tau harga pemakaman semakin mahal karena –kata dosen makul permukiman, jumlah tanah yang ada tetap akan tetapi permintaan tanah terus meningkat, jadi itu menjelaskan kenapa harga rumah hampir selalu tak terjangkau terutama bagi para pasangan muda yang baru menikah.

Nah teori ini bisa juga dipakai dalam hal tanah kuburan kan, rumah masa depan berukuran 2x1 meter. Jumlah orang yang meninggal selalu bertambah, tapi jumlah tanah di atas bumi ini kan tetap. Apa mau, menjadikan planet lain sebagai kuburan kalau bumi kita ini sudah terlalu sesak dengan kuburan?

Oh iya, tadi kan niatnya saya mau ngomongin berita. Nah kali ini saya ingin menyoroti tentang kode etik dalam menulis berita. Jadi saya pernah dengar, bahwa berita itu tidak boleh bersifat meresahkan masyarakat. Nah, dalam sebuah kasus bencana alam seperti gempa bumi, saya merasa tidak setuju apabila tingkat goncangan gempanya diturunkan, misalnya sebenarnya gempa tersebut berkekuatan 10 SR tetapi agar tidak meresahkan masyarakat maka disebut bahwa gempanya berkekuatan 7 SR. Itu kan pembodohan massal. 

Tapi mungkin memang benar bahwa bohong tak selalu salah.



1 comment: