Wednesday 6 February 2013

Mainstream Vs Anti-mainstream

Ternyata saya sangat mainstream.
Saya baru menyadari bahwa saya sosok yang mainstream ketika saya ternyata menyukai seorang yang telah diakui sebagai cokiber –cowok kita bersama, karena begitu banyaknya perempuan yang tergila-gila padanya. Hey, saya bukan salah satu dari mereka ya, saya hanya kagum dan sedikit menyukai kok.

Kemudian saya teringat sebuah obrolan di atas lincak yang bermula dari keisengan saya membuka Koran lama yang kebetulan tergeletak di sana. 

“Mas, menurutmu dia cantik enggak?” tanya saya kepada salah satu teman saya sambil menunjuk salah satu mantan putri Indonesia yang sedang diberitakan di Koran tersebut.

“Cantik.”

Sebenarnya waktu itu saya hanya iseng menilai teman saya itu mainstream atau tidak dalam menilai kecantikan. Lalu kemudian senior saya yang lain justru ikut menimpali dan bertanya kepada saya “Kamu ngerasa kamu cantik nggak, not?”

Saya pun langsung menjawab, “Enggak, biasa aja.”

“Trus kamu ngerasa banyak yang suka sama kamu nggak?”

“Enggak juga.”

“Kamu ngerasa nggak cantik dan nggak ada yang suka sama kamu not?”

“Hey, aku ngerasa nggak cantik bukan berarti merasa jelek, tapi ya biasa-biasa aja. Trus kalo aku biasa-biasa aja bukan berarti nggak ada yang suka sama aku kok. Kan ada juga orang yang suka sama orang yang biasa-biasa aja, nggak liat fisik doang.”

Dan kemudian saya balik menanyakan kepada beberapa teman yang lain yang belum sempat menyimak obrolan kami sebelumnya. Tiga teman yang lain merasa diri mereka cantik dan sudah pasti banyak yang suka. Sedangkan saya dan dua orang lainnya merasa diri kami biasa-biasa saja. Dan kami pun terbagi menjadi dua kubu untuk memulai perdebatan tak penting ini mengenai penting tidaknya merasa cantik. Tapi kemudian ada yang mengajak nongkrong di kalimilk, dan topik ini pun terinterupsi begitu saja.

Mainstream, mengikuti arus. Dan sebuah komentar menohok dari seorang teman saya, “Kamu itu biasa aja not, nggak menarik.”

Lantas haruskah saya menjadi orang lain supaya saya menjadi menarik?

Tapi nggak ada salahnya kok, menjadi mainstream. Saya belum menemukan sisi menariknya menjadi seorang mainstream, tapi saya tetap yakin bahwa menjadi MAINSTREAM itu NGGAK SALAH. Mungkin suatu saat nanti saya akan mengedit postingan ini saat telah menemukannya.

Anti-mainstream, melawan arus. Mungkin karena dari dulu saya sudah sering dipandang dengan stigma anti-mainstream, sang pelawan arus, dan aneh. Sehingga cenderung membuat saya terbiasa dan menganggap nggak masalah menjadi seorang anti-mainstream. 

Keunggulan seorang anti-mainstream adalah menarik karena berbeda. Sedangkan kelemahannya sering dianggap aneh, kurang dihargai pendapatnya, dsb. Kesulitan lainnya adalah saat mencari barang yang diinginkan tapi berbeda dengan selera kebanyakan orang, katakanlah sebuah model tas yang saat itu tidak sedang trend sehingga sangat sulit menemukannya di antara sekian barang sejenis yang beredar di pasaran.

Jadi, siapapun kamu: mainstream atau anti-mainstream, silahkan menjadi diri kamu sendiri. Ini kan hanya masalah sudut pandang, nggak ada yang salah kok disini :)

No comments:

Post a Comment