Tuesday 3 April 2018

On The Way Home (2)

Dalam satu hari, 24 jam, sekurang-kurangnya aku punya waktu satu jam untuk melamun: 30 menit perjalanan dari rumah ke kampus dan 30 menit perjalanan pulang.

Lagi-lagi lamunanku malam ini berputar tidak jauh-jauh dari pertemanan: manusia dan hubungan interaksi antar manusia. Selalu menarik, karena manusia itu makhluk kompleks. Kenapa tiba-tiba terpikir ini? Jadi ceritanya hari ini aku bertemu dengan banyak orang, orang penting maupun orang biasa saja. Akhir-akhir ini aku merasa orang-orang semakin blak-blakan menunjukkan kemauannya. Entah mungkin aku yang bertambah pintar dan peka membaca situasi, atau mereka yang semakin tidak smooth dalam memasukkan maksud dan kehendak mereka. Dari situ aku bisa menilai siapa pihak yang paling oportunis, dan memprediksi sikap apa yang akan  diambilnya selanjutnya. Bahkan bisa merasakan adanya ketegangan atau gesekan tak kasat mata macam listrik-listrik statis di film-film anime, yang muncul ketika tokohnya saling berseberangan. Haha

Kenapa sih manusia bisa saling nggak cocok begitu saja? Makin kesini kurasa manusia berteman hanya ketika merasa saling membutuhkan. Well, ini bahasannya akan panjang sih. Kayaknya mending aku bahas lain kali dalam postingan terpisah deh.

Sungguh receh dan maha tidak pentingnya topik ini, dibandingkan isu-isu global kemanusiaan atau isu lingkungan. Alih-alih memikirkan kemiskinan di Afrika, target-terget MDGs, tantangan pemanasan global dan perubahan iklim, dan lain sebagainya, aku justru memikirkan hal ini. Atau tidak perlu mengambil kasus jauh-jauh, topik ini menjadi tak penting dengan sendirinya ketika kita masih berurusan dengan hal-hal mendasar dalam hidup. Hal-hal mendasar itu macam apa? Macam besok mau makan apa, bukan karena bingung gak punya banyak referensi tempat makan (itu mah kelakuan orang-orang jaman sekarang 😝), tapi karena mungkin saja tidak ada yang bisa dimakan. 

Pemikiran ini terlintas ketika aku berhenti di perempatan Gramedia dan melihat seorang anak kecil yang masih berjualan koran selarut ini. Aku memperhatikan dia hanya mendatangi mobil-mobil dan berhenti lama di samping kaca. Aku langsung terpikir bahwa sebenarnya menjual koran hanyalah kamuflase. Siapa yang akan membeli koran selarut ini, dan apakah itu koran tadi pagi yang sudah hampir kadaluwarsa untuk di jual keesokan harinya, atau memang ada koran malam?

Melewati rute yang sama setiap harinya, mau tidak mau membuatku memperhatikan orang-orang yang kutemui di setiap persimpangan jalan. Bahkan ketika aku masih rajin naik transjogja setiap hari, aku sampai hapal dengan mbak-mbak dan mas-mas kondekturnya, juga petugas penjaga halte. Aku bahkan menyadari ketika mbaknya ganti sepatu, sepatunya baru bukan yang biasa dia pakai sehari-hari. Aku pernah memikirkan sebosan apa ya menjadi kondektur transjogja yang setiap berhenti di halte selalu mengucapkan kalimat yang sama. Coba bayangkan dalam satu hari, satu shift kerjanya, berapa kali bus itu akan mengulang rute yang sama, melewati halte yang sama, dan masih diulang setiap harinya. Di persimpangan Jalan Batikan, aku selalu mengamati ada seorang anak perempuan yang berjualan koran, berjilbab dengan tas selempangnya yang khas. Prediksiku masih usia SMP. Memangnya dia tidak bersekolah? Karena beberapa kali aku pernah lewat sana saat jam sekolahpun, dia selalu ada. Sepertinya dia menyukai warna ungu, sering kali aku mendapatinya memakai baju dan jilbab berwarna ungu.

Kembali pada topik pertemanan, seorang teman yang cukup sering bergonta-ganti pacar pernah mengeluhkan bahwa sebenarnya dia sudah lelah selalu memulai kembali dari nol. Harus berkenalan dengan orang baru,   pdkt lagi, tahap awal pacaran lagi, dst. Proses itu selalu berulang setiap dia berganti pacar. Hal itu tidak mengherankan, karena pada dasarnya manusia cenderung enggan keluar dari zona nyaman. Dalam hal ini, pacar lama adalah zona nyaman.

Kurasa aku juga tipikal yang jauh lebih mudah jatuh cinta pada teman dekat yang sehari-hari bersama. Tresno jalaran seko kulino, kalo kata orang jawa. Dan cenderung kurang sepakat dengan yang 'dari mata turun ke hati'. Bagiku yang terakhir itu lebih seolah bersumber pada nafsu ketimbang kenyamanan yang melenakan. Tapi tunggu dulu, cinta itu banyak bentuknya kok. Ada eros, ludus, storge, pragma, mania, dan agape (percaya ndak, kalo literatur ini kudapatkan ketika mengerjakan soal reading nya ielts wkwk). Well, kurasa jenisku lebih kepada storge.

Menyikapi hal tersebut, memang alangkah jauh lebih menyenangkannya apabila bisa menikah dengan sahabat sendiri. Maka muncul hastag macam #temantapimenikah atau #marriedwithmybestfriend dan hastag-hastag senada lainnya.

Perasaan itu bukan sesuatu yang bisa kita kendalikan, yang bisa kita kendalikan itu sikap kita. Mau mendewakan perasaan yang kadang bertentangan dengan logika, atau tetap membumi dengan berpijak pada realitas meski kadang terpaksa membunuh rasa, itu murni pilihanmu.

Btw kenapa endingnya malah ngomongin cinta sih? Auk ah. Namanya juga ngelamun, ngalor ngidul gak jelas jadinya.