Saturday 18 April 2020

Kim Ji-yeong


Belum lama ini aku membaca novel berjudul Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 karangan Cho Nam-Joo. SPOILER ALERT, bagi yang tidak ingin kena spoiler silahkan melewatkan postingan ini. Awalnya aku tau Kim Ji-yeong ini adalah sebuah film korea fenomenal yang banyak mendapat pujian dari story teman-temanku. Lalu aku menemukan novel ini di Togamas, dan langsung menghabiskannya kurang dari 24 jam.

Aku baru menyadari bahwa pada jaman itu Korea menganut nilai atau budaya yang menjunjung tinggi kedudukan laki-laki ketimbang perempuan. Well ya, ‘baru menyadari’ karena selama ini udah sering nonton drama korea dan sedikit banyak sering melihat hal semacam ini tapi baru menyadari bahwa hal tersebut sudah menjadi budaya umum setelah membaca novel ini. Bahwa memang sistem yang berlaku tidak memberikan kesempatan perempuan untuk berkarier tinggi bagaimanapun si perempuan ini telah berusaha keras, bahkan lebih dari usaha si laki-laki. Sebelum akhirnya pada tahun 2000an mulai ada gerakan feminisme atau mulai diangkatnya isu gender dan sistem mulai berpihak pada perempuan melalui pengarusutamaan gender, kebebasan untuk memilih menamakan anak mereka dengan menggunakan marga ayah atau marga ibu, dan lain-lain.

Segala hal yang diceritakan dalam buku ini merupakan hal-hal keseharian yang akrab dengan kehidupan kita sehingga penggambarannya terasa sangat relevan. Menariknya, beberapa bagian disertai footnote yang merujuk data pendukung yang menyampaikan artikel atau bahkan data statistiknya. Bahkan masih terdapat beberapa yang sangat familiar bahkan di sini, di kiri kanan kita. Misalnya ketika ayah Kim Ji-yeong yang mengatakan bahwa sebaiknya perempuan menjadi guru karena banyak cutinya. Persis plek sama yang disarankan bapakku ketika aku masih sekolah dan belum menentukan cita-cita. Atau ketika Kim Ji-yeong belum juga hamil setelah menikah lalu diomongin sama bibi-bibinya, kenapa seluruh dunia ikut campur dan seolah menyalahkan dan menganggap pihak perempuan yang tidak subur padahal kan bisa jadi dari pihak laki-lakinya.

Keuntungan menjadi Guru bagi Wanita, menurut Ayah Kim Ji-yeong

Suatu hari aku pernah mengikuti rapat anggota dewan di daerahku yang akan membahas beberapa rancangan peraturan daerah, salah satunya tentang pengarusutamaan gender. Kala itu aku merasa heran dan tidak terlalu pro dengan menganggap pihak yang mengusulkan raperda ini adalah para penggiat feminisme belaka, mengapa kita harus memberikan kuota untuk perempuan sekurang-kurangnya sekian persen untuk duduk di kursi DPR misalnya? Selama tidak ada aturan sebaliknya, yang melarang perempuan untuk mengambil peran tersebut, tanpa mengatur porsinya dalam peraturan perundangan menurutku laki-laki dan perempuan sudah memiliki hak dan peluang yang sama untuk memperebutkan suatu posisi. Selama perempuan memiliki kompetensi yang sama dengan laki-laki maka seharusnya kita memiliki peluang yang sama besar. Seharusnya. Tapi ada faktor lain bernama budaya. Tidak tertulis, tidak memiliki dasar hukum, namun powerfull. Kini aku paham urgensi adanya dasar hukum pengarusutamaan gender.

Gagasan ini sedikit menggelitik, sedikit bergeser dari topik pembahasan, dari obrolan orang-orang di twitter tentang sistem perekrutan pekerja, sebagian menyatakan bahwa salah satu sistem perekrutan yang efektif dan efisien adalah dengan menarik orang yang sudah pernah bekerja sama sehingga track record nya sudah kelihatan dan lebih bisa diandalkan, atau dengan kata lain melalui close reqruitment atau kasarnya pengaruh orang dalam. Pada saat itu sejujurnya aku tidak setuju karena menurutku tidak fair untuk orang yang memiliki kompetensi yang sama atau bahkan lebih unggul namun kurang dikenal di kalangan si perusahaan. Namun, berdasar pengalaman selama bekerja sejujurnya aku juga lebih senang bekerja bersama seseorang yang sudah terbukti dapat diandalkan ketimbang nge-hire pekerja baru yang belum kita kenal meskipun cv nya terlihat menjanjikan. Hubungannya apa dengan paragraf sebelum ini? Well, aku yang awalnya merasa semua orang apabila memiliki kompetensi yang sama sudah pasti memiliki kesempatan yang sama besar dalam memperebutkan sesuatu, ternyata belum tentu. Ada faktor budaya yang turut mempengaruhi. Bagaimana bila semua perusahaan atau budaya di semua dunia kerja melakukan rekruitmen dengan cara ‘orang dalam’ maka akan ada orang-orang yang karena kondisinya tidak memiliki privilege berupa link/jaringan maka dia akan selalu kalah sekalipun dia merupakan SDM unggulan. Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri membangun jaringan di dunia kerja memang sangat penting sih adek-adek sekalian.. Apabila dianalogikan, selama tidak ada peraturan perundangan mengenai pengarusutamaan gender dan ada budaya tak tertulis yang menganggap bahwa pria selalu lebih unggul dari wanita tanpa melihat case by case, maka perempuan tidak akan memiliki kesempatan. Berbagai stereotype dan mungkin beberapa contoh kasus terdahulu mungkinlah menjadi penyebabnya.

Nah, sistem kerja terkait cuti hamil dan melahirkan ini juga yang ngeselin parah. Di kampusku, dosen-dosen secara terang-terangan bilang kalau agak susah merekrut dosen perempuan terutama terkait profesionalitas kerjanya. Dulu ada dosen muda perempuan yang terpaksa keluar karena alasan ikut suami, juga seorang bapak dosen pernah bilang beberapa dosen perempuan yang sudah memiliki anak kinerjanya cenderung menurun. Maka bukankah diperlukan suatu sistem kerja yang memberikan peluang sebesar-besarnya untuk perempuan dapat berkarier tanpa mengabaikan ruang peran ganda perempuan sebagai ibu dan tanpa kehilangan kondusivitas kerja dengan adanya ruang tersebut. Agak susah memang mengubah mindset dan sistem, sang psikiater yang di akhir cerita ngakunya memahami depresinya Kim Ji-yeong aja tetep mengeluhkan rekan kerja perempuannya yang terpaksa resign untuk mengurus dan membesarkan anaknya. Gimana sih, katanya paham pak.. wkwk

Lalu mungkin salah satu alasan logis kenapa laki-laki diberikan peluang yang lebih besar ketimbang perempuan adalah karena mereka berkewajiban menafkahi keluarga sementara perempuan tidak (well, kecuali perempuan single parent mungkin ya). Ini terpikirkan olehku ketika membaca bagian yang menceritakan anak-anak perempuan bahkan turut membantu membiayai saudara laki-lakinya agar bisa menempuh pendidikan tinggi dan cenderung mengalah untuk segala hal, terutama karier impiannya.

Aku bukan menolak feminisme, karena akupun sedikit banyak menentang patriarki. Toh aku bisa bersekolah tinggi dan bahkan bekerja pun tidak lain dan tidak bukan karena adanya emansipasi. Tapi ketika ada kasus perkosaan terhadap perempuan, dimana ada yang marah-marah karena ada yang mengomentari korban terkait pakaian yang digunakan atau timing dan setting tempat terjadinya perkara karena menganggap “sudah menjadi korban eh masih disalahin”, aku tidak setuju sama yang marah-marah.

Seseorang di twitter pernah menulis tentang etiologi kriminal, bagaimana tindak kriminal dapat terjadi. Ada 3 faktor yang mendorong terjadinya tindak kejahatan, pertama ada pelaku yang termotivasi, ada target berupa (calon) korban yang vulnerable, dan absence of guardian atau tidak ada kehadiran pelindung yang dapat juga diartikan ada kesempatan berupa setting waktu/tempat yang mendukung. Guard/pelindung ini dapat berupa seseorang atau cctv atau apapun yang dapat bersifat mencegah terjadinya tindak kejahatan. Ketiga unsur tersebut sering disebut sebagai triangle crime, jadi kita bisa memotong mata rantai terjadinya tindak kejahatan dengan menghilangkan salah satu unsurnya. Kalau kita anggap saja bahwa semua orang merupakan pelaku yang termotivasi dan tidak bisa kita hindari, kita masih bisa mencegah terjadinya kejahatan dengan menghindari bersatunya satu atau dua unsur lainnya. Para penggiat feminis mengatakan bahwa suka-suka perempuan bagaimana mereka memilih pakaian, karena bahkan perempuan yang menutup rapat seluruh auratnya saja bisa menjadi korban. Tapi menurutku pribadi, dengan menggunakan pakaian yang tidak menggoda dan menghindari berada pada situasi yang riskan, dapat mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Pendapat pribadi ini kalo di-share di twitter aku yakin langsung dibantai para penggiat feminis. Well, memang tidak bijak menyalahkan korban, jadi korbannya memang tidak perlu disalahkan, kitanya saja yang harus lebih berhati-hati dan tentunya mengambil pelajaran dari hal-hal yang sudah terjadi untuk bisa mencegah terjadinya hal yang serupa.

Sebuah pengalaman yang cukup membekas buatku adalah ketika aku berada di Nusa Tenggara Barat, dalam perjalanan dalam tim yang terdiri atas laki-laki dan perempuan, kami telah berbagi tugas pekerjaan rumah secara adil. Sebut saja tugas sesederhana mencuci piring setelah makan, kami membuat jadwal piket secara merata. Namun jadwal piket ini ditentang oleh penduduk lokal karena adat istiadat mereka tidak diperbolehkan laki-laki yang mencuci piring, karena lumrahnya itu memang sudah tugas perempuan.

Salah satu hal yang menjadi alasanku menentang patriarki dalam rumah tangga bukan karena aku malas memasak atau melakukan pekerjaan rumah lainnya tapi menurutku pribadi, segala hal domestik merupakan tanggung jawab semua orang tanpa memandang gender laki-laki atau perempuan. Tak peduli laki-laki atau perempuan harus bisa memasak minimal untuk dia makan sendiri, mencuci pakaian minimal baju yang dia gunakan sendiri, karena itu merupakan skill minimal untuk survive, untuk menjalani hidup. Perkara nanti ada kesepakatan pembagian tugas antara suami-istri demi efektivitas dan kenyamanan masing-masing sih ya monggo aja. Karena adanya ‘divisison of labor’ atau gampangnya pembagian tugas dan peran memang terbukti menciptakan efisiensi. Jadi kalau kesepakatannya istri yang selalu masak, ya sah-sah saja. Kalau ternyata lebih efektif nge-laundry ketimbang mencuci baju sendiri, misal karena sibuk bekerja dan waktu luangnya lebih produktif untuk melakukan hal lain, ya sah-sah saja.

Mau tidak mau, hal ini membuatku membandingkan dengan masa penjajahan di Indonesia dimana perempuan belum memiliki hak yang sama lalu lahirlah RA Kartini yang menyuarakan emansipasi dan menjadi tonggak sejarah meningkatnya derajat perempuan di Indonesia. Lalu aku bertanya-tanya bagaimana cerita isu feminisme dan kesetaraan gender di belahan bumi bagian barat ya? Aku baca di Bumi Manusia, orang-orang Belanda memperlakukan para wanitanya dengan hormat. Ya, walaupun tidak menutup mata bahwa para tentara perang tersebut melampiaskan kebutuhan seksualnya pada perempuan-perempuan Indonesia tahanan perang.

Terlepas dari segala kemuakanku terhadap sistem yang sedemikian rupa menghambat perempuan untuk berkembang dan meraih impiannya, aku kagum dengan beberapa sosok perempuan. Seperti contohnya sosok ibu Kim Ji-yeong, jenis-jenis wanita yang tangguh, menciptakan peluang sendiri dari kesempatan yang sangat minim, bahkan tak hanya survive tapi juga mampu berstrategi hingga menjadi berdaya. Sosok seperti Nyai Ontosoroh di Bumi Manusia, dan kalau sosok real di dunia nyata: eyang putriku. Kapan-kapan mungkin akan kutulis cerita tentang perempuan-perempuan hebat yang kukenal.

Bagian yang menurutku paling nyesek adalah ketika si ibu Kim Ji-yeong hamil anak ke-3 dan ternyata perempuan sementara seluruh dunia mengharapkan lahirnya anak laki-laki, dia terpaksa menggugurkan anaknya karena bahkan si suami bilang, “jangan bilang yang tidak-tidak..” ketika si ibu menyampaikan kecemasannya apabila ternyata bayi yang dikandungnya berjenis kelamin perempuan.

Terkait depresi pasca melahirkan, ini juga satu hal yang menarik. Bagaimana perubahan hormon dari hamil bahkan hingga pasca melahirkan, juga perubahan tubuh mereka adalah sesuatu tersendiri. Udah gitu masih ada seseorang di kereta bawah tanah yang menyindir, “orang yang berkeliaran di kereta bawah tanah dengan perut buncit demi mencari uang masih ingin punya anak?”

Monday 9 September 2019

Long Weekend Getaway: Lombok Island

Aloohaa, udah lama nih gak sharing seputar jalan-jalan. Berhubung udah janji sama diri sendiri (walopun sering gak ditepati juga sih), saya akan menulis tentang long weekend getaway yang saya lakukan awal Bulan Maret lalu, keburu basi juga sih. Padahal emang udah basi banget, haha.

Jadi kemanakah saya waktu itu? Jawabannya adalah jeng jeng jeng.. Lombok! Buat yang lupa, saya coba ingatkan bahwa Kamis tanggal 7 Maret 2019 kan tanggal merah dan jumatnya merupakan hari kejepit. Maka saya berniat melancarkan longweekend getaway dari Rabu sore bablas sampai Hari Minggu. Mantap gak tuh, haha. Karena bener-bener ingin memaksimalkan agenda liburan terselubung ini, saya sengaja pesen tiket pesawat untuk Rabu sore. Mepet banget sih sama jam pulang kantor, sambil berdoa semoga jalanan gak macet-macet amat. Jam kantor berakhir pukul 15.30 dan saya dijadwalkan take off pukul 17.40 WIB.

Maka begitulah, saya sudah selesai packing dari Hari Selasa lalu menitipkan ransel saya di kosan sepupu di sekitaran UPN. Jam 15.30 teng saya sudah siap meluncur dari kantor saya di daerah Denggung dan sengaja udah sholat ashar sebelum jam kantor berakhir. Posisi sore itu hujan deres coy, tapi tak menyurutkan niat saya untuk menyambut liburan. Udah sengaja gak pesen gocar karena khawatir kejebak macet di Jalan Solo nya, walopun udah cek in online dan tulisannya sih jam boarding jam 17.00. Ternyata sampe bandara, delay dong. Sebenernya udah bisa nebak sih berhubung naik Lion Air yang emang terkenal sering delay, juga alasan cuaca buruk masih masuk akal.

Singkat cerita, kami tiba di Lombok International Airport yang berlokasi di Praya, Lombok Tengah sekitar pukul 21.00 WITA. Awalnya berniat naik DAMRI trus dijemput di Epicentrum atau gocar ke rumah temen yang terletak di Mataram (soalnya rute DAMRI nya bandara-Epicentrum). Tapi ternyata pas cek jadwal DAMRI di website cuma ada sampe jam 8 malem (sebenernya bakalan masih dapet kalo pesawat gak delay), akhirnya dengan baik hatinya malah dijemput sama temen. Kan jadi enak, wkwk.

Semua berawal dari sini guys

Hari pertama kami memutuskan sewa mobil dan explore Lombok Tengah. Tujuan utama ke Pantai Tanjung Aan, Bukit Merese, Kawasan Wisata Kuta Mandalika, dan mampir di Desa Adat Sade. Sewa mobil udah sama supir dan bensin habis 300rb, lumayan murah sih menurut saya.





Pas mau naik ke Bukit Merese banyak anak-anak yang nawarin paket foto-foto sama naik perahu ke Batu Payung. Tapi kami gak ke Batu Payung karena rencananya masih mau ke Pantai Kuta.



Sayangnya siang menjelang jam 2 an hujan, jadi setelah ke Bukit Merese, di Tanjung Aan nya gak bisa lama. Gak jadi mampir Pantai Kuta juga karena hujan, jadi cuma lewat aja. Oh ya, menuju Tanjung Aan dan Bukit Merese kita juga lewat area yang katanya mau dibangun Sirkuit Mandalika untuk MotoGP. Pulangnya mampir makan di Dapur Sasak, sekalian otw balik ke Mataram.

Nih udah mendung banget kan, tapi syahdu



Kaki sampe belang sendal jepit, hehe

Setelah itu masih sempet jadi anak gaul Lombok dengan nge-mall ke Epicentrum.

Besoknya kami explore sisi utara: Gili Trawangan, Gili Meno, dan Gili Air. Kami naik gocar dari penginapan kami di Mataram ke Pelabuhan Bangsal. Nyeberang di Pelabuhan Bangsal, naik public boat, tapi cuma ada sampe jam 5 sore. Jadi kalo gak mau stay, jangan sampe ketinggalan boat terakhir. Yang disayangkan di Gili Trawangan, toilet umumnya bayar 5rb dengan kondisi agak mengenaskan, kalo bagus dan bersih sih masih gapapa lah ya.

Nunggu boat di Pelabuhan Bangsal



Di sini hawanya party-party abis gaess, tapi maapin gak punya foto yang mumpuni

Di Gili Trawangan, saya snorkling bareng bule-bule trus ditraktir makan siang sama abang bule yang saya ajak talking-talking dikit. Alhamdulillah yaa, soalnya harga makan di sana mayan juga bisa abis 60-70rb sekali makan (waktu itu saya pesen friedrice- tulisan di menunya emang friedrice sih bukan nasi goreng wkwk sama teh anget). Btw ini satu rombongan kapal yang saya naiki orang lokalnya cuma berdua, sisanya bule semua. Berasa lagi di luar negeri tapi enggak, haha.

Sebenernya saya ke Lombok berdua sama temen, tapi dia gak berani snorkling jadi dia sewa sepeda dan sepedaan muter Gili Trawangan sementara nungguin saya beres snorkling. Saya tetep snorkling bersama para stranger karena ya sayang aja gitu udah jauh-jauh sampe sini masa gak snorklingan. Tapi karena sendirian, saya gak berani kalo gak pake pelampung. Oh ya, ini pertama kalinya saya snorkling sendiri di laut lepas setelah bisa berenang (selama ini kalo snorklingan selalu nebeng temen karena gabisa berenang). Berhubung snorkling sendiri, sayang banget jadi gak ada foto underwaternya :(



Padahal kalo ada temennya pengen banget lepas pelampung pas di Bask Nest Gili Meno. Sumpah, ini epic banget! Berasa melihat pameran karya seni tapi underwater. Tapi waktu ngobrol-ngobrol sama si mas-mas stranger lokal (satu-satunya) yang satu rombongan bareng saya, katanya scluptures itu agak kontroversial. Kenapa? Karena menurut beberapa orang, bagaimanapun patung-patung tersebut kan buatan, bukan sesuatu yang alami. Menaruh sesuatu yang buatan di tengah lingkungan alam yang perlu dilestarikan rasanya sayang aja.

Sumber: https://www.baskgilimeno.com/category/blog/nest-underwater-wonder/

Baliknya kami nebeng makcik-makcik turis malaysia, wkwk. Ini random banget, ceritanya abis nyeberang kembali ke Pelabuhan Bangsal, kami kesulitan mendapat grab/gocar (yaiyalah, jauh dari kota). Trus kami duduk-duduk dulu sambil jajan bakso tusuk, eh ada mas-mas ngajak ngobrol. Ternyata dia adalah seorang driver yang lagi nungguin tamu dari malaysia yang mau balik dari Gili Trawangan dan
ke Mataram juga. Akhirnya malah ngajakin bareng trus sekalian mampir Sasaku buat beli oleh-oleh. FYI, turis malaysia nya ini dosen berdua masih mbak-mbak, jadi lumayan nyambung sih ngobrol-ngobrolnya.

Sabtunya, kami menunaikan tujuan utama yang membawa kami ke pulau ini: menghadiri akad dan resepsi pernikahan teman. Jeda dari akad ke resepsi kami manfaatkan untuk berburu emas batangan (karena saya semacam menjadi delegasi temen-temen berhubung saya satu-satunya yang dateng, dan akhirnya banyak yang nitip). Setelah muter-muter daerah Sekarbela (yang banyak toko emas) dan gak dapet emas batangan karena kebanyakan sudah berupa perhiasan atau malah mutiara (karena lombok kan emang terkenal penghasil mutiara) akhirnya terbersit untuk mencoba ke Pegadaian ajah.

Seusai resepsi, kami mampir ke museum NTB, ke toko oleh-oleh Lestari, lalu pulang ke penginapan untuk beristirahat sejenak. Sore menjelang senja, kami memutuskan berburu sunset di Pantai Ampenan, lalu mencari kulineran entah dimana saja sebagai makan malam.







Pantai Ampenan terletak di kawasan kota lama, maka kami disuguhkan bangunan-bangunan lawas. Saya yang selalu tertarik pada bangunan-bangunan indische memutuskan menyusuri jalan sepanjang Pantai Ampenan menuju penginapan. Tapi ternyata cukup jauh, dan ketika bangunan indische nya sudah habis kami putuskan lanjut naik gocar aja wkwk.



Di akhir perjalanan, kami sudah tau kalau berkesempatan main ke Lombok lagi, mana saja destinasi yang bakal dieksplorasi. Dari dulu saya ingin sekali berkesempatan main ke Rinjani dan Danau Segara Anak nya, juga mungkin main ke curug-curugnya. Dulu sepulang dari Tambora pernah hampir main ke Rinjani tapi batal karena sudah memasuki bulan ramadhan. Sementara tracking saat berpuasa tentunya kami pikir cukup berat. Juga explore Lombok Timur dengan gili-gili nya yang masih perawan, bahkan katanya bisa sekalian nyeberang ke Kenawa. Lombok Barat juga belum semuanya terjamah. Juga belom nyobain sepedaan sore-sore explore Gili Trawangan. Mungkin kalo berkesempatan kesini lagi, harus nginep supaya bisa liat sunset dan sunrise nya. Bisa merasakan kehidupan malam yang party-party abis di sana.

Bahkan Kota Mataram nya sendiri pun belum tuntas kami jelajahi. Kami belum jadi masuk ke Museum NTB lantaran sepulang kondangan mau kesana tapi ternyata museumnya sudah tutup (padahal di maps tulisannya tutup jam 15.00). Ingin berkesempatan menghadiri pagelaran seni di Taman Budaya -yang mana beberapa kali kita lewati ketika hendak ke Epicentrum. Juga ingin memasuki Islamic Center yang juga beberapa kali kita lewati, yang sebenernya deket juga dari penginapan kami di Jalan Airlangga, tapi belum sempat kami kunjungi karena keterbatasan waktu.

Kesan apakah yang saya dapat dr explore Lombok kali ini? Tanah kosongnya masih banyak, jalanannya bagus dan sepi. Cocok untuk dikembangkan dengan desain/ masterplan karena bagaikan menggambar di kertas kosong. Lombok adalah salah satu tempat dimana saya tertarik untuk tinggal cukup lama di dalamnya.

Minggunya balik, naik gocar ke bandara. Beruntung banget waktu ke Pelabuhan Bangsal dapet supir gocar ibu-ibu berjiwa muda yang asik banget. Bahkan si ibu menawarkan diri buat jemput kita dan nganterin ke bandara. Padahal pesawat kita jam 6 pagi WITA yang mana adalah jam 5 pagi WIB. Perjalanan dari Mataram ke bandara ada 45 menitan kali ya. Kalo kudu udah cek in jam 05.00 WITA, berarti jam 04.00 WITA harus udah berangkat dari hotel. Maka saya bangun jam 3.15 lalu siap2, checkout dari hotel, dan jam 4 kurang si ibu sudah standby di depan hotel. Bahkan si ibu menawarkan mau mampirin ke indomaret yang buka 24 jam (karena gak semua indomaret di sini buka 24 jam) kalo mau jajan-jajan dulu. 'Masih cukup dek waktunya kalo mau mampir beli makan.. ' Sampe bandara cipika cipiki sama si ibu, dibantuin ambil barang di bagasi, bahkan si ibu percaya banget suruh naruh duitnya di dashboard aja. Berasa beneran dianterin sama keluarga sendiri, padahal baru kenal kemarin.

Oh ya, itulah satu hal yang paling saya suka dari jalan-jalan random dan mengakrabi stranger. Bisa menemukan peluang kemudahan-kemudahan selama berada di antah berantah (tempat manapun yang bukan rumah).


Btw ini pertama kalinya ambil flight pagi yang sekalian bisa sunrise-an dari pesawat
dan pagi itu cuacanya cerah bangett

Oh ya, pas berangkat kan saya udah cek in online dan cetak boarding pas di kantor. Jadi boarding tinggal masuk aja. Nah pas pulang, ternyata bandara Lombok nih ketat banget. Saya dan teman memang sengaja tidak membeli bagasi dalam rangka berhemat. Tapi ternyata tas yang akan masuk kabin juga di timbang coy. Batas maksimal bagasi kabin tuh 7 kg. Temen saya bawa koper dan saya bawa ransel. Saya sudah waswas kalo overweight nih, soalnya koper temen saya aja lebih ringan ketimbang ransel saya. Yha soalnya saya bawa wedges buat kondangan, bawa sepatu (karena langsung berangkat dr kantor), dsb. Akhirnya saya kabur ke toilet sembari nitip temen buat check in kan. Sumpah ini nakal banget, jangan ditiru gaess. Maka loloslah saya dari pemeriksaan timbangan tapi tetap dengan perasaan waswas.

Sesampainya di rumah karena penasaran sebenernya berat ransel saya berapa sih, dan ternyata ada 10 kg dong. Hehe. Tapi saya gak terlalu merasa bersalah-salah amat sih, kan berat badan saya dibawah 50 kg trus nambah barang bawaan saya kalo ditotal cuma 60 kg. Mungkin pembatasan berat bagasi yang digratiskan akan lebih fair kalo ada batasan angka maksimal total berat penumpang ditambah dengan beban bagasi.

Misal maksimalnya 75 kg. Jd kalo seseorang berat badannya 65 kg, dia punya jatah bagasi gratis 10 kg. Kalo penumpangnya 50 kg, punya jatah bagasi gratis 25 kg. Lalu bagaimana dengan penumpang yang punya berat badan banyak, harus bayar bagasi dong? Ya kan pesawat untuk terbang punya bobot maksimal yang bisa dibawa, jadi yang bawaannya banyak (termasuk bawa badan kan) harus bayar kontribusi lebih banyak juga. Ibaratnya kayak beli baju, makin lebar orangnya juga kan pasti butuh kain lebih lebar. Trus abis ini saya bakal dianggap body shamming atau dicerca habis-habisan sama SJW. Tapi berhubung adil kan gak harus sama, jadi memang gak ada salahnya subsidi silang mengenai bobot bagasi ini. Lagian kan kita harus mewujudkan transportasi umum yang inklusif bagi semua kalangan, jadi yah ide tadi hanya sebuah perspektif saja.

Untuk traveling-traveling sejenis berikutnya, saya sudah tau akan melengkapi diri dengan apa: drybag ukuran 10lt (pasti berguna banget kalo mau snorklingan, main di pantai, sungai, atau yang berisiko basah-basahan) dan travelbag warna biru dongker. Kenapa banget harus biru dongker? Karena pernah liat travelbag biru dongker cantik banget tapi gak aku beli :(

Oh ya, mungkin sesekali mau jalan-jalan cantik edisi anak koper, berarti perlu juga beli koper cantik ukuran 20 inch. Kenapa ukuran 20 inch? Biar bisa masuk kabin dan gak ribet, dalam artian masih sanggup bawa sendiri. Aaaaaak, can't wait for the next travelling..



Bonus rengrengan biaya:
Tiket pesawat
1.750.000 (Jogja-Lombok PP)

Hari 1
Tips untuk pemandu di Desa Adat Sade 50k (ini bebas sih mau ngasih berapa)
Masuk bukit merese 10k
Masuk tanjung aan 10k
Makan siang di Dapur Sasak 250k (3 orang)
Sewa mobil+supir+bensin seharian 300k

Hari 2
Gocar dari Mataram ke Pelabuhan Bangsal 120k (kalo PP tinggal dikali 2)
Boat nyeberang ke Gili Trawangan @17500
Snorkling 150k
Maksi di Gili Trawangan 60-70k
Boat balik ke Pelabuhan Bangsal @15k

Hari 3
Gocar dari Kota Mataram ke Bandara 150k

Oh ya kita nginep di sini




















Nb. selalu telat banget sharing, terutama konten jalan-jalan soalnya saya paling males buat nyortir foto dan menata file di komputer, maapin guys.

Tuesday 23 October 2018

Tempat Nugas

Beberapa hari terakhir aku lagi rajin bergerilya dari satu coworking space ke coworking space yang lain dalam rangka mencari tempat cozy buat nugas. Well, semenjak aku tak lagi punya kantor, aku sering kali kebingungan mau mengerjakan tugas dimana. Pasalnya gaya gravitasi tempat tidur di kamarku sangatlah tinggi, maka aku harus pindah tempat kalau mau produktif nugas. 


This is it, testimoni tempat-tempat nugas yang aku coba dari jaman masih skripsian. Ini cuma testimoni suka-suka ya, berdasar pengalaman pribadi tentunya.


1. Ekologi à Juaranya dan trendsetter coworking space di Jogja nih. Nyaman, seringkali rame, tapi sayangnya cukup mahal buat kantongku pribadi (sepertinya aku bukan terget market mereka, hiks). Mereka membagi ruang-ruang sesuai peruntukannya alias fungsional, misalnya ruang utama di bawah ada sofa-sofa yang cocok buat ngobrol dan kongkow cantik. Di luar ada smooking area, bisa buat nugas atau kongkow cantik. Kalau mau rada serius, bisa di lantai atas. Tapi aku pribadi kurang suka sih, karena tujuan nugas di luar kan biar sekalian refreshing. Nugas di lantai 2 nya Ekologi mah ambience nya sama aja kayak saya nugas di kamar sendiri. Heu.

Sumber: Akun IG nya Ekologi
2. Sinergi à Baru sekali kesini, suka sama konsepnya yang semi outdoor. Mana waktu aku kesana malam-malam dan pas hujan deres, jadi asyik seger-seger gimana gitu. Dari segi harga, dia sebelas dua belas lah sama Ekologi. 

Sumber: Akun IG nya Sinergi
3. Antologi à Nah ini tempatnya nyempil banget, masuk-masuk ke jalan lingkungan. Entah kenapa aku pribadi sih lebih suka tempat-tempat yang memang gak terletak di jalan utama. Pertama kali ke tempat ini, merasa menemukan harta karun soalnya gak nyangka menemukan tempat macam ini di lokasi macam itu. Lebay amat yha, hehe. Lumayan suka juga sama tempat ini karena banyak sharing table nya, banyak spot yang memang ditujukan untuk nugas santai, tapi sayangnya sering rame. Dari segi harga menu juga dibawah Ekologi, cukup terjangkau lah buat mahasiswa. Menu favoritku adalah paket combo Tea sama Dimsum yang sekitar 20k aja. Sering dijadikan tempat event kalau ada sharing-sharing sejenis bedah film, bedah buku, atau sharing-sharing sejenisnya lah. Sayangnya untuk wifi gratisannya kurang oke dan sering mesti login ulang berkali-kali. Tapi kalau mau wifi oke nan kencang, bisa kok bayar langganan wifinya. Btw aku baru tau belakangan kalau tempat ini punya bapaknya temenku, bukan temen deket sih jadi harusnya gausah ngaku-ngaku ya. wkwk

Sumber: Akun IG nya Antologi
4. Ruang Kerja à Juga cuma satu kali kesini, waktu itu nugas sore-sore sampai malam di bagian luar. Suasana sore di sini asyik sih, kan emang pada dasarnya nyore di tepian sungai atau di ketinggian bisa sangat syahdu. Hehe. Dari segi lokasi, sebenernya kurang suka sih. Dia itu mepet banget sama sungai di belakangnya, tiba-tiba keinget aja sama kasus ruko-ruko yang longsor di deretan jalan ini. Oh iya kalau nugas di bagian luar, kurang nyaman karena meja kursinya itu yang dari batu itu loh, jadi gak bisa dimaju mundurkan sesuai kehendak hati. Sama satu lagi yang gak aku suka dari tempat ini, toiletnya cuma satu dan campur untuk semua jenis kelamin, jadi kurang nyaman aja. Padahal harusnya tempat yang jual minuman jenis teh dan kopi menurutku sih lebih baik menyediakan toilet yang oke dan lebih dari satu, mengingat kedua jenis minuman itu bersifat diuretik.

5. Kaktus à Nah ini masih baru banget nih, ternyata baru opening 3 hari yang lalu waktu aku kesana kemarin. Dia punya nya Mbak menantunya Amien Rais (ini penting banget disebutin ya? Wkwk). Harga makanan minumannya gak terlalu mahal sih dibandingkan coworking sebelah. Untuk jenis tea, 18k ajah. Kalau jenis latte 25k. Tapi menu makanannya masih dikit, mungkin karena baru buka juga sih. Kemaren order French Fries 17k. Lantai 2 belum semuanya bisa dipakai. Ambience nya kalau siang-sore kurang nyaman soalnya panas banget, dan berisik orang-orang ngobrol. Ditambah suara musiknya yang kekencengan, tambah gak konsen buat nugas. Dan kayaknya mereka perlu menambahkan tirai yang bisa dibuka-tutup biar gak silau kalau sore. Menjelang malam mulai asyik dengan lampu warmlight nya, dan orang-orang cenderung gak berisik karena pada sibuk nugas dengan laptop masing-masing. Wifinya cukup oke, banyak colokan juga. Langsung nemu spot favorit: sharing table berupa meja panjang di sisi utara, karena tinggi meja dan kursinya pas aja buat nugas.

6. Dunkin Donnuts à Nyaman banget buat nugas, tapi seringkali rame bangets. Berdasar testimoni temen-temen, sering diusir secara halus kalau makanan minuman yang kita order udah habis trus gak order lagi. Kemaren beruntung aja pas kesana lagi ada promo buy one get one kalau bayar pake kredit card BCA atau kartu Flazz. Minumannya ada yang harga belasan, ada yang kisaran 20k-30k. Donatnya sekitar 10k. Sebagai penggemar Thai Tea, menurutku Thai Tea nya dunkin kurang enak sih dibanding Dumdum. Lalu kata temen: Emang iyaaa, kamu gak liat review Thai Tea nya Raditya Dika sih.. wkwk

7. Blanco Coffe and Book à Nah ini salah satu coffe shop favoritku sih, tapi jarang kesini karena tergolong cukup mahal (yha sebenernya standar kafe sih, tapi lagi-lagi aku aja yang sepertinya bukan target market mereka, hehe). Gak seperti coffe shop kebanyakan, coffee shop ini buka dari pagi loh. Denger-denger sih tempat ini juga terkenal dengan pemiliknya yang ganteng itu. Menu favorit berhubung pada dasarnya aku gak kuat ngopi adalah Greentea latte nya. Dan kayaknya tempat ini gak menjual makanan berat deh. Selalu suka sama coffe shop kecil namun cozy karena cenderung membuat merasa feels like home, gak merasa insecure kalau mau ninggalin barang-barang buat ke toilet bentar. Tapi ya itu, karena tempatnya kecil, itu merupakan kelebihan sekaligus kelemahan karena tidak bisa menampung jumlah orang yang banyak.

Sumber: Akun IG nya Blanco
8. Rumah Coklat à Kesan pertama, mbak dan mas waitressnya ramah banget. Baru pertama kali masuk sampai dalam-dalam, karena mau numpang sholat. Dan langsung merasa asyik banget ini bangunan, berhubung saya selalu suka bangunan indische ya. Termasuk tempat recommended buat nugas sendiri, karena laptop ditinggal sholat atau ke toilet sih bakal aman-aman aja.

Sumber: Akun IG nya Rumah Coklat
9. Chachamilktea à Siapa sih yang gak tau tempat ini, harganya sangat sesuai untuk kantong pelajar. Sebenernya kurang cocok buat nugas sih, tapi bisa juga buat nugas kok.

10. Calais Kotabaru à Karena udah terlanjur kenal Chacha duluan yang udah enak dengan budget segitu, Calais jadi terasa mahal dengan rasa yang gitu-gitu aja. Tapi aku kesini mencari suasana sih, jadi ya sekali-kali ndak papa lah mengeluarkan kocek lebih. Sayangnya lagi-lagi, toiletnya bercampur antara perempuan dan laki-laki. Kemaren nugas di spot pojok, banyak nyamuk dan samar-samar kadang tercium bau toilet. Belum nemu spot favorit, soalnya dari penataan kursinya menurutku kurang oke sih. Ada deretan kursi yang lokasinya gak banget karena nyempil maksa cenderung tersembunyi gitu, jangan sampai deh ada yang pacaran macem-macem di situ, wkwk.

11. Bowling Fruit Bar à Ini salah satu jajanan es favoritku di tengah teriknya Jogja. Kalau yang di Jalan Alamanda kurang cocok buat nugas, tapi kalau yang di Gejayan bisa lah buat nugas. Tapi sekarang yang di Gejayan lagi dibongkar sih, ndak tau kapan bakal buka lagi. Menu favoritku adalah Pattaya Ling (ini aku udah suka ini sebelum demam Thai Tea merajalela ya) atau Green Ling, buat cemilannya palingan crunchy siomay.

12. Kedai IQ à Dari segi menu gak terlalu mahal, jual makan berat juga. Lokasinya juga pas di tengah kota. Bisa nugas sampai larut malam karena tempat ini buka sampai pukul 02.00. Sayangnya suka was-was kalau nugas sendiri trus mau ninggalin barang buat sholat atau ke toilet.

13. Top Coffe (SPBU C. Simanjuntak) à Sebenernya kesini karena gak sengaja sih. Jadi suatu siang lagi di jalan lalu butuh ngetik-ngetik dikit dan segera mengirim email, kalau mau ke kampus nanggung banget karena ceritanya aku dari arah malioboro lalu sedang menunggu jam istirahat dan harus kembali lagi ke malioboro secepatnya setelah jam satu siang. Setelah ambil barang di Jalan Solo dan ternyata harus mengisi bensin sekalian sholat dhuhur, maka tempat ini adalah one stop yang sangat cocok. Wifi oke, colokan listrik oke, harga menu standar kafe tapi seingetku sih gak tergolong mahal-mahal amat. Sayangnya kalau siang, yang lantai atas belum buka. Pernah suatu malam mampir isi bensin di sini, lalu lagi ada yang life perform asyik banget gitu di lantai atas. Mungkin suatu saat mesti kesini lagi buat nyobain yang lantai atas.

14. Woodstock à Nah ini jauh banget dari rumahku yang di selatan, dia berlokasi di Jalan Palagan atas. Kalau mau pulang malam, PR banget nih membelah Kota Jogjanya, hehe. Asyiknya dari tempat ini sih cukup tenang dan sepi karena jauh dari kota. Tapi menurut pengalaman, posisi meja kursinya kurang asyik buat nugas. Mungkin memang pada dasarnya tempat ini dirancang buat nongkrong-nongkrong sih, bukan buat nugas.

15. Mak Semarangan à Gak rekomended banget buat nugas, berisik abis. Tapi kalau mau buat foto-foto, banyak spot instagramable kok. Wifi nya juga waktu itu kurang bagus. Tempat buat nugas ada di lantai paling atas, banyak colokan sih tapi gerah gitu soalnya lampunya pake bohlam bukan LED. 

Btw sebenarnya aku udah nyadar sih, ngafe-ngafe macam gini bukan life style yang cocok buatku yang notabene kerjaan aja masih freelance dan belum settle. Tapi ada kalanya, dimana mood sangat jungkir balik sementara deadline kerjaan udah dekat. Untuk itu nugas di kafe bisa menjadi solusi instan demi menjaga profesionalitas kerja alias bisa menyelesaikan tugas dengan baik sesuai deadline. Well, memang kadang kita perlu mengorbankan sesuatu untuk mencapai sesuatu yang lain, right?


So, sampai jumpa di review suka-suka selanjutnya..