Tuesday 23 April 2013

Be Brave :)

Tak pernah menyesal pada sesuatu, ah atau tepatnya seseorang yang membuat saya berada di sini.

Dan mungkin memang tak ada yang perlu disesalkan, toh memang selalu ada harga yang harus dibayar untuk semua yang kita dapat. Dan mungkin harga yang bisa saya bayar tak pernah sebanding dengan apa yang saya dapat. Teringat kata-kata dari seorang teman di sebuah obrolan atau tepatnya curhatan di tengah malam itu.

“..langkah pertama yang paling benar untuk membalas sebuah kebaikan adalah dengan menerima kebaikan itu sendiri. Kan jadi salah kalo niatnya mutusin pacar gara gara si pacar yang terlalu baik ke kita dan kita nya nggak merasa sanggup buat kasih feed back..”

Analogi yang kena banget, walopun menurutku tentu saja nggak bisa dianalogikan begitu..

Jadi mengapa saya suka naik gunung?

Selain masalah pemandangan, sebenarnya berawal dari sebuah pelarian. Dan saya menemukan sebuah kedamaian di atas ketinggian itu, sejenak melupakan masalah duniawi dan menghilang dari peredaran karena memang tak ada sinyal di tempat setinggi itu. Ah ya, pengecualian di puncak Gunung Tambora yang masih bisa telponan pake sinyal telkomsel. Dan juga segala kondisi ekstrem atau kesulitan yang membuat saya menjadi bersyukur ketika kembali ke peradaban.

Misalnya ketika merasa sangat gerah di rumah, rasanya tak lagi ingin mengeluh ketika teringat dingin yang sangat menusuk ketika saya pertama kali naik Merapi, atau dinginnya Lawu. Dan ketika dulu saya sangat malas sekedar untuk menghangatkan air dengan kompor gas di rumah, ketika mengingat repotnya memasak di atas gunung, rasanya memasak apapun di rumah menjadi sangat menyenangkan. Lalu teringat ketika ngebela-belain menyentuh air yang dinginnya begitu untuk sholat di atas gunung, atau harus bertayamum karena keterbatasan air, maka saya mempertanyakan diri saya sendiri ketika malas sholat di tempat yang lebih mudah. Dan ketika saya malas sekali keluar rumah padahal sekadar melangkah ke warung sebelah untuk membeli sesuatu, rasanya jadi ringan ketika teringat begitu mudahnya mendapat barang apapun di jam berapapun karena ada indomaret yang buka 24jam disini , dibandingkan ketika saya  berada di Sumbawa waktu itu.


Di Merbabu

Pada intinya, naik gunung itu mengikis sifat pemalas saya, dan menumbuhkan rasa bersyukur terhadap hidup.

Puncak pertama: Puncak Lawu (3265 mdpl). Cerita selengkapnya bisa dibaca disini.

Puncak Merbabu (3145 mdpl), ketika pendakian massal dalam rangka ultah SATUBUMI tahun 2012.

Puncak Merbabu di kesempatan yang lain, dengan  jalur yang berbeda dan cenderung lebih ekstrem.

Danau Taman Hidup, Argopuro

Puncak Tambora (2820 mdpl).

Dan juga perjalanan naik gunung yang nggak sampai puncak atau hanya berniat bermain-main atau ‘pindah tidur’ di hutan. Pendakian Merapi via selo (selengkapnya bisa dibaca disini) dan juga latihan navdar di Ungaran.

Caving.

Ketertarikan saya yang lain di dunia yang satu ini. Walopun belum pernah masuk goa vertical, tapi ketika melihat keindahan ornament goa, stalagtit dan stalagmit yang begitu rapuh. Juga perlakuan senior saya yang begitu ‘menyayangi’ goa, “..sayang kan, untuk tumbuh stalagtit berapa centimeter aja butuh waktu berapa lama. Masa kita gampang aja matahin gitu..”


Pintu Masuk Goa

Ornamen Goa


Genangan air di dalam Goa

Kemudian rafting, dimana pada awalnya saya nggak ngerti apa yang di cari dari kegiatan ini. Entah mau mencari jeram atau justru menghindari jeram. Pertama kalinya saya rafting, di Elo langsung nyobain 2 trip dan konsepnya latihan, bukan funraft. Wow, pada saat itu saya langsung beranggapan bahwa ternyata rafting lebih meremukkan badan ketimbang naik gunung. Sepulang dari rafting, saya kebingungan mencari titik pusat linu karena rasanya seluruh badan dari pinggang ke atas serasa remuk redam dan akhirnya mengoleskan counterpain bagaikan mengoleskan handbody.hoho

Rafting Elo

Beberapa kali rafting masih di Elo dan kemudian beberapa waktu yang lalu mencoba rafting di sungai dengan karakteristik yang berbeda, Serayu. Berawal dari menghadiri sebuah presentasi mengenai ekspedisi pemetaan Sungai Serayu, saya bersama beberapa teman tertarik untuk mencoba dan merasakan sendiri mengarungi sungai serayu yang katanya cukup menantang ini. Elo termasuk antara sungai dengan grade 2-3, sedangkan Serayu termasuk grade 4. Maka berangkatlah kami bersepuluh menuju basecamp Serayu di wonosobo. Hmm, ternyata jauh juga ditempuh dengan naik motor.

Jeram di Serayu jauh lebih banyak dan lebih menantang dari Elo. Ada jeram selamat datang, jeram tangga, jeram double drop, jeram S, jeram watukodok, dan jeram-jeram lainnya, diakhiri dengan jeram dwi. Beberapa jeram dinamakan sesuai bentuk fisiknya yang menyerupai tangga dan ada juga yang dinamakan seperti nama orang yang pernah meninggal di jeram tersebut.

Dan saya menemukan sebuah kedamaian di antara sekian banyak jeram di sana. Di antara pandangan yang terbuka lebar, dan pepohonan di tepian sungai. Di area flat di antara sekian jeram. Perasaan tenang dan damai.

Panjat tebing.

Nah, ini merupakan kegiatan yang tidak terlalu menarik bagi saya. Walaupun nggak nolak ketika di ajakin manjat di Siung atau sekedar jadi tim daratnya anak-anak panjat di Samigaluh. Karena memanjat selalu membutuhkan otot atau teknik, dan lebih bagus kalau punya keduanya.

Panjat tebing di Siung

Kembali pada sesuatu yang menjadi topik utama tulisan ini, mungkin boleh meminjam istilah Oppurtunity Cost dari mata kuliah ekonomi. Tentu saja akan ada biaya yang harus dikorbankan karena pilihan yang kita ambil. Dan biaya yang dimaksud disini tak hanya mengacu pada finansial, tapi juga waktu, kesempatan, dan yang lain-lain. Be brave, untuk melakukan kegiatan-kegiatan seru di atas, dan untuk menanggung segala konsekuensi dari pilihan kita memilih berkecimpung di dunia yang satu ini :)

Be Brave, Latihan SRT di selasar KPFT :)