Saturday 20 January 2018

IELTS

Sudah lama saya ingin memulai belajar IELTS, tapi baru belakangan ini memberanikan diri mengambil kursusnya. Untuk mengambil kursus inipun saya harus pemanasan dulu dengan mengambil short course TOEFL, hanya untuk tau sesungguhnya saya separah itu atau tidak. Dan ternyata, saya memang sepayah itu. 

Sudah lama saya tidak merasa bodoh di kelas, dalam artian merasa tertinggal dan tertatih-tatih memahami materinya. Dan ini bagus untuk saya, karena selama ini hal semacam ini menjadi motivasi terbesar saya untuk belajar. Lagipula, tujuan saya ikut les kan supaya tercambuk. Kalau belajar sendiri di rumah, saya merasa kurang tercambuk sehingga lebih memilih menikmati serial netflix atau drama korea dan terutama tak bisa menjauh dari godaan kasur.

Saya yang masih awam sekali dengan IELTS, tidak menyangka bahwa IELTS berlipat-lipat kali lebih menantang daripada TOEFL. IELTS terdiri dari 4 bagian: reading, writing, speaking, dan listening, dengan jenis soal bukan pilihan ganda. 

Writing terdiri dari 2 bagian, writing task 1 dimana kita harus menganalisis dan mendeskripsikan diagram atau siklus; dan writing task 2 dimana kita diminta menulis essay tentang opini, bothside, maupun two part question. Pertanyaannya bisa sangat random. Saya pernah mendapat pertanyaan opini yang menyebutkan fakta bahwa di beberapa negara, elder populationnya tinggi. Menurutmu itu cenderung positif atau negatif, dan sebutkan alasannya. Juga pertanyaan tentang penyebab global warming dan bagaimana upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasinya. Juga pertanyaan tentang university education yang membantu kita mendapat pekerjaan yang lebih baik, namun sebenarnya punya manfaat lebih luas bagi individu maupun sosial. Kita diminta mendiskusikan kedua sudut pandang beserta alasan pendukungnya. Well, ketika diminta menulis esai berbahasa indonesia dengan menjawab pertanyaan di atas saja sudah membuat kita memutar otak. Nah ini diminta menulis dalam bahasa inggris. Berhasil menulis dalam bahasa inggris formal tanpa kesalahan gramatikal saja sudah hebat. Nah ini, ada kriteria lain yang dinilai untuk bisa mendapat score yang tinggi. Semua secara transparan dijelaskan dalam band descriptor IELTS.

Maka mau tak mau, saya harus brainstorming. Karena langsung menulis tanpa brainstorming dan menyusun controlling idea dan supporting idea nya, akan membuat kita dihadapkan pada writer's block. Hal itu tentunya akan menghabiskan waktu kita yang tidak banyak. Writing task 1 diberi waktu 20 menit untuk menulis minimal 150 kata, sedangkan writing task 2 diberi waktu 40 menit untuk menulis minimal 250 kata. 

Kriteria lain yang saya sebutkan di atas adalah seberapa kompleks kalimat-kalimat yang kita buat, semakin kompleks semakin baik. Kalau bisa jangan selalu menggunakan present tense tapi dikombinasi dengan tenses lain. Harus bisa memparafrase kalimat pembuka, sebisa mungkin berbeda dengan kalimat pada soal walaupun memiliki maksud yang sama. Dan sebisa mungkin memperlihatkan variasi vocab.

Speaking terdiri dari 3 bagian: bagian pertama tentang informasi personal, bagian ke-2 tentang sebuah topik tertentu, dan bagian ke-3 diskusi lebih lanjut terkait topik sebelumnya. Lagi-lagi saya sering merasa tertodong dengan pertanyaan yang seringkali tak terduga. Seperti ketika saya diminta mendeskripsikan sebuah benda yang membantu saya dalam kegiatan sehari-hari, dalam 2 menit. Atau ketika diminta menceritakan tentang idola saya, padahal saya tak punya sosok idola. Atau apabila diminta menceritakan tentang suatu barang yang pernah kita beli lalu menyesal telah membelinya. Atau menceritakan tentang sebuah surat yang pernah kita terima. Atau diminta mendeskripsikan workspace idaman kita, atau diminta menjelaskan rekan kerja seperti apa yang kita inginkan, mendeskripsikan tempat menarik yang pernah dikunjungi, menceritakan memorable dinner, dsb. Sejujurnya saya kewalahan, untuk menjawab dalam bahasa indonesia saja saya membutuhkan jeda cukup panjang. 

Saya kangen ditodong pertanyaan-pertanyaan abstrak, yang tanpa tedeng aling-aling dan hanya membutuhkan jawaban spontan. Supaya saya terbiasa menjawab pertanyaan, refleks tanpa perlu berpikir lama. Seperti ketika kita sedang duduk-duduk sambil membaca koran, lantas ditanya menurutmu Tatjana Saphira cantik enggak, kenapa tuh? Atau ketika sedang makan bakso  tiba-tiba ditanya kamu pendukung teori flat earth atau bumi bulat, alasannya apa? Atau ketika kita sedang dalam perjalanan ke suatu tempat, ditanya menurutmu islam nusantara itu gimana? Atau tentang muslim rohingya dan pengungsi dari negara lain yang mencari suaka di negara kita. Dan pertanyaan-pertanyaan sejenis yang sebenernya perlu dipikir tapi gausah dipikir-pikir banget.

Mungkin otak saya cuma kaget aja, udah lama gak dipake lantas diminta brainstorming. Jadi rupanya memang terjadi badai di dalam otak saya yang kalang kabut berusaha mencari jawaban. Tak heran setiap pulang les, saya merasa energi saya tersedot cukup banyak. Haha

Selain itu tentunya saya harus memperbanyak membaca dan berlatih, terutama dalam writing dan speaking. Seorang teman pernah menulis, untuk mendapatkan foto yang bagus kita bisa aja mengedit sedemikian rupa, tapi kita tidak bisa memanipulasi tulisan kita. Tulisan kita menggambarkan pikiran kita, tidak bisa kita manipulasi. Setuju sekali dengan pendapat teman saya itu, saya kadang menilai orang dari gaya tulisannya. Karena tulisan bisa menjelaskan kepribadian seseorang, sangat menjelaskan seperti apa pola berpikirnya, apa saja literatur bacaannya, dan lain sebagainya. 

Overall, belajar IELTS itu seru kok. Kapan-kapan kuceritain tentang reading sama listening nya. Lebih seru lagi kalo belajar bareng sama orang yang sama-sama mengejar  target dan asyik buat saling menertawakan kebodohan masing-masing, seperti teman-teman di kelas saya. Kadang seru loh punya teman yang bisa diajak menertawakan kebodohan kita bersama. Hehe

Pariwisata (Part 1)

Saya selalu penasaran, gimana ya perasaan orang-orang yang tinggal di kota destinasi wisata tapi tidak terlibat dalam kegiatan wisata. Misalnya Bali atau Malang (well, mungkin Batu lebih tepatnya) yang selalu menjadi tujuan wisata tak peduli musim liburan atau bukan.

Pasalnya sebagai warga Kota Yogyakarta yang notabene juga termasuk destinasi wisata, apalagi setelah boomingnya film AADC 2, musim liburan atau long weekend selalu menjadi hal yang tidak menyenangkan buat saya untuk bepergian kemanapun. Macet parah, dalam kota dan hampir seluruh jalan utama selalu macet dan dipenuhi bus pariwisata yang gede-gede itu. Apalagi Malioboro dan sekitarnya. Mending di rumah saja deh, menunggu semua keramaian itu surut dengan sendirinya begitu liburan usai.

Tapi libur panjang natal dan tahun baru kemarin menurut saya jauh lebih padat dari biasanya. Penasaran jumlah kunjungan wisatawan ke Jogja memang meningkat sebegitu drastisnya atau hanya perasaan saya saja lantaran liburnya yang lebih panjang dari biasanya. Dan mungkin karena orang-orang sengaja mengambil cuti menggabungkan long weekend natal dan long weekend tahun baru. Jadi rasanya liburnya nggak kelar-kelar.

Well, mungkin kota-kota yang menjadi destinasi wisata lainnya sudah dilengkapi infrastruktur yang memadai. Sedangkan jalanan Jogja masih tergolong kecil-kecil, banyak mobil saja udah bikin macet apalagi bus. Btw sorry oot, tiba-tiba keinget aja lagi on going baca salah satu novelny Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (sumpah, ini penulisnya ngakunya itu nama asli) yang mana mengambil sudut pandang dari sebuah bus dalam kota. Menarik, tapi mari kembali pada topik utama. Sehingga mungkin saja warga kota yang tidak terkait langsung dengan kegiatan pariwisata di kota tersebut tidak merasa terganggu dengan adanya wisatawan yang datang setiap hari.

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah artikel dari tirto.id yang menyebutkan bahwa kegiatan wisata merupakan salah satu kegiatan yang merusak bumi. Tirto menyoroti data perhitungan emisi yang dikeluarkan oleh pesawat untuk perjalanan wisata. 

Tapi sebenarnya saya cukup ragu ketika membicarakan isu lingkungan dan global warming. Ada yang bilang ini merupakan bentuk penjajahan baru terhadap negara-negara semacam Indonesia. Jadi mereka menggembor-gemborkan isu global warming, supaya kita menjaga lingkungan dengan mengurang emisi sehingga mereka bisa seenaknya buang emisi. Senior saya pernah menjelaskan mengenai konsep carbon trading, REDD+. Jadi masalah lingkungan ini sebenarnya sangat kontroversial. 

Selain itu ada yang namanya statistic lies, dimana data statistik diputar balik penyajiannya sehingga menimbulkan persepsi tertentu. Data statistiknya tidak salah, jumlah-jumlahnya sesuai dengan yang sesungguhnya, namun pengolahan datanya disetir sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu fakta yang diinginkan.

Bagaimanapun, menurut saya wisata itu merupakan kegiatan tersier. Sebagaimana segala hal yang bersifat tersier, tidak heran bahwa wisata cenderung mahal dan menyasar masyarakat golongan tertentu yang mampu membayar. Turunannya, biasanya orang mau membayar mahal asalkan memuaskan. Mungkin hal itu juga menjelaskan perilaku masyarakat yang cenderung seenaknya ketika berwisata, misalnya buang sampah sembarangan: kan saya udah bayar nanti juga ada petugas yang bersih-bersih. Nah, ketika ada dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan ini, tapinya tidak ingin menghentikan kegiatan ini, maka mungkin bisa diatasi dengan semakin membatasi jumlah orang yang bisa mengaksesnya. Hal ini bisa dilakukan dengan menaikkan tarif, atau menyebarkan isu bahwa dengan berwisata anda turut merusak lingkungan. Ha!

Kendati demikian tak bisa dipungkiri bahwa berwisata juga merupakan kebutuhan setiap manusia. Toh wisata tidak harus mewah, banyak piknik murah meriah yang tak kalah membahagiakan. Salah satunya adalah wisata alam. Bahkan ya, dalam kunjungan saya beberapa waktu lalu ke Tebing Breksi, mereka hanya memungut biaya parkir dan tarif masuk seikhlasnya. Saya sering kali merasa senang tinggal di kota ini, yang orang-orangnya tidak oportunis memanfaatkan momen yang lagi ngehits. Begitu juga ketika beberapa tahun yang lalu semua orang latah naik gunung akibat film berjudul 5 Cm. Gunung Andong di Magelang yang super duper ngehits itu karena cenderung mudah bagi pemula, selalu ramai dikunjungi weekdays maupun weekend, masyarakatnya sadar wisata dengan menyediakan rumah-rumah mereka sebagai basecamp, mengelola parkir dengan baik, juga mulai membuka usaha jualan makanan dan minuman dingin di sepanjang jalan. Namun satu yang membuat saya senang, mereka tetap menerapkan tarif normal seperti kalau kita jajan dimana-mana. Padahal kalau mereka berniat mengeruk untung sebanyak mungkin, memanfaatkan fenomena ini juga bisa aja. Seperti misalnya yang jualan air mineral 600ml seharga 10 ribu rupiah. Adaaa tempat-tempat yang begitu, dan aku bersyukur Jogja dan sekitarnya tidak begitu.

Berbicara tentang pariwisata, ada beberapa hal yang cukup menggelitik. Salah satunya mengenai latah desa wisata, termasuk salah satunya di kampung saya. Saya merasa kadang-kadang mereka mengunik-unikan diri supaya punya nilai jual. Di kampung saya ada semacam pawai atau festival, atau apapun lah itu dimana kami akan berarak-arak mengenakan kostum tertentu. Ada perebutan pendanaan di sini, dimana kampung saya dan kampung sebelah ingin menjadi desa wisata agar mendapat dana kampung wisata dari atas. Saya sendiri sebagai warga (bukan asli) kampung ini, terkadang bingung apakah kami punya selling point?

Saya pernah berdiskusi dengan seorang teman, desa wisata yang sustain itu seharusnya menjadikan kegiatan wisata hanya sebagai kegiatan sampingan sehingga mereka tidak mengalami ketergantungan secara ekonomi dari sektor ini. Tapi yang sering terjadi, kebudayaan yang dijual di desa wisata cenderung buatan (branding) dan bukan merupakan value yang murni dari hasil budaya mereka. Waktu itu saya menceritakan kunjungan saya ke Kampung Adat Waerebo di Flores. Well, kapan-kapan saya ceritakan dalam postingan lain.

Setiap kegiatan pasti ada trade off nya, namun apakah sebanding? Yang banyak terjadi, justru alamnya rusak setelah dilakukan kegiatan wisata alam. Alih-alih menyejahterakan masyarakat, kadang kerusakan sosio kulturalnya tidak sebanding.

Mungkin seharusnya dilakukan semacam pembatasan jumlah pengunjung untuk wisata alam, sesuai dengan daya dukung dan daya tampungnya sehinggga tidak over capacity yang berujung merusak. Tapi sepertinya cukup susah mengukur daya dukung dan daya tampung untuk wisata alam. 

Berbicara mengenai pariwisata selalu menarik, sama menariknya dengan berkunjung ke tempat-tempat wisata itu sendiri. So, ini bisa jadi alternatif pilihan s2 saya selain manajemen transportasi dan socio spatial planning. Hmm.

Wajah Baru Bantul

Saya bukan warga Bantul, tapi sudah sangat familiar dengan sepanjang Jalan Raya Bantul yang adem itu. Dari sepanjang depan Masjid Agung Manunggal ke selatan hingga simpang Gose. Ke-familiar-an ini saya dapatkan semasa skripsi, bolak-balik survey yang penuh drama dan air mata. Akan saya ceritakan perihal survey ini di postingan berbeda.

Sudah lama saya tak berkunjung ke Bantul kota, mentok-mentok sampe Jalan Parangtritis doang. Dan baru beberapa hari yang lalu saya kembali ke Bantul dalam rangka menemani seorang teman untuk mengurus ijin penelitian. 

WOW, dan saya terperangah pada perubahan yang terjadi. Bantul sudah tak seperti yang saya kenal dulu. Well, mengambil penelitian di Bantul, terutama tentang penataan ruangnya, tentu saja membuat saya sudah pernah mendengar rencana penebangan pohon yang merusak aspal di sepanjang Jalan Bantul itu. Pun juga rencana penataan kawasan yang saya baca di dokumen RTBL Bantul yang berhasil saya dapatkan serta di dokumen RDTR Bantul. Tapi melihat langsung implementasinya tetap saja membuat saya tercengang. 

Sebegitu besarnya efek penataan kawasan terhadap citra yang ditimbulkan. Selama ini setiap saya berkunjung ke tempat-tempat yang masih asing bagi saya, saya berusaha merasa-rasakan citra kawasan/kota tersebut. Bagaimana sense of place nya, rasa apa yang ditimbulkan tempat baru tersebut bagi orang asing seperti saya. Lalu saya catat baik-baik dalam memori. Kadang bahkan saya merasakan ada sense yang sama pada tempat yang berbeda, misalnya sepanjang Jalan Jenderal Sudirman (jalan favorit saya di Kota Jogja) sense nya hampir sama dengan Jalan RE Martadinata di dekat Mall BIP, Bandung.

Pertama kali menyusuri Bantul setelah penataan, menurut saya rasanya seperti menyusuri Malioboro pasca penataan. Pandangan lebih luas, tidak terhalang oleh pepohonan. Masing-masing bangunan lebih terlihat, dengan fungsi-fungsinya. Jalan yang tadinya terbagi 4 ruas menjadi lebih luas setelah dijadikan 2 ruas. Pedestrian lebih apik, bersih, dan luas. Juga terdapat pergantian dan penambahan street furniture, yang biasanya memang dijadikan sebagai penanda kawasan. 

Secara umum penataan kawasan memang menjadikan fisik kawasan terlihat lebih baik dan lebih rapi secara visual. Akan tetapi saya menyayangkan citra kawasan yang ikut berubah dengan adanya perubahan ini. Saya sangat menyukai Bantul yang dulu, yang asri, yang mendamaikan ketika menyusuri sepanjang jalan depan Masjid Agung Manunggal ke selatan. Bahkan saya punya spot favorit buat rehat setelah lelah survey seharian. Biasanya saya ngadem di sebuah tempat makan yang jual es kelapa muda, jus, dan minuman dingin lainnya, yang terletak di jalur lambat deretan komersil antara Perpustakaan Bantul hingga Bank BRI. Di situ adem banget dengan adanya pepohonan yang sekarang sudah tidak ada lagi. Well, ketika melewati tempat itu lagi, saya sudah tidak berkeinginan untuk mampir. Mungkin saya harus mencari spot favorit lain di Bantul.

Ini bukan tentang benar dan salah, hanya masalah suka dan tidak suka saja. Saya lebih suka Bantul yang dulu, meskipun saya lebih suka Malioboro yang sekarang. Menata kawasan, kota, maupun wilayah selalu dilematis memang. Bagaimanapun penataan ruang tetap perlu dilakukan, sesuai dengan tujuan penataan ruang dalam UU nomor 26 tahun 2007: menciptakan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.

Kurang lebih beginilah wajah baru Bantul yang berhasil saya potret dari atas kendaraan. Ingin merasakan sendiri? Silahkan berkunjung :)

Tuesday 9 January 2018

Friendship

Suatu hari, tentor Bahasa Inggris saya mengajukan pertanyaan yang niatnya mau dipake buat menjelaskan tentang menemukan idea dalam writing: What do you think about friendship? Lalu kami sekelas harus memberikan jawaban yang berbeda. Ada yang menjawab friendship itu take and give, sharing, carrying, help each other, dan masih banyak lagi jawaban lainnya. 

Mendeskripsikan pertemanan itu rupanya cukup sulit ya. Saya sendiri bingung mendefinisikan teman itu apa. Seseorang yang selalu bersama, enggak harus. Seseorang yang saling mengerti dan memahami, belum tentu. Seseorang yang.. bahkan belum tentu orang, hewan peliharaan bisa jadi teman juga. Buku bacaan bisa jadi teman perjalanan juga. Jadi teman itu apa ya? Teman, ya teman. Apalagi sekarang ada yang namanya teman tapi gak cuma teman, macam friendzone, friends with benefit, skinship, dan entah apalagi. Ribet yak.

Friends with benefit. Well, ini sebuah frase dari budaya barat yang dulu semasa saya masih polos benar-benar saya terjemahkan secara harafiah. Saya mengartikan bahwa ini adalah sesuatu yang positif, bahwa pertemanan macam ini adalah pertemanan yang saling memberikan manfaat satu sama lain, misalnya sharing ilmu. Intinya simbiosis mutualisme lah. Saya baru tau belakangan kalau ternyata 'benefit' nya identik dengan satu itu. 

Skinship, istilah korea yang baru saya tau belakangan ini tapi udah beberapa lama melihat dan mengalami. Eits, jangan salah paham. Yang saya maksud di sini skinship versi indonesia lah. Seperti kata seorang teman, bersentuhan dengan sesama manusia itu menyenangkan. Walaupun no heart feeling, no desire, tapi sebaiknya ini jangan dicontoh ya. Wkwk

Pertemanan itu bisa kadaluwarsa kalo enggak di update. Kok bisa? Iya, bisa dong. Misalnya dulu waktu TK kita deket banget, udah soulmate banget lah, kemana-mana bareng, barang-barang kembaran, eh tapi udah hampir 20 tahun gak ketemu trus sekalinya ketemu udah canggung banget, obrolan gak ada yang nyambung, udah beda banget lah dari dulu. Nah, itu tandanya pertemanan kalian sudah kadaluwarsa. Menjaga pertemanan agar gak kadaluwarsa sebenernya cukup simple sih, keep kontak aja atau silaturahmi.

Dengan selalu keep kontak, masing-masing bakal tau kabar terbaru sang teman. Informasi itu tentunya bisa menjadi base memulai obrolan hingga menjadi topik obrolan yang asyik. Efeknya kalo pertemanan sampe kadaluwarsa, salah satu dari kalian akan merasa cuma dihubungi kalo lagi butuh aja. Gak enak kan, kayak begitu.

So, udah seberapa banyak pertemananmu yang kadaluwarsa? Tapi tenang aja, gak semua yang kadaluwarsa harus dibuang. Pertemanan kita masih bisa diselamatkan kok. Mari keep kontak setiap hari, mari mengupdate pertemanan agar tak merugi.

Btw ini ada satu gambar bagus dari Barbitch nya Sagita Suryoputri. Well, setuju banget sama diagram satu ini.





Saturday 6 January 2018

Nyinyir

Hai guys, *pake nada kayak orang-orang kalo ngevlog*
Ini sebenernya satu lagi tulisan saya yang lama mengendap di Google Keep, dan sayang aja mau dibuang. Tapi sumpah ini tulisan udah jadul banget, hampir setahunan yang lalu kalo gak salah. So, karena (lagi-lagi) gak ada bahan tulisan akhirnya saya remake sedikit lalu saya post saja. 

Mohon maaf, permisi numpang nyinyir malem-malem. Sekarang kita memasuki era dimana untuk mendapatkan sesuatu kita HARUS mengantre terlebih dahulu.

BANK
Belum lama ini saya iseng narik tabungan via bank, sekalian cetak buku tabungan, dan sebenarnya dengan satu misi yang rada freak: minta kalender baru. Dan karena selama ini saya selalu menarik dan juga memasukkan uang via atm, rupanya saya sudah lupa bahwa betapa lamanya antre teller bank itu. Hanya untuk menarik uang, saya harus menunggu selama satu jam dulu. Begitu pula dengan lamanya antrean di customer service, karena saya harus mengganti buku tabungan yang habis. 

Disini lah hal ngebetein terjadi. Jadi, jenis tabungan saya adalah tabungan mahasiswa yang mana saya dapatkan dari program beasiswa. Lalu si mbak CS nyebelin itu mulai menanyakan apakah saya masih mahasiswa. Waktu itu saya memang masih mahasiswa, dan ketika saya menjawab bahwa saya masih mahasiswa yang sedang skripsi sembari memperlihatkan ktm saya yang masih berlaku, di situlah si mbak CS menanyakan kapan saya lulus dan saya hanya bisa menjawab: belum tau mbak. Loh, kok belum tau? Si mbak malah nambah nanya dengan nada nyebelin. Terus mulai mengurus penerbitan buku tabungan saya yang baru, dengan melakukan prosedur seperti meminjam kartu atm dan ktp, serta menanyakan informasi pribadi saya seperti nomer hp dan nama ibu kandung. Lalu saya diminta tanda tangan di buku tabungan baru itu, ttd nya harus sama persis sama di ktp. Saya sampai harus mengulang beberapa kali untuk mendapatkan ttd yg sama persis, rasanya seperti harus memalsu ttd orang lain, padahal ini kan ttd saya sendiri. Saya tidak pernah berganti tanda tangan tapi tetap saja tidak bisa dipungkiri, seiring berlalunya waktu ttd saya pun mengalami modifikasi bentuk sekecil apapun. Secara garis besar masih sama, hanya ada sedikit perbedaan lengkungan dan detail lainnya.

Selain antre di bank, pengalaman mengantre yang membosankan lainnya juga saya alami ketika akan facial di larissa, akan mengopy film di luxury, juga antre menuker karcis parkir di lippo mall setelah nonton konser maupun nonton bioskop. Semua hal yang menuntut antre ini lama kelamaan membuat saya jengah dan muak. 

Mengantre identik dengan rebutan versi beradab. Well, sumber daya terbatas vs kebutuhan manusia yang tak terbatas. Rebutan nonton konser, rebutan tempat parkir di kampus, dsb. Kalo gak mau antre, yaudah hidup sendiri aja sono di Mars. Begitu nyinyir saya pada diri sendiri setiap ingin mencak-mencak ketika harus mengantre ekstra panjang.

PARKIR
Selama ini saya selalu nyinyirin orang-orang yang suka parkir di luar mall. Walopun cuman nyinyir dalam hati sih. Soalnya menurut saya parkir di luar mall itu udah bikin macet, kadang memakai hak trotoar sebagai tempat jalan kaki, dan bikin keliatan gak rapi aja. Kenapa sih, udah disediain juga parkir dalam mall, masih aja milih parkir di luar yang kehujanan dan kepanasan gitu. Udah gitu bisa bayarnya lebih mahal daripada parkir di dalam. Lalu, saya mencoba membuat analisis sederhana:

1. Bagi orang-orang yang tidak terbiasa parkir basement, apalagi yang muternya jauh banget kayak parkir motor basement nya Galeria Mall, mungkin parkir basement ini bisa jadi sangat menakutkan. Saya pernah memiliki pengalaman buruk berkaitan parkir basement di Eduhostel Jogja.

2. Mereka cuma ikut-ikutan orang aja, gak tau kalo ada tempat parkir official. Asal parkir aja di tempat parkir yg pertama keliatan mata.

3. Ribet! Pengalaman saya malam ini menjawab kenyinyiran saya selama ini. Dulu Lippo Mall memiliki sistem parkir dimana kita harus menukarkan karcis parkir kita dengan karcis yang sudah terverifikasi (udah di cek stnk nya) lalu bayar berdasar jam. Kalau kita tidak menukar karcis ini dan malah langsung keluar, kita akan dikenakan tarif parkir maksimal di portal keluar yaitu Rp 6000, 00. Berita bagusnya, Lippo sepertinya sedang terus berbenah dalam urusan parkir ini. Sekarang kita tidak perlu lagi menukar karcis, bisa langsung bayar di portal.

4. Parkir dalam mall terbatas, sering kepenuhan jadi terpaksa parkir luar. Ini masih mengambil studi kasus Lippo Mall Jogja. Beberapa kali, parkir motor di dalam mall penuh dan terpaksa parkir luar. Waktu itu mau nonton Sabtu Bersama Bapak di hari liburan dan karena waktu itu cinemaxx masih menerapkan tarif promo, jadi bayangkan saja seramai apa Lippo Mall Jogja sampai parkir motor basementnya full.

5. Pengen sedekah sama bapak-bapak tukang parkir yang di luar, daripada semua keuntungan hanya di raup oleh mall yang katanya kapitalis itu, mending bagi-bagi ke masyarakat kecil bos! Mungkin aja adaaa orang yang berpikiran begini kan?

6. Terusin sendiri deh ya

Beberapa waktu yang lalu saya juga sempat mendiskusikan hal ini dengan senior dan teman-teman proyekan saya. Dan saya baru tau bahwa parkir liar macam ini memang selalu ada dan tidak bisa ditertibkan karena ada premannya, yang mana dilindungi oleh orang DPR nya. Kok sedih sih ya. Kapan sih Indonesia bisa jadi negara yang bener dikit.

Btw saya menyebutkan tempat2 di atas bukan bermaksud mencemarkan nama baik loh, saya takutnya ntar ada aja yang mengkaitkan ke UU ITE yang kemaren ramai di perbincangkan publik itu. Ini murni testimoni saya sebagai konsumen dan pengunjung lho, mohon maaf apabila kritikan ini terasa menjatuhkan.

Wah, udah jam segini aja. Lanjut besok deh ya, yang terpenting hutang tulisan untuk hari ini sudah lunas ya. Hehe

Friday 5 January 2018

Day 5: Writer's Block

Sejujurnya saya sedang tidak ingin menulis tentang apapun maupun melakukan kegiatan apapun. Saya sedang teramat kacau untuk memikirkan hal-hal yang tidak terlalu mendasar, atau yang tidak saya anggap penting saat ini. Misalnya memikirkan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan saya, atau memikirkan sebuah konflik yang terjadi hanya dalam sebuah film atau novel, juga memikirkan isu-isu hangat nasional maupun internasional yang tidak berdampak langsung kepada saya. Egois? Oke, saya memang sedang egois.

Tapi berhubung saya sudah berjanji untuk menulis setiap hari, sesampah apapun kontennya, saya tetap harus posting. So, this is it.

Well, saya ogah sekali membahas penyebab saya uring-uringan gak jelas ini, yang kalian sudah bisa menebak bahwa pastinya ini tak jauh-jauh dari quarter-life-crisis. Jadi kalau ingin tau apa yang terjadi, mari mengobrol. Beneran ngobrol ya, bukan ketik-ketik.

Mari kita bahas hal lain saja. Btw sambil menulis ini saya sebenarnya mulai muak dengan blog ini. Ketimbang menulis sesuatu yang cerdas dan informatif, justru lebih banyak keluhan dan kalimat-kalimat non sense. Apa dihapus aja ya blognya, ketimbang di kemudian hari menjadi blunder buat saya. Tapi nanti dulu, kita pikirkan matang ketika pikiran saya mulai bisa diajak berpikir rasional.

Oke, saya benar-benar tidak tau harus menulis apa. Sedihnya, baru hari ke-5 dan saya sudah terkena sindrom writer's block. Sebenarnya masih banyak topik menarik untuk ditulis, tapi rasanya belum menemukan feel yang pas untuk bisa menumpahkan dalam sebuah tulisan. Sebagian sudah saya mulai dalam bentuk draft, tapi teramat nanggung untuk langsung di posting tanpa dipoles ulang.

Btw akhir-akhir ini saya sering kesulitan bangun pagi. Sesuatu yang nggak saya banget ya, sebagai seseorang yang mengaku pecinta morning vibes. Ada tips? Jangan bilang saya harus mencari pacar, karena satu itu juga penyebab utama terjadinya badai dalam diri saya. 

Terakhir, terimakasih masih bersedia menjadi pembaca setia. Doakan saja blog ini segera bisa menyajikan artikel-artikel cerdas berfaedah. Dalam artian, pemilik blognya harus terbebas dulu dari jerat galau bin baper.

Adakah Kau Rindu Aku yang Dulu?

Lunglai
Tak berbunga, alih alih berbuah
Tak ada yang bisa kau petik padaku
Layu di musim meranggas yang tak bertepi

Hujan sebatas tempat sembunyi
Sunyi malam menjadi saksi
Lalu pagi berbisik,
Aku enggan begini

Adakah kau rindu aku yang dulu?

Bersinar merona bak mentari di tepian Toba
Menari riang selincah ombak samudera
Merebak mewangi seharum petricor sehabis hujan reda

Wednesday 3 January 2018

Healing

Aku selalu membayangkan healing paling menyenangkan adalah duduk di sebuah ruang terbuka hijau, dengan pandangan luas, dengan angin yang semilir, diiringi playlist favorit. Atau kalau di kota ini tak bisa menemukan ruang terbuka yang tepat, setidaknya healing bisa dilakukan dengan berkeliling kota menggunakan transportasi umum, lalu mengamati setiap fenomena kota yang terlihat, tentunya masih ditemani playlist favorit.

Healing paling menyenangkan lainnya adalah duduk bersamamu, mengobrol tentang apa saja, tak peduli lingkungan sekitar. Entah di lesehan angkringan pinggir jalan, entah di kafe-kafe hits, entah di sepanjang perjalanan kita menuju suatu tempat, entah dimana saja.

Semua orang punya teknik healing masing-masing untuk menghadapi toxic life masing-masing. Ada begitu banyak healing yang bisa dilakukan: berenang, jogging, knitting, hairspa, bahkan menulis juga termasuk healing. Tapi healing favoritku masih kamu. Padahal kamunya udah gatau dimana. Kok jadi sedih sih? Emang. Yawdahlahyah kita akhiri saja tulisan ini lalu tidur!

Eits, bukan ini tujuanku menulis ini.

Akhir-akhir ini begitu banyak manusia depresi baik yg berakhir bunuh diri maupun yg masih terselamatkan, baik artis maupun orang terdekat di lingkaran kita. Ada apa dengan dunia kita, mengapa banyak sekali orang depresi? Well ya, mungkin memang karena tuntutan hidup sekarang ini semakin menggila.

Kata seorang teman, fangirling itu juga salah satu kegiatan untuk mengusir stres. Terutama di korea, dimana tuntutan kecantikan dan tuntutan di dunia hiburan jauh lebih parah ketimbang di negeri ini.

Sebenarnya saya sudah gatal ingin menulis ini bahkan semenjak Chester nya Linkin Park meninggal karena bunuh diri, juga mantan pacarnya Awkarin, juga managernya JKT48, juga yg belum lama ini Jonghyun nya Shinee. Tidak cuma artis, seorang teman yg terlihat depresi juga sampai kehilangan suaranya. Seorang teman yang lain, memilih rokok sebagai pelariannya. Dan seorang kenalan lainnya bahkan sampai mendatangi psikiater dan divonis mengidap depresi sedang (bahkan bukan depresi ringan coy!)

What doesn’t kill you, makes you stronger. Bodo amat sama pepatah satu itu, masa saya harus menunggu sampai mereka mati untuk tau apakah mereka akan menjadi lebih kuat atau justru sebaliknya.

So, aku kamu dan siapapun kita pasti butuh healing. Gak harus berupa piknik asik di akhir pekan, bisa juga kegiatan yg bisa dilakukan setiap hari sesederhana berenang di sore hari sepulang kerja misalnya, atau menulis apapun sebelum beranjak tidur, atau apapun kegiatan yg kita suka dan merasa lebih damai setelah melakukannya. Maka temukan healing favoritmu, ciptakan support system terbaikmu, dan berusahalah untuk tidak depresi. Cheers.


Tuesday 2 January 2018

Blur

Salah satu hal paling tidak menyenangkan di dunia ini adalah kehilangan fokus. 

Kehilangan fokus bisa menyebabkan menuangkan sampo ke tangan alih-alih sabun cair, padahal awalnya gak berniat keramas. Bisa juga menyebabkan mau kemana malah belok kemana, jadi harus muter-muter dulu. Dan entah masih banyak lagi.

Akhir-akhir ini saya banyak sekali melakukan kebodohan. Dan kebodohan paling hakiki adalah kehilangan simcard yang baru dibeli buat pasang paket data 3 bulan ke depan. Padahal selama ini selalu kikir banget soal pengeluaran buat pasang paket internet, teramat sangat gak rela beli lagi. Harga perdana paket datanya sama kayak tarif hairspa di Larissa, lah mending buat nyalon ya.

Setelah sebelumnya salah naik gojek (salah driver). Jadi si bapak gojek itu bukan gojek yang saya order. Jangan heran, pokoknya bisa aja laah, kalau saya mah. Lalu gabisa cetak kartu ujian sampe frustasi padahal salah masukin nomer doang (yang harusnya nomer ujian malah dimasukin nomer registrasi); dan ketemuan teman buat ambil barang trus ternyata barangnya malah ketinggalan di tempat ketemuan.

Bahkan sesederhana bengong dulu beberapa detik di depan mushola sambil mengamati gerombolan sandal dan sepatu. Lupa tadi pake alas kaki apa.

Well, salah satu kebodohan saya yang lain adalah salah wilayah survey lapangan. Jadi seharusnya saya survey daerah X, tapi yang saya justru survey daerah Y. Sejujurnya ini memang fatal. Untung kali ini bisa dicover sama google street view. Oh god, terimakasih sekali atas kemajuan teknologi saat ini. Gak kebayang deh, kalau kesalahan ini terjadi ketika saya diminta meliput suatu acara di luar negeri. Pertama, acaranya cuma berlangsung sekali. Sekalinya saya salah meliput acara lain, gak ada lagi acara ulangan yang bisa saya liput. Pun, apabila saya bisa meliput ulang karena acaranya berlangsung beberapa hari, saya belom tentu punya uang untuk kembali lagi ke luar negeri untuk menebus kesalahan pribadi saya (anggaplah tiket sebelumnya dibayarin kantor). Jadi ini memang fatal. (Btw ini drama banget ya analogi yang saya ambil)

Tapi lantas, apakah saya menjadi trauma kalau diminta jadi surveyor? Tidak boleh. Mungkin rada gak nyambung ya, tapi saya tiba-tiba teringat kutipan anonim: kamu boleh patah hati, tapi jangan tutup hatimu. Menurut saya, semua kebodohan dan kesalahan yang terjadi bukan untuk terus menerus disesali berlarut-larut, tapi harus dipertanggungjawabkan dan dijadikan pelajaran berharga agar kelak tak terulang lagi (semoga).

Yang patut disyukuri, tidak pernah separah kejadian dalam film A Moment to Remember, beli sesuatu di minimarket trus bayar eh barangnya ketinggalan di kasir. Kalau sudah begitu, lebih baik saya pulang saja sebelum melakukan kesalahan konyol lainnya. Tapi tenang saja, tidak setiap hari saya begitu.

Menjadi seorang saya yang sering kali tidak fokus saja sudah sangat melelahkan. Maka saya heran dengan mereka yang dengan sengaja mengurangi level fokus dan tingkat kesadaran mereka dengan mengonsumsi hal-hal yang menimbulkan dampak demikian. Rasanya ingin berteriak di depan muka mereka, MBOK SINI TUKERAN! Saya yang kadang punya pikiran berkabut saja mati-matian menjernihkan pikiran. Nah situ, malah sengaja bakar-bakar. Kan kesel ya, saya. Saya bohong kalau mengatakan no offense, saya memang ofensif.

Btw tau nggak, kenapa akhirnya hari ini saya memutuskan memilih topik ini? Jadi hari ini saya menyadari bahwa saya baru saja melakukan kebodohan lagi. Petang ini dalam obrolan lincak, ada seorang teman yang sambil lalu menanyakan perihal hasil seleksi pegawai kontrak non PNS DIY yang saya ikuti beberapa waktu yang lalu. Dan saya menceritakan bahwasanya tidak ada kejelasan pengumuman. Kata temen saya yang lain sih, jangan berharap pada seleksi daerah macam ini karena toh seleksinya pasti hanya formalitas karena tetap saja sudah titipan. Lalu teman saya yg bertanya di lincak bilang kalau adeknya lolos. Nah, lalu saya langsung browsing pengumumannya dong. Dan saya tersadar, rupanya saya melewatkan pengumumannya. HAHAHA

Jadi kenapa ini bisa terjadi? Ceritanya begini, pemprov DIY mengadakan rekruitmen dengan timeline nya sangat padat, dimana pengumuman rekruitmen baru di publish awal Desember, dua hari kemudian pendaftaran online, dan sehari kemudian memasukkan berkas ke kantor, proses rekruitmen berakhir pada akhir Desember. Singkat cerita, dijadwalkan pengumuman seleksi Tes Kompetensi Dasar (TKD) tgl 19 Desember. Lalu saya sudah memantau web sedari tanggal-tanggal itu hingga liburan natal. Dan memang ada berita yang mengabarkan pengumumannya mundur hingga waktu yang tidak ditentukan, jadi harus sering-sering cek website. Saya terus memantau dan bahkan browsing via google kalau-kalau ternyata saya salah website.

Kebetulan kakak saya pulang ke Jogja pada saat longweekend natal, lalu saya terdistraksi dengan acara jalan-jalan hingga tgl 28 Desember. Lalu sudah masuk liburan tahun baru, sehingga saya berpikir tidak mungkin seleksi selanjutnya diadakan pada hari libur. Lalu saya melupakannya begitu saja, hingga hari ini. Dan baru tadi saya menemukan pengumumannya baru di launching tgl 26 Desember dengan jadwal tes selanjutnya tgl 27-28 Desember. Oke, baiklah saat itu saya pasti sedang sibuk jalan-jalan ke Hutan Pinus Imogiri, Candi Ijo, dan Tebing Breksi. Wkwk

Pesan moralnya, namanya rejeki kan udah ada yang mengatur ya, jadi kalau saya melewatkan pengumuman ini ya mungkin saja memang bukan rejeki saya kan ya. Dan sepertinya saya memang tidak lolos seleksi. Kendati demikian, digantung tanpa kepastian itu sangat tidak menyenangkan. Saya sempat uring-uringan karena tidak ada kejelasan dari lowongan-lowongan pekerjaan yang saya apply. Maka pesan moral ke-2, kalau gak suka digantung ya jangan menggantung. Apalagi menggantungkan perasaan orang lain, sakit mas!

Well, beberapa bagian dari tulisan ini sudah sempat saya post di twitter. Anggaplah ini versi lengkapnya. Haha

Page 1 of 365

Well, saya mau ikut-ikutan challenge menulis semacam #30HariBercerita atau apapun itu, demi menghidupkan kembali blog ini setelah sekian lama mati suri. Mau sependek apa dan se-nggak penting apa tulisannya, nanti dulu deh. Yang terpenting adalah konsisten menulis. Karena lagi gak punya topik menarik untuk dibahas, saya mau membahas film yang baru saya tonton semalam aja. Judulnya Bad Genius, film Thailand tahun 2017. Cukup recommended ditonton sih, menurut saya.

Film ini bercerita tentang seorang penerima beasiswa yang super pintar lalu membisniskan contekan ke teman-teman sekelasnya dengan bayaran mahal. Berawal hanya membantu sang teman dekat, lalu pihak yang diberi contekan ketagihan menyontek. Konflik berlanjut ketika mereka bukan hanya menyontek untuk ujian sekolah tapi juga untuk ujian masuk universitas! Gila banget, mereka gak mikir apa, kalo berhasil masuk Boston dengan cara curang memangnya mereka bisa survive di sana. Dalam artian, seleksi masuk memang ditujukan untuk menjaring orang-orang yang kompeten belajar di sana. Soal ujian di perguruan tinggi itu essay coy, bukan pilhan ganda.

Film ini mengingatkan pada cerita seorang teman yang juga merupakan penerima beasiswa, dimana dia bersama teman-teman penerima beasiswa lainnya saling bekerja sama memberikan contekan ujian pada teman-teman non beasiswa hanya supaya mereka semua bisa lulus.

Lalu saya juga jadi teringat beberapa teman saya dulu yang menjelang Ujian Nasional bukannya sibuk belajar justru sibuk mencari handphone paling kecil dan tipis, yang tentu saja kita tahu untuk apa.

Dulu jaman SMA, saya banyak menemukan tulisan bernada iklan layanan masyarakat yang intinya: menyontek itu akar dari korupsi, kalo dari mudanya udah suka menyontek gak heran kalo kedepannya jadi koruptor. Dan juga secara logika, ketika kita berhasil lulus dengan cara menyontek lalu ijazahnya kita gunakan untuk mencari pekerjaan, apakah nantinya pekerjaan kita barokah?

Saya tidak munafik, saya tentu saja juga pernah menyontek dan memberikan contekan. Lalu sikap saya tentang contek menyontek ini? Sesekali boleh aja asal gak kelewatan. Batas kelewatan itu yang gimana? Tanya aja hatimu, dia tau kok.

Lalu isu plagiarism yang sudah menjadi isu mahasiswa sekarang ini. Skripsi atau penelitian seseorang dikatakan tidak plagiat selama mengambil fokus, lokus, dan metode yang berbeda dari skripsi atau penelitian yang sudah ada. Minimal salah satunya berbeda, maka bisa dikatakan tidak plagiat. Selain plagiat yang jelas-jelas nyata plagiat, misalnya mengutip tanpa mencantumkan sumber, ada juga plagiat yang masih dalam bentuk ide. Tapi berhubung gagasan itu tidak memiliki hak cipta, maka sepertinya masih sah saja plagiat dalam bentuk ide. Seseorang pernah bilang, toh di dunia ini tidak ada ide yang benar-benar otentik. Akui saja, dengan terinspirasi dari buku, film, maupun dari lingkungan sekitar dalam kehidupan sehari-hari sudah bukti bahwa ide itu sudah ada, hanya saja belum diklaim dan belum direalisasikan menjadi sebuah karya. Tapi tetap saja idenya tidak otentik tercipta dari pikiran kita semata. Well, selama masih etis sih silahkan saja mencuri ide dari mana saja dan jadilah orang pertama yang mengaplikasikan ide tersebut menjadi karya nyata.

Satu lagi, film ini mengingatkan saya pada sosok yang belum lama ini ramai di pemberitaan: Dwi Hartanto dan seluruh kebohongan prestasinya. Kita tidak meragukan bahwa dia pasti cerdas dengan bisa menempuh program doktoral di TU Delft Belanda, namun kita menyayangkan saja atas sikapnya yang tidak etis.

Well prestasi itu penting, tapi di atas itu semua etika jauh lebih penting. Begitu sih yang ditanamkan dosen pembimbing saya. Oh iya, saya masih berhutang cerita tentang dibalik terbitnya Si Buku Biru aka skripsi saya. Masih berupa draft kasar banget, semoga saja tulisan satu itu bisa segera saya posting di #30HariBercerita. So, tunggu saja..