Thursday 31 March 2016

Perempuan yang Berdagang

Perempuan itu seperti penjual, dan laki-laki itu seperti pembeli.

Layaknya pedagang, sudah semestinya mampu melakukan branding dan menawarkan fasilitas yang menjanjikan. Seperti dunia properti, jualan perumahan, harga segitu dapat fasilitas apa aja sih. Misalnya akses yg dekat dari pusat kota, jaminan dari banjir tahunan, parkir mobil luas, ada kolam renang, free wifi, dsb. Maka developer melakukan branding dengan berbagai nama utopis sejenis Taman Surga City.

Ada banyak tipe penjual.
Ada yang jual mahal banget sampe gak laku-laku terus ujung-ujungnya banting harga sesaat sebelum kedaluwarsa.
Ada yang sengaja pasang harga relatif murah dengan harapan memiliki pelanggan setia.
Dan ada pedagang yang jujur, biasa-biasa saja: menjual barang dagangan dengan harga yang sebanding dengan kualitasnya, tak peduli bukan kualitas nomor 1 sekalipun.

Tipe pembeli juga beragam.
Ada yang udah tawar menawar lama banget terus ujung-ujungnya gak jadi beli.
Ada yang ngajakin ngobrol panjang lebar sambil nemenin nungguin dagangan terus lama kelamaan justru tertarik membeli dagangan kita.

Well, sebenarnya saya sedang menganalogikan pernikahan dengan perdagangan.

Terkadang memang jelas sekali demikian mengingat pihak laki-laki harus membayar mahar untuk meminang perempuan. Di daerah-daerah tertentu di Indonesia bahkan besarnya mahar bisa sangat mahal dan tampak tidak realistis, terutama yang di luar Pulau Jawa. Apalagi untuk meminang perempuan keturunan ningrat. 

Waktu saya di Flores, ada suatu daerah (kalau tidak salah di Larantuka, cmiiw) dimana mahar (belis) untuk bisa menikahi wanita daerah tersebut adalah gading gajah yang sangat panjang. Sepengetahuan saya bahkan di Flores tidak ada gajah! Dan benar saja, rupanya gading gajah yang memang hanya beberapa itu, terus berputar dari pernikahan satu pasangan ke pasangan berikutnya di daerah tersebut. Ada juga suatu daerah di Flores, dimana untuk bisa menikahi wanitanya, keluarga wanita harus dibayar dengan sejumlah hewan seperti sapi, kerbau, dan juga satu truk pisang. Bayangkan saja secara logika, buat apa kita butuh satu truk pisang? Belum lagi jika pernikahan tersebut melangkahi sang kakak dari pihak perempuan, mahar yang harus dibayar dari keluarga laki-laki bisa lebih besar lagi.

Ada juga cerita dari seorang kawan yang menikahi perempuan Aceh, dan memang harus membayar sejumlah mayam tertentu (saya lupa perhitungan konversi ke rupiahnya).

Jadi, akui saja pernikahan itu memang perdagangan.

Semakin compact sebuah dagangan, maka semakin menjual. Seorang teman laki-laki pernah berkata bahwa istri itu semacam paket lengkap: teman ngobrol, teman makan, teman jalan, partner diskusi, partner bercinta, juru masak, pembantu rumah tangga, bahkan perhiasan untuk dipamerkan kepada relasi. Semua itu cukup di satu orang yang sama.

Dalam sebuah obrolan yang lain, ada juga yang berpendapat bahwa pasar seorang perempuan ibarat pasar sebuah es teh. Es teh yg dijual di angkringan dan es teh yang dijual di kedai-kedai artisan bubble yang mulai menjamur toh sama-sama es teh, tapi harganya bisa sangat berbeda jauh. Karena mereka memiliki pangsa pasar yg berbeda. Yang satu menyasar golongan bawah, dan satunya menyasar golongan menengah ke atas.
Senada sama sebuah meme di bawah ini lah ya.


Begitu pula perempuan, mereka memiliki pangsa pasar yang berbeda-beda. Misalnya mereka yang mengejar pasar 'imam yg sholeh' akan berdagang dengan cara ta'aruf. Tentu berbeda dengan mereka yg mencari jodoh dengan cara menebar pesona sana sini, cari gebetan sana sini, dan melancarkan sejurus aksi pedekate ke sang gebetan, kemudian pacaran. Walaupun tujuan akhirnya sama, pernikahan.

Dan layaknya pembeli, mereka para lelaki bebas memilih. Apakah akan membeli kue yang dijajakan pedagang kaki lima di emperan jalan, atau membeli kue di bakery. Sama-sama kue, tentu berbeda kualitasnya. Untuk membeli kue di bakery tentunya modal yang dibutuhkan lebih dari sekedar jajan di pinggir jalan. Untuk membeli kue di bakery, sang pembeli biasanya memang berniat membeli, karena harus pergi ke bakery, masuk ke dalam toko terlebih dahulu, dan merogoh kocek lebih banyak. Sedangkan untuk membeli kue di emperan jalan bisa saja sebenarnya kita hendak pergi ke suatu tempat, yang mana melewati jalan tersebut, eh terus tetiba pengen mampir karena liat kuenya menggiurkan.

Apakah ini pembelaan untuk jomblowan jomblowati untuk mengubah (atau mempertahankan) pangsa pasar kalian, seberapapun seringnya mendapat teror pertanyaan sakral: kapan nikah. Itu sih terserah kalian saja. Yang jelas, saya belum sampai pada pertanyaan sakral diatas. Nanti saja, saya masih berkutat dengan pertanyaan sakral lainnya: kapan lulus. Heuheu

Toh hidup ini seperti permainan Who Wants To Be A Millionaire? Ada beberapa titik aman sebelum mendapat pertanyaan-pertanyaan lain yg harus dijawab. Setelah lulus sekolah akan ada pertanyaan menggalaukan, mau kuliah dimana. Setelah kuliah, akan ada pertanyaan kapan lulus. Setelah lulus, akan ada pertanyaan kerja dimana. Setelah bekerja, akan ada pertanyaan kapan nikah. Setelah nikah, akan ada pertanyaan kapan punya gendongan. Dan seterusnya, setelah sampai pada titik aman tetap akan ada pertanyaan lebih sulit yg menanti.

Tidak perlu terlalu mencemaskan pertanyaan-pertanyaan yg belum datang, yg tiada habisnya ini. Mari menjawab satu persatu pertanyaan yg sudah di depan mata. Toh sampai saat ini kita berhasil melalui beberapa titik aman.


Karma

Kar·ma (n) 1. perbuatan manusia ketika hidup di dunia: hidup sbg umat Tuhan itu sekadar melakukan darma dan --; 2. hukum sebab-akibat: -- bukan hanya menguasai manusia, tetapi juga merupakan suatu hukum mutlak dl alam

Kita sudah harus adil, semenjak dalam pikiran.

Saya sering mendengar atau membaca kalimat di atas, walaupun saya tak pernah ingat pada sumbernya. Saya menyadari bahwa saya sepakat, namun tak melakukannya. Saya tak pernah adil semenjak dalam pikiran.

Tak seperti bibir saya yg selalu saya jaga melalui seleksi ketat mana yg boleh terucap dan mana yg sebaiknya tidak, benak dan hati kecil saya terlalu jujur untuk berceletuk mengomentari segala hal di sekitar saya. Walaupun tidak pernah terkatakan atau tertuliskan, saya tahu bahwa saya sudah tidak adil dalam pikiran.

Saya mengakui bahwa saya sering memandang orang lain sebelah mata, kemudian mencibirnya dalam hati. Selama ini saya tidak merasa berdosa karena toh saya tidak mempergunjingkan mereka, tidak membicarakan dengan orang lain di belakang mereka, bahkan memperlakukan mereka dengan baik tanpa membedakan perlakuan. Saya hanya berbicara dengan diri saya sendiri, melalui celetukan yang tidak sengaja, otomatis keluar dari benak saya yang kelewat jujur dan blak blakan.

Dan ternyata saya memang sudah berdosa dengan cara itu, saya sudah berdosa semenjak dalam pikiran.

Segelintir celetukan yg sangat sering terlontar, diantaranya seputar tempat mereka menimba ilmu, dan bagaimana attitude mereka, atau cara mereka berpakaian.

Oh, lulusan kampus swasta. 
Oh, kuliah disini juga tapi di jurusan yg kurang diminati. 
Orang2 males dan gak niat kuliah kayak mereka mah gak cocok lulus cepet dan kerja di tempat elite, mereka yg cocok itu yg rajin, yg pinter, yg passionate, yg memang mendedikasikan hidupnya di bidang itu. 
Busseet, ini niat pake baju enggak sih. 

Dan seterusnya, dan seterusnya.

Saya sadar sepenuhnya bahwa saya tidak berhak menghakimi semua orang walaupun hanya di pikiran saya saja. Memangnya saya siapa, sudah lebih baik dari semua orang? Tentu tidak, yg selama ini saya cerca bisa jadi justru lebih baik dari saya. Semua jurusan itu pada dasarnya baik, semua ilmu akan bermanfaat dengan caranya masing2. Setiap attitude orang pasti punya alasan dibaliknya, pun cara berpakaian atau style yg mereka pilih. Saya tidak pernah berhak mengomentari cara orang lain bersikap dan mengambil keputusan terkait dirinya, karena saya tidak pernah mengalami menjadi mereka. Saya mungkin bisa mengarang atau melogika skenario alasan dibalik yg mereka lakukan, tapi saya tidak pernah tahu yg sebenarnya. Maka sampai kapanpun saya tidak pernah berhak.

Dan rupanya saya kena karma atas dosa yg terus menumpuk hingga saya seusia sekarang ini. Saya percaya karma. Saya sering mengalami karma. Melalui rasa penasaran yg terlintas di benak saya, kemudian rasa penasaran itu terjawab dengan cara saya mengalaminya sendiri. Saya sering terpikir 'kok bisa sih ada orang yg kayak begitu..' Dan entah kapan di kemudian hari saya mengalaminya, menjadi seperti orang yg begitu. 

Maka saya berusaha untuk tidak bertanya-tanya atas fenomena (terutama fenomena sosial) yg terjadi di sekitar saya. Saya membunuh curiosity saya demi tidak perlu mengalami fenomena itu, jawaban Tuhan atas pertanyaan saya.

Melalui tulisan ini saya berniat minta maaf pada semua orang yg pernah saya perlakukan demikian semenjak dalam pikiran. Saya tidak ingat siapa saja korban dari pemikiran saya dan pemikiran apa yg sempat terlintas di benak saya tentang mereka. Karena pemikiran itu memang hanya terlintas sejenak, tidak mengendap, dan tidak dengan sengaja saya pikir-pikirkan. Kedepannya saya akan berusaha menjaga pikiran saya, dan membungkamnya bila perlu. Karena (mungkin) terkadang kejujuran sudah tidak diperlukan, semenjak dalam pikiran.