Saturday 30 July 2016

Anti Sosial

Menurut saya sebenarnya tidak ada manusia yang literraly anti sosial. Semua orang pada dasarnya menyukai interaksi dengan sesamanya. Oke, bukan menyukai tapi lebih tepatnya membutuhkan interaksi dengan orang lain. Seorang teman pernah bilang sembari main pijet-pijetan tangan, 'Bersentuhan dengan sesama manusia itu menyenangkan, mon.'

Well ya, manusia membutuhkan interaksi dengan manusia lain berkaitan dengan sifat alamiahnya sebagai makhluk sosial. Dan ada yang namanya pembagian peran. Pembagian peran dalam masyarakat ini penting untuk mencapai efisiensi. Akan lebih efisien jika seseorang memilih suatu bidang untuk ditekuni, kemudian saling bertukar dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan dari jaman entah berantah aja masyarakat sudah mengenal yang namanya barter, yang sekarang berkembang jadi jual beli menggunakan uang.

Seorang partner diskusi saya pernah beride, mungkin di kehidupan yang akan datang sudah tidak akan ada lagi uang berbentuk fisik, semuanya jadi uang digital/uang elektronik. Ide ini muncul ketika kami harus menunggu cukup lama untuk dicarikan uang kembalian lantaran kami sama-sama tidak memiliki uang kecil untuk membayar. Sungguh efisien kalau semua pembayaran apapun tinggal gesek atau tap, gak ada lagi perlu mendengar kalimat sejenis 'duh, nggak ada uang kecil mbak'. Tapi repot juga ya kalo tiba-tiba listrik dan internet mati total, semua transaksi bisa pending. 

Kembali pada interaksi sosial, akan sangat merepotkan kalau kita harus memenuhi kebutuhan dari ujung kaki sampai ujung rambut, dengan produksi sendiri. Mungkin ada yang gak sepakat ya, soalnya ada juga konsep masyarakat madani. Tapi kan itu masyarakat, yang bermakna kumpulan orang, bukan satu orang. Dalam masyarakat madani juga pasti dibutuhkan interaksi sosial. Selain itu setiap negara agraris pasti menginginkan menjadi negara swasembada pangan. Artinya minimal bisa memenuhi kebutuhan pangan domestik tanpa impor, ya dengan memproduksi sendiri. Dan lagi-lagi ini negara, yang jelas terdiri dari lebih dari satu orang.

Di atas saya baru membicarakan urusan fungsional, kebutuhan interaksi karena mayoritas kebutuhan fisik di luar sex. Saya bingung mengkategorikan sex termasuk kebutuhan fisik atau bukan. Apapun itu, ada banyak lainnya yang mengakomodasi kebutuhan lainnya, kebutuhan batin misalnya. Selain untuk memenuhi kebutuhan yang dari ujung kaki sampai ujung rambut itu, seorang perlu berinteraksi dengan sesamanya bahkan hanya untuk berbincang. Everyone needs to comfort others, begitu juga sebaliknya. Dan yang kali ini mendorong saya untuk menulis ini, kebutuhan akan eksistensi.

Istilah anti-sosial yang kerap digunakan saat ini lebih merujuk pada yang gak punya atau gak aktif sosmed, yang jarang mau ikutan kongkow, yang jarang mau diajakin ngegahol party-party gitu, yang anak rumahan banget lah.

Adapun orang yang dianggap anti sosial, biasanya karena mereka merasa tidak nyaman berinteraksi dengan sesamanya. Dan ketidaknyamanan ini pasti dipicu alasan tertentu dibaliknya. Dan kemungkinan besar dari lubuk hati yang terdalam, ada keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain. Hanya saja terkadang keinginan itu terkubur oleh ketidaknyamanan atau memang sengaja dikubur dalam-dalam.

Salah satu alasannya mungkin ketidakmampuan menyamai frekuensi pembicaraan ataupun gaya hidup lingkungan tersebut. Ketidakmampuan ini bisa disebabkan bermacam-macam, seperti finansial hingga intelektual. Intinya tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya. 

Sudah bukan rahasia umum bahwa mereka yang berbeda, tidak mendapat tempat di masyarakat. Masyarakat menyukai homogenitas. Seperti data dalam penelitian deduktif kuantitatif, jika ada yg terlalu berbeda atau yang sering disebut sebagai outsider, maka alangkah baiknya data tsb dibuang dan tidak dimasukkan dalam penelitian karena akan merusak statistik. Untuk itu ada juga penelitian induktif kualitatif, untuk mengakomodasi para outsider yg tersisih ini. Padahal mungkin saja sebenarnya tidak ada orang yang benar-benar anti mainstream dan berbeda. Mereka mungkin belum ketemu aja sama yang sealiran, sehingga mereka selalu dianggap outsider.

Sebenarnya postingan ini bisa lebih panjang dengan membahas sebenarnya sosial itu apa, membahas perkembangan sosial di beberapa tempat yang berbeda, juga mungkin mengutip pendapat para ahli. Sosial dan humanity memang selalu menarik untuk diamati dan didiskusikan, karena laboratoriumnya sangat besar. Seluruh kota ini bisa kok, dijadikan laboratorium pengamatan. Tapi cukup, malam ini toh saya menulis hanya untuk meredakan serangan rutin confusion. Selamat malam minggu!

Wednesday 27 July 2016

Murdering Confusion From My Mind

Saya sedang butuh banyak racun sebagai penawar rasa. Misalnya playlist yang sama sekali asing ditelinga ketika sedang mengerjakan pekerjaan yang literally membosankan dan bikin baper. Udah membosankan, eh tiba-tiba terlintas dalam pikiran: akankah yang sedang saya lakukan saat ini bermanfaat? Setelah ini selesai apakah ini akan terpakai? Hal seperti itulah yang membuat pengerjaan yang harusnya mudah menjadi berjalan sangat lambat. Menyebalkan bukan? Makanya diperlukan pengalih perhatian sejenis sealbum penuh lagunya Pure Saturday, yang entah darimana saya dapatkan tiba-tiba ada di folder Leisure di laptop. Ternyata mendengarkan lagu-lagu ini cukup membuat saya adem dan minim emosi. Mungkin karena sebelumnya saya tidak pernah mendengarkan lagu-lagu ini sehingga tidak ada memori yang terbangkitkan ketika mendengar lagu-lagu ini. Mengapa mendengarkan lagu-lagu yang tidak sarat memori itu penting? Well karena saya orangnya baperan, sungguh mengganggu ketika mendadak baper di saat harus produktif.

Selama ini saya terbiasa hidup penuh racun. Saya membiarkan diri saya atau lebih tepatnya pikiran saya teracuni oleh segala hal yang bersentuhan dengan saya. Sesederhana apa yang saya lihat di sepanjang jalan menuju kampus, atau sesederhana berita di koran pagi itu. Dan ketika saya kehabisan stock racun pikiran karena semakin sedikit yang men-supply saya racun-racun pikiran ini, saya mulai sakaw. Tidak ada lagi kalimat-kalimat dari para dosen yang menjadi newsfeed otak saya untuk melakukan brainstorming, lantaran saya sudah hampir dua tahun vakum kegiatan perkuliahan.Tidak ada lagi diskusi atau seminar-seminar dengan topik yang saya minati yang bisa saya datangi begitu saja. Tidak ada lagi obrolan random di lincak mengenai isu hangat nasional bahkan internasional. Tidak ada lagi partner diskusi mengenai hal-hal abstrak. Tidak ada lagi orang yang rutin bertanya mengenai keseharian hidup saya dan bercerita tentang keseharian hidupnya. Tidak ada lagi, sungguh tidak ada lagi supply racun bagi pikiran dan curiousity saya.

Sejauh ini saya hanya berhasil meracuni diri saya dengan membuat beberapa mini project. Salah satunya adalah belajar merajut, mumpung ada teman yang dengan senang hati dan penuh kesabaran bersedia mengajari saya.

Masih banyak racun-racun yang sudah masuk list untuk segera dihirup dan dihayati. Diantaranya banyak belajar mengenai hal-hal baru seperti menyetir mobil dan berenang, atau belajar hal-hal (yang mereka sebut keahlian wajib perempuan) sejenis menjahit dan memasak. Menghabiskan setumpuk novel dan majalah NatGeo. Jalan-jalan dan mengunjungi event seni di kota ini. Project bikin Daily Journal yang hingga hari ini tidak kunjung jalan karena saya kehilangan kemampuan menulis. Project bikin totebag kanvas sebagai target pertama belajar mesin jahit. Project belajar bahasa prancis dan belajar bahasa inggris lagi. Project jogging at least tiap minggu pagi. Dan beberapa project untuk mendekatkan diri pada sang pencipta. Sungguh, berhubungan dengan sang pencipta merupakan penawar rasa tersendiri.

Saya masih sangat kesulitan dalam belajar menyetir mobil, dan saya masih sangat bisa baper dengan aktivitas belajar mobil ini. Jangan tanya kenapa. Jadi untuk sementara sampai saya bisa menguasai diri saya sendiri, saya memutuskan untuk berhenti belajar nyetir dulu.

Sebenarnya seberapa pahitnya rasa yang saya telan sih, sampai sudah sebanyak itu racun yang saya jejalkan pada diri saya tapi rasanya selalu kurang. Mungkin saya memang sedang kecanduan, jadi dosisnya memang selalu nagih buat ditambah. Well, saya mungkin kecanduan asmara. Padahal asmara toh termasuk racun yang saya coba untuk menawar rasa. Dan ternyata racun yang satu ini berdampak lebih mengerikan daripada rasa yang sedang berusaha saya tawar itu sendiri. Saya menyesal coba-coba.

It’s look like i’m so hopeless and helpless but why i still do every single that fuck things? Padahal seorang yang sedang merasa terpuruk cenderung tidak melakukan hal-hal yang berkaitan dengan masa depan. Untuk apa saya belajar ini itu bila katakanlah saya tidak ingin hidup di dunia ini? Saya juga tidak mengerti, nyatanya saya merasa perlu menyibukkan diri dan pikiran saya dengan hal-hal yang positif.


Satu lagi, saya akui saya belum bisa berdamai dengan diri saya sendiri. Saya masih selalu merasakan desiran ketika berhubungan dengan sesuatu yang tidak pernah saya miliki atau gagal saya dapatkan. Seperti ketika saya berinteraksi dengan para mahasiswa kedokteran karena saya tidak berhasil menjadi salah satu dari mereka. Atau ketika berinteraksi dengan perempuan yang mampu memenangkan hati seorang lelaki yang pernah saya dambakan. Atau ketika teman saya mencibir hal yang baru saya dapatkan saat ini lantaran dia sudah mendapatkannya dari dulu dan sudah bosan kemudian meninggalkannya. Prek! Rasanya seperti sedang memacari mantan pacarnya temen deket kita. Oke, secara sederhananya semua itu bisa digantikan oleh satu kata: cemburu. Tapi tenang saja, saya tidak akan pernah membiarkan rasa cemburu mengiris hati ini berkembang menjadi something like iri dengki membunuh jiwa. Caranya? Dengan sejuta racun, biarlah kuluruh rasa.


Wednesday 20 July 2016

Kita Masih Teman, Kan?

Beberapa waktu yang lalu saya berkumpul kembali bersama dua orang sahabat baik saya waktu SMA. Sudah sekitar setahun ini saya tak bersua dengan keduanya. Salah satunya baru pulang dari Eropa, dan satu yang lain sudah menjadi guru yang bergelar ustadzah di sekolah islami. Sejak menginjak bangku perkuliahan, kami memang sudah jarang bertemu karena kesibukan masing-masing di tiga kampus yang berbeda. Kami masing-masing memiliki lingkaran pertemanan baru yang mungkin hampir sepenuhnya berbeda.

Tapi ternyata ketika kami memutuskan untuk bertemu kembali, saya masih merasakan dorongan yang menyebabkan kami berteman. Ternyata persahabatan kita tidak kadaluarsa. Just for your information, kami bertiga tidak pernah satu kelas selama SMA, dan juga kami bukan teman TK-SD-SMP. Dari segi kepribadian jelas beda, lingkungan pergaulan beda, gaya hidup beda. Lalu apa yang menyatukan kami? Sayapun tak tau. Just because.

Teman saya yang lain pernah mengatakan bahwa landasan pertemanan dibangun dari kebutuhan akan sesuatu. Maka akan dikenal teman yang datang hanya ketika dia butuh saja, dan yang selalu ada saat senang dan susah.

Saya setuju dengan pernyataan teman saya, meskipun saya tetap akan mengucapkan kalimat tersebut dengan nada datar biasa, bukan nada nyinyir. Menurut saya, setiap pertemanan pasti selalu mengandung kepentingan, sekecil apapun maksud yang tersembunyi tersebut. Minimal sesederhana pentingnya memiliki teman ngobrol.

Tapi bukankah memang demikian, buat apa berteman dengan orang yang hanya akan merugikan kita? Meskipun begitu, saya percaya bahwa setiap manusia itu tidak pernah selalu murni jahat atau sepenuhnya murni baik hati. Memangnya tokoh sinetron! Berdasarkan keyakinan saya di atas, menurut saya tidak ada teman yang hanya akan merugikan kita, suatu hari entah kapan pasti pertemanan itu saling menguntungkan kok. Dan kepentingan-kepentingan yang terselip itu tidak bisa dikotak-kotakkan hanya menjadi hitam dan putih. Jahat atau baik itu kan persepsi, tergantung dari sudut mana menilainya.

Misalnya si A berteman dengan si juara kelas agar ikutan jadi pintar menghitung matematika, disamping itu si A juga berteman dengan si anak hits biar ketularan jadi anak gaul kekinian. Lantas apakah si A telah menjahati si juara kelas dan si anak hits?

Terkadang yang lebih bisa selalu merasa dimanfaatkan sama yang lebih nggak bisa. Padahal nggak semua yang lebih nggak bisa hanya mengambil keuntungan dengan berteman sama yang lebih bisa.

Biasanya perempuan selalu memiliki minimal seorang sahabat. Tapi sepertinya saya tidak termasuk salah satunya. Bukan saya, yang memutuskan hubungan pertemanan atau sengaja menjadi anti sosial, tapi itu terjadi begitu saja. Menurut saya sebuah pertemanan itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Pertemanan itu hubungan yang terjadi secara alami dan naluriah, dan tanpa perlu diawali oleh pertanyaan sejenis, 'mau nggak kamu jadi temenku?' selayaknya dua orang sejoli yang akan menjalin hubungan lebih dari pertemanan. Pertemanan bisa terjadi karena kesamaan hobi, kesamaan rutinitas, kesamaan selera dalam memilih makanan, pakaian, atau karena bisa ngobrol asyik aja. Dan walaupun memiliki berbagai kesamaan tidak lantas menjadikan dua pribadi otomatis berteman akrab. Saya sendiri tidak bisa menjabarkan bilamana seorang individu bisa cocok berteman dengan individu yang lain, dan tidak bisa cocok dengan individu yang lainnya. Pertemanan itu terjadi begitu saja.

Sejujurnya saya menulis topik random ini karena saya merindukan teman-teman lama saya yang entah kemana, atau justru saya yang entah dimana hingga tak bersama mereka. Dan ternyata saya juga merindukan teman-teman yang hampir setiap hari masih bisa saya temui tapi tetap saja saya rindukan karena walau dekat terasa jauh. Toh yang dirindukan itu kan momen, bukan person.