Monday 21 December 2015

Hilang Arah

Kali ini saya bukan hendak membahas mengenai kegalauan semacam hilangnya arah hidup, tapi hanya akan bercerita tentang hilang arah dalam arti sesungguhnya: nyasar.

Well, saya termasuk orang asli jogja yang lahir dan besar di jogja tapi masih bisa aja nyasar di kota sendiri. Kalo dibilang karena saya jarang main keluar rumah, menurut saya sih enggak ya. Rupanya keluarga saya memang punya masalah soal spasial, tak terkecuali saya.

Saya sendiri sudah mendeteksi beberapa spot nyasar, yang merupakan blind area bagi saya. Diantaranya adalah Kompleks Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, kalau udah masuk dalam benteng entah kenapa mendadak saya nggak bisa bedain mana utara mana selatan. Karena rasanya sama aja, sense of place nya mirip. Tapi sekarang saya udah lebih mending dikit lah ya, udah bisa ngebedain pojok beteng wetan dan pojok beteng kulon, udah bisa ngebedain plengkung gading dan plengkung wijilan, dan yang paling penting udah bisa ngebedain alun-alun utara dan alun-alun selatan. Selain Kompleks Kraton, blind area saya yang lain adalah Kawasan Seturan. Seberapapun sering saya melewati jalan-jalan tersebut, saya tak kunjung hapal jua.

Nah, ceritanya kemaren saya bersama adek saya akan menuju Jalan C. Simanjuntak dari arah panggung krapyak. Kami lurus terus ke utara sampai plengkung gading, akhirnya sampai di alun-alun selatan. Dari alun-alun selatan, kami ambil jalan yang ke arah timur, kemudian belok kiri lagi kembali ke arah utara hingga mencapai plengkung wijilan. Yeaaay, mission complete! Saya berhasil mencapai plengkung wijilan tanpa hilang arah, dan dari plengkung wijilan saya sudah paham benar jalan menuju dunia utara. Tinggal belok kanan ke arah Jalan Brigjend Katamso, ke arah perempatan Hotel Limaran, terus ke utara melewati Hotel Melia Purosani, kemudian lewat Jalan Mataram, Kotabaru, dan sampai deh.

Namun permasalahan muncul ketika keluar benteng wijilan dan yang dijumpai adalah macet parah. Rupanya saya melupakan adanya perpaduan antara cuaca cerah di malam itu, hari libur bagi anak sekolah pada keesokan harinya, dan juga sekaten yang tinggal menghitung hari. Kombinasi dari hal-hal tersebut tentu sudah bisa ditebak: macet parah. Malam sebelumnya saya juga ke sekaten dan niatnya melewati jalan ini, namun karena diujung jalan saya sudah menemui fenomena bottle neck, jadi kendaraan yang mau masuk ke jalan tersebut sampe muncu-muncu ke perempatan, maka kami memutuskan putar balik dan parkir di km nol. Pengalaman sehari sebelumnya membuat saya memutuskan untuk putar balik dan menggagalkan rencana indah perjalanan saya yang sudah tersusun rapi. Kami kembali ke selatan, dan iseng belok kiri ke arah timur untuk mencari jalan tembusan. Niatnya sih mau muncul di sekitaran Jogjatronik atau gang mana aja supaya gak perlu terjebak macet, eh kami malah nyasar dan muncul lagi di gang persis sebelum plengkung wijlan! Nah, kenapa malah di sini lagi. Tapi kami tidak patah semangat, kami masih mencoba peruntungan dengan memasuki gang lainnya, hingga kami beneran hilang arah bahkan gak tau jalan balik ke alun-alun selatan.

Disitulah kami baru ingat akan adanya teknoologi canggih yang bernama smartphone yang dilengkapi gps dan google maps. Maafkan kami smartphone yang agung, yang telah tidak menjadi smartuser. Terimakasih google maps yang agung, yang telah menunjukkan jalan untuk keluar dari labirin dalam benteng sekaligus menunjukkan traffic yang sedang terjadi, jadi kami bisa menghindari macet dengan menghindari jalan yang berwarna merah dan oranye. Akhirnya kami memutuskan melewati Jalan Tamansiswa, yang di maps sih warnanya didominasi biru (atau hijau sih sebenernya?), walaupun harus memutar jauh.

Kami berangkat dari panggung krapyak sekitar jam setengah tujuh, dan ketika mencapai tamsis udah jam setengah 8 aja. Berarti kami berkeliaran di dalam benteng hampir satu jam. Karena lapar dan lelah, kami memutuskan untuk berhenti di indomaret di Jalan Dr. Sutomo. Tapi ternyata kami tidak bisa ngemper-ngemper di sini soalnya di depan tokonya penuh tumpukan kardus. Dan karena sebenarnya kami hanya ingin numpang duduk sembari makan sari roti sebelum mencapai tujuan, dan tidak ada tempat yang bisa disinggahi untuk itu, kami pun memutuskan duduk-duduk di deket bunderan UGM. Jadilah kami piknik makan sari roti dan teh kotak sambil memandangi tulisan Universitas Gajah Mada. Well yaa, kami duduk di tempat orang-orang biasa berfoto dengan ikon kampus biru ini. Sumpah rasanya konyol banget, gak ngerti lagi deh kalau ada orang yang mengamati ada dua orang yang kesitu bukan buat foto-foto tapi cuma numpang makan roti terus pergi.

Bagi saya, nyasar masih selalu aman ketika masih terang cahaya matahari, bensin penuh, bawa hp dengan baterai yang cukup dan ada pulsa nelpon, bawa duit, atau minimal kombinasi dari beberapa.

Thursday 17 December 2015

Gak Mau Dong, Disamain Sama Koruptor..

Temen-temen aku yang udah pada kerja pada dapet kerjaan dari kantor sampe mana-mana: aceh, palembang, kalimantan, bali, lombok, papua, dan entah mana lagi. Mereka ada yang kerja di kementrian, NGO, konsultan, dan bahkan sekedar bantu proyek-proyek dosen. Pengen deh kerja bisa sambil keliling indonesia gitu.
 
Terus tiba-tiba ada temen yg bilang, tau gak siapa yg juga suka kerja sambil jalan-jalan? Koruptor.

Seperti kedok KKN terselubung, yang selain mau menjalankan program pengabdian di lokasi terpencil pasti mengandung modus jalan-jalan ke tempat-tempat indah yang masih perawan.

Kemudian baru-baru ini aku membaca sebuah headline berita: Gubernur DKI Jakarta menolak usulan kenaikan biaya perjalanan dinas anggota DPRD hingga dua juta rupiah perharinya. 

Wow, siapa coba yang menolak jalan-jalan gratis dibiayai negara sambil di gaji pula? Aku sendiri pernah melakukan itu dengan menjadi peserta Ekspedisi NKRI bersama dengan TNI, Polri, dan juga SKPD lokal di Flores sana.

Well, aku, kamu, kita.. Apa bedanya sekarang kita sama mereka?


Wednesday 16 December 2015

Rasa

Sesungguhnya rasa tak pernah salah. Yang mungkin salah adalah interpretasi kita terhadap rasa, yang dituangkan dalam sikap yang kita ambil.

Maka tidak perlu dipikirkan, tidak perlu dirasa-rasakan, tidak perlu dihayati sedalam-dalamnya. Jalani saja apa yang dirasakan saat ini. Dengan begitu kita tidak akan bereaksi berlebihan ketika ternyata salah interpretasi. Karena bagaimana bisa salah, bila menginterpretasikan saja tidak?

Rasa benci, rasa cinta, rasa rindu. Ah, tidak masalah selama tidak membuat kita mengambil sikap tertentu, seperti benci yang membunuh, atau cinta yang merusak.

Selamat menikmati rasa!



Tuesday 24 November 2015

Tentang Mereka yang Datang dan Pergi

Katakanlah aku sedang terguncang.

Pada detik ini aku bersumpah aku tidak mau memiliki hewan peliharaan apapun, terlalu menyakitkan melihat mereka datang dan pergi, juga melihat mereka menderita.

Kemarin aku melihat seekor anak kucing tergencet ban depan mobilku. Ceritanya ayahku mau sedikit memajukan mobil, dan rupanya si kucing sedang bermain-main disana. Maka si anak kucing tidak berhenti menjerit mengeong-ngeong. Ayahku, aku, dan adekku berusaha mendorong mobil mundur tapi mobil tidak bergerak. Kita berusaha mengangkat ban mobil tapi juga tidak berhasil. Lalu ayahku menyalakan mesin mobil dan memundurkan mobil.

Aku shock, tangan dan kakiku tidak berhenti gemetar. Sensasinya seperti saat kita berada di ketinggian lalu melihat ke bawah. Ingin rasanya aku menenangkan anak kucing itu, memeluknya, menggenggam tangannya, membisikkan kata-kata menenangkan, dan membawakannya segelas air putih, selayaknya menenangkan manusia yang sedang terguncang. Tapi aku tidak bisa. Aku tidak tahu bagaimana caranya menenangkan binatang yang terluka baik fisik maupun jiwanya. Maka aku hanya bisa menangis, dan tak berhenti menangis. Hingga kuputuskan untuk berjalan-jalan sore melihat sunset di Kota Jogja.

***

Sejarah hewan peliharaan yang pernah kumiliki bermula pada saat aku masih SD. Kala itu kami memiliki 2 ekor kelinci kecil putih yang lucu. Satu kelinci mati setelah lingkungan rumah kami di fogging. Maka kami berasumsi bahwa kelincinya mati karena fogging. Kemudian satunya lagi mati pada suatu pagi sebelum aku berangkat sekolah. Jadi memang kalau malam kelincinya dimasukin ke garasi rumah, tapi kalau pagi sampai sore dibiarkan berkeliaran lepas di halaman belakang rumahku yang luas. Pada suatu pagi yang tragis itu, aku berniat mengeluarkan sang kelinci ke halaman belakang rumah. Aku membuka pintu belakang rumah dan sang kelinci berlari-lari kecil. Tiba-tiba muncul seekor kucing dari tembok halaman belakang, dan kucing itu memakan kelinciku begitu saja. Aku hanya bisa terpaku dan tentu saja menangis.

Kemudian hewan yang pernah menjadi peliharaan di rumahku dalam waktu cukup lama adalah seekor kucing kampung berwarna coklat-oranye belang, yang kuberi nama Chocoreto –bahasa jepang katakana (serapan) untuk coklat makanan dan bukan coklat warna.

Aku memang suka agak berbeda dalam memberi nama. Seperti aku memberi nama boneka sapiku Mongmongi –yang merupakan cara orang-orang korea menyebut anjing, seperti orang Indonesia menyebut anjing dengan sebutan gukguk. Aku memberi nama demikian karena boneka sapiku itu bentuknya aneh, badannya lebih menyerupai babi tapi jelas bahwa sebenarnya itu adalah boneka sapi. Maka Mongmongi adalah singkatan dari Mowmow and Piggy, tentusaja dengan sedikit maksa. Sepert aku menamai boneka kucing milik adekku, Cat Miaowdalton yang cantik seperti Kate Middleton nya Pangeran Harry. Aku bahkan pernah memberi nama hamster peliharaan kami Felis tigris, karena dia adalah seekor hamster jantan yang macho.

Kembali pada Chocoreto, dia cukup berkesan untukku karena menurutku dia adalah kucing yang berkarakter. Hal yang paling kuingat adalah kebiasaannya memaksa masuk rumah dengan mengketuk-ketuk pintu dan jendela. Dan pada suatu pagi setelah hujan dimalam harinya, kami menemukan Chocoreto sudah tak bernyawa di belakang rumahku.

Kemudian ada juga hamster-hamster dan kura-kura brazil.

Dan yang terakhir, sepulang aku dari ekspedisi di Flores, rumahku kembali kedatangan kucing kampung yang lucu dan diberi nama Tara. Tara datang dengan membawa anak-anaknya yang setengah anggora karena mungkin saja dia kawin sama kucing anggora entah dimana. Tapi waktu aku pulang, yang ada tinggal Tara karena anak-anaknya sudah pergi dan hilang, mungkin diambil orang. Lalu Tara hamil lagi dan melahirkan 6 anak kucing: satu berwarna seperti induknya (putih hitam), satu berwarna putih kuning, dua kembar berwarna coklat keabu-abuan, satu berbulu lebat yang warnanya mirip si kembar tapi lebih dengan dominasi coklat, dan yang terakhir berwarna abu-abu polos seperti koala. Rupanya Tara memang punya banyak gen berbeda di dalam tubuhnya. Aku sengaja tidak memberi nama untuk anak-anak Tara karena mungkin saja mereka akan segera hilang satu persatu. Tapi rupanya mereka bertahan cukup lama disini. Salah satu dari si kembarlah yang menjadi korban dalam insiden siang kemarin.

Aku memang bukan pecinta binatang, tapi aku bisa merasakan romantisme bersama mereka yang sudah lama berada di sekelilingku. Maka aku tidak menginginkan siapapun berjarak terlalu dekat dalam waktu yang lama denganku. Karena aku hanya tidak ingin terluka, sederhana bukan?

Friday 18 September 2015

Sosok, siapa kamu?

Sampai saat ini saya masih belum bisa menjawab dengan mantap apabila ditanya siapakah tokoh idola atau seseorang yang menginspirasi buat saya. Sepertinya saya kehilangan kemampuan respect pada sosok manusia hanya berdasarkan status sosial, umur, atau karena faktor-faktor sejenis yang mengisyaratkan latar belakang mereka. Bagi saya semua manusia sama: tua-muda, eksis-gak eksis. Karena bagi saya yang bisa membedakan manusia hanyalah attitude dan pola pikirnya. Maka saya pun heran atas perilaku mereka yang bisa memuja sosok dengan sebegitunya, sebut saja para penggemar seleb korea.

Pasalnya menurut saya, di dunia ini tidak ada sosok manusia yang sempurna. Hebat di suatu bidang tertentu tidak lantas menjadikannya hebat dalam semua bidang bukan? Mungkin karena sebenarnya saya tidak terlalu mengenal tokoh tersebut, maka saya pun tidak mengerti alasan yang membuat mereka memuja. Seperti kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Pun dengan membaca tulisan biografi atau autobiografi seorang tokoh terkenal justru membuat saya merasa sudah jelas yang ditulis disana adalah hal yang baik-baik saja dari tokoh tersebut. Saya pernah mencoba membaca Baitun Nubuwah, kisah rumah tangga Rasulullah yang tebalnya mengalahkan Harry Potter seri ke-5. Dan akhirnya saya gagal menamatkan buku tersebut lantaran mungkin saja karena iman saya belum cukup kuat.

Mungkin sebenarnya saya sedang kecewa pada tokoh-tokoh yang sebelumnya saya idolakan. Sebut saja seseorang yang begitu menginspirasi saya dari dekat dan turut andil dalam membentuk passion atau sebatas minat saya: fotografi, travelling, dan kegiatan alam bebas. Berinteraksi dengannya selama bertahun-tahun membuat saya berpikir bahwa apa yang dia lakukan itu sangat menyenangkan dan keren. Lantas saya mulai memasuki dunia-dunia yang saya sebutkan di atas, dan saya memang menemukan keseruan dalam dunia itu. Namun dengan menjadi keren dan profesional di bidang tersebut bukan berarti lantas menjadikannya sebagai sosok ideal karena sesungguhnya kehidupan lain miliknya dapat dikatakan sedikit berantakan. Kemudian lama kelamaan saya merasa bahwa sosoknya tak lagi semenyenangkan dulu, terisi kesibukan ala orang dewasa.

Selanjutnya pada suatu masa, saya sempat mengagumi sesosok dosen yang dalam kuliah-kuliahnya begitu murni. Saya pikir beliau adalah sosok yang hebat, entah kenapa terasa wow. Saya kemudian menjadikannya sebagai dosen pembimbing Tugas Akhir. Namun kenyataannya entah karena saya terlalu mengagumi, saya menjadi tidak bisa berinteraksi dengan baik dengan beliau. Saya selalu merasa saya cuma apalah butiran debu dibandingkan profesor sepertinya. Dan belakangan saya sedikit kecewa pada beliau, rupanya saya dulu belum terlalu mengenal karakter beliau untuk bisa menerima segala yang melekat padanya.

Kemudian ketika saat ini saya sedang berada dalam sebuah naungan proyek yang sama dengan anak seorang dosen-yang-mana-saya-cukup-respect-pada-beliau, saya kembali merasakan perasaan seperti wow saya sedang bekerja sama dengan anaknya bapak x! Dan menurut pandangan sepintas saya, kurang ideal apa coba keluarga mereka: bapaknya dosen hebat di jurusan saya, istrinya dosen juga di jurusan sebelah, anaknya kembar yang satu masuk jurusan saya sedangkan satunya masuk jurusan tempat ibunya mengajar. Namun berdasar pengalaman, bahwa yang terlihat belum tentu seideal yang terjadi. Maka tidak sepantasnya kita begitu menggebu-gebu dalam mengagumi suatu sosok.

Penilaian di atas menjadikan saya lebih mengedepankan karya dan bukan sosok. Seperti contohnya saya banyak membaca tulisan Dewi Lestari dan Tere Liye karena saya menyukainya, namun tidak lantas saya mengidolakan mereka. Saya banyak mendengarkan lagu dari Banda Neira dan Maliq & D’Essentials, namun tidak lantas saya menghafal semua lirik lagu mereka atau mengenal semua personelnya. Siapa kamu, sekarang jawabannya lebih mengacu pada apa yang kamu buat. Padahal saya yakin, tidak seharusnya kita menilai manusia dari output yang meraka hasilkan. Pendekatan itu rasanya sangat tidak humanis.

Jadi siapakah sosok yang menginspirasi saya? Saya juga belum tahu, mungkin kamu.. 
 
 

Tuesday 15 September 2015

Random Thought

Sudah lama saya tidak menulis hal-hal random yang selalu muncul dalam benak saya. Karena akhir-akhir ini yang sering muncul hanyalah keresahan, sedangkan keresahan toh bukanlah topik yang menyenangkan untuk dibahas setiap hari.

Ada beberapa hal yang belakangan ini cukup mengganggu pikiran saya, yang memunculkan sebuah pertanyaan sederhana: ada apa sih sama semua orang?

Mendadak semua orang berbondong-bondong melakukan sesuatu. Mendadak wisata alam manapun begitu menarik untuk dikunjungi. Mendadak semua orang memiliki profesi sampingan dengan mencoba berwirausaha: handcraft, doodleart, reseller, sampai buka kafe. Mendadak semua orang suka banget nongkrong di kafe. Mendadak dimana-mana muncul berbagai kafe baru dengan berbagai konsep. Mendadak banyak orang tiba-tiba memutuskan berhijab. Mendadak semua orang jadi cantik dan bermake up. Dan mendadak sepertinya semua orang rasanya udah ngebet banget pengen cepet lulus! Well yaa, saya mengakui bahwa saya mungkin termasuk kategori ‘semua orang’ yang saya sebut di atas. Toh saya juga sudah tak seidealis dulu supaya bagaimanapun saya bisa segera lulus.

Hal ini mulai disadari ketika saya mau KKN di periode antar semester tahun lalu. Mendadak semua orang memilih mengambil KKN pada periode itu sehingga peserta KKN periode itupun membludak dari biasanya. Hal ini menurut beberapa orang disebabkan angkatan 2010 dan angkatan di atasnya pada telat KKN sedangkan angkatan 2011 pada kecepetan KKN. Walaupun sebenarnya tidak bisa dikatakan telat juga karena dulu umumnya mahasiswa memang mengambil KKN setelah semester 7, namun mahasiswa sekarang yang cenderung ingin segera lulus mencicil KKN diambil di semester 5 asalkan jumlah sks telah memenuhi syarat minimal untuk mengambil KKN.

Kemudian yang belum lama terjadi: wisuda periode Agustus 2015 lalu mendadak jumlah wisudawan yang lulus periode itu sangat banyak sehingga pihak UGM memutuskan membagi wisuda menjadi 2 hari, yaitu tanggal 19 dan 20 Agustus 2015. Kalau nggak salah sih ini baru pertama kejadian di UGM dimana wisuda dibuat dua hari saking banyaknya yang lulus periode itu.

Kemudian fenomena yang paling baru saya alami adalah penuhnya perpustakaan pusat UGM di hari biasa, bukan karena ada acara atau kegiatan yang memang berlokasi disana, tapi ya hari perkuliahan aktif biasa. Padahal perpustakaan pusat UGM setau saya biasanya tidak terlalu populer di kalangan mahasiswa. Mereka yang berkunjung bisa dipastikan mahasiswa tingkat akhir yang sedang mencari literatur, mahasiswa yang sedang ada tugas dan mencari buku spesifik tertentu, atau mahasiswa yang iseng pengen menjajal fasilitas UGM yang satu ini. Kala itu saya sangat kesulitan mencari tempat parkir motor di lingkungan perpustakaan UGM sehingga memutuskan untuk parkir di fakultas sebelah aja, fisipol. Awalnya saya menduga hal ini disebabkan sedang adanya renovasi perpustakaan dan masih dalam rangka transisi perpindahan lokasi parkir dari yang sebelumnya sehingga memang belum settled. Kemudian ketika saya menuju loker di bagian sirkulasi ternyata peminjaman loker telah penuh dan ada beberapa orang selain saya yang sudah mengantre duluan untuk meminjam loker karena untuk bisa masuk ke bagian sirkulasi pengunjung tidak diperbolehkan membawa tas. Yang saya tahu, di perpustakaan pusat UGM sebenarnya terdapat tiga lokasi penitipan tas/peminjaman loker, yaitu di bagian buku sirkulasi, bagian timur, dan bagian kalau ingin menggunakan fasilitas ETD di lantai 2. Dan ternyata ketiga tempat peminjaman loker tersebut sama penuhnya pada saat itu. Kenapa sih orang-orang?

Berbicara tentang mencari lokasi parkir motor, sebenarnya saya tidak terlalu heran dengan sulitnya mencari parkiran motor akhir-akhir ini. Pasalnya saya sering mengalami hal serupa di fakultas saya, baik di jurusan sendiri maupun di bagian lainnya. Mendadak parkiran motor jurusan menjadi penuh dan mesti digeser-geser sama petugas di jurusan biar muat lebih banyak motor lagi dan efeknya bagi saya adalah kesuliatan mengeluarkan motor pas mau pulang. Selain itu ada beberapa tempat yang entah kenapa begitu diminati parkir liar, antara lain di bawah: sepanjang halaman depan satubumi, sekre BEM sampai mushtek, dan juga di sekitaran KPFT. Semua mahasiswa yang sudah lama berada di lingkungan fakultas teknik pasti sudah paham risiko parkir sembarangan ini: digembosin ban nya. Metode ini terpaksa dilakukan untuk menimbulkan efek jera, dan ternyata cukup membawa hasil.

Lalu mengapa fenomena ini bisa terjadi? Mungkinkah ini merupakan dampak kebijakan kampus yang semakin mempersempit masa studi? Yang tadinya mahasiswa maksimal lulus 7 tahun, sekarang 5 tahun sudah terancam DO sehingga mendorong para mahasiswa untuk segera lulus. Atau apakah setiap tahunnya UGM menerima mahasiswa yang jumlahnya lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya, dengan kata lain arus yang masuk tidak sebanding dengan arus yang keluar? Jika memang demikian yang terjadi maka wajar saja apabila fasilitas UGM yang selama ini tersedia menjadi tidak muat lagi mengakomodasi jumlah mahasiswa yang ada. Namun bisa juga sebenarnya fenomena yang terjadi tidak disebabkan faktor tersebut, melainkan disebabkan faktor culture atau yang larinya ke arah trend yang tengah terjadi. Mengambil analogi peristiwa mudik lebaran dimana terjadi traffic yang begitu memuakkan di segala ruas jalan, bahkan jalan yang pada hari biasa tidak pernah mengalami macet di hari lebaran menjadi begitu padat oleh kendaraan. Sebenarnya kan bukan ruas jalannya yang kurang memadai namun ada faktor trend atau budaya masyarakat kita yang memang menjadikan kita harus pulang ke kampung halaman dan berkumpul bersama keluarga pada hari lebaran, akibatnya karena semua orang berpikiran hal yang sama dan melakukan hal yang sama jalanan pun penuh.

Lantas apa yang harus kita lakukan, haruskah kita menjadi anti mainstream untuk terlepas dari segala bentuk crowded yang memuakkan yang sedang terjadi di arus utama?

Sebenarnya hal ini tidak masalah selama sesuatu yang lagi ngehits tersebut masih memuat substansi nilai kebaikan. Toh malah bagus kalau tiba-tiba semua orang mau memperbaiki Indonesia dan memutuskan berperang melawan korupsi, atau malah bagus kalau tiba-tiba semua orang menjadi agamis dan ingin masuk surga sehingga kejahatan di muka bumi ini menjadi berkurang. Dengan kata lain, malah bagus kalau semua orang pengen cepet lulus selama masih dalam kewajaran dan tidak melakukan kecurangan untuk bisa cepat lulus. Namun apakah segala yang saat ini ngehits itu mengarah pada nilai kebaikan? Nyatanya banyak alam terbuka yang seharusnya hanya sebagai wisata alam terbatas menjadi rusak karena terlalu banyaknya wisatawan yang datang. Sebut saja Semeru yang mendadak ngehits setelah rilisnya film 5 cm. Kemudian hijab yang semakin lama semakin fashionable sehingga terkadang melupakan tujuan sebenarnya. Adalah sosial media yang turut berperan membentuk pola pikir, perilaku,  dan mengarahkan trend kekinian: budaya selfie dan check in lokasi.

Keresahan saya berikutnya muncul setelah saya mengikuti sebuah sesi kuliah Engineering Ethics yang diisi oleh seorang dosen muda dari Jurusan Arsitektur. Etika itu berada dalam wilayah abu-abu yang sering kali kompleks, dilematik. Dosen tersebut menceritakan beberapa pengalaman yang pernah dialaminya di dunia kerja yang berhubungan dengan etika, dan beliau tidak bisa mengatakan dengan pasti mengenai apa yang harus dilakukan bila kita berada di posisi tersebut. Tanyakan hatimu, hatimu pasti tau jawabannya.

Selain itu dosen tersebut berbicara tentang Asean Economic Community, yang hampir pasti menimbulkan keresahan tersendiri bagi seluruh angkatan kerja Indonesia yang sadar. Aih, tiba-tiba saya teringat sebuah frase ‘ora melu edan, ora komanan’, yang kurang lebih artinya apabila kita tidak mau mengikuti euforia yang sedang terjadi maka kita tidak akan kebagian apapun. Menghadapi keresahan akan terjadinya pasar bebas di Asean Economic Community yang katanya akan mulai berlaku di tahun 2015, mendadak semua orang berusaha mempersenjatai diri dengan kursus bahasa asing, memperbagus prestasi akademik, dan mempertebal CV. Lantas apabila kita tidak ikut-ikutan les bahasa inggris, tidak ikut-ikutan buru-buru lulus, apakah kita bisa ikut bersaing mendapatkan pekerjaan yang layak? Berangkat dari pemikiran dan logika tersebut akhirnya (mungkin) terjadi fenomena yang sebelumnya saya analogikan dengan seperti fenomena mudik lebaran.

Dosen tersebut juga menyebut-nyebut bahwa Indonesia merupakan pangsa pasar yang sangat baik: memiliki jumlah penduduk termasuk salah satu yang terbesar di dunia dengan karakter manusianya yang konsumtif. Sebut saja rokok dan junkfood, negara penghasil rokok di barat sana yang sudah mulai concern pada masalah kesehatan mulai  kehilangan pasar dagangnya sehingga mulai mencari pasar di belahan bumi yang lain.

Kemudian ketika mereka-mereka yang telah maju sudah beralih meneliti luar angkasa, ketika berhasil mendapatan lokasi planet lain yang memungkinkan untuk manusia tinggal, memungkinkan diesploitasi, pasti mereka-mereka duluan lah yang mengungsi dari bumi yang sudah tua, sudah rapuh, sudah mulai rusak. Meninggalkan kita masyarakat dunia ketiga bersama bumi yang mulai tak bersahabat dengan manusia setelah mereka eksploitasi besar-besaran.  Aih,ditinggalkan saja sudah cukup menyedihkan, apalagi ditinggalkan bersama kekacauan. Saya sedih hanya dengan memikirkan kemungkinan itu.


However don’t be insecured dear, suatu hari nanti kita akan mengerti dan berhenti resah. 


Thursday 16 July 2015

talk about my self

Ada sebegitu banyak hal yang begitu penting untuk dicatat tapi mungkin karena terlalu banyak lantas justru terlupakan begitu saja. Misalnya tentang sindiran-sindiran yang sangat menohok buat saya. Kenapa ini penting untuk ditulis? Saya juga tidak tahu. Tapi ini semua penting karena menyangkut sama beberapa hal yang menjadi passion saya. Buku, traveling keliling dunia, nongkrong sambil talk about everything. Yeah dan ini menohok saya parah, about religious, family, friendship, social interaction, etc.

Pinter, cantik, sugih, ning ora nduwe sosiale blas. Lha apa urip meh urip dhewe..

Dari semua sindiran yang pernah dilontarkan kepada saya baik langsung maupun tidak langsung, inilah yang cukup membuat saya luar biasa kesal dan memutuskan untuk menulis ini. Kata-katanya tidak persis sama tapi artinya kurang lebih begitu. Sumpah sakit banget sama yang satu ini. 

Cantik? Saat ini saya merasa mendadak semua temen sepantaranku jadi super cantik, berpakaian bagus ala mbak-mbak banget (you know what i mean lah yaa), dan nggak lupa make-up. Yah mungkin memang sudah masanya mengingat sebagian toh sudah lulus kuliah dan siap memasuki jenjang sebagai wanita karir. Dan berhubung saya belum lulus, jadi ya style nya masih mahasiswa banget yang urakan, yang kasual, yang buluk, yang apa adanya. Jadi ya, saya tidak bisa dikatakan cantik kalau melihat teman-teman di sekitar saya sebagai pembandingnya. Tentu saja saya bersyukur dengan fisik saya walaupun biasa saja, tidak cantik. Toh menurut saya fisik kan bukan segalanya, ada yang lebih penting dari fisik kok, yaitu kepribadian. 

Pinter? Well, orang-orang yang nggak mengenal saya pasti bisa mengatakan bahwa saya pasti pintar mengingat track record saya yang bisa dibilang cukup baik di dunia akademik. Saya hampir selalu bersekolah di sekolah favorit di kota saya. SMPN 5 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan sekarang Teknik UGM. Tapi saya masih sangat mengingat dengan jelas bahwa masa penuh derita, saya lalui di jenjang Sekolah Dasar dimana kita memang belajar segala hal dari dasar, dari nol. Kelas I SD saya belum lancar menulis, termasuk paling lama di kelas dan bahkan pernah beberapa kali ditulisin sama guru saking gak sabarnya sang guru nungguin saya beres nulis. Kemudian berhitung, kelas III SD saya masih menggunakan jari untuk menghitung penjumlahan. Dan kelas IV SD saya masih membuat garis-garis batang untuk alat bantu perkalian dan pembagian. Itu sangat menyakitkan ketika diketawain sama guru matematika, disuruh sekalian bawa lidi dari rumah buat ngitung. Dan kelas IV SD saya masih sama sekali buta dalam bahasa inggris, gak paham lagi guru bahasa inggris ngedektein apa. Gak paham artinya dan gak tau cara nulisnya. Dan saya merasa sangat dicurangi karena temen-temen saya paham, kan mereka les bahasa inggris di luar. Dan saya berhasil masuk SMP terfavorit di jogja pada masanya tidak lain dan tidak bukan karena bimbingan intensif dari bapak saya di rumah. Ketika semua temen-temen tetangga seumuran lagi pada asyik bermain di luar, saya semacam disekap di rumah untuk mengerjakan soal-soal. Yang saya tahu belakangan adalah, ketika kamu berhasil masuk ke rantai kehidupan sukses, maka akan lebih mudah untuk masuk kembali ke SMA favorit, dan seterusnya ke universitas favorit. Dan bagi kalian yang masih bisa bilang kalau saya pintar, saya kasih tau ya kalau saya gak pernah punya piala dari menjuarai lomba apapun, mempunyai prestasi di bidang apapun, dan hampir gak pernah masuk 10 besar rangking kelas walaupun juga bukan pemilik rangking bontot.

Kemudian, kaya? Jaman saya masih SD (atau mungkin sampai SMP atau malah sampai SMA) saya cuma punya kesempatan buat beli baju baru itu hanya setahun sekali, biasanya satu stel doang, yaitu waktu menjelang lebaran. Jadi pas SD, bisa dibilang saya punya lebih banyak seragam sekolah ketimbang baju biasa. Soalnya di SD saya setiap hari seragamnya beda. Senin putih-rok merah, selasa putih-rok putih, Rabu coklat-rok coklat, Kamis baju kuning-celana coklat tua, Jumat coklat-celana coklat, Sabtu seragam HW, plus ada seragam olahraga juga. Dan karena SPP sekolah swasta sangatlah mahal, saya berasumsi bahwa semua dana yang dimiliki keluarga saya pasti dicurahkan untuk itu. Sehingga sepatu dan tas belum tentu setahun sekali ganti, itupun bukan barang bermerk. Akhir masa SD sampe SMP dan SMA saya kemana-mana naik bis kota selain nebeng. Nonton bioskop, ngemall, dan kehidupan hedon lain dalam setahun bisa dihitung jari mungkin. Mungkin saya baru bisa sedikit hedon pas udah kuliah, dimana saya dapat beasiswa dan juga dari kerja parttime.

Lantas sosial? HEYYY BUKA MATA PLISSS, memangnya saya nggak punya temen itu atas dasar keinginan sendiri. Saya mau mencoba menjelaskan terjadinya sebuah momen seseorang dianggap sombong. Jadi biasanya sih pada suatu waktu ada dua orang yang sebenarnya saling mengenal, gak sengaja bertemu di suatu tempat. Nah ketika orang tersebut nggak senyum atau nggak menyapa sekadar say hi, maka pasti dianggap sombong oleh satu orang yang lainnya itu. Misalnya si A ketemu si B terus mereka gak saling menyapa, nah hampir pasti si A mengejudge B sombong dan sebaliknya si B mengejudge A sombong. Padahal kan interaksi sapa menyapa itu berlangsung dua arah, lantas kenapa bisa salah satu mengejudge satu yang lain sombong. Bakal beda kalau salah satunya udah menyapa duluan dan yang disapa malah acuh tak acuh, kalau begitu menurut saya baru bisa dikatakan sombong. Tapi yang terjadi di dunia di sekitar saya, ketika seseorang lebih popular, lebih cantik, lebih kaya, atau entah lebih apapun, maka orang tersebut yang kemudian jadi korban dicap ‘sombong’. Yah hampir mirip sama kecelakaan di jalan raya yang melibatkan kendaraan motor dan mobil, siapapun yang salah pasti yang akan dipersalahkan yang derajat kendaraannya lebih tinggi yaitu si mobil. Dan hal itu juga berlaku untuk kecelakaan antara sepeda dengan motor, yang akan dipersalahkan tentu saja si motor. 

Maaf curhatnya jadi kepanjangan. Berbicara tentang diri sendiri memang menyenangkan, tapi sekaligus membosankan buat yang dengar. Anyway, terimakasih buat kalian yang kuat baca sampai sejauh ini. Saya menulis ini bukan karena saya ingin mengeluh, bukan juga karena mengharapkan belas kasihan orang lain. Tapi sebenarnya saya hanya muak sama semua stigma dari orang-orang yang nggak bener-bener kenal saya dan cuma menilai dari kulit luarnya aja. Pesan moral dari tulisan panjang ini sebenarnya hanya satu, yaitu DON’T JUDGE THE BOOK FROM IT’S COVER. Dan yeaaaah saya bersyukur dengan kesuksesan yang saya raih dan juga dengan lika liku kehidupan yang saya miliki. Semoga kalian juga begitu. Selamat malam!



Saturday 7 March 2015

Di Antah Berantah

Selalu ada kok yg bisa disyukuri dalam setiap keadaan.

Ketika cuaca panas, maka semua cucian kering. Hanya sedikit hal yg bisa semenggembirakan cucian kering ketika stok baju terbatas sedangkan awal pekan berikutnya sudah harus pergi lg ke luar daerah. 

Ketika cuaca hujan maka setidaknya suhu udara lebih bersahabat. 

Ketika berada di antah berantah yang tentunya tidak senyaman di rumah, akan ada tempat-tempat menarik untuk dikunjungi. 

Ketika kembali ke 'rumah' yg cenderung membosankan setidaknya ada wifi yg sinyalnya lancar jaya.

Dan tentunya alangkah indahnya ketika semua kondisi tsb seimbang. Tak selalu panas, tak selalu hujan, tak selalu di luar, tak selalu di dalam..


catatan pertama dari daratan Ende, Flores, NTT