Tuesday 22 November 2016

Menjadi Galak

Akhir-akhir ini saya merasa bertemperamen buruk. Sering marah-marah, gampang bete, sensitif, apatis, judes, dsb. Dan tidak hanya saya, orang-orang di sekitar saya juga saya rasa demikian. Entah ini karena saya yg udah terlanjur sensitif sehingga menilai mereka demikian, atau memang begitulah faktanya.

Padahal faktor pemicunya sering kali hanya hal-hal sepele. Sesederhana melihat barisan semut di dinding kamar, sesederhana digangguin para kucing pas lagi makan, sesederhana scroling timeline sosmed yg bikin baper, sesederhana liat kondisi rumah yg berantakan, sesederhana melihat cermin dan merasa gendut, sesederhana merasa warna kulit menggelap, sesederhana itu.

Padahal ya, semua tadi seharusnya bukan apa-apa.

Pada intinya jika ditelaah lebih jauh, semua faktor sederhana itu dapat diidentifikasi sbg sesuatu yg tidak beres, tidak pada tempatnya yang mengganggu saya dan membuat saya kesal. Sesuatu di luar keinginan saya, sesuatu yg tidak sesuai ekspektasi saya. Sehingga semua selalu berawal dengan, 'ih kok begini siiih?!' 

Walaupun semuanya tetep dikerjakan, walaupun akhirnya tetap saya yg membereskan rumah, tetap saya yg mengusir para semut di dinding kamar, saya juga tetap melakukan itu dengan mencak-mencak. Jadi apa bedanya jika saya melakukan itu dengan tidak perlu marah-marah, bukan?

Mungkin saja ini hanya faktor hormonal, mungkin saya hanya sedang PMS. Di sisi lain, PMS hampir tidak pernah mendorong saya menjadi seorang yg superjudes. Justru berbagai tekanan yg melanda jiwa dan batinlah yg sanggup mengubah saya menjadi seorang yg begitu menyebalkan.

Tapi capek kan, temperamen begini..

Lantas bagaimana caranya menjadi tetap ramah dan perhatian pada sesama, diantara sejuta tekanan? Mungkin saya perlu melakukan tension release. Melepas ketegangan. Tapi rasanya saya sudah terlalu banyak bersenang-senang tapi ketegangan tak jua berkurang. Yang ada justru saya merasa perlu menghukum diri saya sendiri setelah bersenang-senang, diantara deadline. Saya tidak layak bersenang-senang, lebih tepatnya belum layak. Teringat sumpah Gadjah Mada, tidak akan memakan buah palapa sampai menyatukan nusantara. Dulu saya merasa sumpah itu, apa banget, sok-sokan banget menurut saya. Tapi sekarang mungkin saya mengerti perasaan Mahapatih Gadjah Mada kala itu, ada perasaan bersalah ketika mencoba bersenang-senang sebelum kewajiban lunas terbayar.

Come on, semua orang pasti punya tekanan hidup masing-masing. Nyatanya tidak semua orang menjadi judes dan menyebalkan. Mereka saja bisa tetap ramah dan menawan, mengapa saya tidak? Nantinya ketika saya sudah kembali baik-baik saja, toh saya akan menertawakan diri saya sendiri yg bisa segampang itu bete cuma gara-gara hal-hal nonsense. So, marilah menunggu datangnya waktu itu sembari mulai mengendalikan emosi yg tidak perlu.

Saturday 5 November 2016

Wanita

Laki-laki menuntut perempuan sempurna, jauh lebih daripada perempuan menuntut kesempurnaan dari seorang laki-laki.
Ukuran kewanitaan dari seorang perempuan memang jauh lebih banyak dari ukuran kepriaan seorang lelaki. Bahkan istilah kewanitaan sangat lazim terdengar, sementara istilah 'kepriaan' rasanya tak pernah ada. Mungkin lebih akrab ditelinga dengan istilah kejantanan pria, kali ya. Tapi rasanya kata jantan lebih berasosiasi dengan dunia seks, ketimbang asosiasi peran pria sebagai laki-laki dewasa. Rasanya kebanyakan orang sepakat bahwa wanita idaman adalah wanita yang cantik parasnya, anggun lakunya, halus perkataannya, bisa memasak, bisa menjahit, bisa mengurus rumah tangga, cerdas mendidik anak, dan manja sekaligus mandiri. Sementara itu sebagian perempuan menyatakan bahwa lelaki idaman hanyalah lelaki yang mapan secara ekonomi, serta dapat dijadikan imam ditunjukkan dengan akhlak dan ibadahnya yang baik. Nah, kan!

Akhir-akhir ini topik tentang wanita sering muncul ke permukaan seputar saya berada.

Beberapa waktu yang lalu saya menghadiri acara pembacaan puisi bertemakan wanita yang diselenggarakan teater lilin di Indiecology Cafe. Ada sebuah puisi yang begitu menarik perhatian saya, berjudul Nyanyian Angsa karya W.S. Rendra. Puisi ini bercerita tentang wanita pekerja seks yang terkena penyakit menular seksual. Dia diusir dari rumah pelacuran. Dia miskin dan tidak bisa membayar pengobatan. Dia harus menanggung semua penderitaannya sendiri akibat keputusannya melacur. Padahal bukankah tidak ada wanita manapun yang bersedia menjadi pelacur jika tidak terhimpit tuntutan ekonomi?
Kutipan puisi tersebut bisa dibaca 
di sini.

Lalu beberapa hari yang lalu saya juga tak sengaja mampir ke Bentara Budaya dan melihat pameran fotografi yang mengambil tema serupa, karya anak-anak Kolase Debrito.

Wanita itu makhluk yang istimewa. Bahkan Tuhan menurunkan sebuah surat khusus dalam kitab suci Alquran, Surah An Nisa yang artinya perempuan.

Berbicara tentang wanita tidak pernah terlepas dari topik emansipasi, kemudian berkembang menjadi tarik ulur peran wanita sebagai ibu (rumah tangga) dengan peran wanita sebagai tulang punggung keluarga. Sosok wanita sebagai tulang punggung keluarga bisa muncul sebagai wanita karier baik yang melakukan pekerjaan yang bersifat universal atau wanita melakukan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh laki-laki seperti menjadi supir bus, pembantu rumah tangga, Tenaga Kerja Wanita di luar negeri, bahkan pekerja seks komersial.


Berhubung saya tidak bisa menemukan sumber yang menjelaskan emansipasi menurut R.A. Kartini, saya mengambil sumber KBBI saja. Emansipasi (n) menurut KBBI: 1. pembebasan dari perbudakan; 2. Persamaan hak di berbagai aspek kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria).

Dulu seorang istri dikenal dengan sebutan 'konco wingking' atau artinya 'teman belakang' yang hanya bertugas masak di dapur dan tidak pernah dilibatkan diskusi topik-topik penting di ruang tamu. Perempuan dulu tidak boleh bersekolah, kecuali mereka yang ningrat. Bahkan peran wanita didiskreditkan dengan singkatan 3 M (Masak, Macak, Manak).

Saat ini wanita sudah diperbolehkan bersekolah, bekerja, dan menduduki jabatan pemerintahan. Emansipasi wanita saat ini lebih diartikan bahwa wanita tak hanya bisa setara dengan pria dan memegang jabatan-jabatan penting di pemerintahan, tapi justru bisa mengungguli pria. Kemudian para wanita mulai meninggalkan peran pokoknya, maka tak jarang wanita modern yang menjelma kaum urban tak lagi bisa memasak, atau lihai menggendong anak mereka sendiri. Alih-alih menikah dan mengurus rumah tangga, mereka lebih suka bercengkerama dengan laptop di dalam gedung pencakar langit, mengejar karier setinggi gedung tempat mereka bekerja. Mereka bersekolah tinggi dan berkarier hebat mengatasnamakan emansipasi. Lalu melupakan peran alami mereka sebagai wanita. Tentu tak semua perempuan modern demikian.

Rasanya ini mirip-mirip kasus para buruh yang tertindas karena kapitalisme, kemudian ketika dibela mereka justru sering mengadakan demo menuntut kenaikan gaji yang tidak rasional besarnya. Kurang ajar sekali, yang tadinya tertindas sekarang jadi ngelunjak!

Saya bukan menolak emansipasi, toh saya termasuk penikmat emansipasi dimana saya bisa bersekolah tinggi dan saya juga memiliki keinginan bekerja. Hanya saja, menurut saya pembagian peran itu perlu. Seperti pembagian kerja yang dikenal dalam dunia kerja, spesialisasi akan lebih meningkatkan produksi baik dari segi kualitas maupun kuantitas, ketimbang semua pekerjaan dari sektor hulu ke hilir dilakukan oleh satu orang yang sama. Contohnya ketika kita akan memproduksi sebuah kursi, akan lebih mudah ketika ada yg khusus menebang pohon menjadi kayu di hutan, ada yg khusus menggergaji balok-balok kayu dan menghaluskannya, ada yg khusus menyusun balok kayu dan menambahkan paku agar terbentuk kursi, ada yg khusus mengecat, dst.


Jadi menurut teori ekonomi, akan lebih menguntungkan sebuah wilayah memproduksi satu komoditas unggulan mereka dan menjualnya ke luar daerah tsb untuk membeli komoditas lainnya ketimbang memproduksi semua komoditas untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Duh, lagi-lagi tulisan saya melantur kemana-mana. Intinya saya hanya ingin bilang bahwa perempuan memang seharusnya berperan demikian sesuai dengan kodratnya. Toh terpilihnya peran wanita tentunya sudah disesuaikan dengan karakter perempuan, makhluk ciptaan Tuhan.

Memang seharusnya perempuan lah yang mengurus anak, karena mereka yg melahirkan anak sehingga perempuan memiliki sisi keibuan jauh lebih besar dari laki-laki. Katanya, perempuan itu multi tasking makanya perempuan sejak jaman dahulu kala diberi peran yg sedemikian rupa banyaknya. Tapi kadang perempuan modern lupa bahwa pemilihan peran yg sudah ditentukan dari entah peradapan jaman kapan, memang sudah diatur sesuai kecocokan fisik, psikologi, dan lain-lain.

Bagaimana jika peran wanita ditukar menjadi peran laki-laki? Bisa saja, jika dilatih. Toh sekarang chef dan koki terkenal didominasi laki-laki. Ada juga pembantu rumah tangga laki-laki. Tapi tetap saja, ibarat berbakat melukis dipaksa belajar bermain musik.

Sebenarnya ini tulisan lama yang mengendap di folder Draft di laptop saya, dan saya kehilangan hasrat melanjutkan tulisan ini, maka saya publish saja seadanya. Mungkin akan saya lanjutkan ketika saya sudah berhasrat menulis lagi tentang topik ini, karena topik mengenai wanita itu sangat luas. Saya belum menyentuh isu feminisme yang hingga saat ini belum saya pahami. Saya belum membahas mengenai wanita yang sering dipersalahkan karena mengundang hasrat lelaki untuk melakukan pelecehan seksual. Tapi mungkin lain kali saja.

Surabaya

Pada suatu weekend yang telah lama berlalu, saya meet up sama kakak saya di Kota Surabaya. Saya berangkat dari Kota Jogja sementara kakak saya berangkat dari Kota Jember. Ceritanya kakak saya mau tes IELTS di kota ini, kota besar terdekat dari kota tempat kerjanya. Sebenarnya saya sudah pernah ke Surabaya sebelum ini, namun rasanya saya masih sama butanya dengan perjalanan sebelum ini. Kala itu saya ke Surabaya juga dengan alibi menjenguk kakak saya yang sedang PKPA di RSUD Soetomo.
Dengan alibi menemani kakak saya tes, berangkatlah saya dari Jogja hari sabtu pagi (21/05) dan sampai disana sekitar jam 3 sore pada hari yang sama. Perjalanan konyol ini rupanya sudah dimulai disini dengan kesalahan saya keluar dari stasiun. Seharusnya saya keluar di Stasiun Gubeng Lama, tapi saya malah keluar di Stasiun Gubeng Baru. Malam sebelumnya kakak saya menginap di My Studio Hotel, yang terletak 5 menit jalan kaki dari Stasiun Gubeng Lama, karena selain dekat dengan stasiun juga berdekatan dengan tempat tesnya, IALF.

Saya sebenarnya sudah agak sadar kalau keluar di pintu yang salah, tapi saya pikir tak apa toh cuma jalan kaki lebih jauh sedikit. Berhubung kakak saya dapat jadwal speaking sore, saya disarankan untuk main ke Grand City Mall saja sambil menunggu dia selesai tes. Dari Gubeng Baru, saya jalan ke arah utara setelah sempat mengecek di google maps. Menurut google maps, saya tinggal menyeberangi rel dan mengikuti jalan maka saya sudah sampai di Grand City. Saya sudah berjalan kaki cukup jauh menyusuri rel, namun tidak ada tanda-tanda ada jalan untuk menyeberangi rel selain jalan layang yang ada di atas rel (relnya dikasih pagar tinggi). Lalu saya membuka google maps lagi, dan ternyataaaa saya sudah semakin menjauhi lokasi. Akhirnya saya memutuskan kembali ke stasiun sambil memperhatikan apakah saya melewatkan suatu terobosan untuk menyeberang rel. Dan sepertinya saya tidak melewatkan apapun. Maka saya bertanya pada petugas parkir, jalan tercepat menuju Grand City yang bisa ditempuh degan jalan kaki. Ternyata saya hanya harus menaiki tangga dibawah jalan layang itu maka saya sudah berada di atas jalan layang dan tinggal lurus menuju Grand City.

Satu pelajaran berharga dari perjalanan ini, ketika ngebolang di kota orang, pastikan lebih memercayakan bertanya pada masyarakat lokal ketimbang gps gadget!

Baru sampai depan Grand City udah ditelpon, kakak saya rupanya sudah selesai tes. Jadi kami memutuskan untuk bertemu di My Studio Hotel. Rencananya kami memang berniat pindah hotel berhubung My Studio Hotel adalah tipikal hotel untuk bacpaker sehingga rasanya kurang nyaman dengan privasi yang minim. My Studio Hotel hanya menyediakan semacam kapsul, berupa tempat tidur bertingkat yang ditutup dengan tirai, yang hanya cukup untuk tidur. Sedangkan barang yang kita bawa bisa disimpan di loker yang disediakan. Harga menginap semalam di single room adalah 150k.

Kami memutuskan pindah ke hotel yang lebih low budget. Kata kakak saya ada hotel murah yang semalam hanya dikenai 50k, namanya Bhinneka 2. Hotel Bhinneka 2 letaknya rada ke selatan, lumayan dekat dengan Stasiun Wonokromo. Menurut google maps, sekitar 15 menit naik kendaraan bermotor dari lokasi sekarang kami berada. Kami naik taksi ke Bhinneka 2, dengan membayar 30k.

Ternyata setelah sampai di sana, kami mendapati sebuah fakta bahwa harganya sudah berbeda jauh. Kakak saya ternyata mendapat informasi itu hanya dari internet yang sumbernya tidak jelas. Kamar paling murah seharga 165k, dengan fasilitas bed, kamar mandi dalam, tv, dan fan. Sedangkan kamar yang AC harganya 200k. Berhubung Surabaya panasnya naudzubillah, kami memilih yang AC.  Rada horor gitu hotelnya, catnya sudah mengelupas di beberapa sisi kamar. Tapi udah terlanjur sampai sini sih, yaudahlah kami juga lelah.

Setelah itu kami leyeh-leyeh sembari menikmati AC kamar sampai maghrib, sholat, mandi, sholat isya, terus browsing sambil liat-liat google maps, cari tempat makan di sekitar situ yang bisa sekalian buat nongkrong cantik bertukar kabar dan cerita. Dan kami baru menyadari ternyata hotelnya itu rada terpencil, gak ada lokasi bagus yang bisa jalan kaki aja. Hasil menjelajahi google maps, kami menemukan sebuah tempat yang lumayan dengan interior menarik, 11 menit jalan kaki kata google maps. Kami makan malam sekalian nongkrong cantik di Libreria Eatery. Pulang jam setengah 11, mampir indomaret, sampai hotel jam 11. Lantas tidur.

Paginya kami bangun, sholat shubuh kemudian mendiskusikan untuk pindah hotel aja yang lebih deket sama pusat kota buat menghemat waktu dan ongkos transport. Tercetuslah buat mencoba nelpon Hotel Gubeng. Kenapa Hotel Gubeng? Soalnya deket banget sama stasiun, tinggal jalan kaki 5 menit juga sampai. Ada kamar kosong tinggal 1, kelas ekonomi. Harganya 140k, kamar mandi dalam, fan, tv. Check in bebas tp check out jam 12. Akhirnya kami ambil deh. Setelah check out jam setengah 8, kami langsung nyegat taksi ke gubeng, kena 22k, terus check in sama naruh barang di Hotel Gubeng. Begitu masuk kamar, kami langsung merindukan AC di kamar lama.

Berhubung sejak pertama kali saya ke Surabaya, saya udah pengen banget ke Museum Sampoerna, pagi itu kami memutuskan main kesana. Meskipun kakak saya rada ogah soalnya udah dua kali kesana. Kami order gojek ke Sampoerna, satu gojek kena 17k. Sampai sana jam 9 kurang, museumnya belum buka. Terus mau naik bus heritage tour tapi penuh, pas banget yang daftar sebelum kami itu dapet seat terakhir. Berarti memang bukan rejeki. Kamipun daftar buat tour selanjutnya jam 1 siang nanti. Terus nunggu bentar, masuk museum, keluar museum masih jam setengah 11.

Sambil menunggu jam 1 siang, kami mencari tempat asyik yang bisa 10 menit jalan kaki. Lagi-lagi kami menjelajahi google maps, dan menemukan Jembatan Merah Plaza. Lalu kami jalan kaki ke JMP, ngirain mall ternyata cuma pusat grosiran. Masih mending ternyata bukan cuma jembatan. HAHAHA
Kami memutuskan cari makan aja berhubung paginya cuma sarapan roti, tapi ternyata tidak ada foodcourt di sini. Ada sih di lantai paling atas tapi ternyata belum buka, masih dibangun gitu. Sebenarnya ada banyak yang jual makan di luar JMP, tapi kami nggak mau soalnya kumuh gitu. Akhirnya kami ngemper-ngemper gak jelas gitu di JMP.

Kami punya 2 opsi: langsung ke Tunjungan Plaza sambil nunggu acaranya IDP di Sheraton Hotel jam 2 nanti, atau ke Museum BI yang kata google maps ada di sekitar JMP terus cari makan sambil nunggu jam 1 dan balik ke Museum Sampoerna, naik bus heritage sampai jam 2 terus langsung cus ke Sheraton. Setelah diskusi bentar akhirnya terpilih langsung ke Tunjungan Plaza.

Kita memutuskan mencoba naik len (angkot) soalnya udah pernah taksi sama gojek. Di taman depan JMP banyak angkot ngetem tp katanya gak ada len yang ke TP. Adanya bus damri yang nunggunya di pojokan. Pojokannya gak jelas yang mana, kita jalan aja, nyebrang jalan yang sama sampai 3 kali terus browsing. Nunggu di samping Hotel Ibis, ternyata gak lewat. Nah terus jalan terus sampai tikungan. Akhirnya naik taksi. Kalau ujung-ujungnya naik taksi kenapa gak dari awal aja ya, heu. Lagi-lagi menurut google maps, sebenernya dekat cuma 3 km dan tinggal lurus-lurus aja tapi entah malah diputerin dan kena macet karena bubaran Parade Bunga yang finish nya di balai kota, deket Tunjungan. FYI, hari itu memang pas ada Parade Bunga dalam rangka peringatan hari jadi Kota Surabaya ke-723. Udah ngelewatin TP pas argo belum nyampe 20k, tapi mesti muterin jalan dulu dan pas turun depan TP 1 argonya udah 38k :(

Yeaaay, akhirnya masuk TP dan hal yang pertama kami cari adalah foodcourt di lt 5. Habis kenyang, kami baru mencari mushola yang ternyata ada di tempat parkir lantai atasnya foodcourt. Setelah itu kami langsung ke Sheraton yang pintunya nyambung gitu sama mall. Terus masuk sekitar jam 2, keluar jam 4. Sholat ashar di TP lagi. Nah ini mulai gak beres, masa kami udah lupa jalan menuju mushola.


Kami memutuskan mau mampir Gramedia yang ada di TP mumpung di Surabaya, soalnya di Jember toko bukunya gak terlalu besar. Udah muter-muter tapi kami gak kunjung menemukan Gramedia, padahal tadi pas awal masuk sebelum makan udah sempet liat tapi lupa dimana. Cuma inget di lt 4, di lantai sebelum foodcourt. Kita muter-muter di lantai 4 yang berujung nanya sama satpam dan dikasih tau bahwa Gramedia ada di lt 4 TP 1. Ternyata kita udah nyasar sampai TP 5. Sumpah, gede bet nih mall.

Akhirnya ketemu lah si Gramed yang ternyata berada persis di bawah foodcourt. Yang dekat kadang malah gak terlihat, kuman di ujung lautan malah tampak. Ceritanya kakak saya sedang mencari buku IELTS tapi gak menemukan yang bagus. Pas ada yang bagus tinggal 1 aja, dan CD interaktifnya udah gak ada. Gak terasa ternyata udah jam 6 aja. Kamipun sholat maghrib di mushola tadi. Sempet bingung dan muter-muter bentar akhirnya memutuskan naik ke lantai atas aja terus muter lewat foodcourt aja. Rada muter gapapa deh yang penting jalannya udah familiar daripada nyasar lagi. Kami lelah nyasar.

Sholat maghrib sekalian isya, terus makan di foodcourt lagi, terus memutuskan jalan ke Gramedia yang ada di luar TP yang lagi-lagi kata google maps cuma 10 menit jalan kaki. Padahal sebenernya rasanya udah mau pingsan saking capeknya. Dan harus tetep fokus soalnya udah gak punya tenaga buat nyasar, juga soalnya gak bisa minta rescue atau minta dijemput aja sama temen atau sodara. Untunglah kami tidak perlu melewati proses nyasar untuk sampai di Gramedia satu ini, gedungnya unik, suasananya menyenangkan, capeknya mendadak hilang. Langsung menuju lt 2. Eh nemu buku yang pengen dibeli dan gak ada di Gramedia TP: Little Prince sama buku IELTS. Seneng bangeeet. Terus sempet muter2 sejam lah, liat buku buat bikin buku digital juga. Ih keren abis nih teknologi, kreatif. Bikinan indonesia katanya. Kita pulang jam 9 lebih lah, langsung nyegat taksi depan gramed. Kena 15k sampai Hotel Gubeng. Mandi terus langsung tepar. What a so long day.

Paginya bangun jam setengah 4 soalnya keretanya kakak saya Probowangi berangkat jam 4.25. Saya menemani kakak saya jalan kaki 5 menit ke Stasiun Gubeng Lama. Karena kereta saya Logawa jam 09.15, saya balik lagi ke hotel buat sholat shubuh, nonton tv, mandi, dan tidur-tiduran sebelum akhirnya check out dan pulang ke Jogja. Dengan melajunya kereta api menuju Jogja, berakhirlah weekend hectic yang kami rayakan di Surabaya.

Saya dan satu-satunya kakak saya itu memang punya problem yang sama dalam hal spasial aka sering nyasar bahkan di kota kami sendiri, Jogja. Gak di gunung, gak di dalam mall, di kota sendiri maupun di kota tetangga saya tetap saja nyasar. Anw selamat merayakan weekend, semoga weekendmu menyenangkan! :)

Masih dalam Pencarian

Tak perlu mati-matian mencari hal yang tidak dibawa mati.” –Emha Ainun Najib
Beberapa hari yang lalu saya ikut kelasnya Akademi Berbagi yang diisi sama Rene Suhardono. Yang membuat saya tertarik mengikuti kelas ini bukan karena pengisinya yang baru belakangan saya tau kalau beliau itu orang keren, tapi karena judul kelasnya Urip Iku Kudu Urup! Skills to design your life. Pas sekali buat saya yang sedang merasa mati di tubuh yang hidup. Sebenarnya saya sudah lama tau bahwa Akademi Berbagi sering mengadakan kelas dengan pembicara hebat soalnya kakak saya volunteer akber di Jember, tapi baru kali ini saya memutuskan untuk mencoba hadir di kelas akber. Sebelum ini saya sama sekali tidak mengenal mas Rene, saya baru mencari tau siapa Rene pas memutuskan daftar kelas akber. Dan ternyata beliau itu penulis buku yang saya sempat tertarik beli tapi belum jadi beli karena bukunya mahal :v
Jadi saya sama sekali belum pernah baca bukunya, apalagi tau bentukannya mas Rene.hehe

Dua jam sesi seru bersama mas Rene terasa sangat singkat karena ternyata beliau orangnya kocak abis. Kenapa gak ikut stand up comedy aja mas? Hehe. Sebenarnya mas Rene hanya melontarkan beberapa isu meresahkan yang sudah sempat saya pikirkan, yang terkubur oleh banyak hal permasalahan saya yang lebih urgent. Diantaranya mengenai bisnis pendidikan. Beliau menyinggung biaya Perguruan Tinggi yang begitu mahal, hanya demi mendapatkan selembar kertas ijazah dengan lambang tertentu. Seolah kita memang membeli selembar kertas, karena sering kali lulusan perguruan tinggi tidak siap bekerja dan tidak bisa apa-apa. Buktinya banyak kok lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Sistem pendidikan konvensional akan seperti Blue Bird saat muncul Gojek. Ada beberapa perusahaan yang sudah mengeluarkan teaser bahwa tidak tertarik pada selembar ijazah dan tingginya IPK.

Intinya memprotes sistem pendidikan formal di negeri kita yang masih sangat konvensional. Seorang anak dituntut menghapal semua materi pelajaran, dituntut mengejar ranking satu, dituntut kuliah di universitas ternama, dituntut segera lulus dengan IPK tinggi, lebih bagus lagi sudah mendapat pekerjaan sebelum lulus, dituntut langsung bekerja setelah lulus, kemudian menikah. Well, sebagai seorang anak saya mengakui adanya tuntutan tersebut dari orang tua saya.

Tanpa sengaja hidup kita di desain oleh orang lain dan lingkungan sekitar. Sering kali yang terpikir justru menyalahkan orang lain atau parahnya menyalahkan Tuhan:  yang menciptakan kita siapa, yang membentuk diri kita siapa? Jadi kalau kita tidak bahagia dan hidup kita hancur, salahin siapa? Padahal designer hidup kita ya diri kita sendiri.

Kadang saya merasa sistem yang ada itu tidak humanis. Semua orang dituntut sama, padahal di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar sama, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Mas Rene menganalogikan sebuah kelas yang berisi berbagai jenis binatang, lalu seorang guru meminta seisi kelas untuk memanjat pohon. Tentunya yang paling bersemangat adalah Monyet, dia dengan senang hati memanjat seberapa banyak pohon dan seberapa tinggi pohon yang ada. Gajah cukup kebingungan, kalau saya robohin pohonnya aja gimana pak? Dan yang merasa paling bodoh adalah Si Ikan, karena yang dia tahu hanyalah berenang. So, kenali dirimu sendiri, kenali potensimu.

Oh iya tentang mengenali diri sendiri, saya jadi mau cerita kalau beberapa hari yang lalu saya jatuh dari motor lagi. Jatuhnya pas berhenti di tikungan dan karena motor saya terlalu tinggi atau lebih tepatnya kaki saya terlalu pendek. Di tikungan itu ada lubang drainase yang secara kontur lebih rendah dari jalanan di sekitarnya. Oleh sebab itu, saya biasa berhenti sebelum tikungan. Tapi karena disitu ada orang lain, saya merasa aneh kalau saya berhenti terlalu mundur sebelum tikungan. Maka sayapun maju sedikit dan jatuh. Saya sering ditanyain sama orang-orang lantaran suka aneh kalau bawa motor. Misalnya dulu pas saya suka sengaja pelan-pelan biar kedapetan lampu merah, atau dulu mesti nurunin kaki kalau belok, atau mau nyeberang ke kanan tapi malah minggir ke kiri dulu, atau mau mundurin motor aja mesti turun dulu dari motor, dsb. Tapi itu semua saya lakukan dengan alasan, karena yang paling mengenali diri kita ya diri kita sendiri. Toh itu kan proses, sekarang saya tidak perlu menuggu lampu merah karena udah bisa ganti gear tanpa berhenti. Yang paling tau proses kita sampai dimana kan diri kita sendiri. Jangan kayak saya, pengen keliatan kayak orang-orang lain eh malah jatuh.

Passion is nothing without action. Tidak perlu koar-koar ke seluruh dunia atau setidaknya ke orang tua masing-masing, INI LOOOH PASSION SAYA. Karena mereka tidak peduli, toh yang mereka lihat itu creation. Saya sepakat dengan itu, karena selama ini orang tua saya termasuk yang membebaskan pilihan anaknya asalkan bertanggungjawab. Mereka cuma butuh bukti, seluruh dunia cuma butuh bukti bahwa passionmu itu ada wujudnya dalam bentuk kreasi. Kamu suka menggambar, kamu suka main musik, kamu suka menulis, tunjukkan kalau itu memang bisa menghasilkan uang, kalau passionmu ada wujudnya, kalau passionmu itu bisa buat hidup.

Pesan terakhir mas Rene, cari arah bukan tujuan. Toh kita tidak tau kapan kita mati, toh kalau arahnya sudah benar kita akan terus menuju tujuan yang benar. Kita tersesat bukan karena tidak tau mau kemana, tapi justru tidak tau berada dimana. 

Foto bareng Rene
Sumber: nyolong dari twitternya @EDUHostelJogja