Friday 9 August 2013

Lupa dan Eksistensi Manusia

Lupa. Hal yang manusiawi namun terkadang tak termaafkan.

Lupa tak menepati janji, lupa tanggal ulang tahun, lupa nama, lupa muka. Ah, masih biasa. Namun ketika teringat sebuah film, A Moment to Remember, jadinya sungguh tragis ketika seseorang yang dicintai justru lupa akan eksistensi orang yang mencintainya, dan justru mengingat orang tersebut sebagai mantan kekasihnya di masa lalu. Dan memang,eksistensi juga termasuk salah satu kebutuhan dasar manusia, setiap manusia toh tentu saja butuh dianggap ada.


Tapi toh seseorang bukan sengaja memilih untuk lupa, bukan? Lantas, berhak kah seseorang marah ketika orang lain lupa terhadap sesuatu yang menyangkut dirinya?

Katanya, manusia memang tempatnya salah dan lupa.

Dan justru karena kemampuan manusia untuk melupakan, yang memudahkan kita sebagai manusia untuk memaafkan kesalahan orang lain. Ya, dengan semakin cepat melupakan kejadian itu, semakin cepat melupakan hal yang membuat kita marah atau kesal kepada orang tersebut. Berarti dengan begitu, akan semakin cepat pula kita memaafkan dengan cara melupakannya.

Ketika saya masih sering berhaha-hihi dengan kedua teman saya yang menurut saya selalu bisa mengingat hal detil apapun, saya pernah mengungkapkan kekesalan saya yang sangat berbeda dari mereka perihal ini. Tapi teman saya itu jadinya tak pernah bisa marah terlalu lama kepada kami semua orang karena selalu teringat segala hal yang pernah dilakukan bersama, dan juga kebaikan apa saja yang pernah orang lain lakukan kepadanya. Tapi dengan begitu, berarti dia juga mengingat sama jelasnya setiap tingkah menyebalkan orang lain yang membuat dia marah. Ah, ternyata susah juga ya memiliki long-term memory.

Kembali pada topik bahasan sebelumnya. Tapi ternyata sangat mengerikan ketika tak hanya satu orang yang melupakan eksistensi kita. Menjadikan kita sebagai seorang nothing -bukan siapa siapa.

Seperti Bystander Effect menurut saya, semua orang saling berbagi tanggung jawab untuk saling, apa ya istilahnya, memperhatikan, menyayangi, atau mungkin sekedar menyadari keberadaan orang lain. Menurut saya akan lebih baik apabila setiap orang mempunyai komunitasnya masing-masing dimana mereka mendapat perhatian dari segelintir orang di sana. Namun sayangnya tak semua orang memiliki komunitas, dan ada komunitas yang terlalu besar sehingga setiap orangnya tak terlalu mengenal satu sama lain, otomatis keberadaan orang tertentu menjadi invisible, tak ada yang menyadari keberadaannya, alih-alih memperhatikan.

Sedikit intermezzo, dalam ilmu psikologi istilah Bystander Effect berarti efek yang bekerja pada semua orang dalam suatu kondisi untuk saling melempar tanggung jawab untuk menolong orang lain. Mungkin mirip hukum merawat jenazah kalo di agama islam, hukumnya kan fardlu kifayah: artinya jika sudah ada yang melakukannya maka gugurlah kewajiban untuk itu, tapi bila tidak ada yang melakukannya maka berdosalah semua orang di tempat tersebut.

Salah satu contoh Bystander Effect adalah ketika terjadi sebuah kecelakaan di jalan raya, maka setiap pengguna jalan dan semua orang yang sedang berada di tempat tersebut akan memiliki tanggung jawab yang sama untuk menolong sang korban kecelakaan. Karena setiap orang berpikir, ah biar orang lain saja yang memanggil ambulance toh di sini ada banyak orang, maka tidak akan ada yang tergerak untuk menolong si korban. Nah, Bystander Effect ini akan hilang ketika ada yang secara personal memanggil kita, atau meminta tolong secara langsung kepada kita.

Terkadang ketika saya merasa lelah dengan semua orang yang melupakan saya, saya kembali menekuri pemikiran di atas. Toh saya juga sering tak sengaja lupa identitas seseorang yang pernah saya kenal tempo dulu. Karena mengenal seseorang bagi saya bermula dari mengenal karakter dan peran orang tersebut, kemudian setelahnya baru mengenal nama.

Dan mengingat bahwa di dunia ini ada sistem yang menjaga nggak ada yang bisa nggak seimbang, maka langkah pertama yang semestinya dilakukan ketika berharap dianggap ada adalah dengan menghargai eksistensi orang lain. Mulai mencoba mengenal orang lain yang tadinya kita anggap sebagai orang asing. Dan ketika ternyata kita masih merasa tak pernah dianggap ada, tak perlu khawatir :)

Selain itu, ketika semua hal duniawi memporakporandakan perhatian kita, kita terkadang lupa bahwa kita masih memiliki kontrak hidup dengan-Nya. Ya, kontrak untuk terus hidup dan beribadah kepada-Nya. Saya pun mendesah, manusia memang tempatnya lupa.