Friday 16 March 2018

Pelakor

Akhir-akhir ini istilah pelakor mulai sering terdengar, entah siapa yang pertama membuatnya. Pelakor di sini yang kumaksud adalah Perebut-Laki-Orang. Bukan Pecinta Lagu Korea, atau Pelaku Korupsi ya. Satu yang terakhir merupakan kesalahpahamanku selama ini mengenai istilah ini, hehe. Sudah sering dengar istilah satu ini, ngerti kalau istilah ini bermakna negatif tapi baru tau belum lama ini kepanjangan yang sesungguhnya.

Dibalik munculnya istilah pelakor, seolah mendeskreditkan bahwa perselingkuhan bersumber dari sosok perempuan yang kegatelan. Padahal kan namanya perselingkuhan itu kan antara dua orang, kalau salah satunya menolak kan pasti gak bakalan jadi. Lantas kenapa satu pihak bisa lebih disalahkan dari pihak yang lain?

Belum lama ini beredar video viral Bu Dendi nyawer pelakor, yang banyak banget dibuat meme atau video parodinya. Sumpah aku nggak ngerti lagi gimana perasaan si mbak pelakor itu (kalo masih punya perasaan sih). Maka kuhimbau pada semua perempuan di seluruh dunia, jangan lah jadi pelakor.

Lantas, bagaimana pandanganku tentang perselingkuhan? Oh itu termasuk kesalahan terbesar yang mungkin tak bisa kumaafkan. Kalau kamu menjalin hubungan serius denganku dan kamu berselingkuh, maka bhay! Tak ada ampun untuk urusan satu ini.

Dulu aku sempat rada gimana gitu sama kisah cintanya Re dan Rana dalam serial pertama Supernova. Rana berselingkuh dengan Re, dan cara mereka saling jatuh cinta itu menurutku kena banget ketimbang kisah cinta Rana dengan suaminya. Rasanya perselingkuhan mereka terasa benar. Dan justru setelah Arwin sang suami Rana mengikhlaskan Rana, Rana justru kembali ke pelukan Arwin.

Tapi semenjak aku melihat perselingkuhan benar-benar terjadi di dunia nyata, aku teramat geram untuk bisa melihat dari sudut pandang yang kulihat dari kisah Re dan Rana.

Belum lama ini aku menonton serial netflix Black Mirror. Episode 3 season pertama bercerita tentang pasangan suami istri, yang mana sang suami merasakan gesture yang berbeda dari istrinya ketika berinteraksi dengan seorang laki-laki. Sebagaimana episode-episode Black Mirror yang lain, episode ini juga menceritakan efek buruk kemajuan teknologi. Dalam episode kali ini, setiap orang bisa menyimpan apa yang mereka lihat dan dengar dari mata dan telinga mereka layaknya kamera yang menyimpan video. Rekaman kejadian itu bisa mereka putar berulang-ulang dengan alat semacam remote, juga bahkan bisa ditayangkan via layar televisi layaknya menonton film. Sang suami yang peka dengan detail gesture sang istri, terus memutar memori ketika mereka sedang mengadakan makan malam bersama, lantas melakukan zoom-ing pada hal-hal detail layaknya detektif mencari petunjuk. Twist nya adalah ketika sang suami mendatangi selingkuhan istrinya, lantas memaksanya menghapus memori yang terekam bersama istrinya. Lalu dia memaksa sang istri mengaku dan memperlihatkan memori mengenai apa yang dilakukannya dengan sang selingkuhan. Kemajuan teknologi ini sungguh ironi, di satu sisi kita bisa terus mengingat segala hal dengan detail, baik hal baik maupun hal buruk. Tapi di sisi lain, bisa mengingat segala sesuatu dengan teramat jelas itu sangat menyiksa. Beruntunglah kita masih bisa lupa, kalau semua kejadian yang kita alami selalu masih sesegar seolah baru terjadi tadi pagi, bagaimana kita bisa move on?

Pernah dalam posisi menjadi pelakor? Alhamdulillah sih enggak, dan semoga nggak akan pernah. Pernah punya temen seorang pelakor? Pernah, dan walaupun kesal setangah mati tapi ku tetap berteman. Karena bagaimanapun kisah cinta itu urusan pribadi, yang penting sebagai teman yang baik kan kita sudah mengingatkan. Kalau ntar kamu masuk video viral macam video Bu Dendi, risiko ditanggung sendiri ya. Satu hal penting lainnya, kalo dia segampang itu meninggalkan pasangannya untuk berselingkuh denganmu, maka bukan nggak mungkin kan suatu hari nanti dia juga segampang itu meninggalkanmu untuk orang lain.

Btw ini kenapa ya aku tiba-tiba nulis tentang pelakor di malam jumat kliwon begini. Well, nggak ada maksud khusus sih. Hanya sebuah bentuk ekspresi, daripada tenggelam dalam keresahan. Right?


Tuesday 6 March 2018

On The Way Home

Malam ini aku pulang dengan rute berbeda. Melewati Sagan dengan deretan kafe-kafe yang syahdu. Entah Sagan yang memang syahdu, atau ini hanya efek yang ditimbulkan paska hujan deras seharian.

Hari ini hujan ekstra deras mengguyur kotaku. Cuaca yang asyik, suara hujan yang ekstra berisik, dan udara yang sejuk ciamik. Cukup menyenangkan untuk dinikmati sendiri di lorong kosong lantai 2, depan ruang kantor yang sepi. Well, bisa terasa menyenangkan karena aku tak harus pergi kemanapun. Stay di kantor dengan perut kenyang dari katering siang ini. Dan masih bisa menyeduh segelas coklat panas di dalam kantor ketika hujan badai di luar sana, itu patut disyukuri.

Aku memiliki beberapa kawasan favorit di kotaku: Kotabaru, Sagan, dan Kotagede. Tak heran kawasan-kawasan tersebut menjadi kawasan favoritku, pada jamannya kawasan itu kan tempat tinggal konglomerat. Wajar saja terasa tertata apik dan elegan. Salah satu penandanya adalah bangunan-bangunan heritage, juga gardu listrik yang aku lupa namanya (gardu listriknya punya nama). Gardu listrik ini menandakan kawasan tersebut adalah kawasan elit karena dulu tak semua orang bisa menikmati listrik. Kotabaru dan Kotagede punya Babon Enim (ah, aku sudah ingat nama si gardu listrik).

Seorang teman pernah berkata, kita cenderung lebih memilih rute perjalanan yang melewati tempat-tempat kita bisa bernostalgia. Misalnya melewati mantan sekolah kita. Aku menghabiskan 6 tahun masa Sekolah Dasar di Sagan, pernah 3 tahun mengenyam pendidikan di Kotabaru, dan hampir 20 tahun tinggal bertetanggaan dengan Kotagede. Jadi bisa jadi aku menyukai kawasan-kawasan tersebut karena keelitannya (aku sudah menyukai kawasan ini sebelum aku menyadari bahwa kawasan-tersebut merupakan kawasan elit atau heritage), atau bisa jadi karena mereka memiliki memori tersendiri untukku, atau bisa jadi hanya karena aku suka tempat bersejarah. Seperti Kota Tua Jakarta, yang walaupun baru sekali kukunjungi namun sudah begitu melekat. Entahlah.

Hari ini kami bermain game uno hingga pukul 8 malam di kantor. Entah kenapa kami gemar sekali menghabiskan waktu di kantor hingga larut malam, atau sekedar makan malam bersama di luar dan mengobrol panjang ngalor-ngidul. Mungkin kami memang segerombolan orang-orang yang malas pulang, tentunya dengan alasan masing-masing yang tak perlu ditanyakan. Pak Bos bilang aku dan permainan uno ku sangat mudah ditebak, kelihatan banget pola permainannya. Mungkin aku memang terlalu lempeng dan lurus-lurus, kurang tricky.

Satu kartu canggih dalam permainan uno adalah kartu kosong, dimana fungsinya adalah menukar kepemilikan kartu. Hal itu mengingatkan kita bahwa dalam hidup ini, segala hal yang kita miliki itu hanya titipan. Memang harus diusahakan semaksimal mungkin, tapi juga harus siap kalau sewaktu-waktu diambil kembali. Kalau udah pernah main uno dan nyaris menang atau sedang merasa di atas angin karena memiliki deretan kartu dahsyat, lalu tiba-tiba ada yang mengeluarkan kartu emas yang menukar kepemilikan kartu, pasti tau dong rasanya sebagian duniamu runtuh ketika tak siap kehilangan sesuatu yang kau cintai di dunia ini.

Pada beberapa game, aku bisa menemukan sisi filosofis yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya adalah permainan uno tadi. Selain itu, ketika main salah satu game nya Pou, yang mana kita diberi misi untuk menghilangkan permen di antara buah-buahan dengan cara menyamakan warna buah. Duh susah juga ya menjelaskan game satu ini. Aku mendapat beberapa filosofi hidup dengan bermain game satu ini. Pertama, kalau mau memenangkan banyak round kita harus fokus sama misi yang diberikan. Karena akan ada banyak buah-buahan yang menarik untuk dijadikan, untuk menambah koin. Tapi kalau kita tidak fokus pada misi, kita tidak akan pindah ke round berikutnya. Sementara itu, ada waktu yang terus bergerak dan ketika waktu habis maka game is over. Filosofi berikutnya, kadang kita terlalu fokus pada buah-buahan yang ada di sekitar misi. Padahal jalan kemenangan kadang berasal dari arah yang tak terduga. Sumpah ini bukannya sok bijak, tapi coba deh main game satu ini dan kau akan mengerti apa yang kumaksud. Heuheu

Apa inti dari tulisan ini? Ndak ada, just sharing aja tentang apa yang kupikirkan sepanjang perjalanan pulang. Btw 'tempat' itu salah satu variabel yang bisa dijadikan sebagai pemanggil ingatan buatku, selain tentunya musik dan aroma. Jadi aku bisa banget masih ingat pernah mengobrol tentang apa di tempat mana, atau musik tertentu mengingatkan pada masa-masa tertentu, juga bau tertentu mengingatkan pada orang-orang tertentu. Maka kadang aku menyimpan pemikiran-pemikiran di suatu tempat yang aku lewati dalam perjalanan, dan melanjutkan pemikiran itu ketika melewati tempat yang sama di hari yang berbeda. Akibatnya adalah, karena mengendarai kendaraan dengan mode auto pilot, seringkali lupa kalau mau mampir. Soalnya udah ada template rute ke rumah, atau rute ke kampus. Kapan-kapan aku share lagi deh, apa saja yang aku pikirkan dalam perjalanan pulang.