Friday 29 March 2013

Ideal =Humanis (?)

Berbicara tentang sebuah kota ideal, beberapa saat yang lalu saat saya sedang mati gaya di sebuah tempat, secara tak sengaja saya menemukan sebuah buku yang menarik perhatian saya: After Orchard. Buku terbitan Penerbit Buku Kompas ini ditulis oleh seorang Indonesia lulusan Nanyang University yang mendapat beasiswa dan tinggal beberapa waktu di sana.

Sebuah buku yang membantu saya move on, karena pada saat itu saya sedang merasa kosong. Membuka pandangan saya akan sebuah sistem yang ideal tapi ironisnya justru mengarah pada dehumanisasi.

Poin pertama yang saya soroti mengenai Sumber Daya Manusia. Dimana telah menjadi sebuah sistem bahwa untuk bisa survive, kita harus memiliki kualifikasi tertentu dan lebih unggul dari semua orang. Sehingga hal ini memunculkan iklim persaingan yang begitu terasa. Dimana sistem ini otomatis akan membuang orang-orang yang tidak berkualitas, seolah mengatakan “Dunia sudah terlalu penuh sesak oleh manusia, mereka yang tidak berkualitas sebaiknya dimusnahkan.”

Sebenarnya sudah cukup banyak gagasan serupa baik yang muncul dalam komik seperti deathnote, maupun gerakan terselubung, yang terkadang menjadi topick obrolan teman-teman saya, tapi rasanya tak pernah memikirkan bahwa gagasan tersebut memang sedang terjadi secara halus. Misalnya dengan menjual produk makanan minuman tertentu yang sebenarnya berbahaya apabila dikonsumsi jangka panjang, secara tidak langsung ingin memusnahkan golongan yang secara ekonomi hanya sanggup membeli produk tersebut. Yang selamat adalah orang orang kaya yang sanggup mengakses makanan dan sayuran segar. Selain itu, dengan pressure yang tinggi akibat pola persaingan yang terjadi, menyebabkan angka bunuh diri meningkat. Dan ini merupakan salah satu bentuk seleksi alam yang lain. Akan tetapi pasti selalu muncul controversi, terutama dari aktivis pembela HAM. Mereka mengatakan bahwa toh setiap manusia memiliki hak hidup, jadi kita tak berhak dengan cara apapun memusnahkan suatu golongan, atau katakanlah kaum marginal.

Poin ke-2 yang saya soroti adalah mengenai sistem pendidikan di sana. Dimana untuk bisa masuk perguruan tinggi, yang nantinya akan mendapatkan gaji yang tinggi, maka haruslah bersekolah di Senior High School, sedangkan lulusan Vocational School tidak akan bisa diterima di perguruan tinggi. Lulusan Vocatonal School hanya bisa mengakses pekerjaaan yang gajinya tak seberapa. Sedangkan untuk bisa diterima di Senior High School maka harus berasal dari Junior High School, dan hanya lulusan Elementary School terbaik yang bisa diterima di Junior High School. Jadi sekalinya gagal pada tingkatan pertama maka tidak ada pilihan lain. Sehingga menanamkan sebuah paradigm bahwa kita tidak boleh gagal, dan memunculkan rasa takut gagal sedini mungkin. Sangat berbeda dengan sistem pendidikan di Indonesia yang begitu fleksibel, dan tidak pernah ada kata terlambat untuk berubah. Misalnya saat kita masih kecil dan hanya ingin bermain sehingga tak memiliki prestasi akademik yang gemilang, maka ketika kita beranjak dewasa dan merasakan pentingnya memiliki prestasi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak maka bisa saja kemudian kita berubah menjadi rajin dan berprestasi. Maka sah-sah saja ketika lulusan sekolah pinggiran yang tak dikenal diterima di perguruan tinggi unggulan di Indonesia selama dia berhasil lolos tes saringan masuknya.

Masih mengenai sistem pendidikan di sana, kita didorong untuk tak hanya berprestasi tapi juga mengikuti berbagai ekstrakurikuler yang bentuk insentifnya berupa poin. Dan sebenarnya tak hanya didorong tapi lebih cenderung dipaksa, karena hanya mahasiswa yang memiliki cukup poin yang boleh tinggal di asrama mahasiswa. Sedangkan yang poinnya kurang, harus menyewa kamar di luar kompleks universitas yang cukup jauh dan harganya berkali kali lipat dari harga kamar asrama dengan fasilitas pas pasan. Akibatnya memilih ekstrakurikuler bukan lagi berdasar minat dan bakat, tapi berdasar ekskul mana yang mampu memberikan poin lebih untuk bertahan hidup, dan itupun tak cukup hanya dengan mengikuti satu macam ekskul.

Poin ke-3, adalah mengenai kehidupan sosial. Berkaitan dengan persaingan, yang baik kasat mata maupun tak kasat mata di kota tersebut, berdampak pada pola kehidupan sosial masyarakatnya. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa masyarakat perkotaan cenderung bersifat individual ketimbang masyarakat sub urban. Tak bisa dipungkiri bahwa orang-orang yang RELA tinggal di kota metropolitan merupakan orang yang membutuhkan akses yang dekat dengan pekerjaannya, dengan kata lain yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga bisa jadi tak sempat mengenal tetangga kiri kanannya. Tak memiliki waktu untuk bersosialisasi. Bahkan menurut buku ini, banyak taman taman atau ruang terbuka publik di sana yang sebenarnya di desain sangat cozy tapi justru terlihat lenggang karena masyarakatnya tak memiliki waktu sekedar untuk duduk duduk santai dan mengobrol. Tipikal yang tidak bersusah-susah mencari teman untuk makan karena kesulitan menyamakan jadwal yang hectic, sehingga bila perlu membungkus makan siang untuk dimakan di meja kerja.

Sesuatu yang terlalu prosedural ternyata justru mejadikan manusia sebagai robot, sesuatu sistem yang niatnya ingin menjadikan kota humanis justru entah, terasa tidak humanis. Misalnya ketika pelayanan dokter di sana yang begitu prosedural, mengikuti diagram flowchart yang menganalisis gejala penyakit berdasar pola ya dan tidak, apabila ya maka begini apabila tidak maka begitu, dst sehingga sampai pada sebuah kesimpulan penyakit apa dan penanganannya bagaimana. Mengabaikan bahwa pada dasarnya manusia memiliki keunikan sendiri-sendiri, dengan kompilasi yang berbeda maka seharusnya penanganannya tak bisa diseragamkan meski memiliki gejala yang sama.

Entah, saya jadi merasa bersyukur tinggal di tempat saya tinggal sekarang. Meski jauh dari kata ideal, rasanya lebih manusiawi. Ketika se anti sosial apapun saya di sini maka tetap akan ada orang yang peduli dan sempat untuk sekedar say hello :)


Monday 11 March 2013

Opini: Iklan


Sebenarnya iklan yang membentuk paradigma kita atau justru sebaliknya?

Hal itu merupakan hubungan timbal balik, seperti menanyakan yang mana yang lebih dulu, antara telur atau ayam. Semua orang pasti memiliki jawabannya sendiri, tentunya dengan alasan tertentu.

Iklan terbentuk atas paradigma masyarakat karena memang itulah tujuan iklan ada. Untuk menarik seseorang akan suatu produk tertentu. Untuk itu diperlukan informasi mengenai apa yang menarik, yang membuat seseorang menjadi tertarik untuk menggunakan atau membeli produk tersebut. Apabila tidak mengikuti cara berpikir masyarakat, tentu saja iklan tersebut tidak akan menjual. Nah, dengan begitu berarti iklan diciptakan menurut pola pikir masyarakat. Misalnya iklan-iklan sampo atau pasta gigi yang menggunakan orang-orang barat yang ceritanya sebagai ahli produk tertentu. Mengapa tidak menggunakan orang negro atau orang Indonesia asli sebagai modelnya? Tentu saja untuk mengusung agar produk tersebut terbilang ilmiah, dan karena paradigma masyarakat yang terlanjur beranggapan bahwa orang-orang ahli atau ilmuan itu adalah orang-orang luar negeri, dalam hal ini bangsa kulit putih. Padahal bisa saja orang Indonesia menjadi seorang ahli kan.

Namun sebenarnya justru iklan itu, baik secara langsung maupun secara tidak langsung membentuk pola pikir masyarakat. Bersamaan dengan media, iklan membentuk pola pikir kita. Misalnya iklan-iklan produk perawatan tubuh  menciptakan sebuah paradigma bahwa cantik itu yang kulitnya putih, kurus, berambut lurus, dan sebagainya. Kemudian iklan-iklan rokok yang menggambarkan petualangan, persahabatan, dan kesuksesan. Hal itu mengisyaratkan bahwa merokok itu keren, jantan, jalan menuju sukses, dan sebagainya. Padahal hal-hal tersebut tidak saling berkaitan.

Nah, apabila dikaji lebih jauh, pola timbal balik tersebut merupakan pola yang terus berputar, akan tetapi bukan berarti tidak bisa diarahkan. Kita bisa mengarahkan pada paradigma apakah yang ingin kita tanamkan, tapi secara perlahan-lahan, dengan tetap memasukkan paradigma eksisting yang ada pada saat ini. Terus menerus begitu hingga terbentuklah paradigma baru sesuai yang kita inginkan.

Kemudian muncul pemikiran untuk mempengaruhi, membentuk, atau merubah pola pikir masyarakat melalui iklan. Sayangnya cukup sedikit orang yang menyadari hal ini, dan lebih sedikit lagi orang yang menyadari bahwa mereka terpengaruh atau termakan iklan. Para pembuat iklan cenderung berpikir mengenai branding, komersialisasi, bagaimana iklan mereka bisa menjual, dan sebagainya tanpa berpikir panjang mengenai  dampak tidak langsung dari iklan yang mereka buat. Sehingga kemudian banyak iklan yang bermunculan yang tidak berhubungan dengan produk yang ditawarkan.

Memangnya apa dampak tidak langsung yang mungkin muncul? Bermacam-macam, misalnya mendorong seseorang berperilaku konsumtif dan melakukan hedonisme. Atau menjadikan pemikiran bahwa produk-produk import jauh lebih berkualitas, lebih modern, dan lebih keren daripada produk lokal. Untuk beberapa produk ada benarnya memang, tapi tentu saja tidak semua demikian. Hal tersebut kemudian dapat menurunkan jiwa nasionalis seseorang. Dan dengan begitu, sebenarnya iklan dapat dijadikan metode menjajah secara alam bawah sadar. Iklan yang terus menerus ditampilkan atau ditayangkan, yang pada mulanya tidak kita acuhkan, lama kelamaan kemudian mempengaruhi alam bawah sadar kita mengingat bentuk pengulangan sangat berpengaruh dalam membentuk karakter atau respon seseorang.

Berbicara tentang iklan, iklan mendorong kita untuk berperilaku konsumtif. Itu jelas, karena lagi-lagi memang itulah tujuan iklan dibuat. Tapi tidak lantas menjadikan menipu dalam beriklan menjadi boleh. Tetap saja ada nilai moral yang perlu diperhatikan. Seperti misalnya pemilihan jam tayang yang dipengaruhi siapa yang menjadi target dalam iklan tersebut, ibu rumah tangga kah, remaja kah, atau justru anak-anak. Pengemasan iklan-iklan produk untuk orang dewasa dan untuk anak-anak tentu saja berbeda, karena factor usia juga berpengaruh pada pola pikir seseorang. Untuk itu kita harus selektif dalam memandang iklan. Berhati-hatilah dan jangan mudah terpengaruh :)


MP3EI


Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan sebuah terobosan baru untuk mewujudkan visi Indonesia, yaitu menjadi Negara Maju dan Sejahtera di Tahun 2025. MP3EI terdiri dari 8 program utama, 6 koridor ekonomi sebagai pusat pertumbuhan, dan 22 kegiatan ekonomi utama yang ditumbuhkembangkan di dalam 6 koridor tersebut. MP3EI ini bersifat sebagai dokumen pelengkap bagi dokumen-dokumen perencanaaan yang ada.

MP3EI mengandung 3 prinsip dasar yang menjadi strategi utama untuk mewujudkan visi Indonesia. Prinsip dasar yang pertama adalah pengembangan potensi ekonomi di 6 koridor ekonomi, yaitu Koridor Ekonomi Sumatera, Koridor Ekonomi Jawa, Koridor Ekonomi Kalimantan, Koridor Ekonomi Sulawasi, Bali-Nusa Tenggara, dan Koridor Ekonomi Papua-Maluku. Pengembangan potensi di 6 koridor ini selain berfungsi sebagai upaya pemerataan pembangunan, juga untuk mengembangkan potensi strategis yang dimiliki Indonesia. Indonesia kaya akan berbagai SDA, dan juga secara geografis terletak pada lokasi yang strategis secara ekonomi. Dengan pengembangan potensi di 6 koridor yang telah disebutkan di atas, harapannya SDA dan potensi ekonomi yang dimiliki Indonesia dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dengan menentukan tema pembangunan di tiap koridor tersebut, para pelaku ekonomi dapat menanamkan investasinya sesuai dengan arahan pengembangan potensi tiap koridor ekonomi.

Kita ketahui bersama bahwa setiap wilayah memiliki karakteristik dan potensi yang berbeda, untuk itu diperlukan pengenalan potensi, baik potensi SDA maupun potensi ekonomi berdasar lokasi strategis yang dimiliki oleh tiap wilayah. Selanjutnya potensi tersebut dikelompokkan berdasar kesamaan potensi dan letaknya yang saling berdekatan sehingga terbentuk kluster-kluster. Kluster-kluster tersebut kemudian disinergiskan membentuk suatu koridor ekonomi yang saling terkait. Diperlukannya klusterisasi atau spesifikasi sektor, menjadikan pengembangan potensi ekonomi di tiap koridor, yang sesuai dengan tema pembangunan yang telah ditetapkan, penting untuk dilakukan. Dengan membuat spesifikasi sektor-sektor basis tertentu yang khusus di tiap koridor tersebut, yang tentunya saling terintegrasi, harapannya output yang dihasilkan akan menjadi lebih optimal.
Penentuan tema pembangunan di tiap koridor ekonomi tentunya dengan berdasar data eksisting mengenai angka-angka yang menjadi informasi akan adanya potensi tertentu. Koridor Ekonomi Sumatera akan dikembangkan sebagai sentra produksi berkaitan dengan luas lahan perkebunan kelapa sawit dan jumlah produksi kelapa sawit yang terus meningkat tiap tahunnya. Selain itu di Koridor Ekonomi Sumatera akan dikembangkan pengolahan hasil bumi berkaitan dengan potensi pertambangan, dan sebagai lumbung energi nasional. Kita ketahui bersama, Sumatera memiliki SDA yang dapat dimanfaatkan secara bijaksana, seperti penambangan besi baja, karet, dan batu bara. Hasil bumi tersebut kemudian diolah dan dapat dijadikan sebagai industri hilir seperti misalnya karet alami yang dapat diolah menjadi ban, sarung tangan, sepatu, dan lain-lain. Mengenai tambang batu bara, Sumatera memiliki banyak potensi pertambangan batu bara yang belum di eksploitasi, terutama di Sumatera Selatan. Berdasarkan data dari studi kementrian ESDM, dengan produksi 200juta ton per tahun, Indonesia akan memiliki cadangan batu bara untuk jangka waktu yang lama. Selain potensi SDA, Sumatera juga memiliki potensi ekonomi dari letaknya yang strategis dengan Kawasan Strategis Nasional Selat Sunda sehingga cocok untuk industri perkapalan. Pembangunan Jembatan Selat Sunda tersebut akan menjadi sebuah investasi berupa infrastruktur, yang akan menunjang pertumbuhan di kedua sisi yang dihubungkan.

Koridor Ekonomi Jawa sebagai pendorong industri dan jasa nasional. Pulau Jawa lebih cocok dikembangkan sebagai penyedia makanan minuman, tekstil, peralatan transportasi, perkapalan, telematika, pengembangan jabodetabek area, dan industri alutsia. Industri tekstil dinilai potensial dikembangkan di Jawa karena daya serapnya terhadap tenaga kerja yang cukup tinggi mengingat penduduk Indonesia yang sebagian besar berpusat di Pulau Jawa. Pengembangan jabodetabek area terbentur oleh adanya permasalahan yang disebabkan telah melebihinya daya tampung wilayah. Sehingga muncul pemasalahan seperti kemacetan, kapasitas bandara dan pelabuhan yang sudah tidak mencukupi, hingga masalah air bersih. Untuk itu diperlukan strategi seperti penyebaran aktivitas bisnis ke luar DKI Jakarta sehingga tumbuh pusat pertumbuhan baru dan tidak terus berpusat di Jabodetabek.

Koridor Ekonomi Kalimantan sebagai pusat produksi, pengolahan tambang, dan sebagai lumbung energi nasional. Kalimantan akan dikembangkan produksi kelapa sawitnya berkaitan dengan luas lahan perkebunan kelapa sawit yang mencapai 53% dari total luas perkebunan di Kalimantan, penambangan besi baja, bauksit, batubara, dan migas, serta perkayuan dari hutan yang masih terbentang luas di sana. Dalam rangka memenuhi kebutuhan migas dalam negeri, Indonesia perlu mengembangkan lokasi penambangan migas cadangan yang mana salah satunya terletak di Pulau Kalimantan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia dengan negara lain dalam hal impor minyak bumi yang terus meningkat beberapa tahun terakhir ini. Hasil bumi lain yang tak kalah banyak terdapat di pulau ini adalah cadangan tambang batu bara dan bauksit. Sayangnya pemanfaatan bauksit di Indonesia masih belum maksimal karena sebagian besar tambang bauksit diimpor dalam bentuk mentah, padahal nilai jual tambang mentah dibanding dengan hasil olahannya dapat bertambah berkali lipat. Sehingga dibutuhkan pengembangan industri pengolahan tambang yang serius untuk mengatasi hal ini. Selain itu, identitas Kalimantan sebagai paru-paru dunia terkait luasan hutan di Kalimantan menjadikan Kalimantan memiliki potensi dalam industri perkayuan.

Koridor Ekonomi Sulawasi akan dikembangkan sebagai pusat produksi, pengolahan pertanian, perkebunan, perikanan, migas, dan pertambangan nasional. Sulawesi memiliki SDA berupa nikel dan migas, cocok untuk pertanian pangan, perkebunan kakao, serta perikanan. Pertanian pangan yang akan dikembangkan di Sulawesi mencakup pertanian padi, jagung, kedelai, dan ubi kayu. Mengenai perikanan, terjadi masalah eksploitasi berlebihan beberapa jenis ikan di Sulawesi, oleh karena itu dikembangkan juga perikanan budidaya.

Bali-Nusa Tenggara akan dikembangkan sebagai Pintu Gerbang pariwisata dan pendukung pangan. Bali dan Nusa Tenggara akan dikembangkan untuk pariwisata, peternakan, dan perikanan. Kita ketahui bersama bahwa Bali memiliki daya tarik pariwisata yang tinggi di dunia internasional, untuk itu dibutuhkan strategi pengembangan berupa peningkatan keamanan, promosi, dan pengembangan destinasi wisata di sekitar Bali seperti wisata pegunungan di Jawa Timur dan Lombok, serta wisata hewan endemik di Pulau Komodo. Selain itu pengembangan pariwisata dapat dilakukan dengan meningkatkan service berupa peningkatan kualitas dan kenyamanan pengunjung. Pengembangan pariwisata ini juga didukung dengan pemberdayaan masyarakat dan pengupayaan agar masyarakat lokal sadar wisata.

Koridor Ekonomi Papua-Maluku sebagai penyedia pangan, perikanan, energi, dan penambangan nasional. SDA yang dimiliki papua berupa nikel, tembaga, dan migas, serta cocok untuk pertanian pangan, serta perikanan. Kegiatan pertanian pangan diwujudkan dalam bentuk pengembangan MIFE (Merauke Integrated Food and Energy Estate), yaitu usaha budidaya tanaman skala luas, yang dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industri yang berbasis IPTEK, modal, dan manajemen yang modern. Tanaman yang akan dikembangkan dalam MIFE adalah padi, jagung, kedelai, sorgum, gandum, sayur, dan buah-buahan. Selain pengembangan koridor pada tema yang telah disebutkan di atas, potensi lain yang dapat dikembangkan adalah pariwisata di Raja Ampat.

Prinsip dasar yang ke-2 adalah memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal, dan terhubung secara global (locally integrated, globally connected). Koneksi ini harus menghubungkan intra wilayah, yaitu koneksi di dalam wilayah itu sendiri, menghubungkan antar wilayah, dan internasional. Peningkatan konektivitas nasional mencakup Sistem Logistik Nasional (sislognas), Sistem Transportasi nasional (sistranas), RPJMN/RTRWN, dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK/ICT). Penguatan konektivitas nasional dapat dilakukan dengan rencana pengembangan jaringan infrastruktur, pengembangan jaringan transportasi, dan pengembangan jaringan broadband. Jadi, yang dihubungkan tidak hanya manusianya, tapi juga untuk mobilitas barang komoditas industri, makhluk hidup selain manusia, jasa dan keuangan, serta koneksi informasi.

Langkahnya adalah membuat koneksi antar pusat pertumbuhan dalam satu koridor yang terintegrasi, kemudian menghubungkan antar koridor tersebut, dan membuka jalur perdagangan internasional di titik-titik strategis. Jalur-jalur strategis untuk memperkuat konektivitas tersebut antara lain selat malaka, selat sunda, selat Lombok-selat makasar, dan selat ombai wetar.

Sebagian besar masalah pengembangan pertambangan di luar Pulau Jawa terkendala masalah ketersediaan infrastruktur yang masih kurang terutama di bidang transportasi untuk mengangkut hasil tambang menuju pelabuhan. Untuk itu diperlukan pembangunan infrastruktur untuk mendukung berbagai kegiatan ekonomi di koridor-koridor ekonomi.

Prinsip dasar yang ke-3 adalah memperkuat kemampuan SDM dan perkembangan IPTEK untuk mendukung pengembangan potensi di 6 koridor ekonomi tersebut. Pertumbuhan ekonomi, selain dipengaruhi oleh SDA, juga sangat terpengaruh pada SDM, sebagai penggerak atau pelaksana  dan di dukung oleh kemajuan IPTEK. Oleh karena itu, meningkatkan kualitas SDM menjadi langkah awal untuk mengembangkan SDA/potensi yang dimiliki Indonesia.

Untuk menghasilkan tenaga kerja yang produktif, dibutuhkan sistem pendidikan yang bermutu dan relevan terhadap kebutuhan pembangunan. Dibutuhkan lulusan SMK dan vokasi untuk menjadi tanaga terampil dan juga lulusan SMA yang selanjutnya akan meneruskan pendidikan ke universitas. Dengan demikian, di tiap kota/ ibukota kabupaten harus terdapat community colleges atau lembaga pendidikan setingkat akademi, sehingga biaya pendidikan dapat ditekan karena tak perlu jauh-jauh dalam melanjutkan pendidikan.  Selanjutnya, mengenai pengembangan IPTEK dapat dilakukan dengan pembentukan kluster inovasi daerah, penguatan aktor inovasi, dan juga mengembangkan perguruan tinggi sebagai pusat riset.

Prinsip-prinsip teknis tersebut tentunya tak lepas dari pra syarat keberhasilan pembangunan, yang meliputi peran pemerintah dalam menciptakan suasana ekonomi makro yang kondusif, dan juga peran dunia usaha dalam peningkatan investasi serta penyediaan lapangan kerja; reformasi kebijakan keuangan negara dengan pembuatan APBN yang kredibel dan berkelanjutan; reformasi birokrasi berupa pelaksanaan good governance; penciptaan konektivitas antar wilayah di Indonesia; kebijakan ketahanan pangan, air, dan energi ; dan juga jaminan sosial dan penanggulangan kemiskinan.

Peran pemerintah dalam pengkondisian ekonomi makro dapat diwujudkan dengan regulasi dan kebijakan yang bersifat mendukung, dan dengan pemberian insentif dan disinsentif terkait arahan pengembangan. Hal itu telah mencakup reformasi kebijakan-kebijakan yang telah disebutkan di atas. Dunia usaha meningkatkan investasi dan pihak swasta bersama dengan pemerintah menciptakan konektivitas yang dapat dijadikan investasi dalam bentuk pembanguan infrastruktur.

Dengan berjalannya semua prinsip-prinsip MP3EI yang dibuktikan dengan berjalannya 22 kegiatan ekonomi utama, maka harapannya goal untuk mencapai Indonesia sebagai Negara Maju di tahun 2025 akan bisa tercapai.

Komentar dan Kritik  Terhadap MP3EI
MP3EI merupakan konsep ideal yang apabila tanpa rencana implementasi yang detail dapat dikatakan terlalu utopianisme, yaitu terlalu mengharapkan sesuatu yang terlalu tinggi dan hampir mustahil untuk dicapai. Namun dengan rencana implementasi yang dilengkapi langkah-langkah konkret, MP3EI menjadi sangat mungkin diimplementasikan. MP3EI tak hanya sebatas konsep, tapi sudah seperti sebuah buku panduan. Selain itu, MP3EI didukung oleh data-data yang faktual yang disuguhkan dalam skema yang menarik dan informatif cenderung dapat dimengerti bahkan oleh orang yang tidak berkecimpung di bidang-bidang yang disebutkan.

Tentunya dibutuhkan kerjasama dari semua pihak baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak swasta hingga masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mewujudkan visi Indonesia melalui MP3EI ini. Karena MP3EI mencakup seluruh aspek dan membutuhkan penanaman modal yang besar dari berbagai pelaku ekonomi di atas. Peran masyarakat Indonesia adalah sebagai SDM yang diharapkan mampu menjadi penggerak untuk mengembangkan koridor ekonomi di Indonesia.

Ketiga prinsip utama dalam MP3EI merupakan sesuatu yang memang paling mendasar untuk pengembangan suatu wilayah. Prinsip pertama, dengan menciptakan koridor-koridor ekonomi, berarti kita harus benar-benar memahami karakter dan potensi dari tiap wilayah di seluruh Indonesia terlebih dahulu baru kemudian dapat menciptakan sebuah koridor ekonomi. Setelah berhasil menemukan potensi strategis, langkah selanjutnya adalah mengembangkannya dan mensinergiskan potensi-potensi tersebut.

Ironisnya, kadang Indonesia terlambat mengenali potensi SDA yang dimilikinya dan justru pihak asing yang mengeruk keuntungan tanpa memberikan spread effect pada masyarakat lokalnya, seperti kasus penambangan emas Freeport. Jadi prinsip pertama ini memang merupakan langkah paling awal.

Mengenai potensi tambang di Indonesia, yang menjadi masalah adalah ketika pemerintah tidak bisa mengawasi akan adanya eksploitasi secara besar-besaran yang tak bertanggungjawab. Tentunya hal ini dapat merusak lingkungan yang upaya untuk pemulihannya sangat sulit dilakukan. Seperti kasus illegal logging yang terjadi di Sumbawa, perusahaan industri perkayuan yang memiliki ijin legal justru bangkrut karena kalah bersaing dengan illegal logging yang tak pernah berhenti siang-malam. Ironisnya, para pelaku illegal logging ini menggunakan jalur transportasi yang sama dengan PT. Veneer Indonesia selaku perusahaan industri perkayuan yang legal, dan justru menjadi tak bisa dibedakan truk pengangkut milik perusahaan atau milik pelaku illegal logging. Sementara aparat terkait yang bertugas menangani maslah ini belum bisa benar-benar diandalkan.

Kemudian dilanjutkan dengan prinsip yang ke-2 yang tak kalah penting, yaitu menghubungkan antar pusat pertumbuhan dan antar koridor ekonomi. Penguatan konektivitas ini juga berarti dengan menambah ketersediaan infrastruktur di dalam koridor-koridor ekonomi sebagai  salah satu bentuk investasi negara. Dengan memiliki aksesibilitas yang mudah, dapat mengurangi biaya distribusi barang yang berdampak pada menurunnya harga barang kebutuhan. Dengan menurunnya harga barang kebutuhan, maka akan meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga harapannya masyarakat Indonesia akan lebih sejahtera.

Sedangkan prinsip yang ke-3 merupakan kunci dari kedua prinsip di atas. Dengan adanya potensi dan koneksi yang menghubungkan, tanpa adanya SDM sebagai pelaksana maka tidak akan berjalan. Untuk itu dibutuhkan SDM yang berkualitas dan memiliki daya saing sehingga Indonesia dapat bersaing secara global. SDM yang berkualitas akan mampu menciptakan inovasi teknologi baru yang tentunya membantu dalam efektivitas faktor-faktor produksi. Selain itu, SDM yang berkualitas akan mampu mengenali dan mengembangkan potensi-potensi strategis yang dimilikinya sehingga tak lagi termanfaatkan oleh pihak asing.

Kesimpulan yang dapat saya tarik, MP3EI merupakan suatu dokumen konsep yang dapat membuka sudut pandang optimis bahwa Negara Indonesia bisa menjadi Negara yang maju dengan usaha-usaha tertentu yang lebih dari sekedar ‘Business as Usual’. Arahan pengembangan yang tercantum dalam MP3EI cukup akurat karena dilengkapi data-data yang mendukung. MP3EI juga dilengkapi dengan petunjuk praktis mengenai tahapan pelaksaannya dan tiap kegiatan ekonomi utama di tiap koridor ekonomi dijabarkan dengan sedemikian rupa, sehingga memudahkan para stakeholder dalam mengimplementasikan rencana besar ini.


Friday 8 March 2013

Tentang Transportasi Publik

Terinspirasi dari pertanyaan spontan yang terlontar dari teman saya, “..kamu kemana mana naik TransJogja soalnya kamu anak mapala ya?” Teman saya mengira saya sebegitu cintanya dengan lingkungan berkaitan dengan title yang saya sandang: mapala, Mahasiswa Pencinta Alam. Tapi karena kami merasa title itu terlalu berat maka kami lebih suka menyebut diri kami Mahasiswa Penggiat Alam.

Sebuah ide terlontar dari teman saya ketika kami membicarakan jalanan jogja yang sudah semakin ramai oleh kendaraan, dengan membandingkannya dengan beberapa tahun yang lalu. Karena kami sama-sama orang asli jogja dan merasa tingkat kenyamanan kota kami sudah menurun. Menurutnya, sebaiknya dibuat peraturan yang tidak memperbolehkan orang luar jogja untuk membawa atau memiliki kendaraan pribadi yang bermotor. Karena selain menambah volume kendaraan yang memadati jalanan jogja dan menambah polusi udara, mereka juga secara tidak langsung menularkan kultur berkendaraan yang tidak menyenangkan karena cenderung tidak sabaran, berbeda dengan masyarakat jogja pada umumnya.

Disini saya tidak bermaksud rasis loh, karena rasis itu berkaitan dengan asal suku daerah, warna kulit, dsb. Tapi saya lebih menekankan pada karakter, dan karakter itu sangat bisa diubah, dengan bersosialisasi bersama warga lokal misalnya. Seharusnya orang luar jogja yang menyesuaikan dengan pembawaan orang jogja yang cenderung nrimo, bukan justru sebaliknya. Saat ini perlahan orang-orang jogja harus menyesuaikan dengan tabiat orang non jogja apabila tak ingin kalah. Sekali lagi, saya tidak bermaksud mengkotak-kotakkan orang jogja dengan non jogja, dan memang tidak semua pendatang begitu kok. Toh ini sudah menjadi resiko Yogyakarta, menjadi kota pelajar dan kota pariwisata, justru kedua profil kota tersebut yang menjadi spread effect bagi perkembangan kota. Wah kok malah melebar.
Lalu, apa sarana mereka dalam bermobilitas? 


Well, jawabannya adalah transportasi publik yang memadai. 

Tapi seperti kita ketahui bersama, transportasi public di negara kita bisa dibilang gagal menarik perhatian masyarakat untuk beralih dari transportasi pribadi ke transportasi umum. Alasannya, berputar dan berkaitan dengan ketidaknyaman dan ketidakpraktisan. 

Tiba-tiba teringat sebuah kalimat salah satu dosen saya, “Supply created is our demand.” Jadi apabila ingin masyarakat beralih ke transportasi public, maka buatlah system transportasi yang menyenangkan: murah, aman, nyaman, efektif secara waktu, dan mudah di akses tanpa perlu jalan jauh. Dengan sendirinya apabila hal itu telah terpenuhi maka masyarakat akan beralih. 

Apabila tidak sedang terburu-buru, sebenarnya menyenangkan kok berkendara dengan transportasi umum. Berikut beberapa pengalaman menyenangkan berkendara dengan transjogja: 

  1. Bisa baca Koran gratis yang ada di halte transjogja sambil nunggu bus yang suka terlambat dari jadwal.hehe
  2. Bertemu dengan orang-orang yang berbeda bisa membuat kita sejenak melupakan masalah pribadi. Misalnya ketemu orang yang nggak seberuntung kita yang punya indra lengkap, setidaknya membuat kita semakin bersyukur dan sejenak menganggap masalah yang kita punya sangat sepele dibanding masalah mereka. 
  3. Berteman atau sekedar mengobrol sama orang yang kita temui di sana, otomatis menambah teman dan wawasan kan.
  4. Sekalian sedikit berolahraga dengan jalan santai dari rumah menuju halte yang letaknya tentu saja nggak persis di depan pintu rumah.
  5. Apabila cuaca sedang tidak bersahabat, misalnya panas terik atau hujan badai, nggak ngerasain efeknya separah kalo bawa motor sendiri. Well, kalo yang ini memang nggak bisa dipamerin sama para pengguna mobil pribadi sih. 
Hahaha, kedengarannya maksa ya. Mencoba berpikir positif aja sih sebenarnya. Hidup Transportasi Publik yang menyenangkan :)

Tapi menjadi lain apabila terdapat kepentingan lain yang mesti dibela. Seperti ketika saya mengunjungi nenek saya di Kebumen, saya merasa nggak rela mengetahui fakta bahwa biaya untuk mencapai rumah nenek saya dari batas kota lebih mahal dari naik bus dari Jogja ke kebumen lantaran transportasi yang tersedia hanya becak atau paling nggak ojek. Dan biaya naik bus itu hanya sekitar 15 ribu, sedangkan membayar becak tak mencapai kesepakatan harga di bawah 20 ribu. Padahal jarak Jogja-Kebumen berkali-kali lipat dari jarak menuju rumah nenek saya yang hanya sekitar 5 km dari batas kota. Kemudian saya bertanya-tanya mengapa tidak tersedia bus kota yang murah dan cepat. Ternyata saya baru menyadari belakangan bahwa hal itu dimaksudkan untuk membantu perekonomian masyarakat lokal yang banyak bekerja sebagai penarik becak. Saya pun tidak jadi kesal, justru trenyuh.

Jadi intinya saya masih harus mengambil mata kuliah Perencanaan Transportasi terlebih dahulu sebelum memperpanjang tulisan sok tau ini.haha