Thursday 16 July 2015

talk about my self

Ada sebegitu banyak hal yang begitu penting untuk dicatat tapi mungkin karena terlalu banyak lantas justru terlupakan begitu saja. Misalnya tentang sindiran-sindiran yang sangat menohok buat saya. Kenapa ini penting untuk ditulis? Saya juga tidak tahu. Tapi ini semua penting karena menyangkut sama beberapa hal yang menjadi passion saya. Buku, traveling keliling dunia, nongkrong sambil talk about everything. Yeah dan ini menohok saya parah, about religious, family, friendship, social interaction, etc.

Pinter, cantik, sugih, ning ora nduwe sosiale blas. Lha apa urip meh urip dhewe..

Dari semua sindiran yang pernah dilontarkan kepada saya baik langsung maupun tidak langsung, inilah yang cukup membuat saya luar biasa kesal dan memutuskan untuk menulis ini. Kata-katanya tidak persis sama tapi artinya kurang lebih begitu. Sumpah sakit banget sama yang satu ini. 

Cantik? Saat ini saya merasa mendadak semua temen sepantaranku jadi super cantik, berpakaian bagus ala mbak-mbak banget (you know what i mean lah yaa), dan nggak lupa make-up. Yah mungkin memang sudah masanya mengingat sebagian toh sudah lulus kuliah dan siap memasuki jenjang sebagai wanita karir. Dan berhubung saya belum lulus, jadi ya style nya masih mahasiswa banget yang urakan, yang kasual, yang buluk, yang apa adanya. Jadi ya, saya tidak bisa dikatakan cantik kalau melihat teman-teman di sekitar saya sebagai pembandingnya. Tentu saja saya bersyukur dengan fisik saya walaupun biasa saja, tidak cantik. Toh menurut saya fisik kan bukan segalanya, ada yang lebih penting dari fisik kok, yaitu kepribadian. 

Pinter? Well, orang-orang yang nggak mengenal saya pasti bisa mengatakan bahwa saya pasti pintar mengingat track record saya yang bisa dibilang cukup baik di dunia akademik. Saya hampir selalu bersekolah di sekolah favorit di kota saya. SMPN 5 Yogyakarta, SMAN 8 Yogyakarta, dan sekarang Teknik UGM. Tapi saya masih sangat mengingat dengan jelas bahwa masa penuh derita, saya lalui di jenjang Sekolah Dasar dimana kita memang belajar segala hal dari dasar, dari nol. Kelas I SD saya belum lancar menulis, termasuk paling lama di kelas dan bahkan pernah beberapa kali ditulisin sama guru saking gak sabarnya sang guru nungguin saya beres nulis. Kemudian berhitung, kelas III SD saya masih menggunakan jari untuk menghitung penjumlahan. Dan kelas IV SD saya masih membuat garis-garis batang untuk alat bantu perkalian dan pembagian. Itu sangat menyakitkan ketika diketawain sama guru matematika, disuruh sekalian bawa lidi dari rumah buat ngitung. Dan kelas IV SD saya masih sama sekali buta dalam bahasa inggris, gak paham lagi guru bahasa inggris ngedektein apa. Gak paham artinya dan gak tau cara nulisnya. Dan saya merasa sangat dicurangi karena temen-temen saya paham, kan mereka les bahasa inggris di luar. Dan saya berhasil masuk SMP terfavorit di jogja pada masanya tidak lain dan tidak bukan karena bimbingan intensif dari bapak saya di rumah. Ketika semua temen-temen tetangga seumuran lagi pada asyik bermain di luar, saya semacam disekap di rumah untuk mengerjakan soal-soal. Yang saya tahu belakangan adalah, ketika kamu berhasil masuk ke rantai kehidupan sukses, maka akan lebih mudah untuk masuk kembali ke SMA favorit, dan seterusnya ke universitas favorit. Dan bagi kalian yang masih bisa bilang kalau saya pintar, saya kasih tau ya kalau saya gak pernah punya piala dari menjuarai lomba apapun, mempunyai prestasi di bidang apapun, dan hampir gak pernah masuk 10 besar rangking kelas walaupun juga bukan pemilik rangking bontot.

Kemudian, kaya? Jaman saya masih SD (atau mungkin sampai SMP atau malah sampai SMA) saya cuma punya kesempatan buat beli baju baru itu hanya setahun sekali, biasanya satu stel doang, yaitu waktu menjelang lebaran. Jadi pas SD, bisa dibilang saya punya lebih banyak seragam sekolah ketimbang baju biasa. Soalnya di SD saya setiap hari seragamnya beda. Senin putih-rok merah, selasa putih-rok putih, Rabu coklat-rok coklat, Kamis baju kuning-celana coklat tua, Jumat coklat-celana coklat, Sabtu seragam HW, plus ada seragam olahraga juga. Dan karena SPP sekolah swasta sangatlah mahal, saya berasumsi bahwa semua dana yang dimiliki keluarga saya pasti dicurahkan untuk itu. Sehingga sepatu dan tas belum tentu setahun sekali ganti, itupun bukan barang bermerk. Akhir masa SD sampe SMP dan SMA saya kemana-mana naik bis kota selain nebeng. Nonton bioskop, ngemall, dan kehidupan hedon lain dalam setahun bisa dihitung jari mungkin. Mungkin saya baru bisa sedikit hedon pas udah kuliah, dimana saya dapat beasiswa dan juga dari kerja parttime.

Lantas sosial? HEYYY BUKA MATA PLISSS, memangnya saya nggak punya temen itu atas dasar keinginan sendiri. Saya mau mencoba menjelaskan terjadinya sebuah momen seseorang dianggap sombong. Jadi biasanya sih pada suatu waktu ada dua orang yang sebenarnya saling mengenal, gak sengaja bertemu di suatu tempat. Nah ketika orang tersebut nggak senyum atau nggak menyapa sekadar say hi, maka pasti dianggap sombong oleh satu orang yang lainnya itu. Misalnya si A ketemu si B terus mereka gak saling menyapa, nah hampir pasti si A mengejudge B sombong dan sebaliknya si B mengejudge A sombong. Padahal kan interaksi sapa menyapa itu berlangsung dua arah, lantas kenapa bisa salah satu mengejudge satu yang lain sombong. Bakal beda kalau salah satunya udah menyapa duluan dan yang disapa malah acuh tak acuh, kalau begitu menurut saya baru bisa dikatakan sombong. Tapi yang terjadi di dunia di sekitar saya, ketika seseorang lebih popular, lebih cantik, lebih kaya, atau entah lebih apapun, maka orang tersebut yang kemudian jadi korban dicap ‘sombong’. Yah hampir mirip sama kecelakaan di jalan raya yang melibatkan kendaraan motor dan mobil, siapapun yang salah pasti yang akan dipersalahkan yang derajat kendaraannya lebih tinggi yaitu si mobil. Dan hal itu juga berlaku untuk kecelakaan antara sepeda dengan motor, yang akan dipersalahkan tentu saja si motor. 

Maaf curhatnya jadi kepanjangan. Berbicara tentang diri sendiri memang menyenangkan, tapi sekaligus membosankan buat yang dengar. Anyway, terimakasih buat kalian yang kuat baca sampai sejauh ini. Saya menulis ini bukan karena saya ingin mengeluh, bukan juga karena mengharapkan belas kasihan orang lain. Tapi sebenarnya saya hanya muak sama semua stigma dari orang-orang yang nggak bener-bener kenal saya dan cuma menilai dari kulit luarnya aja. Pesan moral dari tulisan panjang ini sebenarnya hanya satu, yaitu DON’T JUDGE THE BOOK FROM IT’S COVER. Dan yeaaaah saya bersyukur dengan kesuksesan yang saya raih dan juga dengan lika liku kehidupan yang saya miliki. Semoga kalian juga begitu. Selamat malam!