Wednesday 19 October 2016

Dongeng (bagian 1)

Diantara hujan badai keresahan yang melanda, aku mencoba masih mendengarkan dentingan Logika yang mengalun sayup-sayup di udara yang begitu pekat oleh kemunafikan ini. Aku hanya penasaran, sebenarnya apa yang tengah terjadi hingga Perasaan bisa mencengkram erat kaki-kaki mungil yang hendak melangkah. Mungkin Logika bisa menuturkan kisah itu melalui gendingnya.

Gending Logika selalu mengalun mengiringi drama Perasaan. Namun tak jarang orang hanya menikmati alur teatrikal yang diperankan sebegitu hebat oleh Perasaan, tanpa mengindahkan alunan Logika yang sebenarnya merupakan pelengkap dalam pentas ini.

Alkisah Logika dan Perasaan merupakan pasangan romantis yang bersemayam dalam satu tubuh. 

Perasaan memiliki banyak anak, yang terbagi menjadi dua kubu besar: kubu hitam dan kubu putih. Kubu hitam terdiri dari amarah, benci, iri, dengki, dendam, sedih, takut, cemas, dan teman-temannya. Sedangkan kubu putih terdiri dari cinta, rindu, sayang, senang, gembira, bahagia, simpati, haru, dan teman-teman yang lain. Sebagian dari mereka memang saling bertolak belakang, tapi masing-masing kubu tidak pernah bisa dikategorikan sebagai kubu yang jahat atau kubu yang baik. 

Karena ada Perspektif yang berperan sebagai hakim dalam setiap permainan kecil dan persaingan sengit di antara mereka. Perspektif memiliki banyak muka, itulah mengapa Perasaan tak pernah bisa murni benar atau salah. Selain itu, ada juga anak Perasaan yang berdiri diantara dua kubu, yaitu kosong dan hambar. Mereka jarang terlibat konflik, tapi biasanya muncul ketika perseteruan semakin kompleks dan nyaris seri.




Friday 7 October 2016

Teori Berkendara

Saya termasuk golongan manusia yang terlambat dalam belajar berkendara, baik belajar bersepeda, belajar mengendarai motor, bahkan mobil.

Sebenarnya secara teknis, saya sudah bisa mengendarai sepeda roda 2 semenjak entah kelas berapa SD. Tapi saya selalu bermasalah dengan rasa percaya diri dalam mempraktikkannya, padahal cuma muter-muter kampung bersama teman-teman sepantaran saya dalam neighborhood rumah tinggal saya. Saya selalu jadi pihak yang nebeng, dan teman-teman saya tak pernah berkeberatan memboncengkan saya mengingat berat badan saya yang tak seberapa, apalagi waktu saya SD.


Alhasil saya semakin tidak terlatih dalam bersepeda. Saya selalu berkelit bahwa dengan tidak mempunyai sepeda sendiri, wajar saja saya tidak terlalu mahir bersepeda karena tidak terbiasa. Ditambah tinggi badan saya yang tidak seberapa membuat saya cenderung enggan mencoba sepeda-sepeda ukuran besar yang kaki saya tidak sampai untuk menapak tanah. Sampai sekarang, saya masih merasa ngeri kalau diminta bersepeda di jalan raya yang ramai bersama kendaraan-kendaraan bermotor yang lain. Kalau di lingkungan perumahan, saya masih berani sih.

Berlanjut dalam belajar motor, ayah saya membekali teori-teori sederhana sebelum praktik. Ayah saya tipikal yang tidak mau mengajari anaknya dengan cara memboncengkan dalam satu motor, katanya nanti lama belajarnya, gak cepet bisa. Maka sedari awal kami selalu membawa motor sendiri-sendiri. Saya pegang motor sendiri, lalu ayah saya membuntuti saya dari belakang. Langkah awal belajar motor bersama ayah saya adalah dengan merasakan berat motor itu. Saya berada pada posisi siap mengemudi motor tapi mesin belum dinyalakan, lalu ayah saya memiringkan motor ke kanan dan ke kiri dan saya harus menahannya supaya motor tidak jatuh. Selanjutnya setelah saya sudah familiar dengan beban motor, kami berpindah ke jalan lurus yang panjang tapi sepi, contohnya adalah jalan masuk perumahan. Disini saya harus bolak balik untuk membiasakan diri dengan motor dan membiasakan belok kanan dan belok kiri.


Setelah dirasa cukup, barulah turun ke jalan raya. Turun ke jalan raya juga diawali jalan-jalan putar-putar kota pada jam sepi, misalnya pagi hari sebelum jam 6 pagi. Setelah melalui serangkaian latihan itu, baru saya berani bawa motor sendiri ke kampus. Awal mula bawa motor, saya selalu menghindari jam sibuk, sengaja pulang malam supaya jalanan lebih lega. Dan pada waktu itu saya masih belum bisa memindah persneling tanpa berhenti, jadi bahkan sering kali saya sengaja menunggu lampu hijau berganti merah supaya saya bisa istirahat sejenak. LOL. Metode yang dilatihkan ayah saya kepada saya itu cukup berhasil untuk saya, namun kelemahannya saya jadi kesulitan memboncengkan orang karena terbiasa sendiri.

Kemampuan berkendara saya meningkat semakin sering digunakan. Yeah, practice make perfect, right? Dulu kaki saya selalu gemetaran gak jelas setiap habis berkendara cukup jauh, misalnya dari rumah menuju kampus. Setelah sekian lama barulah saya sudah merasa nyaman berkendara pada jam berapapun, menuju tempat manapun. Well, kecuali jalan-jalan dengan kontur ekstrem. Tapi maksudnya, untuk berkendara dalam kota saya cukup oke lah. Saya sudah bisa berkendara dengan pikiran melayang kemana-mana tapi tetap dengan refleks yang baik.

Sampai sekarang saya tidak terbiasa berkendara dengan kaca helm tertutup, dengan masker dan sarung tangan, juga sambil mendengarkan musik melalui headset. Why? Dengan menutup kaca helm, pakai masker dan sarung tangan, juga pakai jaket tebal, saya merasa sedang berada dalam robot. Bayangan saya seperti saya sedang berada di dalam robot dan mengendalikan Megazord, robot raksasanya power ranger. Saya jadi kesulitan memperkirakan jarak di luar 'tubuh robot' dari dalam sini. Selain itu dengan menutup kaca helm atau menggunakan masker, ekspresi kita jadi tidak terlihat oleh pengguna jalan yang lain. Padahal menurut saya ekspresi atau gestur dalam berkendara itu cukup penting. Dan dalam berkendara, kita harus sebisa mungkin terbaca oleh pengguna jalan yang lain, attitude kita harus terduga.

Dalam salah satu lamunan saya di atas motor, saya pernah berpikir bahwa dalam berkendara kita bisa menjadi Alfa atau Beta. Hal ini terutama terlihat ketika kita akan menyeberang jalan. Sang Alfa bisa menunjukkan otoritasnya dengan menembakkan lampu jauh (untuk motor kopling dan mobil), atau bisa juga dengan membunyikan klakson, yang menandakan bahwa dia mau lewat duluan, silahkan yang lain beri jalan.

Saya sering mengamati ekspresi atau gestur pengguna jalan lain sebelum memutuskan akan menyeberang duluan atau justru mengalah. Saya harus tau dulu, disitu apakah saya Sang Alfa, Beta, atau bukan siapa-siapa.

Well, berhubung saya menulis ini sembari menunggu jam istirahat selesai, dan sholat jumat sudah selesai, maka saya cukupkan sekian saja. Anw, selamat Hari Jumat, semoga Jumatmu penuh berkah!