Saturday 18 April 2020

Kim Ji-yeong


Belum lama ini aku membaca novel berjudul Kim Ji-yeong Lahir Tahun 1982 karangan Cho Nam-Joo. SPOILER ALERT, bagi yang tidak ingin kena spoiler silahkan melewatkan postingan ini. Awalnya aku tau Kim Ji-yeong ini adalah sebuah film korea fenomenal yang banyak mendapat pujian dari story teman-temanku. Lalu aku menemukan novel ini di Togamas, dan langsung menghabiskannya kurang dari 24 jam.

Aku baru menyadari bahwa pada jaman itu Korea menganut nilai atau budaya yang menjunjung tinggi kedudukan laki-laki ketimbang perempuan. Well ya, ‘baru menyadari’ karena selama ini udah sering nonton drama korea dan sedikit banyak sering melihat hal semacam ini tapi baru menyadari bahwa hal tersebut sudah menjadi budaya umum setelah membaca novel ini. Bahwa memang sistem yang berlaku tidak memberikan kesempatan perempuan untuk berkarier tinggi bagaimanapun si perempuan ini telah berusaha keras, bahkan lebih dari usaha si laki-laki. Sebelum akhirnya pada tahun 2000an mulai ada gerakan feminisme atau mulai diangkatnya isu gender dan sistem mulai berpihak pada perempuan melalui pengarusutamaan gender, kebebasan untuk memilih menamakan anak mereka dengan menggunakan marga ayah atau marga ibu, dan lain-lain.

Segala hal yang diceritakan dalam buku ini merupakan hal-hal keseharian yang akrab dengan kehidupan kita sehingga penggambarannya terasa sangat relevan. Menariknya, beberapa bagian disertai footnote yang merujuk data pendukung yang menyampaikan artikel atau bahkan data statistiknya. Bahkan masih terdapat beberapa yang sangat familiar bahkan di sini, di kiri kanan kita. Misalnya ketika ayah Kim Ji-yeong yang mengatakan bahwa sebaiknya perempuan menjadi guru karena banyak cutinya. Persis plek sama yang disarankan bapakku ketika aku masih sekolah dan belum menentukan cita-cita. Atau ketika Kim Ji-yeong belum juga hamil setelah menikah lalu diomongin sama bibi-bibinya, kenapa seluruh dunia ikut campur dan seolah menyalahkan dan menganggap pihak perempuan yang tidak subur padahal kan bisa jadi dari pihak laki-lakinya.

Keuntungan menjadi Guru bagi Wanita, menurut Ayah Kim Ji-yeong

Suatu hari aku pernah mengikuti rapat anggota dewan di daerahku yang akan membahas beberapa rancangan peraturan daerah, salah satunya tentang pengarusutamaan gender. Kala itu aku merasa heran dan tidak terlalu pro dengan menganggap pihak yang mengusulkan raperda ini adalah para penggiat feminisme belaka, mengapa kita harus memberikan kuota untuk perempuan sekurang-kurangnya sekian persen untuk duduk di kursi DPR misalnya? Selama tidak ada aturan sebaliknya, yang melarang perempuan untuk mengambil peran tersebut, tanpa mengatur porsinya dalam peraturan perundangan menurutku laki-laki dan perempuan sudah memiliki hak dan peluang yang sama untuk memperebutkan suatu posisi. Selama perempuan memiliki kompetensi yang sama dengan laki-laki maka seharusnya kita memiliki peluang yang sama besar. Seharusnya. Tapi ada faktor lain bernama budaya. Tidak tertulis, tidak memiliki dasar hukum, namun powerfull. Kini aku paham urgensi adanya dasar hukum pengarusutamaan gender.

Gagasan ini sedikit menggelitik, sedikit bergeser dari topik pembahasan, dari obrolan orang-orang di twitter tentang sistem perekrutan pekerja, sebagian menyatakan bahwa salah satu sistem perekrutan yang efektif dan efisien adalah dengan menarik orang yang sudah pernah bekerja sama sehingga track record nya sudah kelihatan dan lebih bisa diandalkan, atau dengan kata lain melalui close reqruitment atau kasarnya pengaruh orang dalam. Pada saat itu sejujurnya aku tidak setuju karena menurutku tidak fair untuk orang yang memiliki kompetensi yang sama atau bahkan lebih unggul namun kurang dikenal di kalangan si perusahaan. Namun, berdasar pengalaman selama bekerja sejujurnya aku juga lebih senang bekerja bersama seseorang yang sudah terbukti dapat diandalkan ketimbang nge-hire pekerja baru yang belum kita kenal meskipun cv nya terlihat menjanjikan. Hubungannya apa dengan paragraf sebelum ini? Well, aku yang awalnya merasa semua orang apabila memiliki kompetensi yang sama sudah pasti memiliki kesempatan yang sama besar dalam memperebutkan sesuatu, ternyata belum tentu. Ada faktor budaya yang turut mempengaruhi. Bagaimana bila semua perusahaan atau budaya di semua dunia kerja melakukan rekruitmen dengan cara ‘orang dalam’ maka akan ada orang-orang yang karena kondisinya tidak memiliki privilege berupa link/jaringan maka dia akan selalu kalah sekalipun dia merupakan SDM unggulan. Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri membangun jaringan di dunia kerja memang sangat penting sih adek-adek sekalian.. Apabila dianalogikan, selama tidak ada peraturan perundangan mengenai pengarusutamaan gender dan ada budaya tak tertulis yang menganggap bahwa pria selalu lebih unggul dari wanita tanpa melihat case by case, maka perempuan tidak akan memiliki kesempatan. Berbagai stereotype dan mungkin beberapa contoh kasus terdahulu mungkinlah menjadi penyebabnya.

Nah, sistem kerja terkait cuti hamil dan melahirkan ini juga yang ngeselin parah. Di kampusku, dosen-dosen secara terang-terangan bilang kalau agak susah merekrut dosen perempuan terutama terkait profesionalitas kerjanya. Dulu ada dosen muda perempuan yang terpaksa keluar karena alasan ikut suami, juga seorang bapak dosen pernah bilang beberapa dosen perempuan yang sudah memiliki anak kinerjanya cenderung menurun. Maka bukankah diperlukan suatu sistem kerja yang memberikan peluang sebesar-besarnya untuk perempuan dapat berkarier tanpa mengabaikan ruang peran ganda perempuan sebagai ibu dan tanpa kehilangan kondusivitas kerja dengan adanya ruang tersebut. Agak susah memang mengubah mindset dan sistem, sang psikiater yang di akhir cerita ngakunya memahami depresinya Kim Ji-yeong aja tetep mengeluhkan rekan kerja perempuannya yang terpaksa resign untuk mengurus dan membesarkan anaknya. Gimana sih, katanya paham pak.. wkwk

Lalu mungkin salah satu alasan logis kenapa laki-laki diberikan peluang yang lebih besar ketimbang perempuan adalah karena mereka berkewajiban menafkahi keluarga sementara perempuan tidak (well, kecuali perempuan single parent mungkin ya). Ini terpikirkan olehku ketika membaca bagian yang menceritakan anak-anak perempuan bahkan turut membantu membiayai saudara laki-lakinya agar bisa menempuh pendidikan tinggi dan cenderung mengalah untuk segala hal, terutama karier impiannya.

Aku bukan menolak feminisme, karena akupun sedikit banyak menentang patriarki. Toh aku bisa bersekolah tinggi dan bahkan bekerja pun tidak lain dan tidak bukan karena adanya emansipasi. Tapi ketika ada kasus perkosaan terhadap perempuan, dimana ada yang marah-marah karena ada yang mengomentari korban terkait pakaian yang digunakan atau timing dan setting tempat terjadinya perkara karena menganggap “sudah menjadi korban eh masih disalahin”, aku tidak setuju sama yang marah-marah.

Seseorang di twitter pernah menulis tentang etiologi kriminal, bagaimana tindak kriminal dapat terjadi. Ada 3 faktor yang mendorong terjadinya tindak kejahatan, pertama ada pelaku yang termotivasi, ada target berupa (calon) korban yang vulnerable, dan absence of guardian atau tidak ada kehadiran pelindung yang dapat juga diartikan ada kesempatan berupa setting waktu/tempat yang mendukung. Guard/pelindung ini dapat berupa seseorang atau cctv atau apapun yang dapat bersifat mencegah terjadinya tindak kejahatan. Ketiga unsur tersebut sering disebut sebagai triangle crime, jadi kita bisa memotong mata rantai terjadinya tindak kejahatan dengan menghilangkan salah satu unsurnya. Kalau kita anggap saja bahwa semua orang merupakan pelaku yang termotivasi dan tidak bisa kita hindari, kita masih bisa mencegah terjadinya kejahatan dengan menghindari bersatunya satu atau dua unsur lainnya. Para penggiat feminis mengatakan bahwa suka-suka perempuan bagaimana mereka memilih pakaian, karena bahkan perempuan yang menutup rapat seluruh auratnya saja bisa menjadi korban. Tapi menurutku pribadi, dengan menggunakan pakaian yang tidak menggoda dan menghindari berada pada situasi yang riskan, dapat mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Pendapat pribadi ini kalo di-share di twitter aku yakin langsung dibantai para penggiat feminis. Well, memang tidak bijak menyalahkan korban, jadi korbannya memang tidak perlu disalahkan, kitanya saja yang harus lebih berhati-hati dan tentunya mengambil pelajaran dari hal-hal yang sudah terjadi untuk bisa mencegah terjadinya hal yang serupa.

Sebuah pengalaman yang cukup membekas buatku adalah ketika aku berada di Nusa Tenggara Barat, dalam perjalanan dalam tim yang terdiri atas laki-laki dan perempuan, kami telah berbagi tugas pekerjaan rumah secara adil. Sebut saja tugas sesederhana mencuci piring setelah makan, kami membuat jadwal piket secara merata. Namun jadwal piket ini ditentang oleh penduduk lokal karena adat istiadat mereka tidak diperbolehkan laki-laki yang mencuci piring, karena lumrahnya itu memang sudah tugas perempuan.

Salah satu hal yang menjadi alasanku menentang patriarki dalam rumah tangga bukan karena aku malas memasak atau melakukan pekerjaan rumah lainnya tapi menurutku pribadi, segala hal domestik merupakan tanggung jawab semua orang tanpa memandang gender laki-laki atau perempuan. Tak peduli laki-laki atau perempuan harus bisa memasak minimal untuk dia makan sendiri, mencuci pakaian minimal baju yang dia gunakan sendiri, karena itu merupakan skill minimal untuk survive, untuk menjalani hidup. Perkara nanti ada kesepakatan pembagian tugas antara suami-istri demi efektivitas dan kenyamanan masing-masing sih ya monggo aja. Karena adanya ‘divisison of labor’ atau gampangnya pembagian tugas dan peran memang terbukti menciptakan efisiensi. Jadi kalau kesepakatannya istri yang selalu masak, ya sah-sah saja. Kalau ternyata lebih efektif nge-laundry ketimbang mencuci baju sendiri, misal karena sibuk bekerja dan waktu luangnya lebih produktif untuk melakukan hal lain, ya sah-sah saja.

Mau tidak mau, hal ini membuatku membandingkan dengan masa penjajahan di Indonesia dimana perempuan belum memiliki hak yang sama lalu lahirlah RA Kartini yang menyuarakan emansipasi dan menjadi tonggak sejarah meningkatnya derajat perempuan di Indonesia. Lalu aku bertanya-tanya bagaimana cerita isu feminisme dan kesetaraan gender di belahan bumi bagian barat ya? Aku baca di Bumi Manusia, orang-orang Belanda memperlakukan para wanitanya dengan hormat. Ya, walaupun tidak menutup mata bahwa para tentara perang tersebut melampiaskan kebutuhan seksualnya pada perempuan-perempuan Indonesia tahanan perang.

Terlepas dari segala kemuakanku terhadap sistem yang sedemikian rupa menghambat perempuan untuk berkembang dan meraih impiannya, aku kagum dengan beberapa sosok perempuan. Seperti contohnya sosok ibu Kim Ji-yeong, jenis-jenis wanita yang tangguh, menciptakan peluang sendiri dari kesempatan yang sangat minim, bahkan tak hanya survive tapi juga mampu berstrategi hingga menjadi berdaya. Sosok seperti Nyai Ontosoroh di Bumi Manusia, dan kalau sosok real di dunia nyata: eyang putriku. Kapan-kapan mungkin akan kutulis cerita tentang perempuan-perempuan hebat yang kukenal.

Bagian yang menurutku paling nyesek adalah ketika si ibu Kim Ji-yeong hamil anak ke-3 dan ternyata perempuan sementara seluruh dunia mengharapkan lahirnya anak laki-laki, dia terpaksa menggugurkan anaknya karena bahkan si suami bilang, “jangan bilang yang tidak-tidak..” ketika si ibu menyampaikan kecemasannya apabila ternyata bayi yang dikandungnya berjenis kelamin perempuan.

Terkait depresi pasca melahirkan, ini juga satu hal yang menarik. Bagaimana perubahan hormon dari hamil bahkan hingga pasca melahirkan, juga perubahan tubuh mereka adalah sesuatu tersendiri. Udah gitu masih ada seseorang di kereta bawah tanah yang menyindir, “orang yang berkeliaran di kereta bawah tanah dengan perut buncit demi mencari uang masih ingin punya anak?”