Tuesday 15 October 2013

Nostalgia Takbiran

Takbiran, berasal dari kata takbir dan mendapat akhiran -an. Menurut KBBI takbiran adalah pujian kepada Allah dengan menyerukan takbir.

Entah, semenjak sejauh saya bisa mengingat, kampong kami –Kampong Gambiran, sudah memiliki tradisi mengadakan lomba takbir keliling antar masjid setiap malam Idul Fitri maupun malam Idul Adha. Yang masuk delinease nya adalah: masjid tepat di tenggara rumah saya yaitu Masjid Al Waahid, Masjid MWS yang terletak di belakang rumah saya berselang beberapa kompleks makam, Masjid Al Ma’un yang terletak paling selatan, Masjid Al Ikhlas pinggir sungai Gajahwong, Masjid An Nur di ujung utara sana, dan belakangan berdiri sebuah Mushola Purwo HS di belakang rumah Pak RW. Jadi semuanya ada 5 Masjid+1 Mushola. 

Takbir keliling ini hanya sebatas mengelilingi kampong kami dengan melewati semua masjid/mushola tsb dan kemudian finish di salah satu masjid, ada acara sebentar, dan ditutup dengan pengumuman juara. Sederhana.

Kemudian, kalau takbiran Idul Fitri, cenderung lebih meriah karena ada juga pembagian hadiah lomba disamping pembagian doorprize. Jadi, pada saat bulan puasa diadakan berbagai macam lomba kayak lomba hafalan surat pendek, lomba adzan, lomba bikin kaligrafi, lomba menggambar dan mewarnai, lomba CCA (Cerdas Cermat Agama Islam), lomba mendongeng, lomba nasyid, sampai lomba peragaan busana muslim. Terus ceritanya, karena yayasan Al Waahid punya TPA dan so pasti anak-anak Al Waahid kan ikutan TPA, jadi langganan juara CCA. Berhubung anak MWS ada yang jago nyanyi sama jago gambar jadi mereka juga langganan menang, dsb. Tapi ada juga masjid yang terkenal kalau anak-anaknya nakal soalnya kalau kalah lomba suka nggak terima terus berulah gitu deh. Ahaha, keinget masa kecil.

Kembali pada takbir keliling. Pada awalnya, yang menjadi penilaian lomba takbir keliling adalah kerapian barisan, kekompakan takbir, dan kreativitas dalam membuat lampion, kostum, maupun maskot takbiran. Kemudian saat ini berkembang dengan penambahan penilaian display yang lokasinya sengaja dipilih di tengah jalan besar dalam rute takbir keliling, yaitu di Jalan Perintis Kemerdekaan. Nah, dalam display ini yang ditampilkan bisa berupa drama singkat, atraksi, dsb sesuai dengan kesepakatan tema yang telah dirapatkan para panitia lomba takbir keliling yang sekaligus merupakan perwakilan tiap masjid/mushola.

Lucunya, meskipun yang diperebutkan hanya piala bergilir dan juga sedikit bingkisan –yang kami semua juga sudah bisa menebak: pasti berisi makanan-makanan ringan, sapu, serok, dan alat bersih-bersih lainnya –semua  orang tetap antusias dan totalitas. Ada lah yang namanya latihan takbiran, begadang tiap pulang tarawih buat bikin lampion, kostum, sama maskot, dan juga ada yang namanya mata-mata. Jadi tiap masjid/mushola pasti punya basecamp tuh, kadang ada aja mata-mata yang mau mencuri atau meniru ide atau konsep sebuah masjid. Contohnya begini, ketika suatu siang kami sedang berkumpul untuk menggagas koreografi display, salah satu teman saya yang baru datang bilang, 

“.. ya ampun, masjid X pake drumband loh, terus maskot mereka bentuk unta gitu. Tadi aku liat mereka latihan waktu mau otw kesini. Kita juga mesti pake alat musik biar nggak kalah kece dong...”  

Pada jamannya angkatan setingkat di atas saya, Masjid Al Waahid berada pada jaman keemasan. Wuidih, kayak kerajaan aja punya jaman keemasan. Iya dong, kami dulu berturut-turut selalu menjadi juara karena maskot kami yang memang keren dan juga SDMnya yang banyak dan super kompak. Tapi roda selalu berputar, ada jaman keemasan berarti ada juga jaman kemunduran. Nah jaman kemunduran Al Waahid sepertinya bermula dari ketika angkatan saya memegang tampuk kepemimpinan. Saat itu kami sempat mengalami krisis kepemimpinan dan sekaligus merasa ditinggalkan ketika para angkatan atas mundur teratur dari barisan. Akhirnya kami pun ada yang lepas satu-satu tapi ada juga yang masih tetap bertahan menjadi pejuang tangguh yang memotori pergerakan. Saya sendiri termasuk yang lepas karena berbagai kesibukan akademik dan juga organisasi lain. Para pejuang tangguh, kalian hebat guys :)

Pada saat yang bersamaan, juga berkembang lomba takbir keliling di Kelurahan Pandeyan yang tingkatnya lebih oke ketimbang yang tingkat kampong saya itu. Setiap tahunnya, kampong kami selalu diundang untuk ikut memeriahkan takbiran di sana –dan sebenarnya kami juga mau banget. Akan tetapi selama ini kami terlalu asyik sendiri di kampong sendiri. Tapi mengingat rute takbiran yang lebih jauh dan jam bubar yang lebih larut, lalu bagaimana dengan nasib anak-anak kecil yang biasa ikut takbiran di kampong saya ini. Kasihan juga kalau mereka nggak kuat. Jadilah kami masih asyik di kampong sendiri. 

Suatu hari, masjid yang sudah langganan meraih piala bergilir lomba takbiran di kampong kami itu memutuskan nggak ikut lagi takbiran di Gambiran, mereka mau memenuhi undangan dari yang Kelurahan. Go international lah, kalau pinjam istilahnya artis-artis ibukota. So, kami para masjid yang merasa nggak kalah kece pun merasa terkhianati, situasi pun menjadi chaos. Ahaha, lebay.

Dan seiring perkembangan jaman, takbiran tak lagi sesuai dengan esensi awalnya: bertakbir mengumandangkan Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar, Laa- ilaaha- illallaahu wallaahu akbar. Allahu Akbar walillaahil- hamd . Tetapi yang barusan saya dengar justru mereka berteriak teriak mengelukan masjidnya dengan lagu-lagu suporteran yang juga diiringi drumband. Nah loh, ini supporter bayaran dari mana coba? 

Kemudian karena berbaur dengan seni dan kreativitas, hasil gubahannya juga macam-macam. Ada yang nada takbirannya jadi beraliran rock ditambah jingkrak-jingkrak gak jelas, ada yang beraliran keroncong ala pengamen malioboro, dan ada yang masih mempertahankan aliran lama yaitu kayak drumband pada umumnya. Itu baru musik penggiring, belom konsep display sama kostum. Pernah pas masih deketan sama erupsi merapi dulu itu, masjid kami bikin semacam gunungan yang nanti waktu display dibuka isinya kambing. Nggak gitu ngerti dulu filosofinya apaan, kalo sekarang dinalar sih mungkin selalu ada hikmah dari bencana erupsi, mungkin tanahnya jadi subur, terus tambang pasir menggelimang, intinya membawa kebaikan lah. Nah kebaikan itu disimbolkan dengan kambing buat kurban. Ahaha, maksa yaa..

Kenapa judulnya nostalgia? Nah, sempat disinggung sedikit di atas, bahwasanya saya gagal menjadi pejuang tangguh yang terus bertahan di arena penghabisan. Disamping faktor munculnya aliansi masjid tetangga yang cenderung lebih kompak dan berjiwa muda yang kemudian menjadi rival berat, ada juga faktor pengaruh komunitas lain yang terlanjur menjadi magnet tersendiri. Sehingga yak begitulah, saya lepas dan tak tahu jalan pulang kembali.



Saturday 12 October 2013

Ke Entah Berantah

Dia datang saat hujan reda
Semerbak merekah namun sederhana
Dia bertingkah tiada bercela
Siapa kuasa

Dia menunggu hingga ku jatuh
Terbawa suasana
Dia menghibur saat ku rapuh
Siapa kuasa

Dan kawan
Bawaku tersesat ke entah berantah
Tersaru antara nikmat atau lara
Berpeganglah erat, bersiap terhempas
Ke tanda tanya

Dia bagai suara hangat senja
Senandung tanpa kata
Dia mengaburkan gelap rindu
Siapa kuasa

Dan kawan
Bawaku tersesat ke entah berantah
Tersaru antara nikmat atau lara
Berpeganglah erat, bersiap terhempas
Ke tanda tanya

-Banda Neira-


Friday 4 October 2013

Feeling Afraid

Sebenarnya ketakutan itu apa sih?

Cuma perasaanmu aja kok.

Banyak orang bilang, 
“..sebenarnya ketakutan itu kan hanya berasal dari pikiran kita..”

Ketakutan itu, cara tubuh kita merespon sesuatu rangsangan/stimulant tertentu yang dirasa mengancam. Jadi bagus kok kalo kita masih bisa merasa takut, tandanya radar dalam tubuh kita masih bekerja memberi tahu kita akan ada sesuatu yang entah, hanya sedikit membuat kita merasa tidak nyaman atau bahkan mengancam.

Lalu mengapa harus ada bagian dari tubuh kita yang ikutan bereaksi saat kita ketakutan? Saya merasa tidak masalah dengan rasa takut ini, tapi sangat bermasalah dengan reaksi tubuh yang ditimbulkan. Well, karena otak kita sebegitu kerennya, dia mengirimkan sinyal ketakutan itu ke kelenjar-kelenjar penghasil hormon tertentu yang kemudian mensekresikan hormon sehingga munculah efek-efek tertentu.

Nah, masalahnya adalah ketika yang muncul adalah ketakutan atau kecemasan yang berlebihan atau tidak beralasan. Well, sebenarnya tidak ada ketakutan yang tanpa alasan, yang ada adalah kita yang tak bisa menerima kondisi tersebut tanpa kita sadari. Fenomena ini mungkin lebih dikenal dengan syndrome phobia atau trauma. Ada berbagai jenis phobia. Phobia ketinggian, phobia gelap, phobia ruang tertutup, bahkan nosophobia –ketakutan terserang penyakit.

Lalu trauma itu apa? Trauma adalah sebuah ketakutan yang tak terselesaikan, dalam artian pengalaman ketakutan yang selalu berulang yang dipicu oleh sebuah kondisi tertentu, karena pada awal mula terjadinya, pernah terjadi hal yang tak bisa diterima alam bawah sadar kita mengenai kondisi tersebut. Sehingga ketika di kemudian hari kondisi itu muncul, alam bawah sadar kita otomatis menolak karena tak ingin merasakan hal yang sama, yang pernah terjadi sebelumnya. Nah trauma itu bisa muncul dalam bentuk ketakutan dan kecemasan itu sendiri. Bayangkan saja seperti sebuah luka sayatan di permukaan kulit kita, sekalipun sudah kering dan sembuh ada yang menyisakan bekas bahkan lebih sensitif dibanding permukaan kulit yang lain.

Jadi, menurut saya kira-kira begini alurnya:
stimulant yg mengindikasikan ancaman (masa lalu) -ketakutan (masa lalu) -tak terselesaikan, tidak bisa diterima alam bawah sadar kita -stimulant yg sama (masa sekarang ) -ketakutan/kecemasan saat ini (disebut trauma) -menjadi berlebihan atau disorder (disebut fobia)

Kemudian hal yang sangat mengganggu adalah ketika ketakutan yang nggak terselesaikan ini merasuk ke dalam bawah sadar kita, dan muncul melalui mimpi-mimpi buruk yang menghantui tidur kita. Ini terjadi  karena kita tidak bisa mengalahkan rasa takut kita di dunia nyata. Dan menurut saya, tidur adalah masa paling jujur dalam periode hidup manusia. Tidur selalu apa adanya, tak bisa bersandiwara dan tak perlu bertopeng.

Kembali pada topik awal: ketakutan. Lalu bagaimana jika ketakutan yang muncul adalah ketakutan terhadap manusia lain? Saya pernah mendengar dari sebuah acara On The Spot, ada seorang yang dibuang sedari lahir, kemudian dirawat oleh binatang dan akhirnya ditemukan kembali oleh publik dan niatnya mau diselamatkan oleh sesama manusia, tapi dianya malah ketakutan karena nggak pernah liat manusia. Ironis bukan? Saya melihat tayangan ini dalam salah satu penantian saya di sebuah halte trans jogja, jadi nggak terlalu nyimak.


Tentunya apabila ketakutan itu masih berada pada ranah yang wajar dengan ukuran yang tepat, kita justru semestinya bersyukur masih memiliki radar yang baik. Karena radar ketakutan itu setipe sama hati nurani kita, kalau terlalu sering kita abaikan, seiring waktu maka kita nggak pernah bisa mendengarkan lagi bisikannya. Namun apabila ternyata ketakutan yang kita miliki mulai nyeleneh, sudah sepantasnya kita mulai mengabaikannya. Bisa dengan terapi atau hanya dengan bermodalkan sugesti. 


Friday 9 August 2013

Lupa dan Eksistensi Manusia

Lupa. Hal yang manusiawi namun terkadang tak termaafkan.

Lupa tak menepati janji, lupa tanggal ulang tahun, lupa nama, lupa muka. Ah, masih biasa. Namun ketika teringat sebuah film, A Moment to Remember, jadinya sungguh tragis ketika seseorang yang dicintai justru lupa akan eksistensi orang yang mencintainya, dan justru mengingat orang tersebut sebagai mantan kekasihnya di masa lalu. Dan memang,eksistensi juga termasuk salah satu kebutuhan dasar manusia, setiap manusia toh tentu saja butuh dianggap ada.


Tapi toh seseorang bukan sengaja memilih untuk lupa, bukan? Lantas, berhak kah seseorang marah ketika orang lain lupa terhadap sesuatu yang menyangkut dirinya?

Katanya, manusia memang tempatnya salah dan lupa.

Dan justru karena kemampuan manusia untuk melupakan, yang memudahkan kita sebagai manusia untuk memaafkan kesalahan orang lain. Ya, dengan semakin cepat melupakan kejadian itu, semakin cepat melupakan hal yang membuat kita marah atau kesal kepada orang tersebut. Berarti dengan begitu, akan semakin cepat pula kita memaafkan dengan cara melupakannya.

Ketika saya masih sering berhaha-hihi dengan kedua teman saya yang menurut saya selalu bisa mengingat hal detil apapun, saya pernah mengungkapkan kekesalan saya yang sangat berbeda dari mereka perihal ini. Tapi teman saya itu jadinya tak pernah bisa marah terlalu lama kepada kami semua orang karena selalu teringat segala hal yang pernah dilakukan bersama, dan juga kebaikan apa saja yang pernah orang lain lakukan kepadanya. Tapi dengan begitu, berarti dia juga mengingat sama jelasnya setiap tingkah menyebalkan orang lain yang membuat dia marah. Ah, ternyata susah juga ya memiliki long-term memory.

Kembali pada topik bahasan sebelumnya. Tapi ternyata sangat mengerikan ketika tak hanya satu orang yang melupakan eksistensi kita. Menjadikan kita sebagai seorang nothing -bukan siapa siapa.

Seperti Bystander Effect menurut saya, semua orang saling berbagi tanggung jawab untuk saling, apa ya istilahnya, memperhatikan, menyayangi, atau mungkin sekedar menyadari keberadaan orang lain. Menurut saya akan lebih baik apabila setiap orang mempunyai komunitasnya masing-masing dimana mereka mendapat perhatian dari segelintir orang di sana. Namun sayangnya tak semua orang memiliki komunitas, dan ada komunitas yang terlalu besar sehingga setiap orangnya tak terlalu mengenal satu sama lain, otomatis keberadaan orang tertentu menjadi invisible, tak ada yang menyadari keberadaannya, alih-alih memperhatikan.

Sedikit intermezzo, dalam ilmu psikologi istilah Bystander Effect berarti efek yang bekerja pada semua orang dalam suatu kondisi untuk saling melempar tanggung jawab untuk menolong orang lain. Mungkin mirip hukum merawat jenazah kalo di agama islam, hukumnya kan fardlu kifayah: artinya jika sudah ada yang melakukannya maka gugurlah kewajiban untuk itu, tapi bila tidak ada yang melakukannya maka berdosalah semua orang di tempat tersebut.

Salah satu contoh Bystander Effect adalah ketika terjadi sebuah kecelakaan di jalan raya, maka setiap pengguna jalan dan semua orang yang sedang berada di tempat tersebut akan memiliki tanggung jawab yang sama untuk menolong sang korban kecelakaan. Karena setiap orang berpikir, ah biar orang lain saja yang memanggil ambulance toh di sini ada banyak orang, maka tidak akan ada yang tergerak untuk menolong si korban. Nah, Bystander Effect ini akan hilang ketika ada yang secara personal memanggil kita, atau meminta tolong secara langsung kepada kita.

Terkadang ketika saya merasa lelah dengan semua orang yang melupakan saya, saya kembali menekuri pemikiran di atas. Toh saya juga sering tak sengaja lupa identitas seseorang yang pernah saya kenal tempo dulu. Karena mengenal seseorang bagi saya bermula dari mengenal karakter dan peran orang tersebut, kemudian setelahnya baru mengenal nama.

Dan mengingat bahwa di dunia ini ada sistem yang menjaga nggak ada yang bisa nggak seimbang, maka langkah pertama yang semestinya dilakukan ketika berharap dianggap ada adalah dengan menghargai eksistensi orang lain. Mulai mencoba mengenal orang lain yang tadinya kita anggap sebagai orang asing. Dan ketika ternyata kita masih merasa tak pernah dianggap ada, tak perlu khawatir :)

Selain itu, ketika semua hal duniawi memporakporandakan perhatian kita, kita terkadang lupa bahwa kita masih memiliki kontrak hidup dengan-Nya. Ya, kontrak untuk terus hidup dan beribadah kepada-Nya. Saya pun mendesah, manusia memang tempatnya lupa.


Monday 15 July 2013

Ambulance, not my mine.

Hai. Hari ini aku kembali mengunjungi tempat itu dan kembali menunggu seseorang hingga batas waktu yang sama: pukul 22.00 sebelum kemudian memutuskan pulang dengan perasaan yang entah, mungkin lebih baik atau sama saja. Padahal ketika orang yang dinantikan datang, aku toh juga belum tau akan berkisah dari mana. Selalu begitu.

Di dunia ini, aku hanya bisa berkisah pada dua sosok manusia. Kisah yang menyublimkan segala perasaan melalui gesture atau ekspresi, entah bahagia yang membuncah setelah berhaha hihi dengan kawan lama, perasaan excited setelah menemukan hal atau sosok baru yang begitu mempesona, atau justru kekosongan. Ya, intinya seluruh hingar bingar di sudut hati.

Mereka bukan seorang motivator, bukan psikolog, bukan therapis, bukan pula pendengar yang baik. Mereka hanyalah dua teman yang baik, tapi cukup untuk memicu ketergantungan tersendiri untuk terus bersandar. Aku tak tahu apakah ini kabar baik atau buruk, karena kemudian akibatnya ketika dua teman yang baik ini tidak berada pada waktu, tempat, dan keadaan yang tepat dan tak ada yang mampu menggantikan kedua sosoknya, maka yang ada hanya mendung, mendung, dan terus mendung..

Karena bagiku orang-orang yang memampang kisahnya di dunia manapun, tak ubahnya seorang pelacur yang menawarkan dirinya, atau seorang pengemis yang meminta minta kepada setiap orang yang lewat. Ya, mungkin memang tak se-ekstrem demikian.

Aku hanya lupa bahwa kedua sosok itu pernah berbisik, “Helooo, I’m not your ambulance..”  dalam sebuah lagu yang mendesau di atas lincak.



Dalam pelarian hati, 
yang menunggu hujan membasuh segala keresahanku.


Ternyata perjalanan itu masih kurang panjang untuk mengusir kegundahan hati. Haruskah kita terus berlari hanya untuk mendamaikan hati yang resah, ataukah langit mulai berbaik hati mau menjatuhkan rintik hujan pengganti mendung yang berketerusan ini?

Helooo My Mood Booster, where have you gone?



Sunday 19 May 2013

Survey

Berbicara tentang dunia perkuliahan, sebenarnya saya kangen sama yang namanya survey lapangan. Meskipun yah dulu pas semester awal-awal dikit mengeluh terutama karena gerahnya berpanas panasan di tengah kota, entah di tepi jalan raya atau justru blusukan di permukiman dengan gang yang sempit. Sampai ada guyonan tentang anak PWK, “..kamu kuliah apa mbajak sawah e, kok jadi item begitu..”

Masa-masa semester satu.

Survey Studio. Keinget janjian survey pagi buta jam 5 pagi –buat dapetin foto penampang jalan, foto façade, sama mengukur lebar jalan pakai meteran –tapi namanya juga jam karet, baru pada kumpul jam 7 kurang. Jadilah kami mengukur lebar jalan gejayan sebelum ringroad pada jam segitu dan mesti teriak teriakan “.. awas ada mobil.. cepet cepet sekarang lari ke seberang mumpung sepi.. “ dan juga diiringi klakson kendaraaan yang sliweran lewat.
Tim Studio Satu

Survey tentang elemen pembentuk kota menurut Kevin Lynch di Kecamatan Gondokusuman yang berakhir jalan-jalan ke Galeria Mall.haha :)

Survey ke TPA Piyungan yang segitu jauhnya dari kawasan UGM dan nggak mendapat penjelasan apapun karena lupa membawa surat survey.

Dan juga masa-masa semester dua, yang masih dapat kawasan amatan studio di Kota Yogyakarta. Kebetulan dapat Kelurahan Sosromenduran trus blusukan dari pasar kembang sampai kampung internasional, jalan-jalan keluar masuk Stasiun Tugu dan blusukan sampai permukiman di tepi-tepi relnya.

Trus survey Ndalem di Jeron Beteng. Ternyata sudah banyak Ndalem yang beralih fungsi dari fungsi aslinya karena dijual oleh pemiliknya, ada yang sudah menjadi tempat makan/resto, wisma/penginapan, malah ada yang jadi universitas. Tapi hampir semua masih mempertahankan bentuk aslinya kok. Beruntung, Ndalem amatan saya, Ndalem Purbonegaran, masih difungsikan sebagai Ndalem dalam artian rumah. Kami diijinkan berkeliling di kompleks Ndalem, dan bahkan masuk ke rumah utama hingga masuk kamar tidur. Dan saya cukup tercengang melihat perpaduan yang kontras mengenai desain tradisional bangunan yang kejawen dan juga tambahan perabotan modern di dalamnya seperti kulkas dan springbed. Selengkapnya mengenai Ndalem, postingannya menyusul ya.


Pintu Gerbang Ndalem Purbonegaran

Semester tiga, masanya bolak balik Jogja-Purworejo karena ada aja data yang ketinggalan setelah selama seminggu menginap untuk survey disana. Para cowok-driver-studio-purworejo, kalian hebat guys :)


Mampir bangunan cagar budaya yang udah nggak dipakai, Stasiun Purworejo

Tim Purworejo. 
Ceritanya anak2 kota yang 'gumun' liat sawah.hahahaa peace meeen :)

Dan akhirnya survey pertama di semester empat, survey lapangan ke Kecamatan Kraton, yeah tentu saja sekalian main-main. Survey yang rencananya paling lama makan waktu satu jam jadi makan waktu sekitar 3 sampai 4 jam karena mampir muter-muter Tamansari sama ada insiden ban bocor. Tamansari masih nggak terlalu berubah sejak terakhir kali saya ke sana, selalu menarik untuk belajar komposisi fotografi. Postingan tentang Tamansari menyusul ya.


Bertemu penjual manisan

Tim Survey Kecamatan Kraton



Saturday 11 May 2013

The Scientist


Come up to meet you, tell you I'm sorry
You don't know how lovely you are
I had to find you, tell you I need you
Tell you I set you apart

Tell me your secrets and ask me your questions
Oh, let's go back to the start
Running in circles, coming up tails
Heads on a science apart

Nobody said it was easy
It's such a shame for us to part
Nobody said it was easy
No one ever said it would be this hard
Oh, take me back to the start

I was just guessing at numbers and figures
Pulling the puzzles apart
Questions of science, science and progress
Do not speak as loud as my heart

But tell me you love me, come back and haunt me
Oh and I rush to the start
Running in circles, chasing our tails
Coming back as we are

Nobody said it was easy
Oh, it's such a shame for us to part
Nobody said it was easy
No one ever said it would be so hard
I'm going back to the start

Oh ooh, ooh ooh ooh ooh
Ah ooh, ooh ooh ooh ooh
Oh ooh, ooh ooh ooh ooh
Oh ooh, ooh ooh ooh ooh

-Coldplay-

Friday 3 May 2013

Mendung

Hari yang kelabu, tak terik tapi tak juga hujan.
Mendung seolah menunggu waktu yang tepat untuk meneteskan air.
Membuat orang-orang resah ketika ingin bepergian, dan membuat anak-anak antusias menunggu hujan untuk bermain-main  bersamanya, dan mungkin demi melihat pelangi setelahnya.

Tapi hujan tak kunjung datang.

Hanya mendung, dan terus mendung. 

Di luar konteks keindahan hujan, aku merindukan hujan. Hujan yang menghapus mendung yang meresahkan. Tak apalah basah saat ini, toh ada selimut hangat dan juga secangkir coklat panas yang menunguku di rumah.

Teruntuk hujan, cepatlah datang menjemput segala keresahanku, 
dan membuaiku dalam kedamaianmu.



Tuesday 23 April 2013

Be Brave :)

Tak pernah menyesal pada sesuatu, ah atau tepatnya seseorang yang membuat saya berada di sini.

Dan mungkin memang tak ada yang perlu disesalkan, toh memang selalu ada harga yang harus dibayar untuk semua yang kita dapat. Dan mungkin harga yang bisa saya bayar tak pernah sebanding dengan apa yang saya dapat. Teringat kata-kata dari seorang teman di sebuah obrolan atau tepatnya curhatan di tengah malam itu.

“..langkah pertama yang paling benar untuk membalas sebuah kebaikan adalah dengan menerima kebaikan itu sendiri. Kan jadi salah kalo niatnya mutusin pacar gara gara si pacar yang terlalu baik ke kita dan kita nya nggak merasa sanggup buat kasih feed back..”

Analogi yang kena banget, walopun menurutku tentu saja nggak bisa dianalogikan begitu..

Jadi mengapa saya suka naik gunung?

Selain masalah pemandangan, sebenarnya berawal dari sebuah pelarian. Dan saya menemukan sebuah kedamaian di atas ketinggian itu, sejenak melupakan masalah duniawi dan menghilang dari peredaran karena memang tak ada sinyal di tempat setinggi itu. Ah ya, pengecualian di puncak Gunung Tambora yang masih bisa telponan pake sinyal telkomsel. Dan juga segala kondisi ekstrem atau kesulitan yang membuat saya menjadi bersyukur ketika kembali ke peradaban.

Misalnya ketika merasa sangat gerah di rumah, rasanya tak lagi ingin mengeluh ketika teringat dingin yang sangat menusuk ketika saya pertama kali naik Merapi, atau dinginnya Lawu. Dan ketika dulu saya sangat malas sekedar untuk menghangatkan air dengan kompor gas di rumah, ketika mengingat repotnya memasak di atas gunung, rasanya memasak apapun di rumah menjadi sangat menyenangkan. Lalu teringat ketika ngebela-belain menyentuh air yang dinginnya begitu untuk sholat di atas gunung, atau harus bertayamum karena keterbatasan air, maka saya mempertanyakan diri saya sendiri ketika malas sholat di tempat yang lebih mudah. Dan ketika saya malas sekali keluar rumah padahal sekadar melangkah ke warung sebelah untuk membeli sesuatu, rasanya jadi ringan ketika teringat begitu mudahnya mendapat barang apapun di jam berapapun karena ada indomaret yang buka 24jam disini , dibandingkan ketika saya  berada di Sumbawa waktu itu.


Di Merbabu

Pada intinya, naik gunung itu mengikis sifat pemalas saya, dan menumbuhkan rasa bersyukur terhadap hidup.

Puncak pertama: Puncak Lawu (3265 mdpl). Cerita selengkapnya bisa dibaca disini.

Puncak Merbabu (3145 mdpl), ketika pendakian massal dalam rangka ultah SATUBUMI tahun 2012.

Puncak Merbabu di kesempatan yang lain, dengan  jalur yang berbeda dan cenderung lebih ekstrem.

Danau Taman Hidup, Argopuro

Puncak Tambora (2820 mdpl).

Dan juga perjalanan naik gunung yang nggak sampai puncak atau hanya berniat bermain-main atau ‘pindah tidur’ di hutan. Pendakian Merapi via selo (selengkapnya bisa dibaca disini) dan juga latihan navdar di Ungaran.

Caving.

Ketertarikan saya yang lain di dunia yang satu ini. Walopun belum pernah masuk goa vertical, tapi ketika melihat keindahan ornament goa, stalagtit dan stalagmit yang begitu rapuh. Juga perlakuan senior saya yang begitu ‘menyayangi’ goa, “..sayang kan, untuk tumbuh stalagtit berapa centimeter aja butuh waktu berapa lama. Masa kita gampang aja matahin gitu..”


Pintu Masuk Goa

Ornamen Goa


Genangan air di dalam Goa

Kemudian rafting, dimana pada awalnya saya nggak ngerti apa yang di cari dari kegiatan ini. Entah mau mencari jeram atau justru menghindari jeram. Pertama kalinya saya rafting, di Elo langsung nyobain 2 trip dan konsepnya latihan, bukan funraft. Wow, pada saat itu saya langsung beranggapan bahwa ternyata rafting lebih meremukkan badan ketimbang naik gunung. Sepulang dari rafting, saya kebingungan mencari titik pusat linu karena rasanya seluruh badan dari pinggang ke atas serasa remuk redam dan akhirnya mengoleskan counterpain bagaikan mengoleskan handbody.hoho

Rafting Elo

Beberapa kali rafting masih di Elo dan kemudian beberapa waktu yang lalu mencoba rafting di sungai dengan karakteristik yang berbeda, Serayu. Berawal dari menghadiri sebuah presentasi mengenai ekspedisi pemetaan Sungai Serayu, saya bersama beberapa teman tertarik untuk mencoba dan merasakan sendiri mengarungi sungai serayu yang katanya cukup menantang ini. Elo termasuk antara sungai dengan grade 2-3, sedangkan Serayu termasuk grade 4. Maka berangkatlah kami bersepuluh menuju basecamp Serayu di wonosobo. Hmm, ternyata jauh juga ditempuh dengan naik motor.

Jeram di Serayu jauh lebih banyak dan lebih menantang dari Elo. Ada jeram selamat datang, jeram tangga, jeram double drop, jeram S, jeram watukodok, dan jeram-jeram lainnya, diakhiri dengan jeram dwi. Beberapa jeram dinamakan sesuai bentuk fisiknya yang menyerupai tangga dan ada juga yang dinamakan seperti nama orang yang pernah meninggal di jeram tersebut.

Dan saya menemukan sebuah kedamaian di antara sekian banyak jeram di sana. Di antara pandangan yang terbuka lebar, dan pepohonan di tepian sungai. Di area flat di antara sekian jeram. Perasaan tenang dan damai.

Panjat tebing.

Nah, ini merupakan kegiatan yang tidak terlalu menarik bagi saya. Walaupun nggak nolak ketika di ajakin manjat di Siung atau sekedar jadi tim daratnya anak-anak panjat di Samigaluh. Karena memanjat selalu membutuhkan otot atau teknik, dan lebih bagus kalau punya keduanya.

Panjat tebing di Siung

Kembali pada sesuatu yang menjadi topik utama tulisan ini, mungkin boleh meminjam istilah Oppurtunity Cost dari mata kuliah ekonomi. Tentu saja akan ada biaya yang harus dikorbankan karena pilihan yang kita ambil. Dan biaya yang dimaksud disini tak hanya mengacu pada finansial, tapi juga waktu, kesempatan, dan yang lain-lain. Be brave, untuk melakukan kegiatan-kegiatan seru di atas, dan untuk menanggung segala konsekuensi dari pilihan kita memilih berkecimpung di dunia yang satu ini :)

Be Brave, Latihan SRT di selasar KPFT :)

Friday 29 March 2013

Ideal =Humanis (?)

Berbicara tentang sebuah kota ideal, beberapa saat yang lalu saat saya sedang mati gaya di sebuah tempat, secara tak sengaja saya menemukan sebuah buku yang menarik perhatian saya: After Orchard. Buku terbitan Penerbit Buku Kompas ini ditulis oleh seorang Indonesia lulusan Nanyang University yang mendapat beasiswa dan tinggal beberapa waktu di sana.

Sebuah buku yang membantu saya move on, karena pada saat itu saya sedang merasa kosong. Membuka pandangan saya akan sebuah sistem yang ideal tapi ironisnya justru mengarah pada dehumanisasi.

Poin pertama yang saya soroti mengenai Sumber Daya Manusia. Dimana telah menjadi sebuah sistem bahwa untuk bisa survive, kita harus memiliki kualifikasi tertentu dan lebih unggul dari semua orang. Sehingga hal ini memunculkan iklim persaingan yang begitu terasa. Dimana sistem ini otomatis akan membuang orang-orang yang tidak berkualitas, seolah mengatakan “Dunia sudah terlalu penuh sesak oleh manusia, mereka yang tidak berkualitas sebaiknya dimusnahkan.”

Sebenarnya sudah cukup banyak gagasan serupa baik yang muncul dalam komik seperti deathnote, maupun gerakan terselubung, yang terkadang menjadi topick obrolan teman-teman saya, tapi rasanya tak pernah memikirkan bahwa gagasan tersebut memang sedang terjadi secara halus. Misalnya dengan menjual produk makanan minuman tertentu yang sebenarnya berbahaya apabila dikonsumsi jangka panjang, secara tidak langsung ingin memusnahkan golongan yang secara ekonomi hanya sanggup membeli produk tersebut. Yang selamat adalah orang orang kaya yang sanggup mengakses makanan dan sayuran segar. Selain itu, dengan pressure yang tinggi akibat pola persaingan yang terjadi, menyebabkan angka bunuh diri meningkat. Dan ini merupakan salah satu bentuk seleksi alam yang lain. Akan tetapi pasti selalu muncul controversi, terutama dari aktivis pembela HAM. Mereka mengatakan bahwa toh setiap manusia memiliki hak hidup, jadi kita tak berhak dengan cara apapun memusnahkan suatu golongan, atau katakanlah kaum marginal.

Poin ke-2 yang saya soroti adalah mengenai sistem pendidikan di sana. Dimana untuk bisa masuk perguruan tinggi, yang nantinya akan mendapatkan gaji yang tinggi, maka haruslah bersekolah di Senior High School, sedangkan lulusan Vocational School tidak akan bisa diterima di perguruan tinggi. Lulusan Vocatonal School hanya bisa mengakses pekerjaaan yang gajinya tak seberapa. Sedangkan untuk bisa diterima di Senior High School maka harus berasal dari Junior High School, dan hanya lulusan Elementary School terbaik yang bisa diterima di Junior High School. Jadi sekalinya gagal pada tingkatan pertama maka tidak ada pilihan lain. Sehingga menanamkan sebuah paradigm bahwa kita tidak boleh gagal, dan memunculkan rasa takut gagal sedini mungkin. Sangat berbeda dengan sistem pendidikan di Indonesia yang begitu fleksibel, dan tidak pernah ada kata terlambat untuk berubah. Misalnya saat kita masih kecil dan hanya ingin bermain sehingga tak memiliki prestasi akademik yang gemilang, maka ketika kita beranjak dewasa dan merasakan pentingnya memiliki prestasi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak maka bisa saja kemudian kita berubah menjadi rajin dan berprestasi. Maka sah-sah saja ketika lulusan sekolah pinggiran yang tak dikenal diterima di perguruan tinggi unggulan di Indonesia selama dia berhasil lolos tes saringan masuknya.

Masih mengenai sistem pendidikan di sana, kita didorong untuk tak hanya berprestasi tapi juga mengikuti berbagai ekstrakurikuler yang bentuk insentifnya berupa poin. Dan sebenarnya tak hanya didorong tapi lebih cenderung dipaksa, karena hanya mahasiswa yang memiliki cukup poin yang boleh tinggal di asrama mahasiswa. Sedangkan yang poinnya kurang, harus menyewa kamar di luar kompleks universitas yang cukup jauh dan harganya berkali kali lipat dari harga kamar asrama dengan fasilitas pas pasan. Akibatnya memilih ekstrakurikuler bukan lagi berdasar minat dan bakat, tapi berdasar ekskul mana yang mampu memberikan poin lebih untuk bertahan hidup, dan itupun tak cukup hanya dengan mengikuti satu macam ekskul.

Poin ke-3, adalah mengenai kehidupan sosial. Berkaitan dengan persaingan, yang baik kasat mata maupun tak kasat mata di kota tersebut, berdampak pada pola kehidupan sosial masyarakatnya. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa masyarakat perkotaan cenderung bersifat individual ketimbang masyarakat sub urban. Tak bisa dipungkiri bahwa orang-orang yang RELA tinggal di kota metropolitan merupakan orang yang membutuhkan akses yang dekat dengan pekerjaannya, dengan kata lain yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga bisa jadi tak sempat mengenal tetangga kiri kanannya. Tak memiliki waktu untuk bersosialisasi. Bahkan menurut buku ini, banyak taman taman atau ruang terbuka publik di sana yang sebenarnya di desain sangat cozy tapi justru terlihat lenggang karena masyarakatnya tak memiliki waktu sekedar untuk duduk duduk santai dan mengobrol. Tipikal yang tidak bersusah-susah mencari teman untuk makan karena kesulitan menyamakan jadwal yang hectic, sehingga bila perlu membungkus makan siang untuk dimakan di meja kerja.

Sesuatu yang terlalu prosedural ternyata justru mejadikan manusia sebagai robot, sesuatu sistem yang niatnya ingin menjadikan kota humanis justru entah, terasa tidak humanis. Misalnya ketika pelayanan dokter di sana yang begitu prosedural, mengikuti diagram flowchart yang menganalisis gejala penyakit berdasar pola ya dan tidak, apabila ya maka begini apabila tidak maka begitu, dst sehingga sampai pada sebuah kesimpulan penyakit apa dan penanganannya bagaimana. Mengabaikan bahwa pada dasarnya manusia memiliki keunikan sendiri-sendiri, dengan kompilasi yang berbeda maka seharusnya penanganannya tak bisa diseragamkan meski memiliki gejala yang sama.

Entah, saya jadi merasa bersyukur tinggal di tempat saya tinggal sekarang. Meski jauh dari kata ideal, rasanya lebih manusiawi. Ketika se anti sosial apapun saya di sini maka tetap akan ada orang yang peduli dan sempat untuk sekedar say hello :)


Monday 11 March 2013

Opini: Iklan


Sebenarnya iklan yang membentuk paradigma kita atau justru sebaliknya?

Hal itu merupakan hubungan timbal balik, seperti menanyakan yang mana yang lebih dulu, antara telur atau ayam. Semua orang pasti memiliki jawabannya sendiri, tentunya dengan alasan tertentu.

Iklan terbentuk atas paradigma masyarakat karena memang itulah tujuan iklan ada. Untuk menarik seseorang akan suatu produk tertentu. Untuk itu diperlukan informasi mengenai apa yang menarik, yang membuat seseorang menjadi tertarik untuk menggunakan atau membeli produk tersebut. Apabila tidak mengikuti cara berpikir masyarakat, tentu saja iklan tersebut tidak akan menjual. Nah, dengan begitu berarti iklan diciptakan menurut pola pikir masyarakat. Misalnya iklan-iklan sampo atau pasta gigi yang menggunakan orang-orang barat yang ceritanya sebagai ahli produk tertentu. Mengapa tidak menggunakan orang negro atau orang Indonesia asli sebagai modelnya? Tentu saja untuk mengusung agar produk tersebut terbilang ilmiah, dan karena paradigma masyarakat yang terlanjur beranggapan bahwa orang-orang ahli atau ilmuan itu adalah orang-orang luar negeri, dalam hal ini bangsa kulit putih. Padahal bisa saja orang Indonesia menjadi seorang ahli kan.

Namun sebenarnya justru iklan itu, baik secara langsung maupun secara tidak langsung membentuk pola pikir masyarakat. Bersamaan dengan media, iklan membentuk pola pikir kita. Misalnya iklan-iklan produk perawatan tubuh  menciptakan sebuah paradigma bahwa cantik itu yang kulitnya putih, kurus, berambut lurus, dan sebagainya. Kemudian iklan-iklan rokok yang menggambarkan petualangan, persahabatan, dan kesuksesan. Hal itu mengisyaratkan bahwa merokok itu keren, jantan, jalan menuju sukses, dan sebagainya. Padahal hal-hal tersebut tidak saling berkaitan.

Nah, apabila dikaji lebih jauh, pola timbal balik tersebut merupakan pola yang terus berputar, akan tetapi bukan berarti tidak bisa diarahkan. Kita bisa mengarahkan pada paradigma apakah yang ingin kita tanamkan, tapi secara perlahan-lahan, dengan tetap memasukkan paradigma eksisting yang ada pada saat ini. Terus menerus begitu hingga terbentuklah paradigma baru sesuai yang kita inginkan.

Kemudian muncul pemikiran untuk mempengaruhi, membentuk, atau merubah pola pikir masyarakat melalui iklan. Sayangnya cukup sedikit orang yang menyadari hal ini, dan lebih sedikit lagi orang yang menyadari bahwa mereka terpengaruh atau termakan iklan. Para pembuat iklan cenderung berpikir mengenai branding, komersialisasi, bagaimana iklan mereka bisa menjual, dan sebagainya tanpa berpikir panjang mengenai  dampak tidak langsung dari iklan yang mereka buat. Sehingga kemudian banyak iklan yang bermunculan yang tidak berhubungan dengan produk yang ditawarkan.

Memangnya apa dampak tidak langsung yang mungkin muncul? Bermacam-macam, misalnya mendorong seseorang berperilaku konsumtif dan melakukan hedonisme. Atau menjadikan pemikiran bahwa produk-produk import jauh lebih berkualitas, lebih modern, dan lebih keren daripada produk lokal. Untuk beberapa produk ada benarnya memang, tapi tentu saja tidak semua demikian. Hal tersebut kemudian dapat menurunkan jiwa nasionalis seseorang. Dan dengan begitu, sebenarnya iklan dapat dijadikan metode menjajah secara alam bawah sadar. Iklan yang terus menerus ditampilkan atau ditayangkan, yang pada mulanya tidak kita acuhkan, lama kelamaan kemudian mempengaruhi alam bawah sadar kita mengingat bentuk pengulangan sangat berpengaruh dalam membentuk karakter atau respon seseorang.

Berbicara tentang iklan, iklan mendorong kita untuk berperilaku konsumtif. Itu jelas, karena lagi-lagi memang itulah tujuan iklan dibuat. Tapi tidak lantas menjadikan menipu dalam beriklan menjadi boleh. Tetap saja ada nilai moral yang perlu diperhatikan. Seperti misalnya pemilihan jam tayang yang dipengaruhi siapa yang menjadi target dalam iklan tersebut, ibu rumah tangga kah, remaja kah, atau justru anak-anak. Pengemasan iklan-iklan produk untuk orang dewasa dan untuk anak-anak tentu saja berbeda, karena factor usia juga berpengaruh pada pola pikir seseorang. Untuk itu kita harus selektif dalam memandang iklan. Berhati-hatilah dan jangan mudah terpengaruh :)


MP3EI


Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) merupakan sebuah terobosan baru untuk mewujudkan visi Indonesia, yaitu menjadi Negara Maju dan Sejahtera di Tahun 2025. MP3EI terdiri dari 8 program utama, 6 koridor ekonomi sebagai pusat pertumbuhan, dan 22 kegiatan ekonomi utama yang ditumbuhkembangkan di dalam 6 koridor tersebut. MP3EI ini bersifat sebagai dokumen pelengkap bagi dokumen-dokumen perencanaaan yang ada.

MP3EI mengandung 3 prinsip dasar yang menjadi strategi utama untuk mewujudkan visi Indonesia. Prinsip dasar yang pertama adalah pengembangan potensi ekonomi di 6 koridor ekonomi, yaitu Koridor Ekonomi Sumatera, Koridor Ekonomi Jawa, Koridor Ekonomi Kalimantan, Koridor Ekonomi Sulawasi, Bali-Nusa Tenggara, dan Koridor Ekonomi Papua-Maluku. Pengembangan potensi di 6 koridor ini selain berfungsi sebagai upaya pemerataan pembangunan, juga untuk mengembangkan potensi strategis yang dimiliki Indonesia. Indonesia kaya akan berbagai SDA, dan juga secara geografis terletak pada lokasi yang strategis secara ekonomi. Dengan pengembangan potensi di 6 koridor yang telah disebutkan di atas, harapannya SDA dan potensi ekonomi yang dimiliki Indonesia dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dengan menentukan tema pembangunan di tiap koridor tersebut, para pelaku ekonomi dapat menanamkan investasinya sesuai dengan arahan pengembangan potensi tiap koridor ekonomi.

Kita ketahui bersama bahwa setiap wilayah memiliki karakteristik dan potensi yang berbeda, untuk itu diperlukan pengenalan potensi, baik potensi SDA maupun potensi ekonomi berdasar lokasi strategis yang dimiliki oleh tiap wilayah. Selanjutnya potensi tersebut dikelompokkan berdasar kesamaan potensi dan letaknya yang saling berdekatan sehingga terbentuk kluster-kluster. Kluster-kluster tersebut kemudian disinergiskan membentuk suatu koridor ekonomi yang saling terkait. Diperlukannya klusterisasi atau spesifikasi sektor, menjadikan pengembangan potensi ekonomi di tiap koridor, yang sesuai dengan tema pembangunan yang telah ditetapkan, penting untuk dilakukan. Dengan membuat spesifikasi sektor-sektor basis tertentu yang khusus di tiap koridor tersebut, yang tentunya saling terintegrasi, harapannya output yang dihasilkan akan menjadi lebih optimal.
Penentuan tema pembangunan di tiap koridor ekonomi tentunya dengan berdasar data eksisting mengenai angka-angka yang menjadi informasi akan adanya potensi tertentu. Koridor Ekonomi Sumatera akan dikembangkan sebagai sentra produksi berkaitan dengan luas lahan perkebunan kelapa sawit dan jumlah produksi kelapa sawit yang terus meningkat tiap tahunnya. Selain itu di Koridor Ekonomi Sumatera akan dikembangkan pengolahan hasil bumi berkaitan dengan potensi pertambangan, dan sebagai lumbung energi nasional. Kita ketahui bersama, Sumatera memiliki SDA yang dapat dimanfaatkan secara bijaksana, seperti penambangan besi baja, karet, dan batu bara. Hasil bumi tersebut kemudian diolah dan dapat dijadikan sebagai industri hilir seperti misalnya karet alami yang dapat diolah menjadi ban, sarung tangan, sepatu, dan lain-lain. Mengenai tambang batu bara, Sumatera memiliki banyak potensi pertambangan batu bara yang belum di eksploitasi, terutama di Sumatera Selatan. Berdasarkan data dari studi kementrian ESDM, dengan produksi 200juta ton per tahun, Indonesia akan memiliki cadangan batu bara untuk jangka waktu yang lama. Selain potensi SDA, Sumatera juga memiliki potensi ekonomi dari letaknya yang strategis dengan Kawasan Strategis Nasional Selat Sunda sehingga cocok untuk industri perkapalan. Pembangunan Jembatan Selat Sunda tersebut akan menjadi sebuah investasi berupa infrastruktur, yang akan menunjang pertumbuhan di kedua sisi yang dihubungkan.

Koridor Ekonomi Jawa sebagai pendorong industri dan jasa nasional. Pulau Jawa lebih cocok dikembangkan sebagai penyedia makanan minuman, tekstil, peralatan transportasi, perkapalan, telematika, pengembangan jabodetabek area, dan industri alutsia. Industri tekstil dinilai potensial dikembangkan di Jawa karena daya serapnya terhadap tenaga kerja yang cukup tinggi mengingat penduduk Indonesia yang sebagian besar berpusat di Pulau Jawa. Pengembangan jabodetabek area terbentur oleh adanya permasalahan yang disebabkan telah melebihinya daya tampung wilayah. Sehingga muncul pemasalahan seperti kemacetan, kapasitas bandara dan pelabuhan yang sudah tidak mencukupi, hingga masalah air bersih. Untuk itu diperlukan strategi seperti penyebaran aktivitas bisnis ke luar DKI Jakarta sehingga tumbuh pusat pertumbuhan baru dan tidak terus berpusat di Jabodetabek.

Koridor Ekonomi Kalimantan sebagai pusat produksi, pengolahan tambang, dan sebagai lumbung energi nasional. Kalimantan akan dikembangkan produksi kelapa sawitnya berkaitan dengan luas lahan perkebunan kelapa sawit yang mencapai 53% dari total luas perkebunan di Kalimantan, penambangan besi baja, bauksit, batubara, dan migas, serta perkayuan dari hutan yang masih terbentang luas di sana. Dalam rangka memenuhi kebutuhan migas dalam negeri, Indonesia perlu mengembangkan lokasi penambangan migas cadangan yang mana salah satunya terletak di Pulau Kalimantan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan Indonesia dengan negara lain dalam hal impor minyak bumi yang terus meningkat beberapa tahun terakhir ini. Hasil bumi lain yang tak kalah banyak terdapat di pulau ini adalah cadangan tambang batu bara dan bauksit. Sayangnya pemanfaatan bauksit di Indonesia masih belum maksimal karena sebagian besar tambang bauksit diimpor dalam bentuk mentah, padahal nilai jual tambang mentah dibanding dengan hasil olahannya dapat bertambah berkali lipat. Sehingga dibutuhkan pengembangan industri pengolahan tambang yang serius untuk mengatasi hal ini. Selain itu, identitas Kalimantan sebagai paru-paru dunia terkait luasan hutan di Kalimantan menjadikan Kalimantan memiliki potensi dalam industri perkayuan.

Koridor Ekonomi Sulawasi akan dikembangkan sebagai pusat produksi, pengolahan pertanian, perkebunan, perikanan, migas, dan pertambangan nasional. Sulawesi memiliki SDA berupa nikel dan migas, cocok untuk pertanian pangan, perkebunan kakao, serta perikanan. Pertanian pangan yang akan dikembangkan di Sulawesi mencakup pertanian padi, jagung, kedelai, dan ubi kayu. Mengenai perikanan, terjadi masalah eksploitasi berlebihan beberapa jenis ikan di Sulawesi, oleh karena itu dikembangkan juga perikanan budidaya.

Bali-Nusa Tenggara akan dikembangkan sebagai Pintu Gerbang pariwisata dan pendukung pangan. Bali dan Nusa Tenggara akan dikembangkan untuk pariwisata, peternakan, dan perikanan. Kita ketahui bersama bahwa Bali memiliki daya tarik pariwisata yang tinggi di dunia internasional, untuk itu dibutuhkan strategi pengembangan berupa peningkatan keamanan, promosi, dan pengembangan destinasi wisata di sekitar Bali seperti wisata pegunungan di Jawa Timur dan Lombok, serta wisata hewan endemik di Pulau Komodo. Selain itu pengembangan pariwisata dapat dilakukan dengan meningkatkan service berupa peningkatan kualitas dan kenyamanan pengunjung. Pengembangan pariwisata ini juga didukung dengan pemberdayaan masyarakat dan pengupayaan agar masyarakat lokal sadar wisata.

Koridor Ekonomi Papua-Maluku sebagai penyedia pangan, perikanan, energi, dan penambangan nasional. SDA yang dimiliki papua berupa nikel, tembaga, dan migas, serta cocok untuk pertanian pangan, serta perikanan. Kegiatan pertanian pangan diwujudkan dalam bentuk pengembangan MIFE (Merauke Integrated Food and Energy Estate), yaitu usaha budidaya tanaman skala luas, yang dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industri yang berbasis IPTEK, modal, dan manajemen yang modern. Tanaman yang akan dikembangkan dalam MIFE adalah padi, jagung, kedelai, sorgum, gandum, sayur, dan buah-buahan. Selain pengembangan koridor pada tema yang telah disebutkan di atas, potensi lain yang dapat dikembangkan adalah pariwisata di Raja Ampat.

Prinsip dasar yang ke-2 adalah memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal, dan terhubung secara global (locally integrated, globally connected). Koneksi ini harus menghubungkan intra wilayah, yaitu koneksi di dalam wilayah itu sendiri, menghubungkan antar wilayah, dan internasional. Peningkatan konektivitas nasional mencakup Sistem Logistik Nasional (sislognas), Sistem Transportasi nasional (sistranas), RPJMN/RTRWN, dan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK/ICT). Penguatan konektivitas nasional dapat dilakukan dengan rencana pengembangan jaringan infrastruktur, pengembangan jaringan transportasi, dan pengembangan jaringan broadband. Jadi, yang dihubungkan tidak hanya manusianya, tapi juga untuk mobilitas barang komoditas industri, makhluk hidup selain manusia, jasa dan keuangan, serta koneksi informasi.

Langkahnya adalah membuat koneksi antar pusat pertumbuhan dalam satu koridor yang terintegrasi, kemudian menghubungkan antar koridor tersebut, dan membuka jalur perdagangan internasional di titik-titik strategis. Jalur-jalur strategis untuk memperkuat konektivitas tersebut antara lain selat malaka, selat sunda, selat Lombok-selat makasar, dan selat ombai wetar.

Sebagian besar masalah pengembangan pertambangan di luar Pulau Jawa terkendala masalah ketersediaan infrastruktur yang masih kurang terutama di bidang transportasi untuk mengangkut hasil tambang menuju pelabuhan. Untuk itu diperlukan pembangunan infrastruktur untuk mendukung berbagai kegiatan ekonomi di koridor-koridor ekonomi.

Prinsip dasar yang ke-3 adalah memperkuat kemampuan SDM dan perkembangan IPTEK untuk mendukung pengembangan potensi di 6 koridor ekonomi tersebut. Pertumbuhan ekonomi, selain dipengaruhi oleh SDA, juga sangat terpengaruh pada SDM, sebagai penggerak atau pelaksana  dan di dukung oleh kemajuan IPTEK. Oleh karena itu, meningkatkan kualitas SDM menjadi langkah awal untuk mengembangkan SDA/potensi yang dimiliki Indonesia.

Untuk menghasilkan tenaga kerja yang produktif, dibutuhkan sistem pendidikan yang bermutu dan relevan terhadap kebutuhan pembangunan. Dibutuhkan lulusan SMK dan vokasi untuk menjadi tanaga terampil dan juga lulusan SMA yang selanjutnya akan meneruskan pendidikan ke universitas. Dengan demikian, di tiap kota/ ibukota kabupaten harus terdapat community colleges atau lembaga pendidikan setingkat akademi, sehingga biaya pendidikan dapat ditekan karena tak perlu jauh-jauh dalam melanjutkan pendidikan.  Selanjutnya, mengenai pengembangan IPTEK dapat dilakukan dengan pembentukan kluster inovasi daerah, penguatan aktor inovasi, dan juga mengembangkan perguruan tinggi sebagai pusat riset.

Prinsip-prinsip teknis tersebut tentunya tak lepas dari pra syarat keberhasilan pembangunan, yang meliputi peran pemerintah dalam menciptakan suasana ekonomi makro yang kondusif, dan juga peran dunia usaha dalam peningkatan investasi serta penyediaan lapangan kerja; reformasi kebijakan keuangan negara dengan pembuatan APBN yang kredibel dan berkelanjutan; reformasi birokrasi berupa pelaksanaan good governance; penciptaan konektivitas antar wilayah di Indonesia; kebijakan ketahanan pangan, air, dan energi ; dan juga jaminan sosial dan penanggulangan kemiskinan.

Peran pemerintah dalam pengkondisian ekonomi makro dapat diwujudkan dengan regulasi dan kebijakan yang bersifat mendukung, dan dengan pemberian insentif dan disinsentif terkait arahan pengembangan. Hal itu telah mencakup reformasi kebijakan-kebijakan yang telah disebutkan di atas. Dunia usaha meningkatkan investasi dan pihak swasta bersama dengan pemerintah menciptakan konektivitas yang dapat dijadikan investasi dalam bentuk pembanguan infrastruktur.

Dengan berjalannya semua prinsip-prinsip MP3EI yang dibuktikan dengan berjalannya 22 kegiatan ekonomi utama, maka harapannya goal untuk mencapai Indonesia sebagai Negara Maju di tahun 2025 akan bisa tercapai.

Komentar dan Kritik  Terhadap MP3EI
MP3EI merupakan konsep ideal yang apabila tanpa rencana implementasi yang detail dapat dikatakan terlalu utopianisme, yaitu terlalu mengharapkan sesuatu yang terlalu tinggi dan hampir mustahil untuk dicapai. Namun dengan rencana implementasi yang dilengkapi langkah-langkah konkret, MP3EI menjadi sangat mungkin diimplementasikan. MP3EI tak hanya sebatas konsep, tapi sudah seperti sebuah buku panduan. Selain itu, MP3EI didukung oleh data-data yang faktual yang disuguhkan dalam skema yang menarik dan informatif cenderung dapat dimengerti bahkan oleh orang yang tidak berkecimpung di bidang-bidang yang disebutkan.

Tentunya dibutuhkan kerjasama dari semua pihak baik dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak swasta hingga masyarakat Indonesia pada umumnya untuk mewujudkan visi Indonesia melalui MP3EI ini. Karena MP3EI mencakup seluruh aspek dan membutuhkan penanaman modal yang besar dari berbagai pelaku ekonomi di atas. Peran masyarakat Indonesia adalah sebagai SDM yang diharapkan mampu menjadi penggerak untuk mengembangkan koridor ekonomi di Indonesia.

Ketiga prinsip utama dalam MP3EI merupakan sesuatu yang memang paling mendasar untuk pengembangan suatu wilayah. Prinsip pertama, dengan menciptakan koridor-koridor ekonomi, berarti kita harus benar-benar memahami karakter dan potensi dari tiap wilayah di seluruh Indonesia terlebih dahulu baru kemudian dapat menciptakan sebuah koridor ekonomi. Setelah berhasil menemukan potensi strategis, langkah selanjutnya adalah mengembangkannya dan mensinergiskan potensi-potensi tersebut.

Ironisnya, kadang Indonesia terlambat mengenali potensi SDA yang dimilikinya dan justru pihak asing yang mengeruk keuntungan tanpa memberikan spread effect pada masyarakat lokalnya, seperti kasus penambangan emas Freeport. Jadi prinsip pertama ini memang merupakan langkah paling awal.

Mengenai potensi tambang di Indonesia, yang menjadi masalah adalah ketika pemerintah tidak bisa mengawasi akan adanya eksploitasi secara besar-besaran yang tak bertanggungjawab. Tentunya hal ini dapat merusak lingkungan yang upaya untuk pemulihannya sangat sulit dilakukan. Seperti kasus illegal logging yang terjadi di Sumbawa, perusahaan industri perkayuan yang memiliki ijin legal justru bangkrut karena kalah bersaing dengan illegal logging yang tak pernah berhenti siang-malam. Ironisnya, para pelaku illegal logging ini menggunakan jalur transportasi yang sama dengan PT. Veneer Indonesia selaku perusahaan industri perkayuan yang legal, dan justru menjadi tak bisa dibedakan truk pengangkut milik perusahaan atau milik pelaku illegal logging. Sementara aparat terkait yang bertugas menangani maslah ini belum bisa benar-benar diandalkan.

Kemudian dilanjutkan dengan prinsip yang ke-2 yang tak kalah penting, yaitu menghubungkan antar pusat pertumbuhan dan antar koridor ekonomi. Penguatan konektivitas ini juga berarti dengan menambah ketersediaan infrastruktur di dalam koridor-koridor ekonomi sebagai  salah satu bentuk investasi negara. Dengan memiliki aksesibilitas yang mudah, dapat mengurangi biaya distribusi barang yang berdampak pada menurunnya harga barang kebutuhan. Dengan menurunnya harga barang kebutuhan, maka akan meningkatkan daya beli masyarakat, sehingga harapannya masyarakat Indonesia akan lebih sejahtera.

Sedangkan prinsip yang ke-3 merupakan kunci dari kedua prinsip di atas. Dengan adanya potensi dan koneksi yang menghubungkan, tanpa adanya SDM sebagai pelaksana maka tidak akan berjalan. Untuk itu dibutuhkan SDM yang berkualitas dan memiliki daya saing sehingga Indonesia dapat bersaing secara global. SDM yang berkualitas akan mampu menciptakan inovasi teknologi baru yang tentunya membantu dalam efektivitas faktor-faktor produksi. Selain itu, SDM yang berkualitas akan mampu mengenali dan mengembangkan potensi-potensi strategis yang dimilikinya sehingga tak lagi termanfaatkan oleh pihak asing.

Kesimpulan yang dapat saya tarik, MP3EI merupakan suatu dokumen konsep yang dapat membuka sudut pandang optimis bahwa Negara Indonesia bisa menjadi Negara yang maju dengan usaha-usaha tertentu yang lebih dari sekedar ‘Business as Usual’. Arahan pengembangan yang tercantum dalam MP3EI cukup akurat karena dilengkapi data-data yang mendukung. MP3EI juga dilengkapi dengan petunjuk praktis mengenai tahapan pelaksaannya dan tiap kegiatan ekonomi utama di tiap koridor ekonomi dijabarkan dengan sedemikian rupa, sehingga memudahkan para stakeholder dalam mengimplementasikan rencana besar ini.