Monday 21 December 2015

Hilang Arah

Kali ini saya bukan hendak membahas mengenai kegalauan semacam hilangnya arah hidup, tapi hanya akan bercerita tentang hilang arah dalam arti sesungguhnya: nyasar.

Well, saya termasuk orang asli jogja yang lahir dan besar di jogja tapi masih bisa aja nyasar di kota sendiri. Kalo dibilang karena saya jarang main keluar rumah, menurut saya sih enggak ya. Rupanya keluarga saya memang punya masalah soal spasial, tak terkecuali saya.

Saya sendiri sudah mendeteksi beberapa spot nyasar, yang merupakan blind area bagi saya. Diantaranya adalah Kompleks Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, kalau udah masuk dalam benteng entah kenapa mendadak saya nggak bisa bedain mana utara mana selatan. Karena rasanya sama aja, sense of place nya mirip. Tapi sekarang saya udah lebih mending dikit lah ya, udah bisa ngebedain pojok beteng wetan dan pojok beteng kulon, udah bisa ngebedain plengkung gading dan plengkung wijilan, dan yang paling penting udah bisa ngebedain alun-alun utara dan alun-alun selatan. Selain Kompleks Kraton, blind area saya yang lain adalah Kawasan Seturan. Seberapapun sering saya melewati jalan-jalan tersebut, saya tak kunjung hapal jua.

Nah, ceritanya kemaren saya bersama adek saya akan menuju Jalan C. Simanjuntak dari arah panggung krapyak. Kami lurus terus ke utara sampai plengkung gading, akhirnya sampai di alun-alun selatan. Dari alun-alun selatan, kami ambil jalan yang ke arah timur, kemudian belok kiri lagi kembali ke arah utara hingga mencapai plengkung wijilan. Yeaaay, mission complete! Saya berhasil mencapai plengkung wijilan tanpa hilang arah, dan dari plengkung wijilan saya sudah paham benar jalan menuju dunia utara. Tinggal belok kanan ke arah Jalan Brigjend Katamso, ke arah perempatan Hotel Limaran, terus ke utara melewati Hotel Melia Purosani, kemudian lewat Jalan Mataram, Kotabaru, dan sampai deh.

Namun permasalahan muncul ketika keluar benteng wijilan dan yang dijumpai adalah macet parah. Rupanya saya melupakan adanya perpaduan antara cuaca cerah di malam itu, hari libur bagi anak sekolah pada keesokan harinya, dan juga sekaten yang tinggal menghitung hari. Kombinasi dari hal-hal tersebut tentu sudah bisa ditebak: macet parah. Malam sebelumnya saya juga ke sekaten dan niatnya melewati jalan ini, namun karena diujung jalan saya sudah menemui fenomena bottle neck, jadi kendaraan yang mau masuk ke jalan tersebut sampe muncu-muncu ke perempatan, maka kami memutuskan putar balik dan parkir di km nol. Pengalaman sehari sebelumnya membuat saya memutuskan untuk putar balik dan menggagalkan rencana indah perjalanan saya yang sudah tersusun rapi. Kami kembali ke selatan, dan iseng belok kiri ke arah timur untuk mencari jalan tembusan. Niatnya sih mau muncul di sekitaran Jogjatronik atau gang mana aja supaya gak perlu terjebak macet, eh kami malah nyasar dan muncul lagi di gang persis sebelum plengkung wijlan! Nah, kenapa malah di sini lagi. Tapi kami tidak patah semangat, kami masih mencoba peruntungan dengan memasuki gang lainnya, hingga kami beneran hilang arah bahkan gak tau jalan balik ke alun-alun selatan.

Disitulah kami baru ingat akan adanya teknoologi canggih yang bernama smartphone yang dilengkapi gps dan google maps. Maafkan kami smartphone yang agung, yang telah tidak menjadi smartuser. Terimakasih google maps yang agung, yang telah menunjukkan jalan untuk keluar dari labirin dalam benteng sekaligus menunjukkan traffic yang sedang terjadi, jadi kami bisa menghindari macet dengan menghindari jalan yang berwarna merah dan oranye. Akhirnya kami memutuskan melewati Jalan Tamansiswa, yang di maps sih warnanya didominasi biru (atau hijau sih sebenernya?), walaupun harus memutar jauh.

Kami berangkat dari panggung krapyak sekitar jam setengah tujuh, dan ketika mencapai tamsis udah jam setengah 8 aja. Berarti kami berkeliaran di dalam benteng hampir satu jam. Karena lapar dan lelah, kami memutuskan untuk berhenti di indomaret di Jalan Dr. Sutomo. Tapi ternyata kami tidak bisa ngemper-ngemper di sini soalnya di depan tokonya penuh tumpukan kardus. Dan karena sebenarnya kami hanya ingin numpang duduk sembari makan sari roti sebelum mencapai tujuan, dan tidak ada tempat yang bisa disinggahi untuk itu, kami pun memutuskan duduk-duduk di deket bunderan UGM. Jadilah kami piknik makan sari roti dan teh kotak sambil memandangi tulisan Universitas Gajah Mada. Well yaa, kami duduk di tempat orang-orang biasa berfoto dengan ikon kampus biru ini. Sumpah rasanya konyol banget, gak ngerti lagi deh kalau ada orang yang mengamati ada dua orang yang kesitu bukan buat foto-foto tapi cuma numpang makan roti terus pergi.

Bagi saya, nyasar masih selalu aman ketika masih terang cahaya matahari, bensin penuh, bawa hp dengan baterai yang cukup dan ada pulsa nelpon, bawa duit, atau minimal kombinasi dari beberapa.

Thursday 17 December 2015

Gak Mau Dong, Disamain Sama Koruptor..

Temen-temen aku yang udah pada kerja pada dapet kerjaan dari kantor sampe mana-mana: aceh, palembang, kalimantan, bali, lombok, papua, dan entah mana lagi. Mereka ada yang kerja di kementrian, NGO, konsultan, dan bahkan sekedar bantu proyek-proyek dosen. Pengen deh kerja bisa sambil keliling indonesia gitu.
 
Terus tiba-tiba ada temen yg bilang, tau gak siapa yg juga suka kerja sambil jalan-jalan? Koruptor.

Seperti kedok KKN terselubung, yang selain mau menjalankan program pengabdian di lokasi terpencil pasti mengandung modus jalan-jalan ke tempat-tempat indah yang masih perawan.

Kemudian baru-baru ini aku membaca sebuah headline berita: Gubernur DKI Jakarta menolak usulan kenaikan biaya perjalanan dinas anggota DPRD hingga dua juta rupiah perharinya. 

Wow, siapa coba yang menolak jalan-jalan gratis dibiayai negara sambil di gaji pula? Aku sendiri pernah melakukan itu dengan menjadi peserta Ekspedisi NKRI bersama dengan TNI, Polri, dan juga SKPD lokal di Flores sana.

Well, aku, kamu, kita.. Apa bedanya sekarang kita sama mereka?


Wednesday 16 December 2015

Rasa

Sesungguhnya rasa tak pernah salah. Yang mungkin salah adalah interpretasi kita terhadap rasa, yang dituangkan dalam sikap yang kita ambil.

Maka tidak perlu dipikirkan, tidak perlu dirasa-rasakan, tidak perlu dihayati sedalam-dalamnya. Jalani saja apa yang dirasakan saat ini. Dengan begitu kita tidak akan bereaksi berlebihan ketika ternyata salah interpretasi. Karena bagaimana bisa salah, bila menginterpretasikan saja tidak?

Rasa benci, rasa cinta, rasa rindu. Ah, tidak masalah selama tidak membuat kita mengambil sikap tertentu, seperti benci yang membunuh, atau cinta yang merusak.

Selamat menikmati rasa!