Saturday 5 November 2016

Wanita

Laki-laki menuntut perempuan sempurna, jauh lebih daripada perempuan menuntut kesempurnaan dari seorang laki-laki.
Ukuran kewanitaan dari seorang perempuan memang jauh lebih banyak dari ukuran kepriaan seorang lelaki. Bahkan istilah kewanitaan sangat lazim terdengar, sementara istilah 'kepriaan' rasanya tak pernah ada. Mungkin lebih akrab ditelinga dengan istilah kejantanan pria, kali ya. Tapi rasanya kata jantan lebih berasosiasi dengan dunia seks, ketimbang asosiasi peran pria sebagai laki-laki dewasa. Rasanya kebanyakan orang sepakat bahwa wanita idaman adalah wanita yang cantik parasnya, anggun lakunya, halus perkataannya, bisa memasak, bisa menjahit, bisa mengurus rumah tangga, cerdas mendidik anak, dan manja sekaligus mandiri. Sementara itu sebagian perempuan menyatakan bahwa lelaki idaman hanyalah lelaki yang mapan secara ekonomi, serta dapat dijadikan imam ditunjukkan dengan akhlak dan ibadahnya yang baik. Nah, kan!

Akhir-akhir ini topik tentang wanita sering muncul ke permukaan seputar saya berada.

Beberapa waktu yang lalu saya menghadiri acara pembacaan puisi bertemakan wanita yang diselenggarakan teater lilin di Indiecology Cafe. Ada sebuah puisi yang begitu menarik perhatian saya, berjudul Nyanyian Angsa karya W.S. Rendra. Puisi ini bercerita tentang wanita pekerja seks yang terkena penyakit menular seksual. Dia diusir dari rumah pelacuran. Dia miskin dan tidak bisa membayar pengobatan. Dia harus menanggung semua penderitaannya sendiri akibat keputusannya melacur. Padahal bukankah tidak ada wanita manapun yang bersedia menjadi pelacur jika tidak terhimpit tuntutan ekonomi?
Kutipan puisi tersebut bisa dibaca 
di sini.

Lalu beberapa hari yang lalu saya juga tak sengaja mampir ke Bentara Budaya dan melihat pameran fotografi yang mengambil tema serupa, karya anak-anak Kolase Debrito.

Wanita itu makhluk yang istimewa. Bahkan Tuhan menurunkan sebuah surat khusus dalam kitab suci Alquran, Surah An Nisa yang artinya perempuan.

Berbicara tentang wanita tidak pernah terlepas dari topik emansipasi, kemudian berkembang menjadi tarik ulur peran wanita sebagai ibu (rumah tangga) dengan peran wanita sebagai tulang punggung keluarga. Sosok wanita sebagai tulang punggung keluarga bisa muncul sebagai wanita karier baik yang melakukan pekerjaan yang bersifat universal atau wanita melakukan pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh laki-laki seperti menjadi supir bus, pembantu rumah tangga, Tenaga Kerja Wanita di luar negeri, bahkan pekerja seks komersial.


Berhubung saya tidak bisa menemukan sumber yang menjelaskan emansipasi menurut R.A. Kartini, saya mengambil sumber KBBI saja. Emansipasi (n) menurut KBBI: 1. pembebasan dari perbudakan; 2. Persamaan hak di berbagai aspek kehidupan masyarakat (seperti persamaan hak kaum wanita dengan kaum pria).

Dulu seorang istri dikenal dengan sebutan 'konco wingking' atau artinya 'teman belakang' yang hanya bertugas masak di dapur dan tidak pernah dilibatkan diskusi topik-topik penting di ruang tamu. Perempuan dulu tidak boleh bersekolah, kecuali mereka yang ningrat. Bahkan peran wanita didiskreditkan dengan singkatan 3 M (Masak, Macak, Manak).

Saat ini wanita sudah diperbolehkan bersekolah, bekerja, dan menduduki jabatan pemerintahan. Emansipasi wanita saat ini lebih diartikan bahwa wanita tak hanya bisa setara dengan pria dan memegang jabatan-jabatan penting di pemerintahan, tapi justru bisa mengungguli pria. Kemudian para wanita mulai meninggalkan peran pokoknya, maka tak jarang wanita modern yang menjelma kaum urban tak lagi bisa memasak, atau lihai menggendong anak mereka sendiri. Alih-alih menikah dan mengurus rumah tangga, mereka lebih suka bercengkerama dengan laptop di dalam gedung pencakar langit, mengejar karier setinggi gedung tempat mereka bekerja. Mereka bersekolah tinggi dan berkarier hebat mengatasnamakan emansipasi. Lalu melupakan peran alami mereka sebagai wanita. Tentu tak semua perempuan modern demikian.

Rasanya ini mirip-mirip kasus para buruh yang tertindas karena kapitalisme, kemudian ketika dibela mereka justru sering mengadakan demo menuntut kenaikan gaji yang tidak rasional besarnya. Kurang ajar sekali, yang tadinya tertindas sekarang jadi ngelunjak!

Saya bukan menolak emansipasi, toh saya termasuk penikmat emansipasi dimana saya bisa bersekolah tinggi dan saya juga memiliki keinginan bekerja. Hanya saja, menurut saya pembagian peran itu perlu. Seperti pembagian kerja yang dikenal dalam dunia kerja, spesialisasi akan lebih meningkatkan produksi baik dari segi kualitas maupun kuantitas, ketimbang semua pekerjaan dari sektor hulu ke hilir dilakukan oleh satu orang yang sama. Contohnya ketika kita akan memproduksi sebuah kursi, akan lebih mudah ketika ada yg khusus menebang pohon menjadi kayu di hutan, ada yg khusus menggergaji balok-balok kayu dan menghaluskannya, ada yg khusus menyusun balok kayu dan menambahkan paku agar terbentuk kursi, ada yg khusus mengecat, dst.


Jadi menurut teori ekonomi, akan lebih menguntungkan sebuah wilayah memproduksi satu komoditas unggulan mereka dan menjualnya ke luar daerah tsb untuk membeli komoditas lainnya ketimbang memproduksi semua komoditas untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Duh, lagi-lagi tulisan saya melantur kemana-mana. Intinya saya hanya ingin bilang bahwa perempuan memang seharusnya berperan demikian sesuai dengan kodratnya. Toh terpilihnya peran wanita tentunya sudah disesuaikan dengan karakter perempuan, makhluk ciptaan Tuhan.

Memang seharusnya perempuan lah yang mengurus anak, karena mereka yg melahirkan anak sehingga perempuan memiliki sisi keibuan jauh lebih besar dari laki-laki. Katanya, perempuan itu multi tasking makanya perempuan sejak jaman dahulu kala diberi peran yg sedemikian rupa banyaknya. Tapi kadang perempuan modern lupa bahwa pemilihan peran yg sudah ditentukan dari entah peradapan jaman kapan, memang sudah diatur sesuai kecocokan fisik, psikologi, dan lain-lain.

Bagaimana jika peran wanita ditukar menjadi peran laki-laki? Bisa saja, jika dilatih. Toh sekarang chef dan koki terkenal didominasi laki-laki. Ada juga pembantu rumah tangga laki-laki. Tapi tetap saja, ibarat berbakat melukis dipaksa belajar bermain musik.

Sebenarnya ini tulisan lama yang mengendap di folder Draft di laptop saya, dan saya kehilangan hasrat melanjutkan tulisan ini, maka saya publish saja seadanya. Mungkin akan saya lanjutkan ketika saya sudah berhasrat menulis lagi tentang topik ini, karena topik mengenai wanita itu sangat luas. Saya belum menyentuh isu feminisme yang hingga saat ini belum saya pahami. Saya belum membahas mengenai wanita yang sering dipersalahkan karena mengundang hasrat lelaki untuk melakukan pelecehan seksual. Tapi mungkin lain kali saja.

No comments:

Post a Comment