Tuesday 22 November 2016

Menjadi Galak

Akhir-akhir ini saya merasa bertemperamen buruk. Sering marah-marah, gampang bete, sensitif, apatis, judes, dsb. Dan tidak hanya saya, orang-orang di sekitar saya juga saya rasa demikian. Entah ini karena saya yg udah terlanjur sensitif sehingga menilai mereka demikian, atau memang begitulah faktanya.

Padahal faktor pemicunya sering kali hanya hal-hal sepele. Sesederhana melihat barisan semut di dinding kamar, sesederhana digangguin para kucing pas lagi makan, sesederhana scroling timeline sosmed yg bikin baper, sesederhana liat kondisi rumah yg berantakan, sesederhana melihat cermin dan merasa gendut, sesederhana merasa warna kulit menggelap, sesederhana itu.

Padahal ya, semua tadi seharusnya bukan apa-apa.

Pada intinya jika ditelaah lebih jauh, semua faktor sederhana itu dapat diidentifikasi sbg sesuatu yg tidak beres, tidak pada tempatnya yang mengganggu saya dan membuat saya kesal. Sesuatu di luar keinginan saya, sesuatu yg tidak sesuai ekspektasi saya. Sehingga semua selalu berawal dengan, 'ih kok begini siiih?!' 

Walaupun semuanya tetep dikerjakan, walaupun akhirnya tetap saya yg membereskan rumah, tetap saya yg mengusir para semut di dinding kamar, saya juga tetap melakukan itu dengan mencak-mencak. Jadi apa bedanya jika saya melakukan itu dengan tidak perlu marah-marah, bukan?

Mungkin saja ini hanya faktor hormonal, mungkin saya hanya sedang PMS. Di sisi lain, PMS hampir tidak pernah mendorong saya menjadi seorang yg superjudes. Justru berbagai tekanan yg melanda jiwa dan batinlah yg sanggup mengubah saya menjadi seorang yg begitu menyebalkan.

Tapi capek kan, temperamen begini..

Lantas bagaimana caranya menjadi tetap ramah dan perhatian pada sesama, diantara sejuta tekanan? Mungkin saya perlu melakukan tension release. Melepas ketegangan. Tapi rasanya saya sudah terlalu banyak bersenang-senang tapi ketegangan tak jua berkurang. Yang ada justru saya merasa perlu menghukum diri saya sendiri setelah bersenang-senang, diantara deadline. Saya tidak layak bersenang-senang, lebih tepatnya belum layak. Teringat sumpah Gadjah Mada, tidak akan memakan buah palapa sampai menyatukan nusantara. Dulu saya merasa sumpah itu, apa banget, sok-sokan banget menurut saya. Tapi sekarang mungkin saya mengerti perasaan Mahapatih Gadjah Mada kala itu, ada perasaan bersalah ketika mencoba bersenang-senang sebelum kewajiban lunas terbayar.

Come on, semua orang pasti punya tekanan hidup masing-masing. Nyatanya tidak semua orang menjadi judes dan menyebalkan. Mereka saja bisa tetap ramah dan menawan, mengapa saya tidak? Nantinya ketika saya sudah kembali baik-baik saja, toh saya akan menertawakan diri saya sendiri yg bisa segampang itu bete cuma gara-gara hal-hal nonsense. So, marilah menunggu datangnya waktu itu sembari mulai mengendalikan emosi yg tidak perlu.

No comments:

Post a Comment