Saturday 5 November 2016

Masih dalam Pencarian

Tak perlu mati-matian mencari hal yang tidak dibawa mati.” –Emha Ainun Najib
Beberapa hari yang lalu saya ikut kelasnya Akademi Berbagi yang diisi sama Rene Suhardono. Yang membuat saya tertarik mengikuti kelas ini bukan karena pengisinya yang baru belakangan saya tau kalau beliau itu orang keren, tapi karena judul kelasnya Urip Iku Kudu Urup! Skills to design your life. Pas sekali buat saya yang sedang merasa mati di tubuh yang hidup. Sebenarnya saya sudah lama tau bahwa Akademi Berbagi sering mengadakan kelas dengan pembicara hebat soalnya kakak saya volunteer akber di Jember, tapi baru kali ini saya memutuskan untuk mencoba hadir di kelas akber. Sebelum ini saya sama sekali tidak mengenal mas Rene, saya baru mencari tau siapa Rene pas memutuskan daftar kelas akber. Dan ternyata beliau itu penulis buku yang saya sempat tertarik beli tapi belum jadi beli karena bukunya mahal :v
Jadi saya sama sekali belum pernah baca bukunya, apalagi tau bentukannya mas Rene.hehe

Dua jam sesi seru bersama mas Rene terasa sangat singkat karena ternyata beliau orangnya kocak abis. Kenapa gak ikut stand up comedy aja mas? Hehe. Sebenarnya mas Rene hanya melontarkan beberapa isu meresahkan yang sudah sempat saya pikirkan, yang terkubur oleh banyak hal permasalahan saya yang lebih urgent. Diantaranya mengenai bisnis pendidikan. Beliau menyinggung biaya Perguruan Tinggi yang begitu mahal, hanya demi mendapatkan selembar kertas ijazah dengan lambang tertentu. Seolah kita memang membeli selembar kertas, karena sering kali lulusan perguruan tinggi tidak siap bekerja dan tidak bisa apa-apa. Buktinya banyak kok lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Sistem pendidikan konvensional akan seperti Blue Bird saat muncul Gojek. Ada beberapa perusahaan yang sudah mengeluarkan teaser bahwa tidak tertarik pada selembar ijazah dan tingginya IPK.

Intinya memprotes sistem pendidikan formal di negeri kita yang masih sangat konvensional. Seorang anak dituntut menghapal semua materi pelajaran, dituntut mengejar ranking satu, dituntut kuliah di universitas ternama, dituntut segera lulus dengan IPK tinggi, lebih bagus lagi sudah mendapat pekerjaan sebelum lulus, dituntut langsung bekerja setelah lulus, kemudian menikah. Well, sebagai seorang anak saya mengakui adanya tuntutan tersebut dari orang tua saya.

Tanpa sengaja hidup kita di desain oleh orang lain dan lingkungan sekitar. Sering kali yang terpikir justru menyalahkan orang lain atau parahnya menyalahkan Tuhan:  yang menciptakan kita siapa, yang membentuk diri kita siapa? Jadi kalau kita tidak bahagia dan hidup kita hancur, salahin siapa? Padahal designer hidup kita ya diri kita sendiri.

Kadang saya merasa sistem yang ada itu tidak humanis. Semua orang dituntut sama, padahal di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar sama, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Mas Rene menganalogikan sebuah kelas yang berisi berbagai jenis binatang, lalu seorang guru meminta seisi kelas untuk memanjat pohon. Tentunya yang paling bersemangat adalah Monyet, dia dengan senang hati memanjat seberapa banyak pohon dan seberapa tinggi pohon yang ada. Gajah cukup kebingungan, kalau saya robohin pohonnya aja gimana pak? Dan yang merasa paling bodoh adalah Si Ikan, karena yang dia tahu hanyalah berenang. So, kenali dirimu sendiri, kenali potensimu.

Oh iya tentang mengenali diri sendiri, saya jadi mau cerita kalau beberapa hari yang lalu saya jatuh dari motor lagi. Jatuhnya pas berhenti di tikungan dan karena motor saya terlalu tinggi atau lebih tepatnya kaki saya terlalu pendek. Di tikungan itu ada lubang drainase yang secara kontur lebih rendah dari jalanan di sekitarnya. Oleh sebab itu, saya biasa berhenti sebelum tikungan. Tapi karena disitu ada orang lain, saya merasa aneh kalau saya berhenti terlalu mundur sebelum tikungan. Maka sayapun maju sedikit dan jatuh. Saya sering ditanyain sama orang-orang lantaran suka aneh kalau bawa motor. Misalnya dulu pas saya suka sengaja pelan-pelan biar kedapetan lampu merah, atau dulu mesti nurunin kaki kalau belok, atau mau nyeberang ke kanan tapi malah minggir ke kiri dulu, atau mau mundurin motor aja mesti turun dulu dari motor, dsb. Tapi itu semua saya lakukan dengan alasan, karena yang paling mengenali diri kita ya diri kita sendiri. Toh itu kan proses, sekarang saya tidak perlu menuggu lampu merah karena udah bisa ganti gear tanpa berhenti. Yang paling tau proses kita sampai dimana kan diri kita sendiri. Jangan kayak saya, pengen keliatan kayak orang-orang lain eh malah jatuh.

Passion is nothing without action. Tidak perlu koar-koar ke seluruh dunia atau setidaknya ke orang tua masing-masing, INI LOOOH PASSION SAYA. Karena mereka tidak peduli, toh yang mereka lihat itu creation. Saya sepakat dengan itu, karena selama ini orang tua saya termasuk yang membebaskan pilihan anaknya asalkan bertanggungjawab. Mereka cuma butuh bukti, seluruh dunia cuma butuh bukti bahwa passionmu itu ada wujudnya dalam bentuk kreasi. Kamu suka menggambar, kamu suka main musik, kamu suka menulis, tunjukkan kalau itu memang bisa menghasilkan uang, kalau passionmu ada wujudnya, kalau passionmu itu bisa buat hidup.

Pesan terakhir mas Rene, cari arah bukan tujuan. Toh kita tidak tau kapan kita mati, toh kalau arahnya sudah benar kita akan terus menuju tujuan yang benar. Kita tersesat bukan karena tidak tau mau kemana, tapi justru tidak tau berada dimana. 

Foto bareng Rene
Sumber: nyolong dari twitternya @EDUHostelJogja



No comments:

Post a Comment