Friday 29 March 2013

Ideal =Humanis (?)

Berbicara tentang sebuah kota ideal, beberapa saat yang lalu saat saya sedang mati gaya di sebuah tempat, secara tak sengaja saya menemukan sebuah buku yang menarik perhatian saya: After Orchard. Buku terbitan Penerbit Buku Kompas ini ditulis oleh seorang Indonesia lulusan Nanyang University yang mendapat beasiswa dan tinggal beberapa waktu di sana.

Sebuah buku yang membantu saya move on, karena pada saat itu saya sedang merasa kosong. Membuka pandangan saya akan sebuah sistem yang ideal tapi ironisnya justru mengarah pada dehumanisasi.

Poin pertama yang saya soroti mengenai Sumber Daya Manusia. Dimana telah menjadi sebuah sistem bahwa untuk bisa survive, kita harus memiliki kualifikasi tertentu dan lebih unggul dari semua orang. Sehingga hal ini memunculkan iklim persaingan yang begitu terasa. Dimana sistem ini otomatis akan membuang orang-orang yang tidak berkualitas, seolah mengatakan “Dunia sudah terlalu penuh sesak oleh manusia, mereka yang tidak berkualitas sebaiknya dimusnahkan.”

Sebenarnya sudah cukup banyak gagasan serupa baik yang muncul dalam komik seperti deathnote, maupun gerakan terselubung, yang terkadang menjadi topick obrolan teman-teman saya, tapi rasanya tak pernah memikirkan bahwa gagasan tersebut memang sedang terjadi secara halus. Misalnya dengan menjual produk makanan minuman tertentu yang sebenarnya berbahaya apabila dikonsumsi jangka panjang, secara tidak langsung ingin memusnahkan golongan yang secara ekonomi hanya sanggup membeli produk tersebut. Yang selamat adalah orang orang kaya yang sanggup mengakses makanan dan sayuran segar. Selain itu, dengan pressure yang tinggi akibat pola persaingan yang terjadi, menyebabkan angka bunuh diri meningkat. Dan ini merupakan salah satu bentuk seleksi alam yang lain. Akan tetapi pasti selalu muncul controversi, terutama dari aktivis pembela HAM. Mereka mengatakan bahwa toh setiap manusia memiliki hak hidup, jadi kita tak berhak dengan cara apapun memusnahkan suatu golongan, atau katakanlah kaum marginal.

Poin ke-2 yang saya soroti adalah mengenai sistem pendidikan di sana. Dimana untuk bisa masuk perguruan tinggi, yang nantinya akan mendapatkan gaji yang tinggi, maka haruslah bersekolah di Senior High School, sedangkan lulusan Vocational School tidak akan bisa diterima di perguruan tinggi. Lulusan Vocatonal School hanya bisa mengakses pekerjaaan yang gajinya tak seberapa. Sedangkan untuk bisa diterima di Senior High School maka harus berasal dari Junior High School, dan hanya lulusan Elementary School terbaik yang bisa diterima di Junior High School. Jadi sekalinya gagal pada tingkatan pertama maka tidak ada pilihan lain. Sehingga menanamkan sebuah paradigm bahwa kita tidak boleh gagal, dan memunculkan rasa takut gagal sedini mungkin. Sangat berbeda dengan sistem pendidikan di Indonesia yang begitu fleksibel, dan tidak pernah ada kata terlambat untuk berubah. Misalnya saat kita masih kecil dan hanya ingin bermain sehingga tak memiliki prestasi akademik yang gemilang, maka ketika kita beranjak dewasa dan merasakan pentingnya memiliki prestasi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak maka bisa saja kemudian kita berubah menjadi rajin dan berprestasi. Maka sah-sah saja ketika lulusan sekolah pinggiran yang tak dikenal diterima di perguruan tinggi unggulan di Indonesia selama dia berhasil lolos tes saringan masuknya.

Masih mengenai sistem pendidikan di sana, kita didorong untuk tak hanya berprestasi tapi juga mengikuti berbagai ekstrakurikuler yang bentuk insentifnya berupa poin. Dan sebenarnya tak hanya didorong tapi lebih cenderung dipaksa, karena hanya mahasiswa yang memiliki cukup poin yang boleh tinggal di asrama mahasiswa. Sedangkan yang poinnya kurang, harus menyewa kamar di luar kompleks universitas yang cukup jauh dan harganya berkali kali lipat dari harga kamar asrama dengan fasilitas pas pasan. Akibatnya memilih ekstrakurikuler bukan lagi berdasar minat dan bakat, tapi berdasar ekskul mana yang mampu memberikan poin lebih untuk bertahan hidup, dan itupun tak cukup hanya dengan mengikuti satu macam ekskul.

Poin ke-3, adalah mengenai kehidupan sosial. Berkaitan dengan persaingan, yang baik kasat mata maupun tak kasat mata di kota tersebut, berdampak pada pola kehidupan sosial masyarakatnya. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa masyarakat perkotaan cenderung bersifat individual ketimbang masyarakat sub urban. Tak bisa dipungkiri bahwa orang-orang yang RELA tinggal di kota metropolitan merupakan orang yang membutuhkan akses yang dekat dengan pekerjaannya, dengan kata lain yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga bisa jadi tak sempat mengenal tetangga kiri kanannya. Tak memiliki waktu untuk bersosialisasi. Bahkan menurut buku ini, banyak taman taman atau ruang terbuka publik di sana yang sebenarnya di desain sangat cozy tapi justru terlihat lenggang karena masyarakatnya tak memiliki waktu sekedar untuk duduk duduk santai dan mengobrol. Tipikal yang tidak bersusah-susah mencari teman untuk makan karena kesulitan menyamakan jadwal yang hectic, sehingga bila perlu membungkus makan siang untuk dimakan di meja kerja.

Sesuatu yang terlalu prosedural ternyata justru mejadikan manusia sebagai robot, sesuatu sistem yang niatnya ingin menjadikan kota humanis justru entah, terasa tidak humanis. Misalnya ketika pelayanan dokter di sana yang begitu prosedural, mengikuti diagram flowchart yang menganalisis gejala penyakit berdasar pola ya dan tidak, apabila ya maka begini apabila tidak maka begitu, dst sehingga sampai pada sebuah kesimpulan penyakit apa dan penanganannya bagaimana. Mengabaikan bahwa pada dasarnya manusia memiliki keunikan sendiri-sendiri, dengan kompilasi yang berbeda maka seharusnya penanganannya tak bisa diseragamkan meski memiliki gejala yang sama.

Entah, saya jadi merasa bersyukur tinggal di tempat saya tinggal sekarang. Meski jauh dari kata ideal, rasanya lebih manusiawi. Ketika se anti sosial apapun saya di sini maka tetap akan ada orang yang peduli dan sempat untuk sekedar say hello :)


No comments:

Post a Comment