Saturday 20 January 2018

Pariwisata (Part 1)

Saya selalu penasaran, gimana ya perasaan orang-orang yang tinggal di kota destinasi wisata tapi tidak terlibat dalam kegiatan wisata. Misalnya Bali atau Malang (well, mungkin Batu lebih tepatnya) yang selalu menjadi tujuan wisata tak peduli musim liburan atau bukan.

Pasalnya sebagai warga Kota Yogyakarta yang notabene juga termasuk destinasi wisata, apalagi setelah boomingnya film AADC 2, musim liburan atau long weekend selalu menjadi hal yang tidak menyenangkan buat saya untuk bepergian kemanapun. Macet parah, dalam kota dan hampir seluruh jalan utama selalu macet dan dipenuhi bus pariwisata yang gede-gede itu. Apalagi Malioboro dan sekitarnya. Mending di rumah saja deh, menunggu semua keramaian itu surut dengan sendirinya begitu liburan usai.

Tapi libur panjang natal dan tahun baru kemarin menurut saya jauh lebih padat dari biasanya. Penasaran jumlah kunjungan wisatawan ke Jogja memang meningkat sebegitu drastisnya atau hanya perasaan saya saja lantaran liburnya yang lebih panjang dari biasanya. Dan mungkin karena orang-orang sengaja mengambil cuti menggabungkan long weekend natal dan long weekend tahun baru. Jadi rasanya liburnya nggak kelar-kelar.

Well, mungkin kota-kota yang menjadi destinasi wisata lainnya sudah dilengkapi infrastruktur yang memadai. Sedangkan jalanan Jogja masih tergolong kecil-kecil, banyak mobil saja udah bikin macet apalagi bus. Btw sorry oot, tiba-tiba keinget aja lagi on going baca salah satu novelny Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie (sumpah, ini penulisnya ngakunya itu nama asli) yang mana mengambil sudut pandang dari sebuah bus dalam kota. Menarik, tapi mari kembali pada topik utama. Sehingga mungkin saja warga kota yang tidak terkait langsung dengan kegiatan pariwisata di kota tersebut tidak merasa terganggu dengan adanya wisatawan yang datang setiap hari.

Beberapa waktu yang lalu, saya membaca sebuah artikel dari tirto.id yang menyebutkan bahwa kegiatan wisata merupakan salah satu kegiatan yang merusak bumi. Tirto menyoroti data perhitungan emisi yang dikeluarkan oleh pesawat untuk perjalanan wisata. 

Tapi sebenarnya saya cukup ragu ketika membicarakan isu lingkungan dan global warming. Ada yang bilang ini merupakan bentuk penjajahan baru terhadap negara-negara semacam Indonesia. Jadi mereka menggembor-gemborkan isu global warming, supaya kita menjaga lingkungan dengan mengurang emisi sehingga mereka bisa seenaknya buang emisi. Senior saya pernah menjelaskan mengenai konsep carbon trading, REDD+. Jadi masalah lingkungan ini sebenarnya sangat kontroversial. 

Selain itu ada yang namanya statistic lies, dimana data statistik diputar balik penyajiannya sehingga menimbulkan persepsi tertentu. Data statistiknya tidak salah, jumlah-jumlahnya sesuai dengan yang sesungguhnya, namun pengolahan datanya disetir sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu fakta yang diinginkan.

Bagaimanapun, menurut saya wisata itu merupakan kegiatan tersier. Sebagaimana segala hal yang bersifat tersier, tidak heran bahwa wisata cenderung mahal dan menyasar masyarakat golongan tertentu yang mampu membayar. Turunannya, biasanya orang mau membayar mahal asalkan memuaskan. Mungkin hal itu juga menjelaskan perilaku masyarakat yang cenderung seenaknya ketika berwisata, misalnya buang sampah sembarangan: kan saya udah bayar nanti juga ada petugas yang bersih-bersih. Nah, ketika ada dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan ini, tapinya tidak ingin menghentikan kegiatan ini, maka mungkin bisa diatasi dengan semakin membatasi jumlah orang yang bisa mengaksesnya. Hal ini bisa dilakukan dengan menaikkan tarif, atau menyebarkan isu bahwa dengan berwisata anda turut merusak lingkungan. Ha!

Kendati demikian tak bisa dipungkiri bahwa berwisata juga merupakan kebutuhan setiap manusia. Toh wisata tidak harus mewah, banyak piknik murah meriah yang tak kalah membahagiakan. Salah satunya adalah wisata alam. Bahkan ya, dalam kunjungan saya beberapa waktu lalu ke Tebing Breksi, mereka hanya memungut biaya parkir dan tarif masuk seikhlasnya. Saya sering kali merasa senang tinggal di kota ini, yang orang-orangnya tidak oportunis memanfaatkan momen yang lagi ngehits. Begitu juga ketika beberapa tahun yang lalu semua orang latah naik gunung akibat film berjudul 5 Cm. Gunung Andong di Magelang yang super duper ngehits itu karena cenderung mudah bagi pemula, selalu ramai dikunjungi weekdays maupun weekend, masyarakatnya sadar wisata dengan menyediakan rumah-rumah mereka sebagai basecamp, mengelola parkir dengan baik, juga mulai membuka usaha jualan makanan dan minuman dingin di sepanjang jalan. Namun satu yang membuat saya senang, mereka tetap menerapkan tarif normal seperti kalau kita jajan dimana-mana. Padahal kalau mereka berniat mengeruk untung sebanyak mungkin, memanfaatkan fenomena ini juga bisa aja. Seperti misalnya yang jualan air mineral 600ml seharga 10 ribu rupiah. Adaaa tempat-tempat yang begitu, dan aku bersyukur Jogja dan sekitarnya tidak begitu.

Berbicara tentang pariwisata, ada beberapa hal yang cukup menggelitik. Salah satunya mengenai latah desa wisata, termasuk salah satunya di kampung saya. Saya merasa kadang-kadang mereka mengunik-unikan diri supaya punya nilai jual. Di kampung saya ada semacam pawai atau festival, atau apapun lah itu dimana kami akan berarak-arak mengenakan kostum tertentu. Ada perebutan pendanaan di sini, dimana kampung saya dan kampung sebelah ingin menjadi desa wisata agar mendapat dana kampung wisata dari atas. Saya sendiri sebagai warga (bukan asli) kampung ini, terkadang bingung apakah kami punya selling point?

Saya pernah berdiskusi dengan seorang teman, desa wisata yang sustain itu seharusnya menjadikan kegiatan wisata hanya sebagai kegiatan sampingan sehingga mereka tidak mengalami ketergantungan secara ekonomi dari sektor ini. Tapi yang sering terjadi, kebudayaan yang dijual di desa wisata cenderung buatan (branding) dan bukan merupakan value yang murni dari hasil budaya mereka. Waktu itu saya menceritakan kunjungan saya ke Kampung Adat Waerebo di Flores. Well, kapan-kapan saya ceritakan dalam postingan lain.

Setiap kegiatan pasti ada trade off nya, namun apakah sebanding? Yang banyak terjadi, justru alamnya rusak setelah dilakukan kegiatan wisata alam. Alih-alih menyejahterakan masyarakat, kadang kerusakan sosio kulturalnya tidak sebanding.

Mungkin seharusnya dilakukan semacam pembatasan jumlah pengunjung untuk wisata alam, sesuai dengan daya dukung dan daya tampungnya sehinggga tidak over capacity yang berujung merusak. Tapi sepertinya cukup susah mengukur daya dukung dan daya tampung untuk wisata alam. 

Berbicara mengenai pariwisata selalu menarik, sama menariknya dengan berkunjung ke tempat-tempat wisata itu sendiri. So, ini bisa jadi alternatif pilihan s2 saya selain manajemen transportasi dan socio spatial planning. Hmm.

No comments:

Post a Comment