Saturday 20 January 2018

Wajah Baru Bantul

Saya bukan warga Bantul, tapi sudah sangat familiar dengan sepanjang Jalan Raya Bantul yang adem itu. Dari sepanjang depan Masjid Agung Manunggal ke selatan hingga simpang Gose. Ke-familiar-an ini saya dapatkan semasa skripsi, bolak-balik survey yang penuh drama dan air mata. Akan saya ceritakan perihal survey ini di postingan berbeda.

Sudah lama saya tak berkunjung ke Bantul kota, mentok-mentok sampe Jalan Parangtritis doang. Dan baru beberapa hari yang lalu saya kembali ke Bantul dalam rangka menemani seorang teman untuk mengurus ijin penelitian. 

WOW, dan saya terperangah pada perubahan yang terjadi. Bantul sudah tak seperti yang saya kenal dulu. Well, mengambil penelitian di Bantul, terutama tentang penataan ruangnya, tentu saja membuat saya sudah pernah mendengar rencana penebangan pohon yang merusak aspal di sepanjang Jalan Bantul itu. Pun juga rencana penataan kawasan yang saya baca di dokumen RTBL Bantul yang berhasil saya dapatkan serta di dokumen RDTR Bantul. Tapi melihat langsung implementasinya tetap saja membuat saya tercengang. 

Sebegitu besarnya efek penataan kawasan terhadap citra yang ditimbulkan. Selama ini setiap saya berkunjung ke tempat-tempat yang masih asing bagi saya, saya berusaha merasa-rasakan citra kawasan/kota tersebut. Bagaimana sense of place nya, rasa apa yang ditimbulkan tempat baru tersebut bagi orang asing seperti saya. Lalu saya catat baik-baik dalam memori. Kadang bahkan saya merasakan ada sense yang sama pada tempat yang berbeda, misalnya sepanjang Jalan Jenderal Sudirman (jalan favorit saya di Kota Jogja) sense nya hampir sama dengan Jalan RE Martadinata di dekat Mall BIP, Bandung.

Pertama kali menyusuri Bantul setelah penataan, menurut saya rasanya seperti menyusuri Malioboro pasca penataan. Pandangan lebih luas, tidak terhalang oleh pepohonan. Masing-masing bangunan lebih terlihat, dengan fungsi-fungsinya. Jalan yang tadinya terbagi 4 ruas menjadi lebih luas setelah dijadikan 2 ruas. Pedestrian lebih apik, bersih, dan luas. Juga terdapat pergantian dan penambahan street furniture, yang biasanya memang dijadikan sebagai penanda kawasan. 

Secara umum penataan kawasan memang menjadikan fisik kawasan terlihat lebih baik dan lebih rapi secara visual. Akan tetapi saya menyayangkan citra kawasan yang ikut berubah dengan adanya perubahan ini. Saya sangat menyukai Bantul yang dulu, yang asri, yang mendamaikan ketika menyusuri sepanjang jalan depan Masjid Agung Manunggal ke selatan. Bahkan saya punya spot favorit buat rehat setelah lelah survey seharian. Biasanya saya ngadem di sebuah tempat makan yang jual es kelapa muda, jus, dan minuman dingin lainnya, yang terletak di jalur lambat deretan komersil antara Perpustakaan Bantul hingga Bank BRI. Di situ adem banget dengan adanya pepohonan yang sekarang sudah tidak ada lagi. Well, ketika melewati tempat itu lagi, saya sudah tidak berkeinginan untuk mampir. Mungkin saya harus mencari spot favorit lain di Bantul.

Ini bukan tentang benar dan salah, hanya masalah suka dan tidak suka saja. Saya lebih suka Bantul yang dulu, meskipun saya lebih suka Malioboro yang sekarang. Menata kawasan, kota, maupun wilayah selalu dilematis memang. Bagaimanapun penataan ruang tetap perlu dilakukan, sesuai dengan tujuan penataan ruang dalam UU nomor 26 tahun 2007: menciptakan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.

Kurang lebih beginilah wajah baru Bantul yang berhasil saya potret dari atas kendaraan. Ingin merasakan sendiri? Silahkan berkunjung :)

No comments:

Post a Comment