Friday 8 March 2013

Tentang Transportasi Publik

Terinspirasi dari pertanyaan spontan yang terlontar dari teman saya, “..kamu kemana mana naik TransJogja soalnya kamu anak mapala ya?” Teman saya mengira saya sebegitu cintanya dengan lingkungan berkaitan dengan title yang saya sandang: mapala, Mahasiswa Pencinta Alam. Tapi karena kami merasa title itu terlalu berat maka kami lebih suka menyebut diri kami Mahasiswa Penggiat Alam.

Sebuah ide terlontar dari teman saya ketika kami membicarakan jalanan jogja yang sudah semakin ramai oleh kendaraan, dengan membandingkannya dengan beberapa tahun yang lalu. Karena kami sama-sama orang asli jogja dan merasa tingkat kenyamanan kota kami sudah menurun. Menurutnya, sebaiknya dibuat peraturan yang tidak memperbolehkan orang luar jogja untuk membawa atau memiliki kendaraan pribadi yang bermotor. Karena selain menambah volume kendaraan yang memadati jalanan jogja dan menambah polusi udara, mereka juga secara tidak langsung menularkan kultur berkendaraan yang tidak menyenangkan karena cenderung tidak sabaran, berbeda dengan masyarakat jogja pada umumnya.

Disini saya tidak bermaksud rasis loh, karena rasis itu berkaitan dengan asal suku daerah, warna kulit, dsb. Tapi saya lebih menekankan pada karakter, dan karakter itu sangat bisa diubah, dengan bersosialisasi bersama warga lokal misalnya. Seharusnya orang luar jogja yang menyesuaikan dengan pembawaan orang jogja yang cenderung nrimo, bukan justru sebaliknya. Saat ini perlahan orang-orang jogja harus menyesuaikan dengan tabiat orang non jogja apabila tak ingin kalah. Sekali lagi, saya tidak bermaksud mengkotak-kotakkan orang jogja dengan non jogja, dan memang tidak semua pendatang begitu kok. Toh ini sudah menjadi resiko Yogyakarta, menjadi kota pelajar dan kota pariwisata, justru kedua profil kota tersebut yang menjadi spread effect bagi perkembangan kota. Wah kok malah melebar.
Lalu, apa sarana mereka dalam bermobilitas? 


Well, jawabannya adalah transportasi publik yang memadai. 

Tapi seperti kita ketahui bersama, transportasi public di negara kita bisa dibilang gagal menarik perhatian masyarakat untuk beralih dari transportasi pribadi ke transportasi umum. Alasannya, berputar dan berkaitan dengan ketidaknyaman dan ketidakpraktisan. 

Tiba-tiba teringat sebuah kalimat salah satu dosen saya, “Supply created is our demand.” Jadi apabila ingin masyarakat beralih ke transportasi public, maka buatlah system transportasi yang menyenangkan: murah, aman, nyaman, efektif secara waktu, dan mudah di akses tanpa perlu jalan jauh. Dengan sendirinya apabila hal itu telah terpenuhi maka masyarakat akan beralih. 

Apabila tidak sedang terburu-buru, sebenarnya menyenangkan kok berkendara dengan transportasi umum. Berikut beberapa pengalaman menyenangkan berkendara dengan transjogja: 

  1. Bisa baca Koran gratis yang ada di halte transjogja sambil nunggu bus yang suka terlambat dari jadwal.hehe
  2. Bertemu dengan orang-orang yang berbeda bisa membuat kita sejenak melupakan masalah pribadi. Misalnya ketemu orang yang nggak seberuntung kita yang punya indra lengkap, setidaknya membuat kita semakin bersyukur dan sejenak menganggap masalah yang kita punya sangat sepele dibanding masalah mereka. 
  3. Berteman atau sekedar mengobrol sama orang yang kita temui di sana, otomatis menambah teman dan wawasan kan.
  4. Sekalian sedikit berolahraga dengan jalan santai dari rumah menuju halte yang letaknya tentu saja nggak persis di depan pintu rumah.
  5. Apabila cuaca sedang tidak bersahabat, misalnya panas terik atau hujan badai, nggak ngerasain efeknya separah kalo bawa motor sendiri. Well, kalo yang ini memang nggak bisa dipamerin sama para pengguna mobil pribadi sih. 
Hahaha, kedengarannya maksa ya. Mencoba berpikir positif aja sih sebenarnya. Hidup Transportasi Publik yang menyenangkan :)

Tapi menjadi lain apabila terdapat kepentingan lain yang mesti dibela. Seperti ketika saya mengunjungi nenek saya di Kebumen, saya merasa nggak rela mengetahui fakta bahwa biaya untuk mencapai rumah nenek saya dari batas kota lebih mahal dari naik bus dari Jogja ke kebumen lantaran transportasi yang tersedia hanya becak atau paling nggak ojek. Dan biaya naik bus itu hanya sekitar 15 ribu, sedangkan membayar becak tak mencapai kesepakatan harga di bawah 20 ribu. Padahal jarak Jogja-Kebumen berkali-kali lipat dari jarak menuju rumah nenek saya yang hanya sekitar 5 km dari batas kota. Kemudian saya bertanya-tanya mengapa tidak tersedia bus kota yang murah dan cepat. Ternyata saya baru menyadari belakangan bahwa hal itu dimaksudkan untuk membantu perekonomian masyarakat lokal yang banyak bekerja sebagai penarik becak. Saya pun tidak jadi kesal, justru trenyuh.

Jadi intinya saya masih harus mengambil mata kuliah Perencanaan Transportasi terlebih dahulu sebelum memperpanjang tulisan sok tau ini.haha


No comments:

Post a Comment