Tuesday 23 October 2018

My Daily Life


Well, bulan lalu saya menghabiskan Bumi Manusia nya Pram hanya dalam tiga hari. Tentu ada banyak hal yang bisa diambil dari novel popular ini. Kata-kata Jean Marais dimana kita harus adil semenjak dalam pikiran. Lalu pemikiran-pemikiran Minke, diantaranya adalah betapa menyenangkannya hidup tanpa harus berjalan menunduk-nunduk di hadapan kaki orang. Lalu bahkan saya jadi memikirkan bagaimana pribumi pada jamannya memperlakukan perempuan, dibandingkan bangsa kolonial memperlakukan perempuan. Lalu hal yang berkali-kali diingatkan, kita kaum terpelajar harus bersikap terpelajar pula. Dengan membaca novel Pram yang ditulis pada jaman segitu, yang konon kabarnya dia tulis di dalam penjara, tak bisa saya bayangkan betapa cerdasnya Pram. Lalu saya jadi penasaran background Pendidikan Pram, yang tentunya dia bisa menulis sedemikian rupa menunjukkan dia pasti juga kaum terpelajar. Apakah dia pribumi yang bangsawan?

Pada waktu yang bersamaan, saya sedang mengerjakan sebuah project untuk delineasi Kota Wates lama. Well, setelah saya menyelesaikan job menjadi surveyor untuk Kajian Pasar Tradisional di Kota Jogja, saya dijapri sama Mbak Bos tentang tawaran pekerjaan Kota Wates lama ini. Saya yang memang selalu tertarik pada sejarah langsung mengiyakan saja. Project ini mendorong saya untuk membaca literatur sejarah karena sejarah Wates erat kaitannya dengan sejarah masa kolonial Belanda. Salah satu literatur yang saya baca adalah tentang perubahan gaya hidup hedonis para pribumi yang berkuasa. Dalam literatur ini dijelaskan bahwa semenjak Pakualam IV terdapat sistem sewa tanah dimana tanah dapat disewakan selama puluhan tahun dengan dibayar di muka. Karena mereka pegang uang, maka dihamburkanlah. Salah satu tempat dansa dansi nya adalah yang sekarang menjadi Taman Budaya.

Ada juga beberapa literatur berbahasa inggris yang terpaksa saya baca karena disodorkan bos untuk dipelajari. Dari sini saya mengetahui istilah bangunan indische yang selama ini kita sering dengar dan gunakan merujuk pada bangunan reinassance yang telah mengalami adaptasi dengan iklim tropis di Indonesia. Lalu istilah vornstenlanden, istilah yang digunakan untuk menyebut daerah-daerah bekas kekuasan Kerajaan Mataram yang saat ini sudah terpecah menjadi daerah kekuasaan Kraton, Pakualam, dan Kasunanan Surakarta. Pikiran saya mulai melakukan sinkronisasi dengan apa-apa yang pernah saya tangkap sebelumnya. Salah satunya yang didapat dari jalan-jalan cantik di Jakarta tempo lalu dimana saya sempat mengunjungi Museum Jakarta di Kota Tua, tulisan-tulisan dari Buku Ekspedisi nya Kompas yang seri Ekspedisi Anyer-Panarukan, lalu kembali membuka materi-materi perkuliahan terutama tentang teori perencanaan dan teori keruangan. Juga karena ada literatur yang membahas tentang Batavia dan Kota Semarang, pikiran saya sibuk mensinkronisasi pengalaman saya ketika berkunjung ke kedua kota tersebut.

Itulah mengapa, saya selalu tertarik pada kota bersejarah. Saya senang mengunjungi tempat-tempat itu sambil mengkonstruksi dalam pikiran saya, artikel-artikel yang saya baca mengenai apa yang terjadi di tempat itu pada masa lalu. Begitupun ketika saya belajar materi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) untuk CPNS, pikiran saya melalangbuana pada tempat yang sedang saya baca itu. Pada kunjungan saya ke Jakarta setahun lalu untuk mengikuti tes CPNS di Bappenas, sehari sebelumnya saya datang kesana berniat cek lokasi. Cuaca yang begitu terik menghantarkan kami menyeberang ke Taman Suropati yang cantik nan meneduhkan itu. Lantas saya membuka maps untuk orientasi sekitar, dan ternyata dalam lingkup walkable distance, terdapat Museum Proklamasi yang mana dulunya adalah Rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol nomor satu. Kami pun memutuskan mampir kesana, dan ini cukup berkesan karena materi tentang ini masih segar dalam ingatan sehabis dibaca beberapa hari terakhir.

Yang menjadi fokus saya adalah tipologi bentuk kota atau konsep keruangan yang diperkenalkan oleh tokoh-tokoh ternama. Misalnya sebut saja Garden City nya Ebenezer Howard. Lalu Thomas Karsten yang hasil karya nya masih banyak ditemukan hingga saat ini di Indonesia. Lalu literatur tentang kota-kota di Indonesia yang merupakan kota bersejarah, dari sudut pandang sejarah kolonialisme dan tata ruang.

Hari-hari itu saya juga sempat mendatangi sebuah musikalisasi sastra di Taman Budaya. Dan mau tak mau saya membayangkan tempat ini di masa lalu ketika masih menjadi tempat dansa-dansi para bangsawan. Bayangpun saja pikiran saya sepenuh apa dengan hal yang campur aduk ini, mencoba menghubungkan, mencari benang merah, dan merekonstruksi seolah saya hidup pada jaman itu.

Beberapa waktu yang lalu, saya sempat menemani dosen menghadiri rapat penyusunan KAK untuk suatu pekerjaan. Dalam suatu obrolan, beliau pernah bilang bahwa belajar yang asyik itu bukan belajar dari text book tapi belajar yang dipaksa karena tuntutan pekerjaan. Saya setuju sekali, salah satu yang saya pikir-pikir ulang kalau mau ambil s2, saya tau ilmu saya masih cetek dan saya butuh sekolah lagi, tapi ada suatu kekhawatiran bahwa ilmu itu tidak langsung bisa saya aplikasikan. Walaupun, tentu saja di dunia ini tidak ada perbuatan positif yang sia-sia. Kalau tidak langsung bisa terasa manfaatnya saat ini, pasti akan berguna di kemudian hari. Dosen saya menganjurkan mengambil semua pekerjaan sekalipun yang belum kita pahami, dengan catatan kita akan tercambuk untuk belajar dalam rangka menjaga kualitas dari nama yang kita bawa, sebut saja nama besar Gadjah Mada. Maka itulah yang saya lakukan, mengambil pekerjaan-pekerjaan yang tak terlalu saya pahami, agar supaya saya terpaksa belajar lagi.

Dalam kesempatan berbeda, dosen saya ini membahas tren generasi milenial dalam memandang hunian. Alih-alih menabung untuk membeli rumah, mereka justru menabung untuk piknik. Dalam hati lalu saya bersorak, well saya salah satunya. Generasi terdahulu memandang rumah sebagai tempat tinggal seumur hidup sedang generasi saat ini cederung pragmatis. Ketika masih sendiri tidak masalah tinggal di apartemen studio, begitu pula ketika masih berdua dengan pasangan. Ketika mulai memiliki anak, mereka bisa pindah ke apartemen atau rumah yang lebih besar. Akhir-akhir ini saya banyak membaca artikel yang mengabarkan bahwa generasi saat ini terancam tidak mampu membeli hunian dengan pendapatan mereka sendiri tanpa adanya subsidi dari pemerintah. Artikel nyinyir lainnya mengatakan bahwa salah satunya disebabkan gaya hidup anak sekarang yang suka nongkrong di kafe-kafe fancy, ketimbang nabung buat beli rumah. Tapi kemudian ada yang menganalisis fenomena ini sebagai bentuk pelarian karena rendahnya affordabilitas untuk membeli hunian, sehingga justru menghidupkan gaya hidup ngopi-ngopi cantik yang mana masih affordable buat mereka. Sementara itu di negara-negara establish, hunian pertama (rumah tinggal pertama, bukan sebagai investasi) sudah menjadi jaminan untuk warganya.

Tapi sebenarnya pemerintah kita, lewat PUPR sudah berupaya menyediakan perumahan lewat skema-skema yang saya masih gak terlalu paham. Oke, nanti belajar lagi tentang ini deh. Well, fokusnya tentu saja untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Di Sleman sendiri terjadi backlog perumahan bagi MBR namun surplus bagi kalangan atas. Herannya waktu dibilang surplus, ketika pengembang membangun tetep laris juga. Ada indikasi money laundry yang menyebabkan distorsi market, dan juga ulah appraisal sih ini. Kompleks banget emang ini Sleman, udah moratorium tapi tetep aja banyak kecolongan. Bahkan ada apartemen yang berada di daerah resapan air dan memotong urat air. Dosen saya bilang, sebagai anak Teknik sebenernya bisa aja asalkan menyiapkan rekayasa ruangnya untuk mengatasi permasalahan yang ada. Tapi lalu saya teringat kata-kata dosen Geomorfologi saya, manusia bisa aja merekayasa macam-macam tapi kalau struktur geologi dan geomorfologinya sudah begitu, pada saatnya dia akan kembali pada fitrahnya. Maksudnya apa? Misalnya bisa aja nih kita merekayasa membelokkan aliran sungai dengan bendung dan segala macamnya untuk kepentingan tata ruang kita saat ini, tapi pada saatnya nanti mungkin aja aliran sungai itu akan kembali sesuai aslinya dan menimbulkan banjir bandang di masa depan. Atau daerah yang terletak di atas patahan, ketika waktunya terjadi pergeseran lempeng ya siap-siap aja kena dampak gempa. Jadi faktor geologi-geomorfologi ini sebenernya ndak bisa ditawar-tawar sih kalau dari sudut pandang geografi. Tapi dari sudut pandang Teknik, ya gimanapun harus bisa rekayasa dong, kan anak Teknik. Mirip-mirip lah sama tarik ulur Arsitek dan Teknik Sipil. Kalau anak arsi mendesain bangunan terlalu realistis dengan struktur yang bisa dibangun oleh sipil, tentu desainnya akan biasa-biasa aja dan kurang all out. Disitulah kerja keras anak Teknik sipil, untuk mewujudkan mbuh piye carane supaya desain bangunan anak arsi bisa tetap berdiri dengan kokoh. Jadi sebenernya ke-multidimensi-an ilmu ini sangat menarik ya..

Lalu pengen bahas tentang film dan buku-buku yang belakangan ini saya baca juga sih, tapi ini aja udah kepanjangan. Sekian dulu sis and bro..


No comments:

Post a Comment