Tuesday 2 January 2018

Page 1 of 365

Well, saya mau ikut-ikutan challenge menulis semacam #30HariBercerita atau apapun itu, demi menghidupkan kembali blog ini setelah sekian lama mati suri. Mau sependek apa dan se-nggak penting apa tulisannya, nanti dulu deh. Yang terpenting adalah konsisten menulis. Karena lagi gak punya topik menarik untuk dibahas, saya mau membahas film yang baru saya tonton semalam aja. Judulnya Bad Genius, film Thailand tahun 2017. Cukup recommended ditonton sih, menurut saya.

Film ini bercerita tentang seorang penerima beasiswa yang super pintar lalu membisniskan contekan ke teman-teman sekelasnya dengan bayaran mahal. Berawal hanya membantu sang teman dekat, lalu pihak yang diberi contekan ketagihan menyontek. Konflik berlanjut ketika mereka bukan hanya menyontek untuk ujian sekolah tapi juga untuk ujian masuk universitas! Gila banget, mereka gak mikir apa, kalo berhasil masuk Boston dengan cara curang memangnya mereka bisa survive di sana. Dalam artian, seleksi masuk memang ditujukan untuk menjaring orang-orang yang kompeten belajar di sana. Soal ujian di perguruan tinggi itu essay coy, bukan pilhan ganda.

Film ini mengingatkan pada cerita seorang teman yang juga merupakan penerima beasiswa, dimana dia bersama teman-teman penerima beasiswa lainnya saling bekerja sama memberikan contekan ujian pada teman-teman non beasiswa hanya supaya mereka semua bisa lulus.

Lalu saya juga jadi teringat beberapa teman saya dulu yang menjelang Ujian Nasional bukannya sibuk belajar justru sibuk mencari handphone paling kecil dan tipis, yang tentu saja kita tahu untuk apa.

Dulu jaman SMA, saya banyak menemukan tulisan bernada iklan layanan masyarakat yang intinya: menyontek itu akar dari korupsi, kalo dari mudanya udah suka menyontek gak heran kalo kedepannya jadi koruptor. Dan juga secara logika, ketika kita berhasil lulus dengan cara menyontek lalu ijazahnya kita gunakan untuk mencari pekerjaan, apakah nantinya pekerjaan kita barokah?

Saya tidak munafik, saya tentu saja juga pernah menyontek dan memberikan contekan. Lalu sikap saya tentang contek menyontek ini? Sesekali boleh aja asal gak kelewatan. Batas kelewatan itu yang gimana? Tanya aja hatimu, dia tau kok.

Lalu isu plagiarism yang sudah menjadi isu mahasiswa sekarang ini. Skripsi atau penelitian seseorang dikatakan tidak plagiat selama mengambil fokus, lokus, dan metode yang berbeda dari skripsi atau penelitian yang sudah ada. Minimal salah satunya berbeda, maka bisa dikatakan tidak plagiat. Selain plagiat yang jelas-jelas nyata plagiat, misalnya mengutip tanpa mencantumkan sumber, ada juga plagiat yang masih dalam bentuk ide. Tapi berhubung gagasan itu tidak memiliki hak cipta, maka sepertinya masih sah saja plagiat dalam bentuk ide. Seseorang pernah bilang, toh di dunia ini tidak ada ide yang benar-benar otentik. Akui saja, dengan terinspirasi dari buku, film, maupun dari lingkungan sekitar dalam kehidupan sehari-hari sudah bukti bahwa ide itu sudah ada, hanya saja belum diklaim dan belum direalisasikan menjadi sebuah karya. Tapi tetap saja idenya tidak otentik tercipta dari pikiran kita semata. Well, selama masih etis sih silahkan saja mencuri ide dari mana saja dan jadilah orang pertama yang mengaplikasikan ide tersebut menjadi karya nyata.

Satu lagi, film ini mengingatkan saya pada sosok yang belum lama ini ramai di pemberitaan: Dwi Hartanto dan seluruh kebohongan prestasinya. Kita tidak meragukan bahwa dia pasti cerdas dengan bisa menempuh program doktoral di TU Delft Belanda, namun kita menyayangkan saja atas sikapnya yang tidak etis.

Well prestasi itu penting, tapi di atas itu semua etika jauh lebih penting. Begitu sih yang ditanamkan dosen pembimbing saya. Oh iya, saya masih berhutang cerita tentang dibalik terbitnya Si Buku Biru aka skripsi saya. Masih berupa draft kasar banget, semoga saja tulisan satu itu bisa segera saya posting di #30HariBercerita. So, tunggu saja..

No comments:

Post a Comment