Tuesday 31 October 2017

Post Graduation Syndrome

Sebenarnya sungguh sangat terlambat bagi saya untuk menulis ini, setelah graduasi berselang lima bulan lalu. Tapi biarlah, toh ini bukan koran yang harus selalu menyajikan informasi terkini. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, ingin kabar aktual dari saya silahkan japri. Heuheu

Setiap orang yang pernah bersekolah tentunya pernah mengalami masa seperti ini. Faktor pembedanya adalah seberapa lama masa ini bertahan, atau seberapa dalam sindrom ini mengobrak-abrik rasa dan kehidupan seseorang. Lantas sebenarnya apa sih definisi dari post graduation syndrome? Seorang teman pernah menulis bahwa istilah post graduation syndrome mengacu pada istilah post power syndrome. Mudahnya, istilah post power syndrome menggambarkan kondisi poltisi yang baru turun dari masa jabatan dan masih mendamba kekuasaan seperti ketika masih menjabat. Jadi kurang lebih istilah post graduation syndrome bermakna sindrom yang mendera orang-orang seusai diwisuda.

Well, sejujurnya saya tidak tahu apakah istilah ini memang benar adanya atau hanya istilah yang diciptakan manusia-manusia jaman sekarang untuk mendeskripsikan apa yang mereka rasakan. Sebagian orang mengalami kebingungan dan/atau kekosongan setelah ceremony graduasi yang penuh hingar bingar kebahagiaan, setelah sebelumnya bersusah payah mengusahakan kelulusan. Lantas menjadi hampa setelah hingar bingar ini berlalu, lalu dihadapkan pada berbagai pilihan sulit yang berkaitan dengan masa depan. Pertanyaan macam ‘setelah ini mau kemana’ atau ‘planning selanjutnya apa?’ akan menjadi pertanyaan template yang muncul baik dari diri sendiri maupun dari orang sekitar. Kita dihadapkan pada pilihan mencari pekerjaan, melanjutkan studi ke jenjang selanjutnya, bahkan menikah.

No offense, saya menjumpai banyak dari mereka yang kemudian memilih lanjut S2 sebagai pelarian ketika tak kunjung mendapatkan pekerjaan yang mereka inginkan. Walaupun demikian, sebagian yang lain murni ingin belajar.

Post graduation syndrome kian menjadi bagi saya, ketika satu persatu teman-teman saya melanjutkan kehidupan mereka masing-masing dengan pindah ke kota lain. Mengingat kejayaan masa lalu (kayak pernah jaya aja), saya merasa lately kehidupan saya menjadi kurang berwarna. Saya merasakan kemunduran, terutama setelah beberapa kali apply pekerjaan dan ditolak. Bagaimanapun segala bentuk penolakan memiliki dampak tersendiri secara psikologis, sekecil apapun, disadari maupun tak disadari.

Sampai sekarang saya masih beranggapan bahwa pekerjaan (terutama di bidang saya) itu ada banyak sekali, apabila memang tak terlalu picky. Kendati demikian, masih ada saja teman saya yang menganggur. Kenapa saya bisa bilang begitu? Well, saya dan teman-teman saya pernah mengerjakan beberapa project sekaligus sampai rasanya hampir keteteran. Padahal sebenarnya bisa saja pekerjaan itu dibagi dengan orang lain. Tapi nyatanya, tidak semua orang mau mengerjakan pekerjaan macam ini. Alasannya bermacam-macam, dari honor yang tidak seberapa hingga masalah idealisme.

Hanya berselang beberapa hari setelah ceremony graduasi, saya memasukkan lamaran pekerjaan di suatu konsultan di kota tetangga. Namun sebelum pengumuman, saya ditelpon teman dan ditawari membantu proyek dosen. Akhirnya dengan berbagai pertimbangan, saya memilih mengambil proyek ini dan melepas panggilan wawancara yang datang beberapa hari setelah saya mengiyakan proyek ini. Bertemu dengan orang-orang baru dengan karakter yang menyenangkan, dengan sendirinya menciptakan suasana kerja yang menyenangkan. Bersama mereka, saya betah lembur hingga malam. Meskipun belum memiliki sistem kerja yang ideal, saya enjoy bersama mereka. Toh seberat apapun pekerjaan selama kita bersama partner kerja yang menyenangkan, bukan masalah kan?

Berbicara tentang project-project yang pernah saya bantu pengerjaannya, ada beberapa yang cukup menyentil. Beberapa teman mengatakan bahwa saya ini tipikal yang idealis atau sok idealis malahan. Contohnya saja ketika kami diminta membuat justifikasi pemilihan lokasi untuk suatu pembangunan, dimana eksistingnya lokasi pembangunannya merupakan sawah produktif. Atau ketika kami diminta melakukan kajian pemekaran kecamatan namun konfigurasi desanya sudah ditentukan secara top down demi mendukung politic will. Segitu saja saya sudah merasa resah dan penuh dosa. Atau ketika ada beberapa rekan kerja yang saling membicarakan keburukan rekan kerja lain di belakang, saya sudah merasa muak dan jengah.

Well, selamat datang di dunia kerja yang penuh tantangan dan senggol-bacok. Lagi-lagi mengutip kata teman, yang terpenting kita mau berproses beradaptasi dengan lingkungan sekitar sehingga kita akan terbiasa dan bisa bertahan menghadapi gempuran faktor penyebab depresi. Oh iya, bahasan mengenai stres dan depresi yang akhir-akhir ini begitu mewabah di generasi kita, akan saya posting menyusul. 

No comments:

Post a Comment