Thursday 6 September 2018

Reply

Aku menghabiskan sesorean ini berhadapan dengan laptop, berusaha menyelesaikan pekerjaan yang walaupun sudah dikerjakan setiap hari namun tak kunjung beres. Sengaja aku datang ke tempat ini: mencari suasana, mengusir suntuk. Mungkin sekaligus refreshing.

Aku suka tempat ini, bangunan berdinding kaca yang membuat kesan setengah outdoor, dengan banyak pepohonan di luarnya, juga interiornya yang modern dan fresh. Aku duduk di tempat favoritku seperti biasa, di samping jendela di dalam sebuah kafe kecil yang terletak di pedalaman kotaku, bukan di pinggiran jalan besar.

Handphone ku berdering, telepon dari seorang kawan lama. Salah satu sahabat terbaikku.

'Halo, kenapa mas?' Sapaku seperti biasa.

'Lagi dimana dek? Lagi sibuk yah?'

'Eh, enggak kok. Kenapa mas?'

'Ah bohong nih, pasti lagi sibuk kan? Sibuk terus nih..'

'Enggak kok, yeee..' ujarku sambil menutup laptop. Aku memang mulai jenuh, pas sekali dia menelepon.

'Eh bentar lagi aku mau ngelamar orang nih..' ujarnya tiba-tiba.

Hening. Aku terdiam sejenak, kaget luar biasa. 'Oh iyaaa? Waaaah, siapa mas? Kapan lamarannya?' seruku bertubi-tubi.

Aku tau suatu hari, ini akan terjadi. Dia adalah teman yang sudah kukenal hampir sepuluh tahun lamanya, yang kemudian belakangan menjadi sahabatku dalam berbagi segala hal. Tapi tentu aku juga harus berbahagia untuknya, bukan.

'Rahasia..', jawabnya.

'Loh, kok gitu? Trus ngapain nelpon kalo gak mau ngasih tau yeeee..' Aku benar-benar penasaran, karena yang kutau akhir-akhir ini dia tak dekat dengan seorangpun wanita. Ternyata aku sudah kecolongan, seperti dulu, dan selalu begitu. Selalu terlambat tau tentang kisah percintaannya.

'Gapapa dong, biar kamu siap-siap aja. Kan abis ini belom tentu kita bisa temenan kayak biasanya, belom tentu kita bisa telponan kayak gini juga..'

Aku merasa sesak, bagaimana mungkin bisa kubayangkan.. 'Ahahaa.. iya..'

'Eh udah dulu ya, aku mau pergi nih..'

Dan telepon terputus begitu saja. Aku setengah mati menahan air mataku tumpah, tak perlu lah aku menjadi bahan tontonan semua orang. Memang, sudah lama aku memendam rasa padanya. Bisa berteman akrab dengannya saja aku sudah merasa senang. Tak pernah kutau dan tak ingin juga mencari tau, apakah bahkan dia tau tentang perasaanku. Dadaku sesak, sangat sesak. Akhirnya salah satu teman terbaikku akan menikah.

Air mata yang kutahan-tahan itu akhirnya jatuh juga, aku menangis dalam diam. Tak perlu lah ada yang tau bahwa aku sedang menangis, cukup aku saja seorang.

Tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Dia, teman terbaikku yg baru saja meneleponku tadi, datang dengan dua cup gelato di tangannya. Masing-masing berisi dua skup dengan dua varian rasa berbeda, salah satunya favoritku.

Aku kaget luar biasa, bagaimana mungkin dia mendadak muncul di kota ini, dan bisa tepat di tempat ini pula. Bukankah dia seharusnya sedang berada di kota lain? Dan terutama, bagaimana pula kusembunyikan wajah sendu patah hatiku ini?

'Loh mas, kok di Jogja?' ujarku terbata.

'Ahahaa iya nih, lagi pulang aja.'

'Tapi kok bisa ada di tempat ini juga?' Masih heran aku dibuatnya, atas kemunculannya yang mendadak itu.

'Bisa dong, lagian ini kan neighborhood rumahku. Harusnya aku dong yang nanya, km ngapain nyampe sini dek..'

Belum sempat kujawab, dia sudah bertanya lagi. 'Eh km nangis ya? Km nangis abis aku telpon? Ahahaaa..' akhirnya dia sadar juga dan malah sibuk menertawakan aku. 'Aku tadi lagi lewat sini, terus ngeliat kamu, trus iseng jd pengen mampir..' jelasnya.

Ternyata aku memang dikerjainya, dia sudah duluan melihatku lalu pura-pura menelepon sebelum mendatangiku langsung. Kurang ajar betul, dimana harus kusembunyikan mukaku ini.

'Heh! Nyebelin, ngerjain orang nih ya. Jadi km tuh beneran mau lamaran enggak nih mas?'

'Jadi dong, kalo diterima..' jawabnya mantap.

'Loh, emang belom bilang? Siapa sih, aku penasaran banget tauk..'

'Seriusan, kamu belom tau?' tanyanya dengan raut heran sembari duduk menjajariku.

'Aku kenal?'

'Kenal'

'Siapa deh? Aku belom denger gosip apapun nih. Lulusan sekolah kita juga?'

Dia hanya mengangguk sambil tersenyum simpul. Aku makin penasaran, pikiranku mengembara pada mantan-mantannya di masa lalu. Dia memang beberapa kali berpacaran dengan anak satu sekolah kami.

'Siapa sih? Angkatanku atau angkatanmu mas?'

'Angkatanmu.'

Aku mulai berprasangka. 'Jangan bilang, km balikan sama si itu ya?' kataku menyebutkan nama salah satu mantannya sambil menyipitkan mata.

Dia hanya menggeleng, masih dengan senyum jenakanya. Oh god, sebentar lagi aku tak akan bisa memandangi senyum ini lagi.

Siapa lagi? Setauku mbak itu adalah satu-satunya mantannya di angkatanku. Aku kehabisan ide, tak tau hendak menebak siapa lagi.

'Siapa?' tanyaku pasrah, tanpa bayangan dalam benakku.


'Kamu'


Aku terhenyak, hanya mampu terdiam beberapa saat. Lantas bertanya, 'Kenapa?'

'Masih inget obrolan kita di Jakarta waktu itu?'

'Yang mana? Yang aku tanya, lebih pilih nabung buat nikah atau nabung buat jalan-jalan?'

'Iya'

'Jangan bilang, kamu ngajakin aku nikah karena udah bosen solo travelling? Biar ada temen jalan?'

'Iya dong, kan jawaban kita udah sama. Jadi gimana?'

'You don't need to ask', kataku dengan senyum mengembang, sambil menyendok gelatoku. Tiba-tiba sore ini menjadi indah sekali.



***
Sesekali nulis drama picisan kek di atas boleh dong. Terinspirasi dari suatu sore yang syahdu di sebuah coworking space di kotaku. Juga mungkin efek membaca kisah Minke dan Annelies.

No comments:

Post a Comment