Wednesday 27 July 2016

Murdering Confusion From My Mind

Saya sedang butuh banyak racun sebagai penawar rasa. Misalnya playlist yang sama sekali asing ditelinga ketika sedang mengerjakan pekerjaan yang literally membosankan dan bikin baper. Udah membosankan, eh tiba-tiba terlintas dalam pikiran: akankah yang sedang saya lakukan saat ini bermanfaat? Setelah ini selesai apakah ini akan terpakai? Hal seperti itulah yang membuat pengerjaan yang harusnya mudah menjadi berjalan sangat lambat. Menyebalkan bukan? Makanya diperlukan pengalih perhatian sejenis sealbum penuh lagunya Pure Saturday, yang entah darimana saya dapatkan tiba-tiba ada di folder Leisure di laptop. Ternyata mendengarkan lagu-lagu ini cukup membuat saya adem dan minim emosi. Mungkin karena sebelumnya saya tidak pernah mendengarkan lagu-lagu ini sehingga tidak ada memori yang terbangkitkan ketika mendengar lagu-lagu ini. Mengapa mendengarkan lagu-lagu yang tidak sarat memori itu penting? Well karena saya orangnya baperan, sungguh mengganggu ketika mendadak baper di saat harus produktif.

Selama ini saya terbiasa hidup penuh racun. Saya membiarkan diri saya atau lebih tepatnya pikiran saya teracuni oleh segala hal yang bersentuhan dengan saya. Sesederhana apa yang saya lihat di sepanjang jalan menuju kampus, atau sesederhana berita di koran pagi itu. Dan ketika saya kehabisan stock racun pikiran karena semakin sedikit yang men-supply saya racun-racun pikiran ini, saya mulai sakaw. Tidak ada lagi kalimat-kalimat dari para dosen yang menjadi newsfeed otak saya untuk melakukan brainstorming, lantaran saya sudah hampir dua tahun vakum kegiatan perkuliahan.Tidak ada lagi diskusi atau seminar-seminar dengan topik yang saya minati yang bisa saya datangi begitu saja. Tidak ada lagi obrolan random di lincak mengenai isu hangat nasional bahkan internasional. Tidak ada lagi partner diskusi mengenai hal-hal abstrak. Tidak ada lagi orang yang rutin bertanya mengenai keseharian hidup saya dan bercerita tentang keseharian hidupnya. Tidak ada lagi, sungguh tidak ada lagi supply racun bagi pikiran dan curiousity saya.

Sejauh ini saya hanya berhasil meracuni diri saya dengan membuat beberapa mini project. Salah satunya adalah belajar merajut, mumpung ada teman yang dengan senang hati dan penuh kesabaran bersedia mengajari saya.

Masih banyak racun-racun yang sudah masuk list untuk segera dihirup dan dihayati. Diantaranya banyak belajar mengenai hal-hal baru seperti menyetir mobil dan berenang, atau belajar hal-hal (yang mereka sebut keahlian wajib perempuan) sejenis menjahit dan memasak. Menghabiskan setumpuk novel dan majalah NatGeo. Jalan-jalan dan mengunjungi event seni di kota ini. Project bikin Daily Journal yang hingga hari ini tidak kunjung jalan karena saya kehilangan kemampuan menulis. Project bikin totebag kanvas sebagai target pertama belajar mesin jahit. Project belajar bahasa prancis dan belajar bahasa inggris lagi. Project jogging at least tiap minggu pagi. Dan beberapa project untuk mendekatkan diri pada sang pencipta. Sungguh, berhubungan dengan sang pencipta merupakan penawar rasa tersendiri.

Saya masih sangat kesulitan dalam belajar menyetir mobil, dan saya masih sangat bisa baper dengan aktivitas belajar mobil ini. Jangan tanya kenapa. Jadi untuk sementara sampai saya bisa menguasai diri saya sendiri, saya memutuskan untuk berhenti belajar nyetir dulu.

Sebenarnya seberapa pahitnya rasa yang saya telan sih, sampai sudah sebanyak itu racun yang saya jejalkan pada diri saya tapi rasanya selalu kurang. Mungkin saya memang sedang kecanduan, jadi dosisnya memang selalu nagih buat ditambah. Well, saya mungkin kecanduan asmara. Padahal asmara toh termasuk racun yang saya coba untuk menawar rasa. Dan ternyata racun yang satu ini berdampak lebih mengerikan daripada rasa yang sedang berusaha saya tawar itu sendiri. Saya menyesal coba-coba.

It’s look like i’m so hopeless and helpless but why i still do every single that fuck things? Padahal seorang yang sedang merasa terpuruk cenderung tidak melakukan hal-hal yang berkaitan dengan masa depan. Untuk apa saya belajar ini itu bila katakanlah saya tidak ingin hidup di dunia ini? Saya juga tidak mengerti, nyatanya saya merasa perlu menyibukkan diri dan pikiran saya dengan hal-hal yang positif.


Satu lagi, saya akui saya belum bisa berdamai dengan diri saya sendiri. Saya masih selalu merasakan desiran ketika berhubungan dengan sesuatu yang tidak pernah saya miliki atau gagal saya dapatkan. Seperti ketika saya berinteraksi dengan para mahasiswa kedokteran karena saya tidak berhasil menjadi salah satu dari mereka. Atau ketika berinteraksi dengan perempuan yang mampu memenangkan hati seorang lelaki yang pernah saya dambakan. Atau ketika teman saya mencibir hal yang baru saya dapatkan saat ini lantaran dia sudah mendapatkannya dari dulu dan sudah bosan kemudian meninggalkannya. Prek! Rasanya seperti sedang memacari mantan pacarnya temen deket kita. Oke, secara sederhananya semua itu bisa digantikan oleh satu kata: cemburu. Tapi tenang saja, saya tidak akan pernah membiarkan rasa cemburu mengiris hati ini berkembang menjadi something like iri dengki membunuh jiwa. Caranya? Dengan sejuta racun, biarlah kuluruh rasa.


No comments:

Post a Comment