Wednesday 20 July 2016

Kita Masih Teman, Kan?

Beberapa waktu yang lalu saya berkumpul kembali bersama dua orang sahabat baik saya waktu SMA. Sudah sekitar setahun ini saya tak bersua dengan keduanya. Salah satunya baru pulang dari Eropa, dan satu yang lain sudah menjadi guru yang bergelar ustadzah di sekolah islami. Sejak menginjak bangku perkuliahan, kami memang sudah jarang bertemu karena kesibukan masing-masing di tiga kampus yang berbeda. Kami masing-masing memiliki lingkaran pertemanan baru yang mungkin hampir sepenuhnya berbeda.

Tapi ternyata ketika kami memutuskan untuk bertemu kembali, saya masih merasakan dorongan yang menyebabkan kami berteman. Ternyata persahabatan kita tidak kadaluarsa. Just for your information, kami bertiga tidak pernah satu kelas selama SMA, dan juga kami bukan teman TK-SD-SMP. Dari segi kepribadian jelas beda, lingkungan pergaulan beda, gaya hidup beda. Lalu apa yang menyatukan kami? Sayapun tak tau. Just because.

Teman saya yang lain pernah mengatakan bahwa landasan pertemanan dibangun dari kebutuhan akan sesuatu. Maka akan dikenal teman yang datang hanya ketika dia butuh saja, dan yang selalu ada saat senang dan susah.

Saya setuju dengan pernyataan teman saya, meskipun saya tetap akan mengucapkan kalimat tersebut dengan nada datar biasa, bukan nada nyinyir. Menurut saya, setiap pertemanan pasti selalu mengandung kepentingan, sekecil apapun maksud yang tersembunyi tersebut. Minimal sesederhana pentingnya memiliki teman ngobrol.

Tapi bukankah memang demikian, buat apa berteman dengan orang yang hanya akan merugikan kita? Meskipun begitu, saya percaya bahwa setiap manusia itu tidak pernah selalu murni jahat atau sepenuhnya murni baik hati. Memangnya tokoh sinetron! Berdasarkan keyakinan saya di atas, menurut saya tidak ada teman yang hanya akan merugikan kita, suatu hari entah kapan pasti pertemanan itu saling menguntungkan kok. Dan kepentingan-kepentingan yang terselip itu tidak bisa dikotak-kotakkan hanya menjadi hitam dan putih. Jahat atau baik itu kan persepsi, tergantung dari sudut mana menilainya.

Misalnya si A berteman dengan si juara kelas agar ikutan jadi pintar menghitung matematika, disamping itu si A juga berteman dengan si anak hits biar ketularan jadi anak gaul kekinian. Lantas apakah si A telah menjahati si juara kelas dan si anak hits?

Terkadang yang lebih bisa selalu merasa dimanfaatkan sama yang lebih nggak bisa. Padahal nggak semua yang lebih nggak bisa hanya mengambil keuntungan dengan berteman sama yang lebih bisa.

Biasanya perempuan selalu memiliki minimal seorang sahabat. Tapi sepertinya saya tidak termasuk salah satunya. Bukan saya, yang memutuskan hubungan pertemanan atau sengaja menjadi anti sosial, tapi itu terjadi begitu saja. Menurut saya sebuah pertemanan itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Pertemanan itu hubungan yang terjadi secara alami dan naluriah, dan tanpa perlu diawali oleh pertanyaan sejenis, 'mau nggak kamu jadi temenku?' selayaknya dua orang sejoli yang akan menjalin hubungan lebih dari pertemanan. Pertemanan bisa terjadi karena kesamaan hobi, kesamaan rutinitas, kesamaan selera dalam memilih makanan, pakaian, atau karena bisa ngobrol asyik aja. Dan walaupun memiliki berbagai kesamaan tidak lantas menjadikan dua pribadi otomatis berteman akrab. Saya sendiri tidak bisa menjabarkan bilamana seorang individu bisa cocok berteman dengan individu yang lain, dan tidak bisa cocok dengan individu yang lainnya. Pertemanan itu terjadi begitu saja.

Sejujurnya saya menulis topik random ini karena saya merindukan teman-teman lama saya yang entah kemana, atau justru saya yang entah dimana hingga tak bersama mereka. Dan ternyata saya juga merindukan teman-teman yang hampir setiap hari masih bisa saya temui tapi tetap saja saya rindukan karena walau dekat terasa jauh. Toh yang dirindukan itu kan momen, bukan person.



No comments:

Post a Comment