Sunday 12 October 2014

Sedikit Berbagi Keresahan

Akhir-akhir ini segala hal yang muncul di depan saya menjelma keresahan.

Keresahan yang pertama muncul dari halaman Koran Kompas yang saya baca pada sebuah kesempatan. Berita yang tertulis adalah tentang kisruh pemilihan ketua DPR yang ramai diperbicangkan. Sepenangkapan saya, hal ini bermula dari adanya peraturan yang mengharuskan pengajuan calon DPR dilakukan dengan paket koalisi dengan minimal 5 partai. Berdasarkan peraturan yang berlaku, ada 10 partai yang mendapat kursi di DPR. Lima diantaranya telah tergabung dalam koalisi Merah Putih, sedangkan satu diantaranya, yakni partai Demokrat, memilih untuk tidak bergabung dalam paket manapun. Sehingga koalisi Indonesia Hebat, yang hanya terdiri dari 4 partai tidak memiliki kesempatan untuk mengajukan calon. Dengan begitu otomatis DPR dikuasai koalisi Merah Putih. Koalisi Indonesia Hebat yang merasa bahwa hal ini tidak adil tidak dapat melakukan apapun, kemudian memutuskan walk out. Dan seperti yang ramai diperbincangkan di social media, kabarnya palu yang semestinya digunakan untuk menetapkan putusan-putusan hilang atau lebih tepatnya disembunyikan. Pertama kali saya mendengar ini, saya hanya dapat terpana dan mengeluarkan dua patah kata: HOW CAN?
Selanjutnya, keresahan saya yang lain muncul ketika saya jogging pada suatu minggu pagi di lapangan GSP UGM. Ada sekelompok mahasiswa yang mengajak untuk menandatangani selembar kain putih untuk menolak RUU pemilihan kepala daerah oleh DPR. Well, saya pribadi juga menolak RUU tersebut, yang menurut saya mencuri demokrasi. Dan rupa-rupanya para mahasiswa juga merasa bahwa perlahan ada pihak-pihak yang ingin mengembalikan Indonesia ke jaman Orde Baru. Nah saya yang memang jarang mengikuti berita, apalagi berita yang berbau politik, beberapa yang lalu mendengar bahwa ternyata RUU ini telah disahkan karena menang dalam sidang paripurna DPR. Namun, SBY yang tidak senang dengan undang-undang ini langsung bertindak mengeluarkan Perpres yang notabene secara hukum memiliki hierarki lebih tinggi, yang isinya bertentangan dengan isi undang-undang tersebut. Otomatis undang-undang tersebut tidak jadi berlaku. Sungguh suatu kemubadziran dokumen perundang-undangan bukan?
Saya lantas teringat akan sebuah tugas kuliah, dimana kami mengambil studi kasus konflik pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulonprogo. Dalam konflik yang telah bermula dari tahun 2006 tersebut, pada mulanya menurut peraturan tata ruang setempat tidak boleh dilakukan penambangan pasir besi di kawasan tersebut. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, pada tahun 2010 dikeluarkan peraturan tata ruang wilayah yang lebih tinggi yang memperbolehkan penambangan. Otomatis, peraturan di tingkat daerah tidak berlaku lagi karena harus menyesuaikan dengan peraturan wilayah diatasnya. Ini terlihat seperti di negara kita ini terjadi peperangan antar lembaga pemerintah, berlomba saling mengakali di tingkat hierarki yang lebih tinggi. Sebagai seorang awam, saya merasa hal ini aneh dan meresahkan. Lalu apa kabar opini masyarakat di luar sana yang jauh lebih awam daripada saya?

Keresahan selanjutnya datang dari sebuah obrolan makan malam di sebuah resto. Kala itu ada teman saya yang membawa teman kost nya yang dari Myanmar. Di sudut meja itu tiba-tiba salah satu teman saya membahas mengenai Asean Economic Community yang akan berlaku di tahun 2015 mendatang. Setahu saya, perjanjian ini telah ditandatangani sejak tahun 2007 silam namun gaungnya baru terasa sekarang. Saat ini banyak negara-negara Asean yang telah mengirimkan warga negaranya untuk belajar Bahasa Indonesia dalam rangka menghadapi Asean Economic Community. Sedangkan kita masih tidak sadar, dan justru bangga ketika orang-orang dari negara lain tertarik belajar bahasa dan budaya kita. Kita yang tidak sadar ini dengan senang hati, welcome dan membantu dengan mereka yang ingin menguasai bahasa kita. Well, saya akui pemikiran ini memang terdengar ekstrem, tapi saya rasa ada benarnya juga. Sesungguhnya saya khawatir dengan perebutan dunia kerja yang mungkin akan saya masuki ketika saya lulus di tahun depan. Saya tidak membayangkan bahwa kali ini kita tidak hanya bersaing dengan sesama job seeker  Indonesia, tapi mungkin juga jobseeker dari negara lain. Sesungguhnya saya sangat khawatir kepada masa depan Indonesia dengan SDM yang seperti sekarang ini.
Mari berpindah pada keresahan saya yang lain. Keresahan ini selalu saya abaikan namun begitu terasa. Entah hanya perasaan saya yang baru saja pulang dari perbatasan Indonesia, sebuah kota di Natuna yang begitu tenang dan lenggang dari kendaraan bermotor, atau memang demikian keadaanya. Saya merasa Jogja, kota tempat saya menghabiskan 21 tahun hidup saya ini, semakin lama semakin penuh dengan kendaraan bermotor. Sederhananya, hal ini sangat terasa ketika mencari tempat parkir di jurusan, atau di pusat perbelanjaan. Parkiran begitu penuh sesak, tidak seperti pada tahun pertama saya kuliah. Dan juga sangat terasa ketika terjebak macet pada jam-jam sibuk di beberapa ruas jalan. Menurut berita yang saya baca di sebuah Koran dalam salah satu penantian saya di halte Trans Jogja, balik nama kendaraan yang masuk dari luar Jogja tidak dipungut biaya alias gratis. Hal ini tentunya mempermudah kendaraan dari luar untuk masuk ke Jogja. Kata ayah saya, kebijakan ini tentunya memang diambil untuk menguntungkan pemda melalui pajak kendaraan yang masuk. Akan tetapi apa kabar dengan kondisi jalanan Jogja atas dampak dari kebijakan ini? Saya sebagai salah satu warga asli Jogja merasa kecewa, mengingat saat ini Jogja sudah tidak lagi termasuk dalam The Most Livable City versi IAP (Ikatan Ahli Perencana).


Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang nantinya akan bekerja pada ranah-ranah diatas, tentu saja saya sangat resah. Resah atas berbagai hal yang secara random muncul di benak saya.
Karena seorang planner adalah decision maker, pembuat kebijakan publik.

No comments:

Post a Comment