Sebuah buku yang membantu saya move on, karena pada saat itu saya sedang merasa kosong. Membuka
pandangan saya akan sebuah sistem yang ideal tapi ironisnya justru mengarah
pada dehumanisasi.
Poin pertama yang saya soroti mengenai Sumber Daya Manusia.
Dimana telah menjadi sebuah sistem bahwa untuk bisa survive, kita harus memiliki kualifikasi tertentu dan lebih unggul
dari semua orang. Sehingga hal ini memunculkan iklim persaingan yang begitu
terasa. Dimana sistem ini otomatis akan membuang orang-orang yang tidak
berkualitas, seolah mengatakan “Dunia sudah terlalu penuh sesak oleh manusia, mereka
yang tidak berkualitas sebaiknya dimusnahkan.”
Sebenarnya sudah cukup banyak gagasan serupa baik yang
muncul dalam komik seperti deathnote, maupun gerakan terselubung, yang
terkadang menjadi topick obrolan teman-teman saya, tapi rasanya tak pernah
memikirkan bahwa gagasan tersebut memang sedang terjadi secara halus. Misalnya
dengan menjual produk makanan minuman tertentu yang sebenarnya berbahaya
apabila dikonsumsi jangka panjang, secara tidak langsung ingin memusnahkan
golongan yang secara ekonomi hanya sanggup membeli produk tersebut. Yang
selamat adalah orang orang kaya yang sanggup mengakses makanan dan sayuran
segar. Selain itu, dengan pressure
yang tinggi akibat pola persaingan yang terjadi, menyebabkan angka bunuh diri
meningkat. Dan ini merupakan salah satu bentuk seleksi alam yang lain. Akan
tetapi pasti selalu muncul controversi, terutama dari aktivis pembela HAM.
Mereka mengatakan bahwa toh setiap manusia memiliki hak hidup, jadi kita tak
berhak dengan cara apapun memusnahkan suatu golongan, atau katakanlah kaum
marginal.
Poin ke-2 yang saya soroti adalah mengenai sistem pendidikan
di sana. Dimana untuk bisa masuk perguruan tinggi, yang nantinya akan
mendapatkan gaji yang tinggi, maka haruslah bersekolah di Senior High School,
sedangkan lulusan Vocational School tidak akan bisa diterima di perguruan
tinggi. Lulusan Vocatonal School hanya bisa mengakses pekerjaaan yang gajinya
tak seberapa. Sedangkan untuk bisa diterima di Senior High School maka harus
berasal dari Junior High School, dan hanya lulusan Elementary School terbaik
yang bisa diterima di Junior High School. Jadi sekalinya gagal pada tingkatan
pertama maka tidak ada pilihan lain. Sehingga menanamkan sebuah paradigm bahwa
kita tidak boleh gagal, dan memunculkan rasa takut gagal sedini mungkin. Sangat
berbeda dengan sistem pendidikan di Indonesia yang begitu fleksibel, dan tidak
pernah ada kata terlambat untuk berubah. Misalnya saat kita masih kecil dan
hanya ingin bermain sehingga tak memiliki prestasi akademik yang gemilang, maka
ketika kita beranjak dewasa dan merasakan pentingnya memiliki prestasi untuk
mendapatkan pekerjaan yang layak maka bisa saja kemudian kita berubah menjadi
rajin dan berprestasi. Maka sah-sah saja ketika lulusan sekolah pinggiran yang
tak dikenal diterima di perguruan tinggi unggulan di Indonesia selama dia
berhasil lolos tes saringan masuknya.
Masih mengenai sistem pendidikan di sana, kita didorong
untuk tak hanya berprestasi tapi juga mengikuti berbagai ekstrakurikuler yang
bentuk insentifnya berupa poin. Dan sebenarnya tak hanya didorong tapi lebih
cenderung dipaksa, karena hanya mahasiswa yang memiliki cukup poin yang boleh
tinggal di asrama mahasiswa. Sedangkan yang poinnya kurang, harus menyewa kamar
di luar kompleks universitas yang cukup jauh dan harganya berkali kali lipat
dari harga kamar asrama dengan fasilitas pas pasan. Akibatnya memilih
ekstrakurikuler bukan lagi berdasar minat dan bakat, tapi berdasar ekskul mana
yang mampu memberikan poin lebih untuk bertahan hidup, dan itupun tak cukup
hanya dengan mengikuti satu macam ekskul.
Poin ke-3, adalah mengenai kehidupan sosial. Berkaitan
dengan persaingan, yang baik kasat mata maupun tak kasat mata di kota tersebut,
berdampak pada pola kehidupan sosial masyarakatnya. Sudah menjadi pengetahuan
umum bahwa masyarakat perkotaan cenderung bersifat individual ketimbang
masyarakat sub urban. Tak bisa
dipungkiri bahwa orang-orang yang RELA tinggal di kota metropolitan merupakan
orang yang membutuhkan akses yang dekat dengan pekerjaannya, dengan kata lain
yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga bisa jadi tak sempat mengenal
tetangga kiri kanannya. Tak memiliki waktu untuk bersosialisasi. Bahkan menurut
buku ini, banyak taman taman atau ruang terbuka publik di sana yang sebenarnya
di desain sangat cozy tapi justru terlihat lenggang karena masyarakatnya tak memiliki
waktu sekedar untuk duduk duduk santai dan mengobrol. Tipikal yang tidak
bersusah-susah mencari teman untuk makan karena kesulitan menyamakan jadwal
yang hectic, sehingga bila perlu membungkus makan siang untuk dimakan di meja
kerja.
Sesuatu yang terlalu prosedural ternyata justru mejadikan
manusia sebagai robot, sesuatu sistem yang niatnya ingin menjadikan kota
humanis justru entah, terasa tidak humanis. Misalnya ketika pelayanan dokter di
sana yang begitu prosedural, mengikuti diagram flowchart yang menganalisis
gejala penyakit berdasar pola ya dan tidak, apabila ya maka begini apabila
tidak maka begitu, dst sehingga sampai pada sebuah kesimpulan penyakit apa dan
penanganannya bagaimana. Mengabaikan bahwa pada dasarnya manusia memiliki
keunikan sendiri-sendiri, dengan kompilasi yang berbeda maka seharusnya
penanganannya tak bisa diseragamkan meski memiliki gejala yang sama.
Entah, saya jadi merasa bersyukur tinggal di tempat saya
tinggal sekarang. Meski jauh dari kata ideal, rasanya lebih manusiawi. Ketika se
anti sosial apapun saya di sini maka tetap akan ada orang yang peduli dan
sempat untuk sekedar say hello :)
No comments:
Post a Comment