Dan mungkin memang tak ada yang perlu disesalkan, toh memang
selalu ada harga yang harus dibayar untuk semua yang kita dapat. Dan mungkin
harga yang bisa saya bayar tak pernah sebanding dengan apa yang saya dapat.
Teringat kata-kata dari seorang teman di sebuah obrolan atau tepatnya curhatan
di tengah malam itu.
“..langkah pertama yang paling benar untuk membalas sebuah
kebaikan adalah dengan menerima kebaikan itu sendiri. Kan jadi salah kalo
niatnya mutusin pacar gara gara si pacar yang terlalu baik ke kita dan kita nya
nggak merasa sanggup buat kasih feed back..”
Analogi yang kena banget, walopun menurutku tentu saja nggak
bisa dianalogikan begitu..
Jadi mengapa saya suka naik gunung?
Selain masalah pemandangan, sebenarnya berawal dari sebuah
pelarian. Dan saya menemukan sebuah kedamaian di atas ketinggian itu, sejenak
melupakan masalah duniawi dan menghilang dari peredaran karena memang tak ada
sinyal di tempat setinggi itu. Ah ya, pengecualian di puncak Gunung Tambora
yang masih bisa telponan pake sinyal telkomsel. Dan juga segala kondisi ekstrem
atau kesulitan yang membuat saya menjadi bersyukur ketika kembali ke peradaban.
Misalnya ketika merasa sangat gerah di rumah, rasanya tak
lagi ingin mengeluh ketika teringat dingin yang sangat menusuk ketika saya
pertama kali naik Merapi, atau dinginnya Lawu. Dan ketika dulu saya sangat
malas sekedar untuk menghangatkan air dengan kompor gas di rumah, ketika
mengingat repotnya memasak di atas gunung, rasanya memasak apapun di rumah
menjadi sangat menyenangkan. Lalu teringat ketika ngebela-belain menyentuh air
yang dinginnya begitu untuk sholat di atas gunung, atau harus bertayamum karena
keterbatasan air, maka saya mempertanyakan diri saya sendiri ketika malas
sholat di tempat yang lebih mudah. Dan ketika saya malas sekali keluar rumah
padahal sekadar melangkah ke warung sebelah untuk membeli sesuatu, rasanya jadi
ringan ketika teringat begitu mudahnya mendapat barang apapun di jam berapapun
karena ada indomaret yang buka 24jam disini , dibandingkan ketika saya berada di Sumbawa waktu itu.
Di Merbabu
Pada intinya, naik gunung itu mengikis sifat pemalas saya,
dan menumbuhkan rasa bersyukur terhadap hidup.
Danau Taman Hidup, Argopuro
Dan juga perjalanan naik gunung yang nggak sampai puncak
atau hanya berniat bermain-main atau ‘pindah tidur’ di hutan. Pendakian Merapi
via selo (selengkapnya bisa dibaca disini) dan juga latihan navdar di Ungaran.
Caving.
Ketertarikan saya yang lain di dunia yang satu ini. Walopun
belum pernah masuk goa vertical, tapi ketika melihat keindahan ornament goa,
stalagtit dan stalagmit yang begitu rapuh. Juga perlakuan senior saya yang
begitu ‘menyayangi’ goa, “..sayang kan, untuk tumbuh stalagtit berapa centimeter
aja butuh waktu berapa lama. Masa kita gampang aja matahin gitu..”
Pintu Masuk Goa
Ornamen Goa
Kemudian rafting, dimana pada awalnya saya nggak ngerti apa
yang di cari dari kegiatan ini. Entah mau mencari jeram atau justru menghindari
jeram. Pertama kalinya saya rafting, di Elo langsung nyobain 2 trip dan konsepnya
latihan, bukan funraft. Wow, pada saat itu saya langsung beranggapan bahwa
ternyata rafting lebih meremukkan badan ketimbang naik gunung. Sepulang dari
rafting, saya kebingungan mencari titik pusat linu karena rasanya seluruh badan
dari pinggang ke atas serasa remuk redam dan akhirnya mengoleskan counterpain
bagaikan mengoleskan handbody.hoho
Beberapa kali rafting masih di Elo dan kemudian beberapa
waktu yang lalu mencoba rafting di sungai dengan karakteristik yang berbeda, Serayu.
Berawal dari menghadiri sebuah presentasi mengenai ekspedisi pemetaan Sungai Serayu,
saya bersama beberapa teman tertarik untuk mencoba dan merasakan sendiri mengarungi
sungai serayu yang katanya cukup menantang ini. Elo termasuk antara sungai
dengan grade 2-3, sedangkan Serayu termasuk grade 4. Maka berangkatlah kami
bersepuluh menuju basecamp Serayu di wonosobo. Hmm, ternyata jauh juga ditempuh
dengan naik motor.
Jeram di Serayu jauh lebih banyak dan lebih menantang dari
Elo. Ada jeram selamat datang, jeram tangga, jeram double drop, jeram S, jeram
watukodok, dan jeram-jeram lainnya, diakhiri dengan jeram dwi. Beberapa jeram dinamakan
sesuai bentuk fisiknya yang menyerupai tangga dan ada juga yang dinamakan
seperti nama orang yang pernah meninggal di jeram tersebut.
Dan saya menemukan sebuah kedamaian di antara sekian banyak
jeram di sana. Di antara pandangan yang terbuka lebar, dan pepohonan di tepian
sungai. Di area flat di antara sekian jeram. Perasaan tenang dan damai.
Panjat tebing.
Nah, ini merupakan kegiatan yang tidak terlalu menarik bagi
saya. Walaupun nggak nolak ketika di ajakin manjat di Siung atau sekedar jadi
tim daratnya anak-anak panjat di Samigaluh. Karena memanjat selalu membutuhkan
otot atau teknik, dan lebih bagus kalau punya keduanya.
Panjat tebing di Siung
Kembali pada sesuatu yang
menjadi topik utama tulisan ini, mungkin boleh meminjam istilah Oppurtunity Cost
dari mata kuliah ekonomi. Tentu saja akan ada biaya yang harus dikorbankan
karena pilihan yang kita ambil. Dan biaya yang dimaksud disini tak hanya
mengacu pada finansial, tapi juga waktu, kesempatan, dan yang lain-lain. Be
brave, untuk melakukan kegiatan-kegiatan seru di atas, dan untuk menanggung
segala konsekuensi dari pilihan kita memilih berkecimpung di dunia yang satu
ini :)
Be Brave, Latihan SRT di selasar KPFT :)
No comments:
Post a Comment