Well, bulan lalu saya
menghabiskan Bumi Manusia nya Pram hanya dalam tiga hari. Tentu ada banyak hal
yang bisa diambil dari novel popular ini. Kata-kata Jean Marais dimana kita
harus adil semenjak dalam pikiran. Lalu pemikiran-pemikiran Minke, diantaranya
adalah betapa menyenangkannya hidup tanpa harus berjalan menunduk-nunduk di hadapan
kaki orang. Lalu bahkan saya jadi memikirkan bagaimana pribumi pada jamannya
memperlakukan perempuan, dibandingkan bangsa kolonial memperlakukan perempuan. Lalu
hal yang berkali-kali diingatkan, kita kaum terpelajar harus bersikap terpelajar
pula. Dengan membaca novel Pram yang ditulis pada jaman segitu, yang konon
kabarnya dia tulis di dalam penjara, tak bisa saya bayangkan betapa cerdasnya
Pram. Lalu saya jadi penasaran background Pendidikan Pram, yang tentunya dia
bisa menulis sedemikian rupa menunjukkan dia pasti juga kaum terpelajar. Apakah
dia pribumi yang bangsawan?
Pada waktu yang
bersamaan, saya sedang mengerjakan sebuah project untuk delineasi Kota Wates lama.
Well, setelah saya menyelesaikan job menjadi surveyor untuk Kajian Pasar
Tradisional di Kota Jogja, saya dijapri sama Mbak Bos tentang tawaran pekerjaan
Kota Wates lama ini. Saya yang memang selalu tertarik pada sejarah langsung
mengiyakan saja. Project ini mendorong saya untuk membaca literatur sejarah
karena sejarah Wates erat kaitannya dengan sejarah masa kolonial Belanda. Salah
satu literatur yang saya baca adalah tentang perubahan gaya hidup hedonis para
pribumi yang berkuasa. Dalam literatur ini dijelaskan bahwa semenjak Pakualam
IV terdapat sistem sewa tanah dimana tanah dapat disewakan selama puluhan tahun
dengan dibayar di muka. Karena mereka pegang uang, maka dihamburkanlah. Salah
satu tempat dansa dansi nya adalah yang sekarang menjadi Taman Budaya.
Ada juga beberapa
literatur berbahasa inggris yang terpaksa saya baca karena disodorkan bos untuk
dipelajari. Dari sini saya mengetahui istilah bangunan indische yang selama ini
kita sering dengar dan gunakan merujuk pada bangunan reinassance yang telah
mengalami adaptasi dengan iklim tropis di Indonesia. Lalu istilah
vornstenlanden, istilah yang digunakan untuk menyebut daerah-daerah bekas
kekuasan Kerajaan Mataram yang saat ini sudah terpecah menjadi daerah kekuasaan
Kraton, Pakualam, dan Kasunanan Surakarta. Pikiran saya mulai melakukan
sinkronisasi dengan apa-apa yang pernah saya tangkap sebelumnya. Salah satunya
yang didapat dari jalan-jalan cantik di Jakarta tempo lalu dimana saya sempat
mengunjungi Museum Jakarta di Kota Tua, tulisan-tulisan dari Buku Ekspedisi nya
Kompas yang seri Ekspedisi Anyer-Panarukan, lalu kembali membuka materi-materi
perkuliahan terutama tentang teori perencanaan dan teori keruangan. Juga karena
ada literatur yang membahas tentang Batavia dan Kota Semarang, pikiran saya
sibuk mensinkronisasi pengalaman saya ketika berkunjung ke kedua kota tersebut.
Itulah mengapa, saya
selalu tertarik pada kota bersejarah. Saya senang mengunjungi tempat-tempat itu
sambil mengkonstruksi dalam pikiran saya, artikel-artikel yang saya baca
mengenai apa yang terjadi di tempat itu pada masa lalu. Begitupun ketika saya
belajar materi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) untuk CPNS, pikiran saya
melalangbuana pada tempat yang sedang saya baca itu. Pada kunjungan saya ke
Jakarta setahun lalu untuk mengikuti tes CPNS di Bappenas, sehari sebelumnya
saya datang kesana berniat cek lokasi. Cuaca yang begitu terik menghantarkan
kami menyeberang ke Taman Suropati yang cantik nan meneduhkan itu. Lantas saya
membuka maps untuk orientasi sekitar, dan ternyata dalam lingkup walkable distance, terdapat Museum
Proklamasi yang mana dulunya adalah Rumah Laksamana Maeda di Jalan Imam Bonjol
nomor satu. Kami pun memutuskan mampir kesana, dan ini cukup berkesan karena
materi tentang ini masih segar dalam ingatan sehabis dibaca beberapa hari
terakhir.
Yang menjadi fokus
saya adalah tipologi bentuk kota atau konsep keruangan yang diperkenalkan oleh
tokoh-tokoh ternama. Misalnya sebut saja Garden City nya Ebenezer Howard. Lalu
Thomas Karsten yang hasil karya nya masih banyak ditemukan hingga saat ini di
Indonesia. Lalu literatur tentang kota-kota di Indonesia yang merupakan kota
bersejarah, dari sudut pandang sejarah kolonialisme dan tata ruang.
Hari-hari itu saya juga
sempat mendatangi sebuah musikalisasi sastra di Taman Budaya. Dan mau tak mau
saya membayangkan tempat ini di masa lalu ketika masih menjadi tempat
dansa-dansi para bangsawan. Bayangpun saja pikiran saya sepenuh apa dengan hal
yang campur aduk ini, mencoba menghubungkan, mencari benang merah, dan merekonstruksi
seolah saya hidup pada jaman itu.
Beberapa waktu yang
lalu, saya sempat menemani dosen menghadiri rapat penyusunan KAK untuk suatu
pekerjaan. Dalam suatu obrolan, beliau pernah bilang bahwa belajar yang asyik
itu bukan belajar dari text book tapi
belajar yang dipaksa karena tuntutan pekerjaan. Saya setuju sekali, salah satu
yang saya pikir-pikir ulang kalau mau ambil s2, saya tau ilmu saya masih cetek
dan saya butuh sekolah lagi, tapi ada suatu kekhawatiran bahwa ilmu itu tidak
langsung bisa saya aplikasikan. Walaupun, tentu saja di dunia ini tidak ada
perbuatan positif yang sia-sia. Kalau tidak langsung bisa terasa manfaatnya
saat ini, pasti akan berguna di kemudian hari. Dosen saya menganjurkan
mengambil semua pekerjaan sekalipun yang belum kita pahami, dengan catatan kita
akan tercambuk untuk belajar dalam rangka menjaga kualitas dari nama yang kita
bawa, sebut saja nama besar Gadjah Mada. Maka itulah yang saya lakukan, mengambil
pekerjaan-pekerjaan yang tak terlalu saya pahami, agar supaya saya terpaksa
belajar lagi.
Dalam kesempatan
berbeda, dosen saya ini membahas tren generasi milenial dalam memandang hunian.
Alih-alih menabung untuk membeli rumah, mereka justru menabung untuk piknik.
Dalam hati lalu saya bersorak, well saya salah satunya. Generasi terdahulu
memandang rumah sebagai tempat tinggal seumur hidup sedang generasi saat ini
cederung pragmatis. Ketika masih sendiri tidak masalah tinggal di apartemen
studio, begitu pula ketika masih berdua dengan pasangan. Ketika mulai memiliki
anak, mereka bisa pindah ke apartemen atau rumah yang lebih besar. Akhir-akhir
ini saya banyak membaca artikel yang mengabarkan bahwa generasi saat ini
terancam tidak mampu membeli hunian dengan pendapatan mereka sendiri tanpa
adanya subsidi dari pemerintah. Artikel nyinyir lainnya mengatakan bahwa salah
satunya disebabkan gaya hidup anak sekarang yang suka nongkrong di kafe-kafe
fancy, ketimbang nabung buat beli rumah. Tapi kemudian ada yang menganalisis
fenomena ini sebagai bentuk pelarian karena rendahnya affordabilitas untuk
membeli hunian, sehingga justru menghidupkan gaya hidup ngopi-ngopi cantik yang
mana masih affordable buat mereka. Sementara itu di negara-negara establish,
hunian pertama (rumah tinggal pertama, bukan sebagai investasi) sudah menjadi
jaminan untuk warganya.
Tapi sebenarnya
pemerintah kita, lewat PUPR sudah berupaya menyediakan perumahan lewat
skema-skema yang saya masih gak terlalu paham. Oke, nanti belajar lagi tentang
ini deh. Well, fokusnya tentu saja untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah
(MBR). Di Sleman sendiri terjadi backlog perumahan bagi MBR namun surplus bagi
kalangan atas. Herannya waktu dibilang surplus, ketika pengembang membangun
tetep laris juga. Ada indikasi money laundry yang menyebabkan distorsi market,
dan juga ulah appraisal sih ini. Kompleks banget emang ini Sleman, udah
moratorium tapi tetep aja banyak kecolongan. Bahkan ada apartemen yang berada
di daerah resapan air dan memotong urat air. Dosen saya bilang, sebagai anak
Teknik sebenernya bisa aja asalkan menyiapkan rekayasa ruangnya untuk mengatasi
permasalahan yang ada. Tapi lalu saya teringat kata-kata dosen Geomorfologi
saya, manusia bisa aja merekayasa macam-macam tapi kalau struktur geologi dan
geomorfologinya sudah begitu, pada saatnya dia akan kembali pada fitrahnya.
Maksudnya apa? Misalnya bisa aja nih kita merekayasa membelokkan aliran sungai
dengan bendung dan segala macamnya untuk kepentingan tata ruang kita saat ini,
tapi pada saatnya nanti mungkin aja aliran sungai itu akan kembali sesuai
aslinya dan menimbulkan banjir bandang di masa depan. Atau daerah yang terletak
di atas patahan, ketika waktunya terjadi pergeseran lempeng ya siap-siap aja
kena dampak gempa. Jadi faktor geologi-geomorfologi ini sebenernya ndak bisa
ditawar-tawar sih kalau dari sudut pandang geografi. Tapi dari sudut pandang
Teknik, ya gimanapun harus bisa rekayasa dong, kan anak Teknik. Mirip-mirip lah
sama tarik ulur Arsitek dan Teknik Sipil. Kalau anak arsi mendesain bangunan
terlalu realistis dengan struktur yang bisa dibangun oleh sipil, tentu
desainnya akan biasa-biasa aja dan kurang all out. Disitulah kerja keras anak
Teknik sipil, untuk mewujudkan mbuh piye carane supaya desain bangunan anak
arsi bisa tetap berdiri dengan kokoh. Jadi sebenernya ke-multidimensi-an ilmu
ini sangat menarik ya..
Lalu pengen bahas
tentang film dan buku-buku yang belakangan ini saya baca juga sih, tapi ini aja
udah kepanjangan. Sekian dulu sis and bro..
No comments:
Post a Comment