Sharing is
caring. Akhir-akhir ini saya memikirkan bagaimana caranya berbagi di sosial
media tanpa melibatkan unsur pamer. Karena bagaimanapun toh itulah tujuan
sosial media diciptakan: untuk bersosialisasi, berlomba-lomba menjadi makhluk paling sosialita. Akhir-akhir ini saya banyak mendengar istilah ‘budak-budak
instagram’ atau seseorang yang minta difotoin demi ‘ngasih makan instagram’.
Well, istilah ‘ngasih makan instagram’ sebenernya ada benarnya juga sih, karena istilah ‘newsfeed’
dan ‘feed’ like feeding my pet, ngasih makan hewan peliharaan. Ngomong apa sih gue, wkwk.
Dan parahnya
dalam urusan agama, juga dipamerkan. Misal lagi tarawih di masjid apa, atau
lagi ikut kajiannya ustadz siapa. Padahal supaya tidak menjadi riya’, dalam
urusan ibadah sebaiknya kan hanya rahasia antara kau dan Dia.
Seorang teman
pernah bilang bahwa instagram merupakan platform paling toxic karena semua
orang mengupload kesuksesan mereka di sana. Lantas apakah ini salah? I mean
baik si peng-upload maupun si follower yang baperan (duh). Tentu tidak. Saya
sendiri pernah begitu sesak dengan satu platform, sebut saja Path, yang mana
dulunya merupakan platform favorit hingga saya tak pernah tak bisa merasa sakit
hati setiap scrolling Path dan akhirnya memutuskan untuk uninstall. Kenapa
sakit hati? Well, mungkin karena Path kan memang bersifat daily life gitu kan,
lalu saya mendapati diri saya merasa envy setiap melihat pergerakan teman-teman
saya yang bahkan tanpa mereka sengaja update, tapi menunjukkan bahwa mereka arrive in mana. Atau sesederhana mereka
hangout di kafe mana tanpa mengikutsertakan dirimu. Hal-hal sekecil itu di saat
yang tidak tepat ternyata mampu memporakporandakan perasaan ya. Ah, mungkin
saya saja yang lemah. Setelahnya saya merasa lebih damai. Dan ternyata tak
hanya saya seorang yang mengalami hal serupa, banyak orang di sekitar saya yang
juga demikian.
Seperti kata
Fiersa Besari dalam sebuah update-an di salah satu sosial medianya, tidak perlu
menggali apabila tak sanggup menghadapi. Well, kadang kita tak perlu tau
kehidupan orang lain, kalau ternyata kita justru sakit hati saat mengetahuinya.
Gak usah stalking mantan lah kalau gak siap mengetahui bahwa dia jauh lebih
bahagia setelah berpisah denganmu. Terus tiba-tiba terngiang lagunya Ed
Shereen, i know i was happier with you.. Nah, ini lain lagi. Hahaa
Lalu mengenenai
perhelatan-perhelatan seni yang kini tak pernah sepi dari ‘budak-budak
instagram’. Saya pernah melihat share-share an yang intinya dia sedih banyak
karya lukisnya yang rusak setelah pameran, yang tidak lain dan tidak bukan
rusak karena manusia-manusia yang hanya peduli fotonya terlihat bagus di
instagram.
Suatu hari di
sebuah acara radio, tim Artjog datang untuk mempromosikan event ini ke khalayak
masyarakat. Mereka membagikan enam tiket gratis kepada tiga pemenang beruntung,
syaratnya adalah mengajukan pertanyaan apapun terkait Artjog. Nah, di sini yang
menarik. Berdasar pantauan saya dari twitter, pertanyaan-pertanyaan yang muncul
justru aneh-aneh. Ada yang menanyakan kontribusi Artjog terhadap peningkatan
kreativitas para pekerja seni di Kota Yogyakarta dan sekitarnya. Ada juga yang
menanyakan apakah pengunjung wanita diharuskan mengenakan kacamata besar dan
tas goodybag. Satire abis ya. Lalu ada yang menanyakan sasaran pasar (target
market) Artjog dengan harga tiket yang tidak bisa dikatakan murah. Dan
pertanyaan-pertanyaan lain yang mengandung kritik menarik. Saya sendiri sudah
tidak pernah ke Artjog setelah harga tiket masuknya yang menurut saya tidak lagi
sesuai dengan kantong saya. Lagian untuk men-supply kebutuhan saya akan seni,
masih banyak perhelatan seni gratisan di kota ini. Berarti saya memang bukan
target market dari Artjog ya. Haha. Sebenarnya bukan karena nggak sanggup bayar
sih, kalau dibayarin sekalipun saya masih mikir dua kali kalau diajak ke Artjog
(tapi ini tergantung siapa yang ngajakin sih, hehe). Karena, pertama, saya gak
ngerti-ngerti amat tentang seni, cuma suka aja datang dan mengapresiasi,
melihat-lihat dan mencoba mengerti, dan juga karena katanya seni itu
menyehatkan. Ke-2, Melihat popularitas Artjog akhir-akhir ini saya menjadi
malas untuk menjadi satu dari sekian banyak yang berjubel di dalam sana.
Menurut saya, seni itu bukan untuk dinikmati secara rebutan. Seperti sholat,
kita butuh kekhusyukan tersendiri untuk mendapatkan efek maksimal. Dan ke-3,
mungkin saya merasa tidak sebanding aja antara kepuasan yang saya dapatkan versus
harga tiket yang harus dibayarkan.
Saya jadi
teringat, salah satu preferensi saya memilih mall untuk tempat nongkrong ketika
melewati waktu maghrib adalah kondisi mushola di mall tersebut. Malas banget
kalau mau sholat aja mesti mengantre, berdesak-desakan, terburu-buru karena
udah ada yang ngantre di belakang kita, dsb. Sejauh ini dalam urusan mushola, menurut
saya mall ter-oke di kota saya adalah JCM yang mana mushola nya ada di tiap
lantai jadi ketika maghrib pun tak akan terlalu ramai. Well, begitu juga dengan
pameran seni dan toko buku atau perpustakaan, juga tempat wisata alam. Saya
rasa tempat-tempat tersebut sejatinya tidak cocok dalam keadaan ramai.
Entah, mungkin
selama ini saya terlanjur mendapat privilage dengan mendatangi tempat-tempat
tersebut dalam keadaan sepi sebelum menjadi se-mainstream sekarang. Dulu ketika
hiking, kami bahkan selalu menyapa dan di sapa oleh siapapun yang kami temui di
atas gunung. Minimal menanyakan dari mana, atau sekedar saling memberi semangat
ketika berpapasan saat hendak naik/turun. Kalau sekarang, rasanya sudah malas
saking banyaknya orang, bahkan harus mengantre dan tak bisa memilih jalur
dengan leluasa. Juga privilage ketika bisa camping di pantai yang berasa pantai
pribadi karena hanya kami satu-satunya pengunjung di sana. Kalau sekarang,
jangan harap menjadi satu-satunya pengunjung, dapat tempat aja udah
alhamdulillah ya.
Lalu tentang
musik indie, musik folk, film indie, dan hal apapun berbau indie. Indie berasal
dari kata independent, artinya segala proses penciptaannya hingga rekamannya
tidak dilakukan dengan menggunakan label rekaman yang sudah besar. Mungkin
karena pengaruh lingkungan, akhir-akhir ini saya mulai tertarik pada
musik-musik indie. Bukan karena indie nya, tapi perasaan yang ditimbulkan dari
pengalaman yang berbeda. Maksudnya, ketika kita terbiasa mendengarkan
musik-musik pop yang banyak ditayangkan di media televisi atau di radio, ketika
kita mendengarkan musik dengan tambahan instrumen yang berbeda, atau yang
dinyanyikan secara tidak biasa, akan melahirkan perasaan yang berbeda pula.
Lalu ada kritikan yang mana muncul dalam sebuah meme, tentang atribut yang
dipakai mereka yang datang ke acara-acara indie gratisan. Seolah kalau kamu
pendengar musik indie, kamu perlu mengabarkan pada seluruh dunia kalau selera
musikmu berbeda.
Dalam sebuah
pameran seni yang lain, sebut saja Biennale, saya mendapati banyak tulisan
menarik yang kalo ndak salah ditulis oleh Farid Stevy nya FSTVLST (eh bener gak
nih tulisannya?). Salah satunya berinti semua orang ingin terlihat beda, dan
karena SEMUA ingin berbeda malah jadinya SAMA SEMUA. See?
Saya jadi ingin
menelaah lebih lanjut, mengapa pada dasarnya setiap orang ingin berbeda dari
orang yang lain? Mungkin karena ada dorongan untuk eksis, untuk dianggap ada,
untuk menjadi trendsetter. Lalu apa yang mendasari keinginan-keinginan
tersebut? Mari kita bahas lain waktu. Paling tidak dengan menulis ini, dan
dibantu kopi yang saya minum sahur tadi, misi saya untuk tidak tidur lagi
setelah subuh tercapai. Yeaaaaay :)
No comments:
Post a Comment