Well, saya mau
ikut-ikutan challenge menulis semacam #30HariBercerita atau apapun itu, demi
menghidupkan kembali blog ini setelah sekian lama mati suri. Mau sependek apa dan
se-nggak penting apa tulisannya, nanti dulu deh. Yang terpenting adalah
konsisten menulis. Karena lagi gak punya topik menarik untuk dibahas, saya mau
membahas film yang baru saya tonton semalam aja. Judulnya Bad Genius, film
Thailand tahun 2017. Cukup recommended ditonton sih, menurut saya.
Film ini
bercerita tentang seorang penerima beasiswa yang super pintar lalu membisniskan
contekan ke teman-teman sekelasnya dengan bayaran mahal. Berawal hanya membantu
sang teman dekat, lalu pihak yang diberi contekan ketagihan menyontek. Konflik
berlanjut ketika mereka bukan hanya menyontek untuk ujian sekolah tapi juga
untuk ujian masuk universitas! Gila banget, mereka gak mikir apa, kalo berhasil
masuk Boston dengan cara curang memangnya mereka bisa survive di sana. Dalam
artian, seleksi masuk memang ditujukan untuk menjaring orang-orang yang
kompeten belajar di sana. Soal ujian di perguruan tinggi itu essay coy, bukan
pilhan ganda.
Film ini
mengingatkan pada cerita seorang teman yang juga merupakan penerima beasiswa,
dimana dia bersama teman-teman penerima beasiswa lainnya saling bekerja sama
memberikan contekan ujian pada teman-teman non beasiswa hanya supaya mereka
semua bisa lulus.
Lalu saya juga jadi
teringat beberapa teman saya dulu yang menjelang Ujian Nasional bukannya sibuk
belajar justru sibuk mencari handphone paling kecil dan tipis, yang tentu saja
kita tahu untuk apa.
Dulu jaman SMA,
saya banyak menemukan tulisan bernada iklan layanan masyarakat yang intinya: menyontek
itu akar dari korupsi, kalo dari mudanya udah suka menyontek gak heran kalo
kedepannya jadi koruptor. Dan juga secara logika, ketika kita berhasil lulus dengan
cara menyontek lalu ijazahnya kita gunakan untuk mencari pekerjaan, apakah nantinya
pekerjaan kita barokah?
Saya tidak
munafik, saya tentu saja juga pernah menyontek dan memberikan contekan. Lalu sikap
saya tentang contek menyontek ini? Sesekali boleh aja asal gak kelewatan. Batas
kelewatan itu yang gimana? Tanya aja hatimu, dia tau kok.
Lalu isu
plagiarism yang sudah menjadi isu mahasiswa sekarang ini. Skripsi atau
penelitian seseorang dikatakan tidak plagiat selama mengambil fokus, lokus, dan
metode yang berbeda dari skripsi atau penelitian yang sudah ada. Minimal salah
satunya berbeda, maka bisa dikatakan tidak plagiat. Selain plagiat yang
jelas-jelas nyata plagiat, misalnya mengutip tanpa mencantumkan sumber, ada
juga plagiat yang masih dalam bentuk ide. Tapi berhubung gagasan itu tidak
memiliki hak cipta, maka sepertinya masih sah saja plagiat dalam bentuk ide.
Seseorang pernah bilang, toh di dunia ini tidak ada ide yang benar-benar
otentik. Akui saja, dengan terinspirasi dari buku, film, maupun dari lingkungan
sekitar dalam kehidupan sehari-hari sudah bukti bahwa ide itu sudah ada, hanya
saja belum diklaim dan belum direalisasikan menjadi sebuah karya. Tapi tetap
saja idenya tidak otentik tercipta dari pikiran kita semata. Well, selama masih
etis sih silahkan saja mencuri ide dari mana saja dan jadilah orang pertama
yang mengaplikasikan ide tersebut menjadi karya nyata.
Satu lagi, film
ini mengingatkan saya pada sosok yang belum lama ini ramai di pemberitaan: Dwi
Hartanto dan seluruh kebohongan prestasinya. Kita tidak meragukan bahwa dia
pasti cerdas dengan bisa menempuh program doktoral di TU Delft Belanda, namun kita
menyayangkan saja atas sikapnya yang tidak etis.
Well prestasi itu
penting, tapi di atas itu semua etika jauh lebih penting. Begitu sih yang
ditanamkan dosen pembimbing saya. Oh iya, saya masih berhutang cerita tentang
dibalik terbitnya Si Buku Biru aka skripsi saya. Masih berupa draft kasar
banget, semoga saja tulisan satu itu bisa segera saya posting di #30HariBercerita.
So, tunggu saja..
No comments:
Post a Comment