Saya sedang butuh banyak racun sebagai penawar rasa. Misalnya
playlist yang sama sekali asing ditelinga ketika sedang mengerjakan pekerjaan
yang literally membosankan dan bikin baper. Udah membosankan, eh tiba-tiba
terlintas dalam pikiran: akankah yang sedang saya lakukan saat ini bermanfaat? Setelah
ini selesai apakah ini akan terpakai? Hal seperti itulah yang membuat
pengerjaan yang harusnya mudah menjadi berjalan sangat lambat. Menyebalkan
bukan? Makanya diperlukan pengalih perhatian sejenis sealbum penuh lagunya Pure
Saturday, yang entah darimana saya dapatkan tiba-tiba ada di folder Leisure di
laptop. Ternyata mendengarkan lagu-lagu ini cukup membuat saya adem dan minim emosi.
Mungkin karena sebelumnya saya tidak pernah mendengarkan lagu-lagu ini sehingga
tidak ada memori yang terbangkitkan ketika mendengar lagu-lagu ini. Mengapa
mendengarkan lagu-lagu yang tidak sarat memori itu penting? Well karena saya
orangnya baperan, sungguh mengganggu ketika mendadak baper di saat harus
produktif.
Selama ini saya terbiasa hidup penuh racun. Saya membiarkan
diri saya atau lebih tepatnya pikiran saya teracuni oleh segala hal yang
bersentuhan dengan saya. Sesederhana apa yang saya lihat di sepanjang jalan
menuju kampus, atau sesederhana berita di koran pagi itu. Dan ketika saya
kehabisan stock racun pikiran karena semakin sedikit yang men-supply saya
racun-racun pikiran ini, saya mulai sakaw. Tidak ada lagi kalimat-kalimat dari
para dosen yang menjadi newsfeed otak saya untuk melakukan brainstorming, lantaran
saya sudah hampir dua tahun vakum kegiatan perkuliahan.Tidak ada lagi diskusi
atau seminar-seminar dengan topik yang saya minati yang bisa saya datangi
begitu saja. Tidak ada lagi obrolan random di lincak mengenai isu hangat
nasional bahkan internasional. Tidak ada lagi partner diskusi mengenai hal-hal
abstrak. Tidak ada lagi orang yang rutin bertanya mengenai keseharian hidup
saya dan bercerita tentang keseharian hidupnya. Tidak ada lagi, sungguh tidak
ada lagi supply racun bagi pikiran dan curiousity saya.
Sejauh ini saya hanya berhasil meracuni diri saya dengan
membuat beberapa mini project. Salah satunya adalah belajar merajut, mumpung
ada teman yang dengan senang hati dan penuh kesabaran bersedia mengajari saya.
Masih banyak racun-racun yang sudah masuk list untuk segera
dihirup dan dihayati. Diantaranya banyak belajar mengenai hal-hal baru seperti
menyetir mobil dan berenang, atau belajar hal-hal (yang mereka sebut keahlian wajib
perempuan) sejenis menjahit dan memasak. Menghabiskan setumpuk novel dan majalah
NatGeo. Jalan-jalan dan mengunjungi event seni di kota ini. Project bikin Daily
Journal yang hingga hari ini tidak kunjung jalan karena saya kehilangan
kemampuan menulis. Project bikin totebag kanvas sebagai target pertama belajar mesin
jahit. Project belajar bahasa prancis dan belajar bahasa inggris lagi. Project
jogging at least tiap minggu pagi. Dan beberapa project untuk mendekatkan diri
pada sang pencipta. Sungguh, berhubungan dengan sang pencipta merupakan penawar
rasa tersendiri.
Saya masih sangat kesulitan dalam belajar menyetir mobil,
dan saya masih sangat bisa baper dengan aktivitas belajar mobil ini. Jangan
tanya kenapa. Jadi untuk sementara sampai saya bisa menguasai diri saya
sendiri, saya memutuskan untuk berhenti belajar nyetir dulu.
Sebenarnya seberapa pahitnya rasa yang saya telan sih,
sampai sudah sebanyak itu racun yang saya jejalkan pada diri saya tapi rasanya
selalu kurang. Mungkin saya memang sedang kecanduan, jadi dosisnya memang
selalu nagih buat ditambah. Well, saya mungkin kecanduan asmara. Padahal asmara
toh termasuk racun yang saya coba untuk menawar rasa. Dan ternyata racun yang
satu ini berdampak lebih mengerikan daripada rasa yang sedang berusaha saya
tawar itu sendiri. Saya menyesal coba-coba.
It’s look like i’m so hopeless and helpless but why i still
do every single that fuck things? Padahal seorang yang sedang merasa terpuruk
cenderung tidak melakukan hal-hal yang berkaitan dengan masa depan. Untuk apa
saya belajar ini itu bila katakanlah saya tidak ingin hidup di dunia ini? Saya
juga tidak mengerti, nyatanya saya merasa perlu menyibukkan diri dan pikiran
saya dengan hal-hal yang positif.
Satu lagi, saya akui saya belum bisa berdamai dengan diri
saya sendiri. Saya masih selalu merasakan desiran ketika berhubungan dengan
sesuatu yang tidak pernah saya miliki atau gagal saya dapatkan. Seperti ketika
saya berinteraksi dengan para mahasiswa kedokteran karena saya tidak berhasil
menjadi salah satu dari mereka. Atau ketika berinteraksi dengan perempuan yang
mampu memenangkan hati seorang lelaki yang pernah saya dambakan. Atau ketika
teman saya mencibir hal yang baru saya dapatkan saat ini lantaran dia sudah
mendapatkannya dari dulu dan sudah bosan kemudian meninggalkannya. Prek! Rasanya
seperti sedang memacari mantan pacarnya temen deket kita. Oke, secara
sederhananya semua itu bisa digantikan oleh satu kata: cemburu. Tapi tenang
saja, saya tidak akan pernah membiarkan rasa cemburu mengiris hati ini berkembang
menjadi something like iri dengki membunuh jiwa. Caranya? Dengan sejuta racun,
biarlah kuluruh rasa.
No comments:
Post a Comment