Menurut saya sebenarnya tidak ada manusia yang literraly anti sosial. Semua orang pada dasarnya menyukai interaksi dengan sesamanya. Oke, bukan menyukai tapi lebih tepatnya membutuhkan interaksi dengan orang lain. Seorang teman pernah bilang sembari main pijet-pijetan tangan, 'Bersentuhan dengan sesama manusia itu menyenangkan, mon.'
Well ya, manusia membutuhkan interaksi dengan manusia lain berkaitan dengan sifat alamiahnya sebagai makhluk sosial. Dan ada yang namanya pembagian peran. Pembagian peran dalam masyarakat ini penting untuk mencapai efisiensi. Akan lebih efisien jika seseorang memilih suatu bidang untuk ditekuni, kemudian saling bertukar dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan dari jaman entah berantah aja masyarakat sudah mengenal yang namanya barter, yang sekarang berkembang jadi jual beli menggunakan uang.
Seorang partner diskusi saya pernah beride, mungkin di kehidupan yang akan datang sudah tidak akan ada lagi uang berbentuk fisik, semuanya jadi uang digital/uang elektronik. Ide ini muncul ketika kami harus menunggu cukup lama untuk dicarikan uang kembalian lantaran kami sama-sama tidak memiliki uang kecil untuk membayar. Sungguh efisien kalau semua pembayaran apapun tinggal gesek atau tap, gak ada lagi perlu mendengar kalimat sejenis 'duh, nggak ada uang kecil mbak'. Tapi repot juga ya kalo tiba-tiba listrik dan internet mati total, semua transaksi bisa pending.
Kembali pada interaksi sosial, akan sangat merepotkan kalau kita harus memenuhi kebutuhan dari ujung kaki sampai ujung rambut, dengan produksi sendiri. Mungkin ada yang gak sepakat ya, soalnya ada juga konsep masyarakat madani. Tapi kan itu masyarakat, yang bermakna kumpulan orang, bukan satu orang. Dalam masyarakat madani juga pasti dibutuhkan interaksi sosial. Selain itu setiap negara agraris pasti menginginkan menjadi negara swasembada pangan. Artinya minimal bisa memenuhi kebutuhan pangan domestik tanpa impor, ya dengan memproduksi sendiri. Dan lagi-lagi ini negara, yang jelas terdiri dari lebih dari satu orang.
Di atas saya baru membicarakan urusan fungsional, kebutuhan interaksi karena mayoritas kebutuhan fisik di luar sex. Saya bingung mengkategorikan sex termasuk kebutuhan fisik atau bukan. Apapun itu, ada banyak lainnya yang mengakomodasi kebutuhan lainnya, kebutuhan batin misalnya. Selain untuk memenuhi kebutuhan yang dari ujung kaki sampai ujung rambut itu, seorang perlu berinteraksi dengan sesamanya bahkan hanya untuk berbincang. Everyone needs to comfort others, begitu juga sebaliknya. Dan yang kali ini mendorong saya untuk menulis ini, kebutuhan akan eksistensi.
Istilah anti-sosial yang kerap digunakan saat ini lebih merujuk pada yang gak punya atau gak aktif sosmed, yang jarang mau ikutan kongkow, yang jarang mau diajakin ngegahol party-party gitu, yang anak rumahan banget lah.
Adapun orang yang dianggap anti sosial, biasanya karena mereka merasa tidak nyaman berinteraksi dengan sesamanya. Dan ketidaknyamanan ini pasti dipicu alasan tertentu dibaliknya. Dan kemungkinan besar dari lubuk hati yang terdalam, ada keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain. Hanya saja terkadang keinginan itu terkubur oleh ketidaknyamanan atau memang sengaja dikubur dalam-dalam.
Salah satu alasannya mungkin ketidakmampuan menyamai frekuensi pembicaraan ataupun gaya hidup lingkungan tersebut. Ketidakmampuan ini bisa disebabkan bermacam-macam, seperti finansial hingga intelektual. Intinya tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
Sudah bukan rahasia umum bahwa mereka yang berbeda, tidak mendapat tempat di masyarakat. Masyarakat menyukai homogenitas. Seperti data dalam penelitian deduktif kuantitatif, jika ada yg terlalu berbeda atau yang sering disebut sebagai outsider, maka alangkah baiknya data tsb dibuang dan tidak dimasukkan dalam penelitian karena akan merusak statistik. Untuk itu ada juga penelitian induktif kualitatif, untuk mengakomodasi para outsider yg tersisih ini. Padahal mungkin saja sebenarnya tidak ada orang yang benar-benar anti mainstream dan berbeda. Mereka mungkin belum ketemu aja sama yang sealiran, sehingga mereka selalu dianggap outsider.
Sebenarnya postingan ini bisa lebih panjang dengan membahas sebenarnya sosial itu apa, membahas perkembangan sosial di beberapa tempat yang berbeda, juga mungkin mengutip pendapat para ahli. Sosial dan humanity memang selalu menarik untuk diamati dan didiskusikan, karena laboratoriumnya sangat besar. Seluruh kota ini bisa kok, dijadikan laboratorium pengamatan. Tapi cukup, malam ini toh saya menulis hanya untuk meredakan serangan rutin confusion. Selamat malam minggu!
Saturday, 30 July 2016
Wednesday, 27 July 2016
Murdering Confusion From My Mind
Saya sedang butuh banyak racun sebagai penawar rasa. Misalnya
playlist yang sama sekali asing ditelinga ketika sedang mengerjakan pekerjaan
yang literally membosankan dan bikin baper. Udah membosankan, eh tiba-tiba
terlintas dalam pikiran: akankah yang sedang saya lakukan saat ini bermanfaat? Setelah
ini selesai apakah ini akan terpakai? Hal seperti itulah yang membuat
pengerjaan yang harusnya mudah menjadi berjalan sangat lambat. Menyebalkan
bukan? Makanya diperlukan pengalih perhatian sejenis sealbum penuh lagunya Pure
Saturday, yang entah darimana saya dapatkan tiba-tiba ada di folder Leisure di
laptop. Ternyata mendengarkan lagu-lagu ini cukup membuat saya adem dan minim emosi.
Mungkin karena sebelumnya saya tidak pernah mendengarkan lagu-lagu ini sehingga
tidak ada memori yang terbangkitkan ketika mendengar lagu-lagu ini. Mengapa
mendengarkan lagu-lagu yang tidak sarat memori itu penting? Well karena saya
orangnya baperan, sungguh mengganggu ketika mendadak baper di saat harus
produktif.
Selama ini saya terbiasa hidup penuh racun. Saya membiarkan
diri saya atau lebih tepatnya pikiran saya teracuni oleh segala hal yang
bersentuhan dengan saya. Sesederhana apa yang saya lihat di sepanjang jalan
menuju kampus, atau sesederhana berita di koran pagi itu. Dan ketika saya
kehabisan stock racun pikiran karena semakin sedikit yang men-supply saya
racun-racun pikiran ini, saya mulai sakaw. Tidak ada lagi kalimat-kalimat dari
para dosen yang menjadi newsfeed otak saya untuk melakukan brainstorming, lantaran
saya sudah hampir dua tahun vakum kegiatan perkuliahan.Tidak ada lagi diskusi
atau seminar-seminar dengan topik yang saya minati yang bisa saya datangi
begitu saja. Tidak ada lagi obrolan random di lincak mengenai isu hangat
nasional bahkan internasional. Tidak ada lagi partner diskusi mengenai hal-hal
abstrak. Tidak ada lagi orang yang rutin bertanya mengenai keseharian hidup
saya dan bercerita tentang keseharian hidupnya. Tidak ada lagi, sungguh tidak
ada lagi supply racun bagi pikiran dan curiousity saya.
Sejauh ini saya hanya berhasil meracuni diri saya dengan
membuat beberapa mini project. Salah satunya adalah belajar merajut, mumpung
ada teman yang dengan senang hati dan penuh kesabaran bersedia mengajari saya.
Masih banyak racun-racun yang sudah masuk list untuk segera
dihirup dan dihayati. Diantaranya banyak belajar mengenai hal-hal baru seperti
menyetir mobil dan berenang, atau belajar hal-hal (yang mereka sebut keahlian wajib
perempuan) sejenis menjahit dan memasak. Menghabiskan setumpuk novel dan majalah
NatGeo. Jalan-jalan dan mengunjungi event seni di kota ini. Project bikin Daily
Journal yang hingga hari ini tidak kunjung jalan karena saya kehilangan
kemampuan menulis. Project bikin totebag kanvas sebagai target pertama belajar mesin
jahit. Project belajar bahasa prancis dan belajar bahasa inggris lagi. Project
jogging at least tiap minggu pagi. Dan beberapa project untuk mendekatkan diri
pada sang pencipta. Sungguh, berhubungan dengan sang pencipta merupakan penawar
rasa tersendiri.
Saya masih sangat kesulitan dalam belajar menyetir mobil,
dan saya masih sangat bisa baper dengan aktivitas belajar mobil ini. Jangan
tanya kenapa. Jadi untuk sementara sampai saya bisa menguasai diri saya
sendiri, saya memutuskan untuk berhenti belajar nyetir dulu.
Sebenarnya seberapa pahitnya rasa yang saya telan sih,
sampai sudah sebanyak itu racun yang saya jejalkan pada diri saya tapi rasanya
selalu kurang. Mungkin saya memang sedang kecanduan, jadi dosisnya memang
selalu nagih buat ditambah. Well, saya mungkin kecanduan asmara. Padahal asmara
toh termasuk racun yang saya coba untuk menawar rasa. Dan ternyata racun yang
satu ini berdampak lebih mengerikan daripada rasa yang sedang berusaha saya
tawar itu sendiri. Saya menyesal coba-coba.
It’s look like i’m so hopeless and helpless but why i still
do every single that fuck things? Padahal seorang yang sedang merasa terpuruk
cenderung tidak melakukan hal-hal yang berkaitan dengan masa depan. Untuk apa
saya belajar ini itu bila katakanlah saya tidak ingin hidup di dunia ini? Saya
juga tidak mengerti, nyatanya saya merasa perlu menyibukkan diri dan pikiran
saya dengan hal-hal yang positif.
Satu lagi, saya akui saya belum bisa berdamai dengan diri
saya sendiri. Saya masih selalu merasakan desiran ketika berhubungan dengan
sesuatu yang tidak pernah saya miliki atau gagal saya dapatkan. Seperti ketika
saya berinteraksi dengan para mahasiswa kedokteran karena saya tidak berhasil
menjadi salah satu dari mereka. Atau ketika berinteraksi dengan perempuan yang
mampu memenangkan hati seorang lelaki yang pernah saya dambakan. Atau ketika
teman saya mencibir hal yang baru saya dapatkan saat ini lantaran dia sudah
mendapatkannya dari dulu dan sudah bosan kemudian meninggalkannya. Prek! Rasanya
seperti sedang memacari mantan pacarnya temen deket kita. Oke, secara
sederhananya semua itu bisa digantikan oleh satu kata: cemburu. Tapi tenang
saja, saya tidak akan pernah membiarkan rasa cemburu mengiris hati ini berkembang
menjadi something like iri dengki membunuh jiwa. Caranya? Dengan sejuta racun,
biarlah kuluruh rasa.
Wednesday, 20 July 2016
Kita Masih Teman, Kan?
Beberapa waktu yang lalu saya berkumpul kembali bersama dua orang sahabat baik saya waktu SMA. Sudah sekitar setahun ini saya tak bersua dengan keduanya. Salah satunya baru pulang dari Eropa, dan satu yang lain sudah menjadi guru yang bergelar ustadzah di sekolah islami. Sejak menginjak bangku perkuliahan, kami memang sudah jarang bertemu karena kesibukan masing-masing di tiga kampus yang berbeda. Kami masing-masing memiliki lingkaran pertemanan baru yang mungkin hampir sepenuhnya berbeda.
Tapi ternyata ketika kami memutuskan untuk bertemu kembali, saya masih merasakan dorongan yang menyebabkan kami berteman. Ternyata persahabatan kita tidak kadaluarsa. Just for your information, kami bertiga tidak pernah satu kelas selama SMA, dan juga kami bukan teman TK-SD-SMP. Dari segi kepribadian jelas beda, lingkungan pergaulan beda, gaya hidup beda. Lalu apa yang menyatukan kami? Sayapun tak tau. Just because.
Teman saya yang lain pernah mengatakan bahwa landasan pertemanan dibangun dari kebutuhan akan sesuatu. Maka akan dikenal teman yang datang hanya ketika dia butuh saja, dan yang selalu ada saat senang dan susah.
Saya setuju dengan pernyataan teman saya, meskipun saya tetap akan mengucapkan kalimat tersebut dengan nada datar biasa, bukan nada nyinyir. Menurut saya, setiap pertemanan pasti selalu mengandung kepentingan, sekecil apapun maksud yang tersembunyi tersebut. Minimal sesederhana pentingnya memiliki teman ngobrol.
Tapi bukankah memang demikian, buat apa berteman dengan orang yang hanya akan merugikan kita? Meskipun begitu, saya percaya bahwa setiap manusia itu tidak pernah selalu murni jahat atau sepenuhnya murni baik hati. Memangnya tokoh sinetron! Berdasarkan keyakinan saya di atas, menurut saya tidak ada teman yang hanya akan merugikan kita, suatu hari entah kapan pasti pertemanan itu saling menguntungkan kok. Dan kepentingan-kepentingan yang terselip itu tidak bisa dikotak-kotakkan hanya menjadi hitam dan putih. Jahat atau baik itu kan persepsi, tergantung dari sudut mana menilainya.
Misalnya si A berteman dengan si juara kelas agar ikutan jadi pintar menghitung matematika, disamping itu si A juga berteman dengan si anak hits biar ketularan jadi anak gaul kekinian. Lantas apakah si A telah menjahati si juara kelas dan si anak hits?
Terkadang yang lebih bisa selalu merasa dimanfaatkan sama yang lebih nggak bisa. Padahal nggak semua yang lebih nggak bisa hanya mengambil keuntungan dengan berteman sama yang lebih bisa.
Biasanya perempuan selalu memiliki minimal seorang sahabat. Tapi sepertinya saya tidak termasuk salah satunya. Bukan saya, yang memutuskan hubungan pertemanan atau sengaja menjadi anti sosial, tapi itu terjadi begitu saja. Menurut saya sebuah pertemanan itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Pertemanan itu hubungan yang terjadi secara alami dan naluriah, dan tanpa perlu diawali oleh pertanyaan sejenis, 'mau nggak kamu jadi temenku?' selayaknya dua orang sejoli yang akan menjalin hubungan lebih dari pertemanan. Pertemanan bisa terjadi karena kesamaan hobi, kesamaan rutinitas, kesamaan selera dalam memilih makanan, pakaian, atau karena bisa ngobrol asyik aja. Dan walaupun memiliki berbagai kesamaan tidak lantas menjadikan dua pribadi otomatis berteman akrab. Saya sendiri tidak bisa menjabarkan bilamana seorang individu bisa cocok berteman dengan individu yang lain, dan tidak bisa cocok dengan individu yang lainnya. Pertemanan itu terjadi begitu saja.
Sejujurnya saya menulis topik random ini karena saya merindukan teman-teman lama saya yang entah kemana, atau justru saya yang entah dimana hingga tak bersama mereka. Dan ternyata saya juga merindukan teman-teman yang hampir setiap hari masih bisa saya temui tapi tetap saja saya rindukan karena walau dekat terasa jauh. Toh yang dirindukan itu kan momen, bukan person.
Tapi ternyata ketika kami memutuskan untuk bertemu kembali, saya masih merasakan dorongan yang menyebabkan kami berteman. Ternyata persahabatan kita tidak kadaluarsa. Just for your information, kami bertiga tidak pernah satu kelas selama SMA, dan juga kami bukan teman TK-SD-SMP. Dari segi kepribadian jelas beda, lingkungan pergaulan beda, gaya hidup beda. Lalu apa yang menyatukan kami? Sayapun tak tau. Just because.
Teman saya yang lain pernah mengatakan bahwa landasan pertemanan dibangun dari kebutuhan akan sesuatu. Maka akan dikenal teman yang datang hanya ketika dia butuh saja, dan yang selalu ada saat senang dan susah.
Saya setuju dengan pernyataan teman saya, meskipun saya tetap akan mengucapkan kalimat tersebut dengan nada datar biasa, bukan nada nyinyir. Menurut saya, setiap pertemanan pasti selalu mengandung kepentingan, sekecil apapun maksud yang tersembunyi tersebut. Minimal sesederhana pentingnya memiliki teman ngobrol.
Tapi bukankah memang demikian, buat apa berteman dengan orang yang hanya akan merugikan kita? Meskipun begitu, saya percaya bahwa setiap manusia itu tidak pernah selalu murni jahat atau sepenuhnya murni baik hati. Memangnya tokoh sinetron! Berdasarkan keyakinan saya di atas, menurut saya tidak ada teman yang hanya akan merugikan kita, suatu hari entah kapan pasti pertemanan itu saling menguntungkan kok. Dan kepentingan-kepentingan yang terselip itu tidak bisa dikotak-kotakkan hanya menjadi hitam dan putih. Jahat atau baik itu kan persepsi, tergantung dari sudut mana menilainya.
Misalnya si A berteman dengan si juara kelas agar ikutan jadi pintar menghitung matematika, disamping itu si A juga berteman dengan si anak hits biar ketularan jadi anak gaul kekinian. Lantas apakah si A telah menjahati si juara kelas dan si anak hits?
Terkadang yang lebih bisa selalu merasa dimanfaatkan sama yang lebih nggak bisa. Padahal nggak semua yang lebih nggak bisa hanya mengambil keuntungan dengan berteman sama yang lebih bisa.
Biasanya perempuan selalu memiliki minimal seorang sahabat. Tapi sepertinya saya tidak termasuk salah satunya. Bukan saya, yang memutuskan hubungan pertemanan atau sengaja menjadi anti sosial, tapi itu terjadi begitu saja. Menurut saya sebuah pertemanan itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Pertemanan itu hubungan yang terjadi secara alami dan naluriah, dan tanpa perlu diawali oleh pertanyaan sejenis, 'mau nggak kamu jadi temenku?' selayaknya dua orang sejoli yang akan menjalin hubungan lebih dari pertemanan. Pertemanan bisa terjadi karena kesamaan hobi, kesamaan rutinitas, kesamaan selera dalam memilih makanan, pakaian, atau karena bisa ngobrol asyik aja. Dan walaupun memiliki berbagai kesamaan tidak lantas menjadikan dua pribadi otomatis berteman akrab. Saya sendiri tidak bisa menjabarkan bilamana seorang individu bisa cocok berteman dengan individu yang lain, dan tidak bisa cocok dengan individu yang lainnya. Pertemanan itu terjadi begitu saja.
Sejujurnya saya menulis topik random ini karena saya merindukan teman-teman lama saya yang entah kemana, atau justru saya yang entah dimana hingga tak bersama mereka. Dan ternyata saya juga merindukan teman-teman yang hampir setiap hari masih bisa saya temui tapi tetap saja saya rindukan karena walau dekat terasa jauh. Toh yang dirindukan itu kan momen, bukan person.
Subscribe to:
Posts (Atom)