Kali ini saya bukan hendak membahas mengenai kegalauan
semacam hilangnya arah hidup, tapi hanya akan bercerita tentang hilang arah
dalam arti sesungguhnya: nyasar.
Well, saya termasuk orang asli jogja yang lahir dan besar di
jogja tapi masih bisa aja nyasar di kota sendiri. Kalo dibilang karena saya
jarang main keluar rumah, menurut saya sih enggak ya. Rupanya keluarga saya memang
punya masalah soal spasial, tak terkecuali saya.
Saya sendiri sudah mendeteksi beberapa spot nyasar, yang
merupakan blind area bagi saya.
Diantaranya adalah Kompleks Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, kalau udah masuk
dalam benteng entah kenapa mendadak saya nggak bisa bedain mana utara mana
selatan. Karena rasanya sama aja, sense of place nya mirip. Tapi sekarang saya
udah lebih mending dikit lah ya, udah bisa ngebedain pojok beteng wetan dan
pojok beteng kulon, udah bisa ngebedain plengkung gading dan plengkung wijilan,
dan yang paling penting udah bisa ngebedain alun-alun utara dan alun-alun
selatan. Selain Kompleks Kraton, blind
area saya yang lain adalah Kawasan Seturan. Seberapapun sering saya
melewati jalan-jalan tersebut, saya tak kunjung hapal jua.
Nah, ceritanya kemaren saya bersama adek saya akan menuju Jalan
C. Simanjuntak dari arah panggung krapyak. Kami lurus terus ke utara sampai
plengkung gading, akhirnya sampai di alun-alun selatan. Dari alun-alun selatan,
kami ambil jalan yang ke arah timur, kemudian belok kiri lagi kembali ke arah
utara hingga mencapai plengkung wijilan. Yeaaay, mission complete! Saya berhasil mencapai plengkung wijilan tanpa
hilang arah, dan dari plengkung wijilan saya sudah paham benar jalan menuju
dunia utara. Tinggal belok kanan ke arah Jalan Brigjend Katamso, ke arah
perempatan Hotel Limaran, terus ke utara melewati Hotel Melia Purosani,
kemudian lewat Jalan Mataram, Kotabaru, dan sampai deh.
Namun permasalahan muncul ketika keluar benteng wijilan dan
yang dijumpai adalah macet parah. Rupanya saya melupakan adanya perpaduan
antara cuaca cerah di malam itu, hari libur bagi anak sekolah pada keesokan
harinya, dan juga sekaten yang tinggal menghitung hari. Kombinasi dari hal-hal
tersebut tentu sudah bisa ditebak: macet parah. Malam sebelumnya saya juga ke
sekaten dan niatnya melewati jalan ini, namun karena diujung jalan saya sudah
menemui fenomena bottle neck, jadi kendaraan
yang mau masuk ke jalan tersebut sampe muncu-muncu
ke perempatan, maka kami memutuskan putar balik dan parkir di km nol.
Pengalaman sehari sebelumnya membuat saya memutuskan untuk putar balik dan
menggagalkan rencana indah perjalanan saya yang sudah tersusun rapi. Kami
kembali ke selatan, dan iseng belok kiri ke arah timur untuk mencari jalan
tembusan. Niatnya sih mau muncul di sekitaran Jogjatronik atau gang mana aja
supaya gak perlu terjebak macet, eh kami malah nyasar dan muncul lagi di gang
persis sebelum plengkung wijlan! Nah, kenapa malah di sini lagi. Tapi kami
tidak patah semangat, kami masih mencoba peruntungan dengan memasuki gang
lainnya, hingga kami beneran hilang arah bahkan gak tau jalan balik ke alun-alun
selatan.
Disitulah kami baru ingat akan adanya teknoologi canggih
yang bernama smartphone yang dilengkapi gps dan google maps. Maafkan kami
smartphone yang agung, yang telah tidak menjadi smartuser. Terimakasih google
maps yang agung, yang telah menunjukkan jalan untuk keluar dari labirin dalam
benteng sekaligus menunjukkan traffic yang sedang terjadi, jadi kami bisa
menghindari macet dengan menghindari jalan yang berwarna merah dan oranye.
Akhirnya kami memutuskan melewati Jalan Tamansiswa, yang di maps sih warnanya
didominasi biru (atau hijau sih sebenernya?), walaupun harus memutar jauh.
Kami berangkat dari panggung krapyak sekitar jam
setengah tujuh, dan ketika mencapai tamsis udah jam setengah 8 aja. Berarti
kami berkeliaran di dalam benteng hampir satu jam. Karena lapar dan lelah, kami
memutuskan untuk berhenti di indomaret di Jalan Dr. Sutomo. Tapi ternyata kami
tidak bisa ngemper-ngemper di sini
soalnya di depan tokonya penuh tumpukan kardus. Dan karena sebenarnya kami hanya
ingin numpang duduk sembari makan sari roti sebelum mencapai tujuan, dan tidak
ada tempat yang bisa disinggahi untuk itu, kami pun memutuskan duduk-duduk di deket
bunderan UGM. Jadilah kami piknik makan sari roti dan teh kotak sambil
memandangi tulisan Universitas Gajah Mada. Well yaa, kami duduk di tempat
orang-orang biasa berfoto dengan ikon kampus biru ini. Sumpah rasanya konyol
banget, gak ngerti lagi deh kalau ada orang yang mengamati ada dua orang yang
kesitu bukan buat foto-foto tapi cuma numpang makan roti terus pergi.
Bagi saya, nyasar masih selalu aman ketika masih terang cahaya matahari, bensin penuh, bawa hp dengan baterai yang cukup dan ada pulsa nelpon, bawa duit, atau minimal kombinasi dari beberapa.
No comments:
Post a Comment