Keresahan yang pertama muncul dari halaman Koran Kompas yang
saya baca pada sebuah kesempatan. Berita yang tertulis adalah tentang kisruh
pemilihan ketua DPR yang ramai diperbicangkan. Sepenangkapan saya, hal ini
bermula dari adanya peraturan yang mengharuskan pengajuan calon DPR dilakukan
dengan paket koalisi dengan minimal 5 partai. Berdasarkan peraturan yang
berlaku, ada 10 partai yang mendapat kursi di DPR. Lima diantaranya telah
tergabung dalam koalisi Merah Putih, sedangkan satu diantaranya, yakni partai
Demokrat, memilih untuk tidak bergabung dalam paket manapun. Sehingga koalisi
Indonesia Hebat, yang hanya terdiri dari 4 partai tidak memiliki kesempatan
untuk mengajukan calon. Dengan begitu otomatis DPR dikuasai koalisi Merah
Putih. Koalisi Indonesia Hebat yang merasa bahwa hal ini tidak adil tidak dapat
melakukan apapun, kemudian memutuskan walk
out. Dan seperti yang ramai diperbincangkan di social media, kabarnya palu
yang semestinya digunakan untuk menetapkan putusan-putusan hilang atau lebih
tepatnya disembunyikan. Pertama kali saya mendengar ini, saya hanya dapat
terpana dan mengeluarkan dua patah kata: HOW
CAN?
Selanjutnya, keresahan saya yang lain muncul ketika saya
jogging pada suatu minggu pagi di lapangan GSP UGM. Ada sekelompok mahasiswa
yang mengajak untuk menandatangani selembar kain putih untuk menolak RUU
pemilihan kepala daerah oleh DPR. Well, saya pribadi juga menolak RUU tersebut,
yang menurut saya mencuri demokrasi. Dan rupa-rupanya para mahasiswa juga
merasa bahwa perlahan ada pihak-pihak yang ingin mengembalikan Indonesia ke
jaman Orde Baru. Nah saya yang memang jarang mengikuti berita, apalagi berita
yang berbau politik, beberapa yang lalu mendengar bahwa ternyata RUU ini telah
disahkan karena menang dalam sidang paripurna DPR. Namun, SBY yang tidak senang
dengan undang-undang ini langsung bertindak mengeluarkan Perpres yang notabene secara
hukum memiliki hierarki lebih tinggi, yang isinya bertentangan dengan isi
undang-undang tersebut. Otomatis undang-undang tersebut tidak jadi berlaku.
Sungguh suatu kemubadziran dokumen perundang-undangan bukan?
Saya lantas teringat akan sebuah tugas kuliah, dimana kami
mengambil studi kasus konflik pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulonprogo.
Dalam konflik yang telah bermula dari tahun 2006 tersebut, pada mulanya menurut
peraturan tata ruang setempat tidak boleh dilakukan penambangan pasir besi di
kawasan tersebut. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, pada tahun 2010
dikeluarkan peraturan tata ruang wilayah yang lebih tinggi yang memperbolehkan
penambangan. Otomatis, peraturan di tingkat daerah tidak berlaku lagi karena
harus menyesuaikan dengan peraturan wilayah diatasnya. Ini terlihat seperti di
negara kita ini terjadi peperangan antar lembaga pemerintah, berlomba saling
mengakali di tingkat hierarki yang lebih tinggi. Sebagai seorang awam, saya
merasa hal ini aneh dan meresahkan. Lalu apa kabar opini masyarakat di luar
sana yang jauh lebih awam daripada saya?
Keresahan selanjutnya datang dari sebuah obrolan makan malam
di sebuah resto. Kala itu ada teman saya yang membawa teman kost nya yang dari
Myanmar. Di sudut meja itu tiba-tiba salah satu teman saya membahas mengenai Asean Economic Community yang akan
berlaku di tahun 2015 mendatang. Setahu saya, perjanjian ini telah
ditandatangani sejak tahun 2007 silam namun gaungnya baru terasa sekarang. Saat
ini banyak negara-negara Asean yang telah mengirimkan warga negaranya untuk
belajar Bahasa Indonesia dalam rangka menghadapi Asean Economic Community. Sedangkan kita masih tidak sadar, dan
justru bangga ketika orang-orang dari negara lain tertarik belajar bahasa dan
budaya kita. Kita yang tidak sadar ini dengan senang hati, welcome dan membantu dengan mereka yang ingin menguasai bahasa
kita. Well, saya akui pemikiran ini memang terdengar ekstrem, tapi saya rasa
ada benarnya juga. Sesungguhnya saya khawatir dengan perebutan dunia kerja yang
mungkin akan saya masuki ketika saya lulus di tahun depan. Saya tidak
membayangkan bahwa kali ini kita tidak hanya bersaing dengan sesama job seeker Indonesia, tapi mungkin juga jobseeker dari negara lain. Sesungguhnya
saya sangat khawatir kepada masa depan Indonesia dengan SDM yang seperti
sekarang ini.
Mari berpindah pada keresahan saya yang lain. Keresahan ini
selalu saya abaikan namun begitu terasa. Entah hanya perasaan saya yang baru
saja pulang dari perbatasan Indonesia, sebuah kota di Natuna yang begitu tenang
dan lenggang dari kendaraan bermotor, atau memang demikian keadaanya. Saya
merasa Jogja, kota tempat saya menghabiskan 21 tahun hidup saya ini, semakin
lama semakin penuh dengan kendaraan bermotor. Sederhananya, hal ini sangat
terasa ketika mencari tempat parkir di jurusan, atau di pusat perbelanjaan.
Parkiran begitu penuh sesak, tidak seperti pada tahun pertama saya kuliah. Dan
juga sangat terasa ketika terjebak macet pada jam-jam sibuk di beberapa ruas
jalan. Menurut berita yang saya baca di sebuah Koran dalam salah satu penantian
saya di halte Trans Jogja, balik nama kendaraan yang masuk dari luar Jogja
tidak dipungut biaya alias gratis. Hal ini tentunya mempermudah kendaraan dari
luar untuk masuk ke Jogja. Kata ayah saya, kebijakan ini tentunya memang
diambil untuk menguntungkan pemda melalui pajak kendaraan yang masuk. Akan
tetapi apa kabar dengan kondisi jalanan Jogja atas dampak dari kebijakan ini?
Saya sebagai salah satu warga asli Jogja merasa kecewa, mengingat saat ini Jogja
sudah tidak lagi termasuk dalam The Most
Livable City versi IAP (Ikatan Ahli Perencana).Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang nantinya akan bekerja pada ranah-ranah diatas, tentu saja saya sangat resah. Resah atas berbagai hal yang secara random muncul di benak saya.