Sebenarnya
sungguh sangat terlambat bagi saya untuk menulis ini, setelah graduasi
berselang lima bulan lalu. Tapi biarlah, toh ini bukan koran yang harus selalu
menyajikan informasi terkini. Seperti yang pernah saya tulis sebelumnya, ingin
kabar aktual dari saya silahkan japri. Heuheu
Setiap orang yang
pernah bersekolah tentunya pernah mengalami masa seperti ini. Faktor pembedanya
adalah seberapa lama masa ini bertahan, atau seberapa dalam sindrom ini
mengobrak-abrik rasa dan kehidupan seseorang. Lantas sebenarnya apa sih
definisi dari post graduation syndrome?
Seorang teman pernah menulis bahwa istilah post
graduation syndrome mengacu pada istilah post power syndrome. Mudahnya, istilah post power syndrome menggambarkan kondisi poltisi yang baru turun
dari masa jabatan dan masih mendamba kekuasaan seperti ketika masih menjabat. Jadi
kurang lebih istilah post graduation syndrome
bermakna sindrom yang mendera orang-orang seusai diwisuda.
Well, sejujurnya
saya tidak tahu apakah istilah ini memang benar adanya atau hanya istilah yang
diciptakan manusia-manusia jaman sekarang untuk mendeskripsikan apa yang mereka
rasakan. Sebagian orang mengalami kebingungan dan/atau kekosongan setelah ceremony graduasi yang penuh hingar
bingar kebahagiaan, setelah sebelumnya bersusah payah mengusahakan kelulusan. Lantas
menjadi hampa setelah hingar bingar ini berlalu, lalu dihadapkan pada berbagai
pilihan sulit yang berkaitan dengan masa depan. Pertanyaan macam ‘setelah ini
mau kemana’ atau ‘planning selanjutnya apa?’ akan menjadi pertanyaan template
yang muncul baik dari diri sendiri maupun dari orang sekitar. Kita dihadapkan
pada pilihan mencari pekerjaan, melanjutkan studi ke jenjang selanjutnya, bahkan
menikah.
No offense, saya menjumpai banyak dari mereka yang kemudian
memilih lanjut S2 sebagai pelarian ketika tak kunjung mendapatkan pekerjaan
yang mereka inginkan. Walaupun demikian, sebagian yang lain murni ingin
belajar.
Post graduation syndrome kian menjadi bagi saya, ketika satu persatu
teman-teman saya melanjutkan kehidupan mereka masing-masing dengan pindah ke
kota lain. Mengingat kejayaan masa lalu (kayak pernah jaya aja), saya merasa lately kehidupan saya menjadi kurang
berwarna. Saya merasakan kemunduran, terutama setelah beberapa kali apply pekerjaan dan ditolak.
Bagaimanapun segala bentuk penolakan memiliki dampak tersendiri secara
psikologis, sekecil apapun, disadari maupun tak disadari.
Sampai sekarang
saya masih beranggapan bahwa pekerjaan (terutama di bidang saya) itu ada banyak
sekali, apabila memang tak terlalu picky.
Kendati demikian, masih ada saja teman saya yang menganggur. Kenapa saya bisa
bilang begitu? Well, saya dan teman-teman saya pernah mengerjakan beberapa project sekaligus sampai rasanya hampir
keteteran. Padahal sebenarnya bisa saja pekerjaan itu dibagi dengan orang lain.
Tapi nyatanya, tidak semua orang mau mengerjakan pekerjaan macam ini. Alasannya
bermacam-macam, dari honor yang tidak seberapa hingga masalah idealisme.
Hanya berselang
beberapa hari setelah ceremony graduasi,
saya memasukkan lamaran pekerjaan di suatu konsultan di kota tetangga. Namun sebelum
pengumuman, saya ditelpon teman dan ditawari membantu proyek dosen. Akhirnya dengan
berbagai pertimbangan, saya memilih mengambil proyek ini dan melepas panggilan
wawancara yang datang beberapa hari setelah saya mengiyakan proyek ini. Bertemu
dengan orang-orang baru dengan karakter yang menyenangkan, dengan sendirinya menciptakan
suasana kerja yang menyenangkan. Bersama mereka, saya betah lembur hingga malam.
Meskipun belum memiliki sistem kerja yang ideal, saya enjoy bersama mereka. Toh
seberat apapun pekerjaan selama kita bersama partner kerja yang menyenangkan,
bukan masalah kan?
Berbicara tentang
project-project yang pernah saya bantu pengerjaannya, ada beberapa yang cukup menyentil.
Beberapa teman mengatakan bahwa saya ini tipikal yang idealis atau sok idealis
malahan. Contohnya saja ketika kami diminta membuat justifikasi pemilihan
lokasi untuk suatu pembangunan, dimana eksistingnya lokasi pembangunannya
merupakan sawah produktif. Atau ketika kami diminta melakukan kajian pemekaran
kecamatan namun konfigurasi desanya sudah ditentukan secara top down demi
mendukung politic will. Segitu saja
saya sudah merasa resah dan penuh dosa. Atau ketika ada beberapa rekan kerja
yang saling membicarakan keburukan rekan kerja lain di belakang, saya sudah
merasa muak dan jengah.
Well, selamat
datang di dunia kerja yang penuh tantangan dan senggol-bacok. Lagi-lagi
mengutip kata teman, yang terpenting kita mau berproses beradaptasi dengan
lingkungan sekitar sehingga kita akan terbiasa dan bisa bertahan menghadapi
gempuran faktor penyebab depresi. Oh iya, bahasan mengenai stres dan depresi
yang akhir-akhir ini begitu mewabah di generasi kita, akan saya posting
menyusul.