Belum lama ini aku membaca novel berjudul Kim Ji-yeong Lahir
Tahun 1982 karangan Cho Nam-Joo. SPOILER ALERT, bagi yang tidak ingin kena
spoiler silahkan melewatkan postingan ini. Awalnya aku tau Kim Ji-yeong ini
adalah sebuah film korea fenomenal yang banyak mendapat pujian dari story teman-temanku.
Lalu aku menemukan novel ini di Togamas, dan langsung menghabiskannya kurang
dari 24 jam.
Aku baru menyadari bahwa pada jaman itu Korea menganut nilai
atau budaya yang menjunjung tinggi kedudukan laki-laki ketimbang perempuan.
Well ya, ‘baru menyadari’ karena selama ini udah sering nonton drama korea dan
sedikit banyak sering melihat hal semacam ini tapi baru menyadari bahwa hal
tersebut sudah menjadi budaya umum setelah membaca novel ini. Bahwa memang
sistem yang berlaku tidak memberikan kesempatan perempuan untuk berkarier
tinggi bagaimanapun si perempuan ini telah berusaha keras, bahkan lebih dari
usaha si laki-laki. Sebelum akhirnya pada tahun 2000an mulai ada gerakan
feminisme atau mulai diangkatnya isu gender dan sistem mulai berpihak pada
perempuan melalui pengarusutamaan gender, kebebasan untuk memilih menamakan
anak mereka dengan menggunakan marga ayah atau marga ibu, dan lain-lain.
Segala hal yang diceritakan dalam buku ini merupakan hal-hal
keseharian yang akrab dengan kehidupan kita sehingga penggambarannya terasa sangat
relevan. Menariknya, beberapa bagian disertai footnote yang merujuk data
pendukung yang menyampaikan artikel atau bahkan data statistiknya. Bahkan masih
terdapat beberapa yang sangat familiar bahkan di sini, di kiri kanan kita. Misalnya
ketika ayah Kim Ji-yeong yang mengatakan bahwa sebaiknya perempuan menjadi guru
karena banyak cutinya. Persis plek sama yang disarankan bapakku ketika aku
masih sekolah dan belum menentukan cita-cita. Atau ketika Kim Ji-yeong belum
juga hamil setelah menikah lalu diomongin sama bibi-bibinya, kenapa seluruh
dunia ikut campur dan seolah menyalahkan dan menganggap pihak perempuan yang
tidak subur padahal kan bisa jadi dari pihak laki-lakinya.
Keuntungan menjadi Guru bagi Wanita, menurut Ayah Kim Ji-yeong |
Suatu hari aku pernah mengikuti rapat anggota dewan di daerahku
yang akan membahas beberapa rancangan peraturan daerah, salah satunya tentang
pengarusutamaan gender. Kala itu aku merasa heran dan tidak terlalu pro dengan
menganggap pihak yang mengusulkan raperda ini adalah para penggiat feminisme
belaka, mengapa kita harus memberikan kuota untuk perempuan sekurang-kurangnya sekian
persen untuk duduk di kursi DPR misalnya? Selama tidak ada aturan sebaliknya,
yang melarang perempuan untuk mengambil peran tersebut, tanpa mengatur porsinya
dalam peraturan perundangan menurutku laki-laki dan perempuan sudah memiliki
hak dan peluang yang sama untuk memperebutkan suatu posisi. Selama perempuan
memiliki kompetensi yang sama dengan laki-laki maka seharusnya kita memiliki
peluang yang sama besar. Seharusnya. Tapi ada faktor lain bernama budaya. Tidak
tertulis, tidak memiliki dasar hukum, namun powerfull. Kini aku paham urgensi
adanya dasar hukum pengarusutamaan gender.
Gagasan ini sedikit menggelitik, sedikit bergeser dari topik
pembahasan, dari obrolan orang-orang di twitter tentang sistem perekrutan
pekerja, sebagian menyatakan bahwa salah satu sistem perekrutan yang efektif
dan efisien adalah dengan menarik orang yang sudah pernah bekerja sama sehingga
track record nya sudah kelihatan dan lebih bisa diandalkan, atau dengan
kata lain melalui close reqruitment atau kasarnya pengaruh orang dalam.
Pada saat itu sejujurnya aku tidak setuju karena menurutku tidak fair untuk
orang yang memiliki kompetensi yang sama atau bahkan lebih unggul namun kurang
dikenal di kalangan si perusahaan. Namun, berdasar pengalaman selama bekerja
sejujurnya aku juga lebih senang bekerja bersama seseorang yang sudah terbukti
dapat diandalkan ketimbang nge-hire pekerja baru yang belum kita kenal
meskipun cv nya terlihat menjanjikan. Hubungannya apa dengan paragraf sebelum
ini? Well, aku yang awalnya merasa semua orang apabila memiliki kompetensi yang
sama sudah pasti memiliki kesempatan yang sama besar dalam memperebutkan
sesuatu, ternyata belum tentu. Ada faktor budaya yang turut mempengaruhi. Bagaimana
bila semua perusahaan atau budaya di semua dunia kerja melakukan rekruitmen
dengan cara ‘orang dalam’ maka akan ada orang-orang yang karena kondisinya
tidak memiliki privilege berupa link/jaringan maka dia akan selalu kalah
sekalipun dia merupakan SDM unggulan. Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri membangun
jaringan di dunia kerja memang sangat penting sih adek-adek sekalian.. Apabila
dianalogikan, selama tidak ada peraturan perundangan mengenai pengarusutamaan
gender dan ada budaya tak tertulis yang menganggap bahwa pria selalu lebih
unggul dari wanita tanpa melihat case by case, maka perempuan tidak akan
memiliki kesempatan. Berbagai stereotype dan mungkin beberapa contoh kasus
terdahulu mungkinlah menjadi penyebabnya.
Nah, sistem kerja terkait cuti hamil dan melahirkan ini juga
yang ngeselin parah. Di kampusku, dosen-dosen secara terang-terangan bilang
kalau agak susah merekrut dosen perempuan terutama terkait profesionalitas
kerjanya. Dulu ada dosen muda perempuan yang terpaksa keluar karena alasan ikut
suami, juga seorang bapak dosen pernah bilang beberapa dosen perempuan yang
sudah memiliki anak kinerjanya cenderung menurun. Maka bukankah diperlukan
suatu sistem kerja yang memberikan peluang sebesar-besarnya untuk perempuan
dapat berkarier tanpa mengabaikan ruang peran ganda perempuan sebagai ibu dan
tanpa kehilangan kondusivitas kerja dengan adanya ruang tersebut. Agak susah
memang mengubah mindset dan sistem, sang psikiater yang di akhir cerita
ngakunya memahami depresinya Kim Ji-yeong aja tetep mengeluhkan rekan kerja
perempuannya yang terpaksa resign untuk mengurus dan membesarkan anaknya.
Gimana sih, katanya paham pak.. wkwk
Lalu mungkin salah satu alasan logis kenapa laki-laki
diberikan peluang yang lebih besar ketimbang perempuan adalah karena mereka
berkewajiban menafkahi keluarga sementara perempuan tidak (well, kecuali
perempuan single parent mungkin ya). Ini terpikirkan olehku ketika membaca
bagian yang menceritakan anak-anak perempuan bahkan turut membantu membiayai
saudara laki-lakinya agar bisa menempuh pendidikan tinggi dan cenderung
mengalah untuk segala hal, terutama karier impiannya.
Aku bukan menolak feminisme, karena akupun sedikit banyak
menentang patriarki. Toh aku bisa bersekolah tinggi dan bahkan bekerja pun
tidak lain dan tidak bukan karena adanya emansipasi. Tapi ketika ada kasus
perkosaan terhadap perempuan, dimana ada yang marah-marah karena ada yang
mengomentari korban terkait pakaian yang digunakan atau timing dan setting
tempat terjadinya perkara karena menganggap “sudah menjadi korban eh masih
disalahin”, aku tidak setuju sama yang marah-marah.
Seseorang di twitter pernah menulis tentang etiologi
kriminal, bagaimana tindak kriminal dapat terjadi. Ada 3 faktor yang mendorong
terjadinya tindak kejahatan, pertama ada pelaku yang termotivasi, ada target
berupa (calon) korban yang vulnerable, dan absence of guardian
atau tidak ada kehadiran pelindung yang dapat juga diartikan ada kesempatan
berupa setting waktu/tempat yang mendukung. Guard/pelindung ini dapat berupa
seseorang atau cctv atau apapun yang dapat bersifat mencegah terjadinya tindak
kejahatan. Ketiga unsur tersebut sering disebut sebagai triangle crime,
jadi kita bisa memotong mata rantai terjadinya tindak kejahatan dengan
menghilangkan salah satu unsurnya. Kalau kita anggap saja bahwa semua orang merupakan
pelaku yang termotivasi dan tidak bisa kita hindari, kita masih bisa mencegah
terjadinya kejahatan dengan menghindari bersatunya satu atau dua unsur lainnya.
Para penggiat feminis mengatakan bahwa suka-suka perempuan bagaimana mereka
memilih pakaian, karena bahkan perempuan yang menutup rapat seluruh auratnya
saja bisa menjadi korban. Tapi menurutku pribadi, dengan menggunakan pakaian
yang tidak menggoda dan menghindari berada pada situasi yang riskan, dapat
mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Pendapat pribadi ini kalo
di-share di twitter aku yakin langsung dibantai para penggiat feminis. Well,
memang tidak bijak menyalahkan korban, jadi korbannya memang tidak perlu
disalahkan, kitanya saja yang harus lebih berhati-hati dan tentunya mengambil
pelajaran dari hal-hal yang sudah terjadi untuk bisa mencegah terjadinya hal
yang serupa.
Sebuah pengalaman yang cukup membekas buatku adalah ketika
aku berada di Nusa Tenggara Barat, dalam perjalanan dalam tim yang terdiri atas
laki-laki dan perempuan, kami telah berbagi tugas pekerjaan rumah secara adil.
Sebut saja tugas sesederhana mencuci piring setelah makan, kami membuat jadwal
piket secara merata. Namun jadwal piket ini ditentang oleh penduduk lokal
karena adat istiadat mereka tidak diperbolehkan laki-laki yang mencuci piring,
karena lumrahnya itu memang sudah tugas perempuan.
Salah satu hal yang menjadi alasanku menentang patriarki
dalam rumah tangga bukan karena aku malas memasak atau melakukan pekerjaan
rumah lainnya tapi menurutku pribadi, segala hal domestik merupakan tanggung
jawab semua orang tanpa memandang gender laki-laki atau perempuan. Tak peduli
laki-laki atau perempuan harus bisa memasak minimal untuk dia makan sendiri,
mencuci pakaian minimal baju yang dia gunakan sendiri, karena itu merupakan
skill minimal untuk survive, untuk menjalani hidup. Perkara nanti ada
kesepakatan pembagian tugas antara suami-istri demi efektivitas dan kenyamanan
masing-masing sih ya monggo aja. Karena adanya ‘divisison of labor’ atau
gampangnya pembagian tugas dan peran memang terbukti menciptakan efisiensi. Jadi kalau
kesepakatannya istri yang selalu masak, ya sah-sah saja. Kalau ternyata lebih
efektif nge-laundry ketimbang mencuci baju sendiri, misal karena sibuk bekerja
dan waktu luangnya lebih produktif untuk melakukan hal lain, ya sah-sah saja.
Mau tidak mau, hal ini membuatku membandingkan dengan masa
penjajahan di Indonesia dimana perempuan belum memiliki hak yang sama lalu
lahirlah RA Kartini yang menyuarakan emansipasi dan menjadi tonggak sejarah
meningkatnya derajat perempuan di Indonesia. Lalu aku bertanya-tanya bagaimana
cerita isu feminisme dan kesetaraan gender di belahan bumi bagian barat ya? Aku
baca di Bumi Manusia, orang-orang Belanda memperlakukan para wanitanya dengan
hormat. Ya, walaupun tidak menutup mata bahwa para tentara perang tersebut
melampiaskan kebutuhan seksualnya pada perempuan-perempuan Indonesia tahanan
perang.
Terlepas dari segala kemuakanku terhadap sistem yang
sedemikian rupa menghambat perempuan untuk berkembang dan meraih impiannya, aku
kagum dengan beberapa sosok perempuan. Seperti contohnya sosok ibu Kim
Ji-yeong, jenis-jenis wanita yang tangguh, menciptakan peluang sendiri dari
kesempatan yang sangat minim, bahkan tak hanya survive tapi juga mampu
berstrategi hingga menjadi berdaya. Sosok seperti Nyai Ontosoroh di Bumi Manusia,
dan kalau sosok real di dunia nyata: eyang putriku. Kapan-kapan mungkin akan
kutulis cerita tentang perempuan-perempuan hebat yang kukenal.
Bagian yang menurutku paling nyesek adalah ketika si ibu Kim
Ji-yeong hamil anak ke-3 dan ternyata perempuan sementara seluruh dunia
mengharapkan lahirnya anak laki-laki, dia terpaksa menggugurkan anaknya karena
bahkan si suami bilang, “jangan bilang yang tidak-tidak..” ketika si ibu
menyampaikan kecemasannya apabila ternyata bayi yang dikandungnya berjenis
kelamin perempuan.
Terkait depresi pasca melahirkan, ini juga satu hal yang
menarik. Bagaimana perubahan hormon dari hamil bahkan hingga pasca melahirkan,
juga perubahan tubuh mereka adalah sesuatu tersendiri. Udah gitu masih ada
seseorang di kereta bawah tanah yang menyindir, “orang yang berkeliaran di
kereta bawah tanah dengan perut buncit demi mencari uang masih ingin punya
anak?”